DATA KIPI VAKSIN MR, DPT, DT, Polio DAN TT (November 2017- 24 Agustus 2018)

Data ini saya susun berdasarkan info yang saya gali dari media sosial, melalui japri langsung ataupun tidak langsung dengan keluarga bersangkutan. KIPI sendiri adalah semua kejadian sakit terhitung 30 hari pasca vaksin, baik yang berupa koinsidens (sakitnya bukan dari vaksin) maupun kausal (sakitnya memang disebabkan oleh vaksinnya). KIPI di Indonesia selama ini 100% diakui koinsidens, entah karena yang kausal tak terlapor ataukah memang ada berbagai pihak yang menganut dogma "vaksin tidak pernah salah", entahlah... Sebelumnya saya mohon maaf sebesar-besarnya jika sudah memuat artikel ini, saya menulis dengan keterbatasan saya sebagai ibu rumah tangga yang tidak bisa mendatangi dan survey satu per satu keluarga KIPI ini, karena itu dengan segala kekurangannya saya mohon maaf. Di sini saya akan tuliskan data apa adanya seperti yang tertulis di media sosial. Tidak saya tambah-tambahi atau dilebih-lebihkan, untuk selanjutnya supaya bisa dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi semua pihak.

1. Jumiarni. 8 tahun. Kelas 2 Madrasah Itibaiyah Yayasan Al Hikmah Gg Duren 7 Ulu Palembang.

Korban terduga KIPI Jumiarni (sumber : Palembang Tribunnews) 

Kronologis : Jumiarni mendapat vaksin TT oleh puskesmas 7 Ulu tgl 10 Nov 2017. Pasca disuntik Jumiarni langsung mengalami kelumpuhan sehari setelahnya dan dirujuk ke RS Muhammadyah (RSMP). 3 hari dirawat, Jumiarni meninggal dunia. Menurut Meisyah (ibu Jumiarni), anaknya semangat sekali bangun jam 5 subuh untuk mengikuti vaksinasi di sekolah. Pulang sekolah pun masih ceria dan tidak ada yang aneh. Namun saat sore menjelang malam, tiba-tiba kaki kiri tidak bisa digerakkan, hingga berbaring saja. Tgl 11 belum berubah kondisinya, bahkan kaki kanan ikut2an tidak bisa digerakkan. Sang ibu buru-buru melapor ke sekolah. Wakasek kesiswaan, Sukardi, menyarankan untuk segera melapor ke Puskesmas 7 Ulu yang menyelenggarakan vaksinasi. Puskesmas cepat tanggap, lalu mendatangi siswa ke rumah. Karena kondisi belum membaik, akhirnya Puskesmas merujuk Jumiarni ke RSMP. Tgl 13 Nov Jumiarni belum juga membaik, bahkan mengalami demam. Dari sejak sakit, belum bisa buang air besar. Kencing pun tidak terasa oleh Juminarti, tau-tau kasur sudah basah. Tgl 14 nov 2017, kondisi semakin parah dan mengalami sesak napas. Jumiarni harus dibantu oksigen untuk bernapas. Sekitar jam 9.00 nyawanya tak tertolong dan meninggal dunia.

Sumber berita : Sriwijaya Post.

2. Thalita Alamanda Az Zahra. Perempuan. Umur 4 bulan. Lahir 20 Juli 2017, wafat 24 November 2017. Garut, Jawa Barat.
Thalita dan ayahnya

Kronologis : Imunisasi yang musti dilakukan harusnya tanggal 21 November 2017. Berhubung satu dan lain hal, tanggal tersebut batal. Esoknya saya datang ke bidan yang bersangkutan, sayangnya, bidannya tidak ada di tempat. Assistennya menyuruh saya datang lagi, esoknya tanggal 23. Itu artinya sudah dua hari telat dari tanggal yang seharusnya. Aku tanyakan kepada asisten bidan itu, imunisasinya sudah telat, apa itu tidak apa-apa? Kata bidan melalui asistennya, katanya tidak apa-apa. Thalita divaksin polio, IPV, dan DPT. Siang hingga malam tidak ada reaksi apa-apa, anak saya baik-baik saja, kecuali berkeringat. Tidak ada demam apalagi kejang. Hanya saja, kata istri saya, anak saya belum BAB dan kencing, juga tidak mau nyusu. Anak saya mulai merintih-rintih pas pukul 11 malam (sebelumnya tidur pulas). Tubuhnya dingin dengan wajah yang pucat. Saya segera ambil tindakan, mendatangi kembali bidan yang mengimunisasi anak saya. Bidan itu menerima kami (itu sekitar pukul 2 dinihari), bidan itu melakukan observasi selama satu jam; memasang oksigen; mengecek denyut jantung, hasilnya semuanya normal. Anak saya terus merintih. Saya pikir anak saya mungkin 'ticengklak' aku berinisiatif untuk memijitnya, dengan tentu saja, menanyakan hal ini kepada bidan yang bersangkutan, katanya, silakan boleh dicoba. Bidan mengatakan: bawa saja ke dokter, kalau mau coba dipijit dulu boleh. Katanya lagi: kalau sudah dipijat anak saya mau nyusu, itu tandanya aman. Saya ikutin saran bidan. Saya manggil dulu paraji untuk mijit anak saya. Alhamdulillah, anak saya langsung mau nyusu. Saya pikir ini berhasil, sayangnya, anak saya terus merintih, perutnya jadi keras. Saya langsung berniat membawanya ke dokter. Tetapi, di tengah jalan, anak saya muntah, air susunya keluar dari mulut juga hidung. Saya tetap membawanya ke dokter, anak saya sudah tidak bergerak, bibirnya biru. Kata dokter, meninggalnya sudah dari tadi. Anak saya meninggal sekitar setengah tujuh pagi hari Jumat. Dokter yang menulis surat kematian anak saya menerakan sebab kematiannya adalah gagal napas.

Sumber berita : Oetep Sutiana (ayah).

3. Naufal Alestya Alfarizqi. Umur 4 Bulan. Yogyakarta.
Naufal saat sehat

Kronologis : Naufal menerima vaksin DPT 2 tgl 12 Desember 2017 malam. Setelah di vaksin tubuhnya lemas dan suhu tubuhya hanya sekitar 38 derajat. Saya beri parasetamol panasnya turun tapi si anak tetap lemas tubuhnya saya pikir biasa karena baru vaksin. Siang tgl 13 anak masih mau menyusu. Tapi setelah bangun anak saya mengeluarkan banyak keringat tidak seperti biasanya. Suhu tubuh hangat dan perutnya bunyi terus menerus setelah itu BAB. Sore hari masih bisa senyum tapi tetap lemas. Saya mandikan dan setelah itu anak tidur. Pukul 11 malam tgl 13 si anak terbangun saya pikir mau menyusu tapi tidak mau. Napasnya kencang seperti habis berlari. Suhu tubuhny sekitar 38 derajat. Saya beri parasetamol lagi panasnya turun. Dan mau menyusu sebentar. Tapi anak sudah tidak mau tidur. Pkl 02.00 tgl 14 dini hari anak tambah lemas. Dan napasnya tetap kencang seperti habis berlari. Setelah itu BAB lagi. Matanya hanya melotot memandang saya dan sesekali juling, bibirnya pucat. Sampai jam 03.00 pagi anak masih mau menyusu. Saya tidak pernah berfikir sedikitpun kalo hal trsebut ternyata pertanda kalo itu kejang karena badannya tidak kaku (kata dokter yang mengimunisasi). Dan sedikitpun saya dan suami tidak pernah memiliki fikiran kalo vaksin bs merenggut nyawa. Selama ini selalu digembor gemborkan aman. Jadi anak setelah vaksin panas atau lemas hanya dianggap biasa. Pkl 05.30. Saya bawa ke dokter yg memberi vaksin. Tapi langsung dirujuk ke Rumah Sakit dan tidak tertolong. Pihak rumah sakit mengatakan kalo naufal gagal nafas. Air susunya masuk ke paru paru. Karena katanya pas kejang disusui. Yang paling saya sayangkan kenapa selama ini tidak diinformasikan kalau habis vaksin bisa terjadi KIPI. Sehingga orang tua selalu menganggap biasa kalau anak demam dan lemas setelah imunisasi.

Sumber berita : Seliawati Rahardjo (Ibu).

4. Ade Risma. Umur 10 tahun. Kelas 4 SD. Kp. Elo, Sukatanah, Sukatani, Kab. Bekasi.

Kronologis : Sebelum di suntik sangat sehat. Alm. Risma datang sendiri ke posyandu yang tidak jauh dari rumahnya untuk menawarkan diri di vaksin, berhubung teman-temannya juga ikut disuntik. Alm. Risma anak yang taat pada jadwal vaksin. Setelah di suntik, demam tinggi, lemas lalu mengalami lumpuh, hingga tidak bisa berbicara. Hari Minggu , 17 Desember 2017 sempat di bawa ke puskesmas, tapi tidak dilayani dengan baik, disuruh menunggu dokter hari senin. Sebelum ke dokter, nyawa sudah tak tertolong, Tgl 17 Desember 2017 Risma menghembuskan napas terakhir. Pihak sekolah datang ke rumah ibu alm. Risma sehari setelah pemakaman. Sebelumnya jenazah akan diperiksa, namun tidak sempat karena keburu dimakamkan. Alm. Risma sendiri adalah anak yatim yang sangat disayang oleh tetangga-tetangganya, tinggal bersama ibunya, ayahnya sudah meninggal sejak alm. Risma masih bayi. Anak dari Neng Widhi (tetangga sekaligus tante angkat Risma) sendiri bareng vaksin di sekolah bersama dengan Risma, namun anak dari Neng Widhi hanya mengalami demam tinggi, sedangkan Risma selain demam, berlanjut sampai wafat. Kasus ini sedang diselidiki oleh pihak terkait. Camat Sukatani juga sudah menyoroti hal ini.

Sumber berita : Nhatasya (tante).

5. Anas Abdul Rahman. Umur 2 bulan, jalan 3 bulan. Grand Permata, Bekasi Timur.

Kronologis : Sebelum di vaksin difteri anak sehat, setelah vaksin ada demam lalu diberi obat, kemudian sembuh dan sehat kembali, bisa menyusu seperti biasa. Namun ada gejala pilek susah nafas kemudian meninggal dunia pada tanggal 20 Desember 2017, jam 4 pagi. Diagnosa dokter : Anas meninggal di perjalanan akibat gagal nafas dan bukan karena vaksinnya.

Sumber berita : Tetangga.

6. Hairunisa. Perempuan. 20-an tahun. Kuliah di Jakarta.

Kronologis : Suntik di Kampus Yarsi, Cempaka Putih. Tgl. 4 jan 2018 dapat vaksin pagi di kampus, kejang sebentar pingsan, cerita temannya. Dibawa ke klinik kampus. Disitu sadar, lalu dibawa oleh supirnya pulang ke rumah siang harinya.

Sumber berita : Pak Darsim (supir keluarga).

7. Dr. Lula Adilia SpOG. Wanita. 41 tahun. Bandung.

Satu keluarga dr. Lula disuntik di RS. Limijati dengan batch yang sama, namun yang memiliki keluhan hanya dr. Lula. 1 hari kemudian tidak enak badan, panas badan, dan sesak nafas lalu dirawat di ruang biasa di RS Melinda, tambah sesak. Dipindah ke RS HS cardiac arrest, di rjp, bisa membaik, sudah di ruangan malahan ada rencana pulang. Habis subuh, suaminya habis sholat menemukan istrinya apneu, di RJP langsung sama suaminya selama 1,5 jam. Sempat dirawat di ICU sampai pasang ventilator juga. Ada perbaikan, lalu dipindahkan ke ruang biasa. Ketika mau pulang, ngedrop lagi, sampai maksimal resusitasi akhirnya meregang nyawa 2 minggu setelah vaksin, tepatnya Sabtu, 6 Januari 2018 pukul 07.43 WIB. dr. Lula sebelumnya adalah orang yang sangat sehat, tidak pernah punya penyakit bawaan seumur hidupnya. Seluruh keluarga (diantaranya banyak dokter2 ternama) mengungkapkan bahwa kematian dr. Lula tidak ada hubungannya dengan vaksin. Dugaan sementara karena miokarditis. Investigasi sedang berlangsung.

Sumber berita : berbagai sumber di FB (saya tidak wawancara langsung ke keluarganya).

8. Arsy. Perempuan. 3 bulan. Pontianak, Kalimantan.

Arsy menerima vaksin pagi tgl. 3 Desember 2018. sepulang vaksin demam, tapi berhubung termometer tidak ada, jadi tak terukur. Gejalanya demam dan ada reaksi kejut, dan sering menangis, serta bengkak kemerahan di lokasi suntikan. Kalau lagi enak tenang Arsy diam tapi kalau ada gerakan sedikit atau suara batuk langsung tekejut, ketika lagi menyusu kalau bangun sebentar gerak sebentar langsung nangis. Pada riwayat vaksinasi sebelumnya (vaksin BCG) Arsy juga pernah demam sehabis vaksinasi, karena itu sempat urung tidak lanjut vaksin lagi namun karena desakan keluarga lalu akhirnya vaksin difteri. Akhirnya di opname di RS, esok sore harinya sudah bisa pulang dan sehat kembali.

Sumber berita : Dea Dominikus (ibu).

9. Tearsya Khariztiani. 11 tahun. Kelas 4 SDN Kedawung 1. Kampung Lampeyan, Desa Kedawung, Kecamatan Lemah Abang, Kabupaten Karawang.
Tearsya dan Ibu

Kronologi : Vaksin difteri hari Sabtu, 6 Januari 2018 di sekolah pagi harinya lalu malam harinya mulai merasa lemah bahkan sampai mengalami pendarahan (seperti menstruasi) dan nafas sesak seperti terecekik dan demam tinggi lalu dilarikan ke Klinik Wadas Medika, klinik angkat tangan lalu dirujuk ke RSUD Karawang pada Selasa (9 Januari 2018) lalu sang anak menghembuskan napas terakhirnya.
Keluarga sudah dikunjungi oleh pihak Dinkes dan Reskrim Polres Karawang, hasil investigasi masih berlangsung. Kata keluarga Icha (panggilan akrabnya) tidak pernah disuntik sebelumnya, belum jelas apakah punya riwayat penyakit sebelumnya atau tidak.
Dari sumber lain :
Ayah Tearysa, Sardi, mengatakan pada Sabtu (6/1/2018), putrinya mendapat imunisasi yang dilakukan petugas Puskesmas Lemahabang di sekolahnya, SDN Kedawung 1. Karena Tearysa mengalami demam tinggi, Sardi kemudian membawanya ke Puskesmas Lemahabang. Akan tetapi, kata dia, pihak Puskesmas Lemahabang mengaku tidak sanggup. Saat dia hendak membawa Tearysa ke Klinik Medika, petugas puskesmas menyarankan Tearysa dirujuk ke RSUD Karawang. "Pada Senin pagi saya membawa anak saya ke RSUD Karawang. Setelah mendapat perawatan selama 24 jam, nyawa anak saya tidak tertolong dan meninggal dunia pada Selasa (9/1/2018) siang," ungkap Sardi. Setelah mengetahui putrinya meninggal, kata dia, Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang kemudian memberikan santunan sebesar Rp 600.000. Baca juga: Begini Cara Iluni UI dan FKUI Melawan Hoaks tentang Difteri Kepala Bidang Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Karawang Sri Sugihartati mengatakan, saat Tearysa dibawa ke rumah sakit, waktu itu sudah panas 39 derajat, kesadarannya dan tensinya turun, serta turgor-nya tidak bagus. "Di situ sementara didiagnosis sebagai sepsis, diare akut, dan dehidrasi," jelasnya. Dia membantah panas dan diare yang diderita Tearysa karena efek samping vaksin difteri. Menurut Sri, panas tersebut bisa saja disebabkan oleh diare. "Jadi untuk saat ini kami tidak bisa memberikan diagnosis bahwa meninggalnya Tearysa karena vaksin difteri, sebab hari Minggunya sudah diare dan panas," kata dia. Meski demikian, kata Sri, semua laporan medis sudah dikirim ke Bandung untuk kemudian diteliti lebih lanjut. Terlebih lagi, Sri mengaku mendapat informasi bahwa Tearysa sebelumnya memakan seblak. " Vaksin dan seblak tidak ada hubungannya. Kalau seblak ada hubungannya dengan diare. Kalau vaksin yang diberikan tetes itu ada efek samping berak-berak. Jadi karena vaksin diberikan dengan cara suntik maka enggak ada efek samping," ungkapnya. Sementara itu, Kapolres Karawang AKBP Hendy Febrianto Kurniawan mengatakan, pihaknya melalui Polsek Lemahabang sudah menawarkan otopsi kepada keluarga Tearysa. Namun, pihak keluarga menolak jasad Tearysa diotopsi. "Untuk mengetahui penyebab kematian, seharusnya keluarga setuju diotopsi.Tetapi, pihak keluarga menolak dan menerima kematian Tearysa," kata Hendy.

Sumber berita : Moch Imron Zain, Endang Lestari (sahabat-sahabat dari Pak Sardi (ayah)), Noura (Ibu dari anak), Radar KarawangRegional KompasKlikbalikpapan.

10. 86 siswa di sekolah Sabilul Muhtadin, Desa Pakisrejo Kecamatan Rejotangan, Tulungagung, Jawa Timur.

Kronologis :

Hari Jumat (5 Januari 2018) diadakan vaksinasi Difteri bagi sekitar 150 siswa. 40 siswa diantaranya sakit. Selain 40 siswa MI, 46 siswa Raudlatul Athfal atau TK juga satu persatu jatuh sakit.
Jumlah siswa di yayasan pendidikan itu menurut keterangan sekolah berjumlah sekitar 700 an siswa, 150 diantaranya telah divaksin Difteri tanggal 5 Januari. Gelombang berikutnya rencana akan di lakukan vaksin lagi tanggal 16 Januari yang akan datang.
Gejala yang dirasakan siswa diantaranya mencret, diare, pusing dan panas hingga akhirnya harus dilarikan ke puskesmas.
Kepala Puskesmas Rejotangan, Suliasih mengaku telah menerima laporan kejadian itu. Namun, hingga kini dirinya belum dapat menyimpulkan apakah puluhan siswa yang sakit pasca vaksinasi tersebut dampak dari vaksin Difteri atau penyakit lain.
“Kalau dari gejalanya sepertinya bukan, namun kami masih akan terus melakukan investigasi untuk memastikan penyebab sakit pasca vaksinasi, petugas kami masih dilapangan untuk lakukan pendataan,” paparnya.
Pihak sekolah mengatakan bahwa kejadian ini terjadi akibat cuaca. Orangtua siswa banyak yang kecewa terhadap jawaban sekolah.
Komisioner bidang kesehatan KPAI Sitti Hikmawaty mengatakan pihaknya telah berkoordinasi dengan IDAI dan aparat yang menangani di lokasi bahwa tidak benar akibat vaksin. Hasil penelusuran dengan pihak Kemenkes, didapat informasi bahwa hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien menunjukkan positif salmonella typhi yang diduga dari makanan. Selama murid vaksin, mereka mendapatkan makanan yang sama dari pihak sekolah.

Sumber berita : jatimtimes, swamedium, antaranews,

11. Sekitar 90 siswi dan santriwati dari 3 sekolah di Kecamatan Kadur, Kabupaten Pamekasan, Minggu (11 Februari 2018) mengalami pusing dan sesak nafas setelah mendapatkan suntikan vaksin difteri. Tiga lembaga pendidikan itu adalah MTs Al Falah dan SMA Al Falah di Desa Sumber Gayam, kecamatan Kadur, Kabupaten Pamekasan, Madura, serta MTs Hidayatul Mubtabiin, Desa Pancoran Barat, Kecamatan Kadur, Pamekasan.

Seorang siswi digotong ke mobil ambulans untuk dipindah ke puskesmas lain karena Puskesmas Kadur tidak mampu menampung korban yang terus berjatuhan. Sumber gambar : detiknews.

Kronologis : Sehari sebelumnya (Sabtu pagi, 10 Februari 2018), para santriwati itu menjalani imunisasi difteri yang dilakukan petugas puskesmas Kadur. Imunisasi itu digelar di sekolah sekitar pukul 08.30 WIB. Namun keluhan mual, sesak nafas dan pusing baru dirasakan malamnya. Beberapa bahkan dirawat di Puskesmas Kadur.
Namun karena jumlah siswi mengalami keluhan serupa membludak, sementara Puskemas Kadur tidak mampu menampung mereka yang terus berdatangan, petugas terpaksa membawa korban ke Puskesmas Lararangan, Puskesmas Talang, Puskesmas Bulai Galis dan sebagian dirujuk ke RSUD Slamet Martodirjo, Pamekasan.
Sampai siang, sekitar pukul 13.30, jumlah korban tertus berdatangan.
Sebagian dari mereka bahkan sampai dibawa ke musala yang terletak di halaman rumah Moh Syaiful, anggota DPRD Pamekasan dan ditidurkan di lantai dengan beralaskan karpet.
Sedang untuk penyanggah botol infus, menggunakan tali rafia yang dibentangkan di dalam musalla. Begitu juga penanganan korban di Puskesmas Larangan. Lantaran ruang rawat dan tempat tidur yang tidak memadai itu, maka terpaksa beberapa korban ditidurkan di lantai di sejumlah ruangan dengan hanya beralaskan tikar.
Suasana kegaduhan orang tua dan keluarga yang datang ke Puskesmas Kadur dan Puskesmas Larangan tidak terhindarkan. Beberapa ibu terlihat histeris dan hilir mudik, sembari memanggil-manggil perawat supaya segera memberi penanganan kepada anak-anaknya.
Namun karena jumlah petugas di puskesmas terbatas, sementara korban terus bertambah, maka kondisi ini membuat panik orang tua.
Tidak hanya petugas medis yang dibuat kebingungan dengan membludaknya korban ini, sejumlah aparat TNI berpakaian dinas dan preman, termasuk aparat Polres Pamekasan ikut membantu menggotong tubuh korban dari ambulan menuju ruangan puskesmas.
Begitu juga Camat Kadur, Amirussaleh, yang meninjau ke Puskesmas Kadur, terlihat tegang. Beberapa kali dia menemui keluarga korban menanyakan kondisi anaknya. Kemudian koordinasi dengan aparat kepolisian dan koramil. Sebanyak lima unit mobil ambulan dikerahkan untuk mengangkut korban, untuk dirawat ke beberapa puskesmas dan rumah sakit. Ketika ambulan datang ke puskesmas dengan suara sirene yang meraung-raung menurunkan korban dan sebaliknya, sejumlah warga berebut mendekat untuk menggotong.
Kepala SMA Al Falah, Ponpes Sumber Gayam, Mohammad Jazuli ikut mengantar siswanya ke Puskesmas Kadur.
Namun esok harinya, Minggu (11/2/2018), sebagian dari mereka pulang, sebagian sudah dipulangkan. Sehingga siswi lain yang tidak apa-apa tetap masuk sekolah seperti biasa. Hanya saja beberapa siswa kembali mengalami hal serupa yang disusul siswa lainnya.
“Sebetulnya jadwal untuk pemberian vaksin difteri ini akan dilakukan Senin (12/2/2018), besok. Tapi kenapa tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada kami, jadwalnya dimajukan pada Sabtu kemarin. Dan sebagian besar dari siswi yang mendapat suntikan ini belum sarapan,” ungkap Jazuli.

Sakit massal yang semula hanya terjadi di Pondok Pesantren Al-Falah, Sumber Gayam, pada Minggu sore meluas dan terjadi hal yang sama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin, Dusun Pancoran.
"Tapi di Pesantren Hidayatul Mubtadiin lebih sedikit, hanya lima orang saja," ujar Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Pamekasan Ismail Bey, Minggu (11/2/2018) malam.
Ismail Bey menjelaskan, kasus sakit massal pasca imunisasi difteri di Pamekasan itu merupakan kali pertama terjadi. "Sebelumnya, tidak pernah terjadi terjadi seperti ini," ujar Ismail.
Kasus santri sakit massal setelah mengikuti Outbreak Response Immunization (ORI) Difteri oleh petugas medis dari Puskesmas Kadur tersebut, kini membuat para orangtua murid resah.
Sebagian orangtua santri meminta agar pemerintah provinsi dan pusat hendaknya turun tangan, menyelidiki vaksin yang disuntikkan kepada santri di Pesantren Al-Falah itu.
"Jadi, ini murni faktor psikologis saja. Ada satu santri yang pingsan, kemudian santri lainnya juga ikutan pingsan," ucap Bey. 
Pada Minggu sore, Sekretaris Dinkes Sampang Ali Maksum menyatakan, jumlah santri yang mengalami sakit massal sebanyak 46 orang, namun hingga malam, meningkat menjadi 80 orang, termasuk lima santri dari Pesantren Hidayatul Mubtadiin.
Para santri yang mengalami sakit massal itu umumnya merupakan santri putri dengan gejala yang sama, yakni demam tinggi, mual dan muntah-muntah, bahkan ada diantara mereka yang sempat pingsan. Demikian dilansir Antara. (red)
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes RI, Oscar Primadi, menegaskan sakit yang diderita para santri madrasah tsanawiyah (MTs) dan madrasah aliyah (MA) di ponpes itu adalah reaksi dari ketakutan mereka. Kondisi mereka yang belum sarapan juga diduga mempengaruhi.
"Kejadian yang terjadi adalah reaksi ketakutan dari para santriwati setelah divaksinasi dan kondisi santriwati yang belum makan pagi maupun setelah diimunisasi. Tidak ada hubungannya dengan vaksin," ujar Oscar dalam keterangan tertulisnya, Kamis (15/2). "Berdasarkan pemantauan Dinkes Provinsi Jawa Timur, kondisi vaksin tidak ada yang kedaluwarsa. Dan suhu lemari es sesuai standar yaitu 2 sampai 8 derajat celcius," ucap Oscar.

Sumber berita : tribunnewskumparan .

12. Siswa/i Labschool Kebayoran Jl. KH. Ahmad Dahlan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Diantaranya, Disya dan Kamal (15 tahun).


Siswa yang pusing dan sesak usai suntik difteri (gambar dari detik.com) 

Kronologis : Suntik vaksin difteri dilakukan kepada siswa-siswi Labschool Kebayoran. Pantauan detikcom di Labschool Kebayoran, , Kamis (21 Desember 2017), beberapa siswa yang telah suntik difteri kembali ke dalam ruang kelas tempat dilakukannya penyuntikan. Namun, usai penyuntikan, beberapa siswa mengeluhkan pusing dan sesak nafas. Dokter langsung mengecek tensi darah dan mengukur kadar oksigen dalam tubuh Disya. Setelah diperiksa, dokter mengatakan Disya dalam kondisi baik.
dr Anastasia dari RS Brawijaya mengatakan terdapat efek samping dari suntik vaksin. Di antaranya adalah pegal, pusing, hingga sesak nafas. Ada beberapa reaksi alergi yang perlu diperhatikan salah satunya adalah gatal-gatal, muncul kemerahan, ada rasa sesak nafas, ada rasa pusing mau pingsan sampai keringat dingin.

Sumber berita : detiknews

13. Maulana. 6 tahun. TK B.

Habis vaksin tanggal 13 Februari 2018, jam 11, 10 menit kemudian lemes, tetapi tidak langsung pulang karena menunggui adiknya yang masih bermain. Lalu Maulana dibonceng budenya bersama dengan ibu dan adiknya naik motor. Maulana duduk tepat dibelakang bude namun di perjalanan semakin lemas mengeluh mau muntah dan pusing. Lalu sang ibu memutuskan untuk kembali ke sekolah, untungnya masih ada nakesnya. Maulana minta buang air besar di sekolah. Lalu dikasih teh hangat dan roti. Bibir mulai merah. Tapi kuku tangan kaki masih putih, dan dingin. Suhu naik ke 37.6. Lalu ditunggu sampe jam 11.30 tidak ada perbaikan. Lalu diajak ke Puskesmas naik ambulans, diobservasi disana sampe jam 13.00 berikut denyut nadi dan tekanan darah. Suhu tubuh naik menjadi 38.6. Dokter yang menangani terdengar konsul dengan 'atasan'nya (Dinkes Kota Malang atau dokter spesialis, agak lupa) melalui telepon. Jam 13.00 diputuskan diinfus, dirujuk ke RS, sang ibu minta untuk dirujuk ke RS Hermina, sebelumnya ditawari ke RSUD karena yang paham pihak RSUD tetapi ibu tidak bersedia. Lalu ke sana naik ambulans, diantar 2 petugas puskesmas. Biaya kebetulan ada dari BPJS. 
Sebagai tambahan informasi, Sebelumnya, Maulana juga telah mengalami KIPI pasca vaksin MR, gejala yang dialami berupa otitis media dan bolak balik ke dokter, namun tidak ada satupun yang berkata vaksinlah penyebabnya. Di kejadian KIPI kali ini, awal-awal pun dibilang dokternya karena mungkin anaknya kecapean bermain atau lapar namun semua disangkal oleh ibu. Sebelum vaksin Maulana dalam kondisi yang sehat, tidak sedang batuk dan pilek. Akhirnya dokter mau mengakui bahwa sang anak alergi dari vaksinnya sehingga dokter memutuskan untuk menulis diagnosa "alergi vaksin" di kartu vaksinnya supaya Maulana tidak divaksin kembali untuk selanjutnya.

Sumber berita : Rakhmawati Dewi (Ibu di Wa dan FB).

14. Abizar (1,8) dan Ahmad Iyas (1,8), asal Dusun Karumba, Desa Nupabomba, Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala.

Kronologis : Menurut informasi dari ayah Abizar di media, Albizar dan Ahmad Ilyas adalah saudara sepupu satu rumah disuntik vaksin pada tanggal 10 Januari 2018.
Abeng menjelaskan, pada malam hari usai disuntik vaksin, Abizar mengalami deman tinggi dan sebagian badan Abizar juga mengalami lebam, sementara Iyas mengalami kejang dan kaku.
Namun, kata dia, informasi yang disampaikan petugas kesehatan, kalau anak mengalami sakit, maka itu merupakan reaksi dari obat dan bisa berkonsultasi dengan Puskesmas terdekat.
"Setelah itu, kami mengunjungi Puskesmas Tawaili dan jawaban dari petugas juga sama, yaitu gejala obat," ungkapnya.
Menurut Abeng, setiap hari, kondisi tubuh dari Abizar semakin lemah, sampai tidak bisa berjalan. Demikian pula saudaranya Iyas, sehingga dirinya bersama keluarga, langsung membawa ke rumah sakit.
"Saya bawa Abizar ke RS Anutapura dan Iyas di RS Madani," kata pria denga profesi supir itu.
Abizar merupakan anak kedua dari pasangan Abeng dan Yustina.
Abeng menuturkan, saat itu sang istri yang membawa Abizar untuk dilakukan imunisasi, dan berdasarkan pengakuan istri, kalau yang menyuntik bukanlah dokter tetapi petugas kesehatan yang juga tinggal di desa setempat.
Saat melakukan penyuntikan, petugas itu kata Abeng hanya meminta arahan dengan pihak Puskesmas melalui sambungan telepon seluler.
"Kalau umur sekian pak, pakai obat apa," kata Abeng yang mengutip perkataan istrinya.
Abeng sangat menyayangkan kejadian itu, karena yang diketahuinya, bahwa imunisasi selesai saat anak berumur sembilan bulan. 
"Ini ada lagi suntikan yang namanya Boster atau apalah bentuknya itu, kami hanya mengikuti saja," imbuhnya.
Lebih parahnya lagi kata Abeng, sejak kejadian itu hingga saat ini, belum ada konfirmasi atau penjelasan atau pun kunjungan dari Dinas Kesehatan, atas kejadian yang menimpa anaknya itu.
"Kami masuk di rumah sakit sejak tanggal 6 Februari 2018 lalu, hanya ada tiga orang datang, katanya dari Ombudsman,: ungkap Abeng.
Abeng berharap adanyanya tanggungjawab dari Dinas Kesehatan setempat, karena kejadian ini muncul setelah dilakukan suntik vaksin.
"Alhamdulillah pelayanan RS Anutapura sudah baik, sudah dua kali difoto rontgen, walaupun kami hanya menggunakan jaminan surat keterangan tidak mampu (SKTM)," tutup Abeng.
Sementara Kepala Dinas Kesehatan Donggala, Muzakir Ladoali yang dikonfirmasi dari Palu mengatakan pihaknya belum mendapatkan informasi tentang kasus tersebut.
"Saya belum tahu kasusnya, nanti saya konfirmasi dulu bidang terkait itu," tutup Muzakir.

Sumber berita : Sulteng Antaranews.

15. M Lutfi Akmal Al Azzam. 1 tahun. Banyuwangi, Jawa Timur.

Kronologis : Hari Selasa 13 Februari 2018, Lutfi diikutsertakan imunisasi gratis di posyandu desa oleh sang Ibu. Ibu mengimunisasikan anaknya dikarenakan banyak orang di desa yang berkata bahwa sudah ada yang kena wabah difteri dan tidak ada obatnya dan juga kondisi Lutfi saat itu sehat aktif dan tidak batuk pilek. Lutfi diimunisasi jam 10 pagi, pulangnya sang ibu langsung memberikan paracetamol kepada Lutfi, kemudian sang anak tertidur. Sore harinya, Lutfi mulai demam dan diminumkan paracetamol untuk kedua kalinya namun demam tak kunjung turun. Lalu sore itu (magrib) sang ibu membawa Lutfi ke bidan dan dari bidan dikasi obat penurun panas tetapi yang sudah ditumbuk halus. Sepulangnya ke rumah sang ibu meminumkan obat suhu demam kemudian turun namun mulai malam sampai dengan pagi harinya demam berlangsung terus menerus tapi setelah minum obat suhu demam kembali turun, begitu terus. Hari Kamis subuh, Lutfi demam disertai kejang hingga 2 kali. Dikarenakan khawatir, sang ibu membawanya ke dokter spesialis anak. Kata dokter, ini harus dirujuk ke RS. Sang ibu sedih luar biasa melihat anak terbaring lemas di RS dengan demam terus menerus disertai radang tenggorokan karena 3 hari 2 malam menangis terus menerus. Sang ibu tidak melaporkan kejadian tersebut kepada puskesmas tempat menyuntik. DI RS pun Ibu menceritakan anaknya sakit setelah divaksin, namun dokter tidak menjawab apakah itu KIPI atau tidak. Di RS tempat Lutfi dirawat, ada 3 balita lain yang mengalami hal serupa, kejang setelah vaksin difteri, diantaranya tidak demam langsung kejang, yang lain didahului demam lalu kejang.

Sumber berita : Fiqoh (Ibu di FB).

16. Azkha. 2,5 tahun. Banyuwangi, Jawa Timur.
Azkha ketika sehat

Kronologi : Sehabis vaksin tanggal 10 Februari 2018 di posyandu pagi hari, malam harinya Azkha demam tinggi, muntah-muntah, dan diare. Azkha tidak mau makan selama seminggu dan tanggal 16 Februari 2018 Azkha dilarikan ke RS Blambangan namun akhirnya meninggal dunia. Menurut informasi dari sang ibu, Azkha sebelum vaksin sangat sehat akan tetapi divaksin ketika dalam keadaan belum makan sama sekali tetapi ibu menyayangkan bidan tidak cek kondisi anak terlebih dahulu sebelum divaksin. Sayangnya sang ibu tidak melaporkan kasus ini ke nakes yang menyuntik. Akan tetapi selama berobat disampaikan bahwa anak habis vaksin namun tenaga kesehatan tidak ada yang mengakui ada kesalahan dalam kasus KIPI yang menimpa anaknya. Namun dikarenakan kasus Azkha tercium oleh wartawan dan diangkat ke media massa, akhirnya tanggal 22 Februari 2018, pihak Dinkes termasuk bidan yang menyuntik datang mengunjungi keluarga korban untuk meminta maaf dan juga memberi santunan sekitar 1 juta rupiah.
Azkha ketika sakit

Sumber berita : Mhimi Athalla Azkha (ibu Azkha, FB). Nama asli : Wiwik Suciati.

17. Aleesha Queena Aurora. Lahir tanggal 17 Agustus 2017. Umur 5 bulan. Serang, Banten.
Aleesha saat sehat
Kronologis : Ibu punya 3 anak, yang 2 masih balita (berumur 2 tahun dan 5 bulan). Tanggal 16 Januari 2018 di daerah tempat tinggal ada pemberian vaksin ulang atau yang ke dua kali untuk anak ke-3 ada jadwal imunisasi DPT 3. Sebelum disuntik, kedua balita sehat tidak ada keluhan apa pun.
Setelah divaksin kedua balita demam. Badan mereka lemas dan itu terjadi sampai berhari-hari. Bencana datang setelah beberapa hari tepatnya tanggal 21 Januari 2018, sang anak rewel, demam 39 C, menangis terus sampai berjam-jam dikasih asi tidak mau, digendong nangis ditidurin
nangis. Sang ibu panik sampai ibu membuat status di FB bagimana cara mengatasi anak yang rewel. Ada teman ibu menyarankan untuk dibalur bawang merah. Setelah dibalur bawang perut putrinya akhirnya anak bisa tidur dan mau menyusu walau tidak lama. Selang beberapa waktu anak mulai diare sampai berkali-kali. Ada yang bilang itu wajar pada bayi. Akhirnya ibu membawa putrinya berobat. Obat langsung diminumkan oleh sang ibu namun tidak berpengaruh. Anak tetap diare. Esoknya (tanggal 22 Januari 2018) anak dibawa ke puskesmas lalu oleh dokter dirujuk ke RS. Sampai di RS, anak langsung diinfus, tidak diberi obat apa pun. Badannya demam, perutnya kembung, dan diare tidak berhenti. 
Aleesha saat koma
Pagi hari jam 5 pagi, anak dipindah ke ruang rawat. Saat masih di UGD sebelumnya anak masih dalam keadaan sadar, masih menangis dan menyusu, bahkan menyusunya lebih kuat dari biasanya. Namun saat masuk ruang rawat di situ tubuh anak sudah lemah, sudah tidak menangis, hanya nafasnya saja yg tersengal-sengal. Selang 1 jam di ruang rawat, anak mengalami kejang, ibu panik dan berpikir itu bukan kejang anak-anak karena sebelumnya tidak punya riwayat kejang. Dokter bilang paru-parunya penuh riak, tapi selama hidupnya sang anak tidak pernah batuk. Sakit pun baru 1 x selama hidup nya itu pun panas dikasih paracetamol sembuh. Jam 7.15 anak kejang untuk yang pertama kalinya, selama 60 detik. Kejang yang kedua jam 08.30 tidak lama seperti yang pertama. Kejang ke-3 jam 9.55 ini lebih lama dari yang pertama. Sudah masuk semua selang di hidung dan mulutnya. Tepat pukul 10.20 tgl 23 Januari Aleesha pergi meninggalkan sang ibu untuk selama-lamanya dengan tubuh penuh memar warna biru. Ayah Aleesha sempat menduga apa ini gara-gara vaksin. Tetapi sang ibu berusaha meyakinkan diri bahwa semua ini ketentuan Allah dan tidak melakukan pelaporan ke petugas yang menyuntik.

Sumber berita : Elly (ibu di fb dan wa)

18. Ratusan santri pondok pesantren Madinatul Ulum, Jenggawah, Jember, Jawa Timur mendadak pingsan massal.

Kronologis : Tanggal 27 Februari 2018, diadakan vaksinasi massal difteri kepada ratusan santri di pondok pesantren Madinatul Ulum oleh Puskesmas Jenggawah. Setelah vaksin, mendadak ratusan santri pingsan masal. Sesudah siuman, bukannya sehat malah para santri menjalani kejadian lanjutan berupa buang-buang air besar, mual, pusing dan panas tinggi. Menyaksikan ratusan santri kesakitan, pengurus pondok pesantren Madinatul Ulum, Karim, menghubungi orangtua para santri untuk lekas datang.
“Waktu Maghrib barusan langsung sudah ada yang panas, kejang-kejang, bergantian itu terus hingga malam ini malah barusan barusan sudah ada 2 santri lagi menjadi korban. Yang divaksin itu, murid Tsanawiyah dan Aliyah”, kata Karim.
Sementara Siti Maryam, salah 1 orangtua santri menyampaikan bahwa keadaan anaknya tambah terus melemah sesudah disuntik vaksin difteri. Pengurus pondok pesantren juga membawa lekas anaknya ke Puskesmas Telumbangan untuk mendapatkan perawatan medis.
“Aku dibel sama pak Ustadz pengurus pondok pesantren Madinatul Ulum yang memberitahukan anak ibu sakit, langsung aku berangkat. Begitu hingga disini anak aku mau semaput, tidak dapat telan panas gini”, ujar Siti Maryam dengan nada khawatir.
Polisi waktu menyelidiki dengan melihat keadaan para santri Ponpes Madinatul Ulum.
Buat santri-santri yang kondisinya tak parah, dirawat oleh tim medis Puskesmas Jenggawah di salah 1 ruangan yang sudah ada pondok pesantren Madinatul Ulum.
Saat dikonfirmasi perihal kejadian pasca penyuntikan massal vaksin difteri, Kepala Puskesmas Jenggawah, Dokter Nuri, menolak untuk menjelaskannya kepada jurnalis antv newsplus. Peristiwa itu, sekarang ditangani oleh petugas Polsek Jenggawah dengan meminta keterangan dari beberapa saksi mata.

Berikut rekamannya di video Youtube :


Sumber berita : terbaru.

19. Nazwa Fahira Andrean. 10 tahun. Kelas 4 SDN 01 Rawa Buntu, Serpong.

Kronologis : Usai menjalani suntik difteri awal Februari 2018, Nazwa tidak mengalami efek samping apapun. Kejadian bermula pada Jumat 23 Februari 2018 sekira pukul 07.00 WIB. Seperti biasa, Nazwa berangkat sekolah ke SDN 01 Rawa Buntu. Kebetulan, di sekolahnya tengah digelar lomba tari. Mengetahui Nazwa memiliki riwayat sakit Asma, beberapa guru lantas menanyakan kesanggupan Nazwa untuk mengikuti lomba tersebut. Walau akhirnya diputuskan, jika Nazwa memilih tak bergabung bersama teman-temanya dalam kegiatan itu karena kondisi fisiknya terasa lemah. Sekira pukul 13. 00 WIB, Nazwa pulang sekolah dan beristirahat di rumah. Dia kembali melanjutkan kegiatan pada sore hari dengan pergi mengaji sekira pukul 17.00 WIB, di TPA yang tidak jauh dari SDN 01 Rawa Buntu. Seusai mengaji itulah, Nazwa mengeluh sesak nafas semakin menjadi, bahkan disertai batuk dan pilek. Karena khawatir dengan kondisi anaknya, lalu sekira pukul 18.00 WIB pihak keluarga membawa korban ke klinik Alhakim, sayangnya tak ada dokter ahli disana. Kemudian orangtua memindahkan Nazwa ke Puskesmas Rawa Buntu. namun tak lama kemudian, pasien menjerit sakit dan wajahnya membiru serta pupil matanya membesar. “Dikira kesurupan, lalu dibawa ke klinik Al-Hakim. Karena tidak ada dokter, dibawa ke Puskesmas Rawa Buntu pukul 18.20 WIB,” ungkap ayah Nazwa, Ririn kemarin.
Sementara itu, Kepala Puskesmas Rawabuntu, Hartono mengatakan, pasien datang sekitar 18.20 WIB dalam keadaan pucat dan nadi tidak teraba, tubuh juga sudah dingin. Kemudian dibantu dengan bantuan hidup dasar atau bantuan pernapasan dan dinyatakan meninggal pukul 19.05 WIB tanggal 24 Februari 2018. “Menurut keterangan keluarga, penyakit asma Almarhumah sering kambuh,” imbuhnya.
Polres Tangsel sendiri mengaku telah melakukan penyelidikan terhadap meninggalnya Nazwa usai suntik difteri. “Kami sudah melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi yakni Guru di SDN 01 Rawabuntu” ujar Kasat Reskrim Polres Tangsel AKP Alexander Yurikho.
Alexander menambahkan, Nazwa mempunyai riwayat penyakit Asma dan Sinus. Menurutnya, informasi yang menyebut Naswa meninggal karena suntik Difteri tidak akurat. “Menurut keluarga korban, pasien awalnya mengeluh sakit karena asma dan telah diuap dengan nebulizer di rumah, Jadi belum pasti karena suntik difteri,” pungkasnya.

Sumber berita : bisnisjakarta, merdeka, okezone 

20. Muhammad Hasby Jalu Palestin, 2,5 tahun asal Dusun Cibenda RT 11/03 Desa Makmurjaya, Kecamatan Jayakerta.

Kronologis : Berniat ingin terhindar dari virus difteri, namun berselang sehari setelah divaksin malah mengalami kelumpuhan. Anak kelima dari pasangan Edi (42) dan Masni (35), pada Kamis (15/2) lalu, mengikuti imunisasi difteri di Posyandu Durian IV yang dilaksanakan Puskesmas Jayakerta. Namun balita yang lahir bertepatan dengan meletusnya perang Palestina-Israel tersebut keesokan harinya mengalami demam tinggi, dan terjadi perubahan pada fisiknya yang menyebabkan tidak dapat berdiri pada Jumat (16/2) malam.
Masni mengatakan, sebelum disuntik difteri anaknya dalam kondisi sehat dan lincah seperti balita pada umumnya. Namun setelah diimunisasi, kondisi anaknya sungguh mengkhawatirkan dan diduga mengalami kelumpuhan. "Sebelumnya anak saya sehat, namun setelah disuntik difteri di posyandu sekitar 09.00, reaksinya terasa ketika pukul 12.00. Kondisinya panas dan lemas tidak bisa berjalan seperti biasa," ujar Masni kepada Radar Karawang di kediamannya, Selasa (27/2).
Ia melanjutkan, seminggu sebelum diimunisasi, anaknya itu mengalami batuk dan pilek. "Waktu itu kami kasih obat parasetamol," tuturnya.
Karena khawatir melihat kondisi anaknya, Edi membawa anaknya ke Rumah Sakit (RS) Proklamasi Rengasdengklok, Rabu (21/2) sore, sekitar pukul 17.00. Namun tak banyak perubahan, hingga saat ini balita tersebut tidak bisa menggerakan kaki dan tangannya. Bahkan hampir tidak bisa menopang kepalanya sendiri karena lemas pada bagian leher. "Karena demamnya semakin tinggi, saya bawa ke RS Proklamasi. Mau dibawa ke puskesmas sudah tutup. Dan pihak rumah sakit menyarankan untuk dirujuk ke RSUD Karawang atau RS Hasan Sadikin Bandung, tapi kan perlu biaya banyak. Sedangkan kondisi ekonomi kami lemah, karena seminggu sebelumnya, kakaknya juga baru pulang dari rumah sakit," keluhnya.
Edi berharap anaknya bisa sembuh seperti sedia kala. Karena dia tidak tega melihat penderitaan yang dialami Hasby yang tidak bisa bermain seperti biasanya. "Saya tidak tega, sepanjang hari dan malam anak kami nangis terus. Tak tahu rasa sakit apa yang dirasakannya," harapnya.
Sementara itu, Case Manager RS Proklamasi Rengasdengklok Nurdiana membenarkan menerima pasien balita bernama Muhamad Hasby dengan keluhan mengalami kelumpuhan, Rabu (21/2). Dia juga mengatakan jika keluarga bayi malang itu memberi keterangan kelumpuhan terjadi setelah disuntik difteri. "Memang dari keluarga mengatakan penyebab penyakitnya setelah disuntik difteri, tetapi kami belum bisa memastikan penyebab sebenarnya. Karena diperlukan pemeriksaan lebih lanjut," ungkapnya.
Selain itu, keterbatasan alat yang dimiliki RS Proklamasi, kata Nurdiana, pihaknya menyarankan keluarga Hasby membawanya ke RSUD Karawang atau RS Hasan Sadikin Bandung. "Kami rujuk namun keluarga memilih pulang atas permintaan sendiri," ungkapnya.
Hingga berita ini ditulis, pihak Puskesmas Jayakerta belum memberikan keterangan resmi. Pasalnya saat berusaha dikonfirmasi, petugas yang menangani imunisasi balita tersebut tidak berada di tempat, bahkan telepon genggamnya pun tidak aktif saat dihubungi. "Yang menanganinya ini kan mantri Ahmadi, sekarang gak ada, teleponnya juga gak aktif," ujar Bidan Koordinator Kesehatan Ibu dan Anak Leni Predica.
Saat ini kejadian tersebut ditangani Polsek Rengasdengklok. Ditemui di kediaman keluarga Hasby, terlihat Kapolsek Rengasdengklok Kompol Suparman beserta jajarannya melihat kondisi balita yang diduga menjadi korban imunisasi difteri. 





KARAWANG, KOMPAS.com - Muhamad Hasby (2,6) diduga mengalami lumpuh layu setelah divaksin difteri pada 15 Februari 2018 lalu. Setelah diperiksa lebih lanjut, dokter menduga Hasby terjangkit virus DBS. Hasby, anak kelima dari pasangan Edi dan Masni, warga Dusun Cibenda, RT 011 RW 003, Desa Makmurjaya, Kecamatan Jayakerta, itu sebelum divaksin masih sehat. "Sebelumnya sehat walafiat," kata Edi. Selang sehari setelah divaksin di Posyandu Durian VI, Desa Makmurjaya, Hasby mengalami panas. Selama tiga hari, Hasby juga mengalami demam dan lemas. "Ia tidak bisa berjalan seperti biasanya," kata Edi. Hasby kemudian dibawa ke Rumah Sakit (RS) Proklamasi. Pihak rumah sakit kemudian menganjurkan Hasby dirujuk ke RSUD Karawang atau RSHS Bandung. Namun pihak keluarga membawa pulang Hasby karena keterbatasan biaya. "Mungkin karena pertimbangan biaya," kata Camat Jayakerta, Budiman, ditemui di RSUD Karawang, Kamis (1/3/2018). Baca juga : Ada Enam Kasus Difteri, Dinkes Banda Aceh Berikan Vaksin kepada Siswa Awalnya, kata Budiman, pihaknya membujuk orangtua Hasby agar balita tersebut dirujuk ke RSUD Karawang. Meskipun awalnya menolak, akhirnya orangtua Hasby bersedia. Dokter Spesialis Anak RSUD Karawang, Didi Sukandi mengatakan, setelah diperiksa, lumpuh layu yang diderita Hasby tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Pihaknya menduga kuat Hasby terjangkit Guillain Barre Syndrome (GBS). Penyakit langka tersebut menjangkiti satu dari 40.000 orang setiap tahun. Didi menyebut, pengobatan GBS terbilang sulit, yakni harus dilakukan lima kali berturut-turut. Apalagi ketersedian obat di RSUD Karawang. Karena persediaan obat gamaras dan immunoglobulin terbatas, Hasby baru diberi obat tersebut satu kali. Harga obat tersebut cukup mahal, sekitar Rp 3,5 juta per botol "Kepalanya sudah bisa geleng-geleng, tetapi tungkal dan lengan masih lemas," terangnya. Oleh karenanya, ia menyarankan Hasby segera dirujuk ke RSHS Bandung untuk penanganan lebih lanjut. "Jika pengobatan tidak tuntas, dikhawatirkan virus tersebut menyerang saraf pernafasan dada," katanya. Baca juga : Dinas Kesehatan Jatim Bantah Santri Keracunan Vaksin Difteri Bupati Karawang Cellica Nurrchadiana meminta masyarakat bijak menyikapi dugaan Hasby mengalami lumpuh layu setelah divaksin difteri. Ia khawatir masyarakat menjadi resah. Sebab, setelah diperiksa, Hasby menderita GBS. Cellica bahkan mengaku siap membantu biaya pengobatan Hasby beserta biaya keluarga yang menunggui. "Keluarga tidak perlu khawatir," kata dia. Bahkan, pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan Tahun Anggaran (TA) 2018, pihaknya akan menganggarkan sekitar Rp 300 juta untuk pembuatan rumah singgah di sekitar RSHS Bandung.
Sumber berita : Radar Karawang, kompas

21. Alhaz Celsia Rua. 7 tahun. Kelas 1 SDN 2 Desa Tawun, Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi.

Kronologis : tanggal 27 Februari 2018, Alhaz mendapatkan vaksin difteri di sekolahnya, lalu langsung mengeluh pusing dan mual serta demam tinggi yang akhirnya dibawa pulang. Pagi harinya baru dibawa ke Puskesmas Kasreman. Dan disuruh dibawa ke Rumah Sakit Widodo. Hingga akhirnya meninggal.
“Anak saya tidak punya riwayat sakit. Sebelum berangkat sekolah juga makan banyak, setelah diimunisasi malah sakit dan kemudian meninggal,” ungkapnya sembari meneteskan air mata.
Kepala SDN 2 Tawun saat dikonfirmasi membenarkan, bahwa salah satu siswinya diduga meninggal pasca disuntik vaksin difteri. “Setahu kami awalnya sehat. Pihak sekolah tahu kalau korban meninggal dari orang tuannya,” tuturnya.
Sementara, Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Ngawi Yudhono yang saat itu mendatangi rumah duka tak mau disalahkan. Dia berkilah meninggalnya Alhaz Celsia Rua diduga akibat terserang radang otak. “Banyak anak yang divaksin juga biasa saja,” kilah Plt Kadinkes Ngawi Yudhono.
Hingga jenazah dimakamkan, belum ada keterangan resmi apakah kasus tersebut akan diusut secara hukum atau tidak. Kendati di beberapa daerah sudah banyak balita/anak diduga meninggal dunia pasca divaksin difteri, seperti dilansir sejumlah media.

Sumber berita : koranmemo, faktualnews.

22. Arga. 3 bulan. Pati.

Kronologis : Awalnya anak sehat dan ceria tanpa ada tanda-tanda sakit seperti lesu atau lemas. Hari Senin pagi tanggal 12 Februari 2017 mendapatkan imunisasi, siang mulai demam tapi dikasih obat sembuh. Dia demam 2 hari tetapi setelah diminumi obat sembuh. Kamis, dia mulai batuk ringan. Jumat fajar batuknya disertai sesak dan tidak mau menyusu. Ibu membawa ke rumah sakit didiagnosa radang paru dengan kondisi yang lumayan parah padahal sebelumnya tidak pernah batuk-batuk parah.
Setengah hari di ruang perawatan dirujuk ke ICU dan dirawat selama 14 hari tanpa ada perbaikan dan akhirnya tidak tertolong.

Sumber berita : Septi (ibu) melalui mbak Fitri Thinker Parents.

23. Moreno Bilqist Althof Khanayanto. 10 tahun. Lahir 24 Maret 2008. Kelas 4 SD Al-Hikmah SDMT Ponorogo.

Kronologis : Anak ikut imunisasi masal di sekolah bulan Oktober 2017. Naasnya, anak divaksin diam2 oleh pihak sekolah tanpa persetujuan ibu. Dari lahir ibu tidak pernah vaksin anak2nya termasuk Moreno. Tidak punya riwayat penyakit tertentu sebelumnya dan sangat sehat sebelum divaksin. 3 hari setelah divaksin anak mimisan sedikit, namun sejak itu sering mimisan lama2 tidak berhenti-henti. Dibawa ke RS, lalu dokter bilang bahwa ini anak tidak kuat kena imunisasi dan kena saraf tepinya...sudah terapi sampai 9x drop terus hingga dirujuk ke RS Malang. Namun, dalam perjalanan ananda meninggal dunia tanggal 8 Maret 2018. Diagnosa dari dokternya ananda kemungkinan sudah punya bibit ITP dari lahir dan sel ITP atau Idiopathic thrombocytopenic purpura bangun dikarenakan vaksin MR. Pihak sekolah memberikan komoensasi bed rest bagi sang anak, dan tetap dinaikkan ke kelas 5 walau tidak bisa sekolah dikarenakan sering opname. Pihak dinkes sendiri tidak pernah menjenguk dan meminta maaf.


Moreno ketika sehat dan saat terbaring di RS 

Sumber berita : Pippid Sugiarto (Ibu dari anak, via inbox FB ke penulis).

24. Muhammad Mazzidan Al Mahdi. 5 bulan. Desa Bango, Demak.

Kronologi : Hari Senin, jam 7 pagi tanggal 5 Maret 2018 anak divaksin DPT 3 dan polio di rumah bidan dekat rumah. Kebetulan sebelum vaksin, di jempol anak ada semacam luka melenting (gelembung berisi air) di jempolnya. Orang tua anak sudah memberitahu ke bidan apakah masih bisa divaksin, bidan bilang tidak apa-apa tetap divaksin, namun bidan meresepkan antibiotik Etamox (amoxicilin), alkohol (untuk dioles ke luka) dan parasetamol yang harus diminumkan setelah vaksin. Lalu, setelah vaksin obat tersebut diminumkan ke anak sekitar jam 11 lalu kulit anak mulai kemerahan mulai dari bagian mulut. Ibu mengira anak kena sakit herpes, lalu membawa anak sekitar jam 1 siang ke bidan penyuntik namun bidan tidak ada di rumahnya. Jam 3 sore, anak tidak dimandikan karena agak demam, kulit anak mengelupas dan terus menangis. Jam 5 sore Ibu membawa anak ke dokter umum. Dokter meresepkan obat puyer. Sesampainya di rumah diminumkan puyer namun kulit memerah dan anak tidak berhenti menangis semalaman. Esok paginya, jam 5 pagi anak dibawa kembali ke dokter umum tersebut. Dokter meminta untuk menghentikan obat darinya. Lalu sang dokter memberi rujukan ke dokter kulit. Di dokter kulit, dokter belum tahu penyebabnya. Lalu anak dibawa pulang dan diminumkan obat dari dokter kulit (termasuk diberi krim dan sabun), obat dari dokter umum dihentikan. Sesampainya di rumah diminumkan obat dari dokter kulit kira-kira 2 kali. Sorenya, keadaan anak semakin parah karena setiap kulit tergesek dengan kain pasti mengelupas. Sementara kakek dari anak menelepon bidan untuk menanyakan penyebab anaknya sakit ke bidan. Bidan lalu datang ke rumah. Lalu anak segera dibawa ke RS NU Demak (Selasa sore, 6 Maret 2018) ditemani bidan, di RS tersebut dokter bilang bahwa ada dua kemungkinan yaitu alergi obat atau memang ada kuman di tubuh anak. Anak diminta oleh dokter untuk terus melanjutkan minum obat dari dokter kulit yang sebelumnya sambil diinfus. Hari Rabu sore (7 Maret 2018), orang tua memindahkan anak ke RS Mardirahayu di Kudus. Anak selalu menangis, dan hanya diam jika tertidur. Orang tua tidak memakai bpjs dikarenakan pelayanannya kurang maksimal, jadi biaya ditanggung semua sendiri. Hari Jumat, tanggal 9 Maret 2018 pihak Dinas Kesehatan bersama bidan dan petugas puskesmas Demak datang menjenguk ke RS, sekedar untuk menanyakan perihal kondisi anak. Dinkes menyampaikan pesan kepada sang ibu agar ayahnya tidak emosi dan bersabar karena penyebabnya belum diketahui dan masih diselidiki. Menurut informasi dari sang ibu, di vaksin yang sebelumnya (setiap vaksin selalu ke bidan desa tersebut), anak tidak pernah mengalami efek samping. Menurut ibu, anak tidak pernah punya penyakit riwayat alergi sebelumnya ataupun penyakit lain. Tanggal 10 Maret 2018 luka mulai mengering dan anak mulai mau menyusu setelah sebelumnya tidak mau menyusu. Pihak dinkes dan bidan yang menyuntik sempat mengunjungi korban di RS namun tidak mengatakan akan mengganti biaya perawatan. Didesak terus oleh keluarga korban, akhirnya tgl 12 Maret 2018 bidan datang kembali dan bidan berjanji akan menanggung 50% biaya RS.

Sumber berita : Hargono (ayah korban) melalui FB a.n al Mahdi.


Al Mahdi saat di RS 

25. Nizam. 1 tahun. Sempang, Riau.

Kronologis : 2 hari setelah anak divaksin di posyandu 14 Maret 2018, di bagian pantat pas bekas suntikan ada benjolan, tanya ke bidan katanya suruh kompres air hangat, sudah dikompres sudah di kasih tomat, malah makin besar, lalu mampir ke klinik di periksa dokter, anak di operasi kecil, di bagian benjolan, nanah banyak banget ada setengah gelas. Dokternya juga bingung, kenapa suntik imunisasi di pantat, karna setau nya suntik itu di paha dan lengan. Anak adalah pasien ke 3 di klinik itu yang mengalami hal seperti ini. Update 11 April 2018, Nizam sudah membaik walau masih harus kontrol.

Sumber berita : Erlis Naiya Pinem (Ibu korban melalui FBnya).

26. Rafis. 6 bulan. Daerah Bruno, Purworejo.

Kronologis : Bayi lahir di puskesmas tgl 16-10-2017 BB 3400 gr PB 49cm.. sebelum pulang bayi diimunisasi Hepatitis B ke 0. Tgl 16-11-2017 imunisasi BCG Polio 1.. tgl 15-2-2018 mendapat imunisasi DPTHib1 Polio 2 , tenaga kesehatan menjelaskan efek imunisasi 1-2hari panas, anak panas 2 harian. Tgl 15-3-2018 mendapat imunisasi DPTHib 2 Polio 1. Tenaga kesehatan menjelaskan efek imunisasi 1 -2 hari akan panas. Rafis mengalami panas 2 harian. 3 hari berikutnya anak panas dan diperiksakan ke tenaga kesehatan anak sudah tidak panas. Tgl 25-3-2018 pagi anak panas dan kejang ( saat pengajian Rejeban ) terus anak dibawa pulang ke rumah oleh orang tua. Malam harinya anak kejang lagi. Tgl 26-3-2018 pagi anak kejang lagi. Sekitar siang jam 12an anak dibawa orang tua ke puskesmas. Anak dirawat di Puskesmas 3 hari dan boleh pulang karena sudah tidak panas dan tidak kejang. Beberapa hari setelah pulang anak kejang lagi. Orang tua memanggil pak kyai/ orang pintar/ dukun untuk mengobati anaknya yang kejang. Pak kyai / orang pintar / dukun memberi jamu ke orang tua untuk diminumkan ke anaknya. Orang tua memberikan jamu tersebut ke anak. Tgl 2-3-2018 sejak sebelum subuh / malam anak tidak mau minum ASI. Tgl 2-3-2018 jam 16.00 Orangtua telfon tenaga kesehatan kenapa anaknya masih lemas. Oleh tenaga kesehatan anaknya disuruh segera dibawa ke pkd untuk di periksa.. beberapa menit kemudian anak dan orang tua sampai di PKD..saat sampai di pkd anak sudah dalam keadaan lemas dan tidak sadar dan langsung dirujuk ke puskesmas.. sampai di puskesmas anak langsung di rujuk ke RS Tjitro. Rafis menghembuskan nafas terakhirnya tanggal 21 April 2018.

Sumber berita : Sofie, teman komunitas yang tinggal sekota dengan ibu korban, melalu mba Seliawati.

27. Muhammad Aliando Putra Lutfi. 5 bulan. Kraksaan, Jawa Timur.

Kronologis : Awalnya bayi mendapat vaksin HIB 2, hepatitis B, DPT 2, polio 2. Total ada dua suntikan, paha kiri dan paha kanan. Hari pertama, bayi demam. Hari ke 2 mulai sesak napas. Opname 3 hari namun masih sesak akhirnya dirujuk ke Mitra Keluarga. Sekarang dirawat di rumah sakit, harus disedot cairan yang ada di paru-parunya.

Sumber berita : Suwandi.

28. M. Azka Rafasya. 14 bulan. Gedangan, Jawa Timur.

Kronologis : Sebelum menerima vaksin difteri di posyandu oleh bidan tanggal 19 Februari 2018, anak sehat-sehat saja. Sepulang vaksin, anak masih terlihat sehat-sehat saja, malamnya masih bermain seperti biasa dan tidurnya juga nyenyak. Pagi harinya, anak menangis , biasanya disusui tidak nangis lagi, namun anak terus menangis. Lalu sang ibu menggendongnya dan ajak jalan-jalan dan anak terdiam, namun ibu mendengar napasnya sesak sekali, dikira ibu tersedak air ludah. Anak tidak demam. Lalu oleh Ibu dibawa ke bidan penyuntik, namun bidan tidak ada di tempat karena lagi tugas ke puskesmas. Lalu ibu membawa anak ke puskesmas, lalu cerita apa yang terjadi dan oleh dokter anak diuap dan diberi obat dan diminta untuk pulang. Keesokan harinya ada orang yang bilang mungkin anaknya sawan, disuruh pijet di tukang urut, karena keadaan ibu saat itu bingung lalu apa kata orang dituruti saja demi kesembuhan anak. Setelah diurut keadaan anak tidak berubah. Keesokan harinya, ibu menelepon bidan penyuntik memberitahu keadaan anak yang tidak ada perubahan walau sudah diuap dan diberi obat dokter, ibu memberitahu sang bidan nanti mau dibawa lagi anak ke bidan. Namun bidan berkata, tidak apa-apa itu hanya efek imunisasi, diminumkan saja terus obatnya dan air putih hangat. Namun ibu sudah tidak sabar karena anak sudah semakin lemas, akhirnya ditengah hujan deras ibu membawa anak naik motor dengan jas hujan sampai di RS anak diopname, dipasang infus dan oksigen. Dalam 1 hari anak diambil darah 9 suntikan. 2 hari anak diopname, lalu akhirnya menghembuskan napas terakhirnya tanggal 26 Februari 2018. Dokter bilang meninggalnya karena infeksi pernapasan karena ada dahak yang ga bisa keluar. Azka adalah anak dan cucu pertama dari keluarga besarnya.


Azka ketika dirawat di RS 

Sumber berita : Zanty Azkha (FB, ibu dari M Azka).

29. Nisywa Syazania Ariethadifa (5 bulan). Tanggal lahir 5 Februari 2018. Duren Sawit, Jakarta Timur.

Kronologis :
"Awalnya saya habis pulang mudik Lebaran dari kampung suami, di daerah Bojonegoro. Berhubung saat itu tidak dapat tiket pulang ke Jakarta, akhirnya telat sebulan dari waktu yang diinginkan sehingga jadwal vaksinasi anak saya molor hingga sebulan. Saya sampai di Jakarta tanggal 9 Juli 2018. Berhubung sudah hampir masuk sekolah (saya ngajar sebagai Guru PAUD), jadi saya pikir baiknya Nisywa diimunisasi saja sekarang DPT 2 dan Polio tetes, berhubung kondisi anak sedang sehat saat itu. Karena takut molor lagi dari jadwal imunisasi (karena ini pun sudah telat sebulan), akhirnya hari Kamis, tanggal 12 Juli 2018 pagi-pagi, saya membawa Nisywa ke Puskesmas untuk diimunisasi. Di puskesmas tidak ada bidan yang biasanya melayani, namun ada perawat dibantu bidan pengganti. 


Nisywa sebelum vaksin, sehat.
Setelah disuntik di paha sebelah kanannya dan diberi vaksin tetes, Nisywa biasa saja. Lalu kami pun pulang ke rumah sambil membawa obat penurun panas dari bidan. Sepulang ke rumah, Nisywa langsung saya beri obat penurun panas, sesuai anjuran bidannya. Kala itu kondisi dia masih stabil, tidak ada demam. Namun, malam harinya Nisywa mulai anget, lalu diminumkan obat penurun demam kembali. Pagi harinya, Nisywa mulai muntah-muntah, walau malamnya tidur nyenyak walau demam ringan. Lima kali dia muntah asi, lalu saya ganti bajunya dan saya balur bawang merah dan minyak kayu putih. Nisywa tetap muntah meski dalam posisi tidur. Saya tidak terlalu khawatir namun demam berlanjut naik turun. Hari Jumat muntah sudah berhenti. Sampai akhirnya Sabtu, demam masih berlanjut. Namun Nisywa masih aktif mau bermain. Sampai akhirnya saya harus membedongnya supaya ia bisa beristirahat, saya bilang ke dia "Ya Allah dek, kamu itu lagi sakit, istirahat dulu dek" namun dia tetap tidak mau dibedong dan keluar dari kasur. Barulah saya ngobrol sama suami, "ini bagaimana demamnya Nisywa masih naik turun pak..bagaimana ini?" suami bilang mungkin karena kecapaian habis mudik dari Lebaran, bagaimana kalau diajak ke tukang pijat. Akhirnya saya membawanya ke tukang pijat. Namun saat dipijat, tiba-tiba Nisywa diare. Oh saya pikir bagus nih, keluar racunnya, pasti lebih enak badannya. Setelah itu, kami pulang. Nisywa masih kuat dan aktif bermain seperti biasa. Saya masih bertahan dengan obat penurun panas. Bapaknya bilang "yaudah sudah agak mendingan kan itu kondisinya", namun saya berpikir "bagaimana kalau Nisywa diperiksakan saja" namun bapaknya tidak kuat karena juga kebetulan lagi sakit. Seisi rumah sedang sakit semua ketika itu. Akhirnya, saya pikir tidak apa-apa nanti sore saja beli obat penurun panas yang baru ditambah Lacto-b untuk menetralisir racunnya. Akhirnya saya beli dan memberikan obat tersebut pada Nisywa malam minggu itu. Malam itu Nisywa lebih anteng dari sebelumnya. Ayah Nisywa bilang "ya mungkin karena ada efek obat tidur dari obatnya itu".
Akhirnya tiba hari Selasa, Nisywa masih demam. Namun saya harus mengantarkan kakak Nisywa untuk sekolah. Di sekolah saya ceritakan ke teman-teman bahwa Nisywa sakit setelah imunisasi dan teman-teman menasihati saya untuk ke bidannya lagi untuk melapor supaya bidan bisa tanggung jawab. Sepulang dari sekolah, saya minta ke suami lagi untuk mengantarkan berobat namun waktu sangat mepet dengan jadwal kerja suami, jadi mendingan nunggu suami pulang kerja baru berobat. Siang harinya, saya tidur nyenyak berdua dengan Nisywa, ia masih menyusu walau tidak begitu banyak seperti biasanya. Namun saya merasa ada yang berbeda dari anak saya, dia lebih diam dari biasanya sampai akhirnya saya tanya, "kamu kenapa dek? kok diam saja?" perasaan takut mulai menggerayangi hati saya. Langsung saya telpon suami saya, namun tidak diangkat, akhirnya suami pulang ke rumah sebelum maghrib. Mungkin suami saya juga punya perasaan ga enak jadi pulang lebih cepat dari biasanya. Habis maghrib saya bilang ke Nisywa,
"Dek sebentar ya dek nanti ibu gendong, habis ini kita periksa ya dek",
"sabar ya dek..."
Lalu saya sholat maghrib. Kakaknya Nisywa minta makan, lalu saya goreng sosis dulu untuknya. Habis kakaknya makan, Bapaknya gendong Nisywa, dan tiba-tiba dia kejang tanpa demam. Kami semua panik dan langsung meninggalkan pekerjaan rumah dan pergi ke Rumah Sakit. Bidan yang menangani saat itu bilang "bu ini kejang bu! Cepat bu, langsung dibawa ke RS yang alatnya lengkap saja", akhirnya kami langsung naik motor cepat ke RS yang dimaksud. Kejangnya dia itu diam saja, tidak terlihat kejang namun kaku saja. Dan ternyata sesampainya di RS tersebut alat pun juga tidak lengkap. Perawat RS tersebut memberitahu "ibu lebih baik ke RS lain yang lebih lengkap", akhirnya kami membawa kembali Nisywa mencari RS yang dimaksud. Sesampainya di RS tersebut, saya memohon2 pertolongan pada suster di sana. Nisywa langsung ditimbang dan dipasangin alat. Dan Nisywa masuk ke ruang PICU. Di situlah mulai anak saya tidak bereaksi apa-apa.
Selama perawatan di PICU, hari demi hari Nisywa bukannya membaik, kondisinya justru semakin banyak mengalami kemunduran dan saya hampir selalu menerima berita buruk dari dokternya. Dokter menjelaskan bahwa mau tidak mau Nisywa harus cuci darah, supaya dibersihkan dulu saluran kencingnya. Dokter juga bilang paru-paru yang kena akibat diarenya...dan yang akhirnya, Nisywa divonis gagal ginjal oleh Dokter. Mau ga mau, Nisywa harus cuci darah. Saya tidak bisa membayangkan seorang bayi mungil dicuci darahnya. Hancur hati ini...namun saya pesan ke dokter,
"Dok, apapun caranya lakukan saja dok yang penting anak saya sembuh dok",
"Ya bu, saya usahakan namun kalau mau cuci darah harus ke RSCM bu, namun antrinya bisa berbulan-bulan" kata dokter.
Saya kaget.
"Lalu bagaimana dengan anak saya dok, kondisinya kayak begini??",
"udah sementara di sini saja diberi cairan saja supaya bisa keluar air seninya" jawab dokter.
Sampai anak saya bengkak, hanya cairan dan cairan dimasukkan ke tubuh mungilnya.
Setiap hari saya melihatnya tanpa respon sedikitpun..
Ya Allah..Kapan anak saya bisa sembuh?
..kapan ada perkembangan kamu deek...
Masa anak saya begini terus ya Gusti...
Dek..kamu bangun dek..bangun nak...
Saya tidak bisa apa-apa lagi...
Seminggu sudah tidak ada perubahan...


Nisywa ketika di ICU
Ya Allah dek..teman-temanmu sudah banyak yang pulang ke rumah semua, kamu sendirian yang belum bangun dek, kamu kabarnya mana dek? Bangun dek...
Hari Senin pagi Dokter bilang bahwa Nisywa sudah tidak bisa keluar saluran pembuangannya, baik BAB maupun BAKnya, sudah sangat membengkak tubuhnya.
Saya berusaha tidak menyerah dan berpikir terus bagaimana caranya supaya anak saya ditangani lebih baik, akhirnya saya lari ke puskesmas,
"Bu tolong anak saya kritis bu..saya mau ga mau harus dipindah ke RS yang lebih bagus. Saya mau anak saya diselamatkan bu".
Akhirnya bidan membantu mengeluarkan dari RS itu saja, namun tidak membantu proses pemindahan ke RS lain. Saya diminta mengurus administrasi, saya dan suami bingung, hanya meninggalkan uang Rp. 500.000 dan KTP kami berdua.
Perawat bilang "Bu yang sabar ya buu.." sambil menguatkan saya.
Bidan penyuntik juga sempat mengunjungi dan menanyakan siapa yang dulu menyuntik Nisywa, saya bilang kayaknya anda yang ikut memegang kakinya ketika Nisywa disuntik...
Dari pihak dinkes juga pernah datang menawarkan bantuan mau membantu pengurusan BPJS selain membantu ngomong ke RSnya untuk pindah ke RS lain. Dinkes berulang kali menanyakan kronologis. Saat itu, Dinkes ijin pulang dulu tapi nanti janji mau datang lagi untuk membantu kepindahan saya ke RS rujukan.
Namun ternyata anak saya dirujuk ke RS yang lain (diluar yang dijanjikan), pihak Dinkes tidak ada satu pun yang menemani. Sampai RS tersebut ternyata banyak sekali orang-orang sakit sedang mengantri. Anak saya yang sebelumnya dari Ruang PICU dipindah ke UGD tentu membuat kondisinya menjadi tidak stabil kembali, sekuat tenaga saya memohon-mohon kepada dokter di sana untuk segera memindahkannya ke ruang PICU di RS tersebut.
"Dokter tolong anak saya dok..tolong anak saya.." hanya itu yang terucap dari mulutku sambil terus menangis.
Nisywa masih bertahan sampai ashar. Namun kami menunggu di UGD sampai maghrib tiba, kami masih belum dilayani karena masih harus urus administrasi. Akhirnya tiba waktu Isya, supaya menenangkan diri saya sholat dulu, bapaknya yang menunggu Nisywa. Namun detak jantungnya menurun drastis, hanya 24, bagaimana ini...
Namun akhirnya anak saya dinyatakan sudah meninggal dunia tanggal 23 Juli 2018 ini....
Dinkes pernah berjanji mau bantu melobi pihak Rumah Sakit untuk keringanan biaya 50% tapi ditunggu-tunggu tidak datang juga kabarnya. Akhirnya suami yang ke Dinkes namun rumusnya jadi dibalik oleh Dinkesnya bahwa saya diminta untuk cari bantuan biaya di tempat lain terlebih dahulu seperti Dompet Dhuafa dan bantuan lain, baru sisanya Dinkes mau coba melobikan ke RS. Tidak ada permintaan maaf juga dari Dinkesnya. Cukuplah ini menjadi pelajaran bagi kami untuk lebih waspada terhadap vaksin.

30. Qira. 8 bulan. Nusa Tenggara Barat.

Kronologis : Paginya disuntik vaksin MR, malamnya badan deman. Demamnya hilang tapi 5 hari setelah itu demamnya datang kembali disertai kejang-kejangdan abses di bekas suntikannya. Badan juga membiru. Dulu, sebelum suntik Qira gemuk semejak di suntik mulai mengurus dan kulitnya kekuningan. Qira meninggal Bulan Juni 2018. Bidan penyuntik tahu akan hal ini, namun dinkes lepas tangan. Dinkes setempat bilang ke keluarga Qira bahwa Qira sakit setelah vaksin MR karena tubuh Qira yang tidak kuat menerima obatnya. Sang ibu berkata bahwa Qira adalah anak yang sehat tidak punya penyakit apapun sebelumnya.

Sumber berita : Ayuk Risky Ryan Nizar (tetangga korban, via FB ke penulis). Tetangga mendapat informasi langsung dari ibunda korban.

31. 33 anak (13 siswa SD dan 20 siswa SMP) di KSB Kecamatan Seteluk, Kabupaten Sumbawa Barat.
Siswa yang sakit (Sumber : Suarantb)
Kronologis : 
Puluhan siswa dari sejumlah sekolah di kecamatan Seteluk terpaksa dilarikan ke Puskesmas setempat, Rabu, 1 Agustus 2018. Mereka mengeluh sakit setelah sebelumnya mengikuti imunisasi rubella yang dilaksanakan di sekolahnya.
Informasi yang diperoleh Suara NTB, para siswa tidak langsung merasakan keluhan sakit sesaat setelah menjalani imunisasi. Mereka baru ada yang merasakan gejalanya saat sekolah usai dan pulang ke rumah masing-masing. Di rumah mereka baru mulai merasakan pusing, mual, hingga ada muntah-muntah.
Para orang tua mereka pun langsung panik dan melarikan anak-anaknya ke Puskesmas Seteluk. Di Puskemas anak-anak yang terdiri dari siswa SD dan SMP ini kemudian mendapatkan perawatan dengan cara diinfus agar kondisinya kembali normal.
Pihak Dinas Kesehatan (Dikes) Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) yang dikonfirmasi mengenai kejadian itu tidak menampiknya. Kabid Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P), H. M. Yusfi Khalid yang dikonfirmasi wartawan, mengatakan, pihaknya telah menerima laporan tersebut dan melalui Puskesmas Seteluk telah diberikan penanganan langsung. “Sudah ditangani dan informasinya sebagian anak sudah bisa pulang karena kondisinya sudah stabil,” terangnya.
Menurut dia, kondisi yang dialami anak-anak tersebut secara klinis tidak disebabkan karena vaksin rubella yang baru dimasukkan ke tubuh mereka. Hal itu lebih disebakan, kondisi fisik anak yang kemungkinan tidak siap menjalani proses vaksinasi.
“Kalau memang vaksinnya yang bermasalah pasti ada laporan dari kecamatan Sekongkang dan Brang Ene yang juga hari ini jadwalnya. Tapi sampai sekarang tidak ada kasus seperti itu dari dua kecamatan itu ke kami sampai sekarang,” timpalnya.
Ia menjelaskan, gejala yang dirasakan para siswa terhitung normal dan bersifat kasuistik. Biasanya anak-anak yang tidak siap divaksin cenderung mengalami stres sehingga menurunkan stamina mereka. Terlebih kemungkinan anak-anak yang mendapatkan perawatan tersebut saat akan divaksin tidak terlebih dahulu mendapat asupan yang cukup.
“Makanya ada rasa mual. Dan rasa stres pada anak saat akan diimunisasi itu pasti ada karena prosedurnya kan pakai suntikan,” paparnya.
Yusfi pun menegaskan, kegiatan vaksin rubella bagi anak-anak sangat aman. Selain dijalankan melalui program khusus secara nasional, petugas-petugasnya pun terlebih dahulu telah mendapatkan pelatihan khusus. “Lagian kalau bermasalah vaksin ini tentu sejak tahun lalu sudah dihentikan. Kan tahun 2017 program ini sudah dilaksanakan di pulau Jawa dan tahun ini untuk luar Jawa termasuk kita di NTB ini,” cetusnya.
Karenanya ia berharap, kasus yang terjadi di kecamatan Seteluk tidak membuat para orang tua menolak agar anaknya divaksin rubella. Sebab program vaksin tersebut tujuannya untuk meningkatkan imunitas anak pada serangan penyakit campak. “Program ini sengaja secara nasional untuk memastikan anak-anak Indonesia umur 9 sampai 15 tahun benar-benar kebal dari penyakit campak,” sebutnya.

Selanjutnya ia juga mengimbau, kepada para orang tuan agar menyiapkan anak-anaknya ketika akan dilaksanakan kegiatan vaksinasi di sekolahnya. Terutama memberikan sarapan cukup sebelum ke sekolah serta memberikan pengertian, jika pemebrian vaksin rubella itu untuk kesehatan mereka. “Jadi kami sampaikan lagi, bahwa kegiatan imunisasi ini sepenuhnya aman,” imbuhnya.

Sumber berita : Suarantb

32. 
Muhammad Afif Elkhairi Samosir. 11 September 2005. Kabupaten Batubara, Kecamatan Limapuluh, Medan.



Kronologis : Rabu, 4 Agustus 2018 diadakan vaksin MR di sekolah. Pihak sekolah tidak memberitahukan wali murid terlebih dahulu akan diadakan vaksinasi MR. Puskesmas baru memberitahukan sekolah ketika anak-anak sudah pulang sekolah pada hari Selasa. Paginya (hari Rabu) baru diumumkan bahwa hari itu akan diadakan vaksinasi, tidak sempat memberitahu wali murid. Akhirnya anak ikut disuntik. Memang anak memiliki riwayat penyakit ISPA sebelumnya. Sebelum suntik, anak dalam keadaan sehat. Setelah suntik, m
alamnya demam dan mengeluh tiba-tiba perutnya sakit, sampai muntah-muntah. Muntahnya sudah kuning, kaki dingin, pucat, kepala pusing.
Orangtua bingung siapa yang bertanggung jawab dari kejadian ini. Pihak puskesmas hanya minta data pasca imunisasi dan ambil foto, sedangkan pihak sekolah juga cuma datang sebelum dibawa ke puskesmas. Biaya pengobatan hanya pakai askes yang dimiliki orangtua. Bapak dari anak berpendapat, semoga ini dapat menjadi pelajaran untuk kita semua, kesalahan prosedur vaksinasi dapat merugikan pihak orng lain.
Diagnosa dokter, anak sakit tipus. Gejala tipus ada yang sama ada juga yang tidak sesuai kondisi, hanya reaksinya pasca vaksin. Diagnosa ini membuat bapak anak menjadi bingung. Tipus itu sendiri pada umumnya punya gejala awal, namun pasca vaksin lalu drop mengapa bisa langsung didiagnosa kena tipus.

Sumber berita : Bang Asril Simpado (ayah dari anak via FB inbox ke penulis).
Terakhir, saya mohon maaf jika ada kesalahan dan banyak kekurangan dalam menyusun data ini.

33. Elyssa Cahaya Putry. Lahir tanggal 28 April 2011 jam 9.30. Kelas 1 SDN Dadap 2 Juntinyuat, Indramayu, Jawa Barat.
Elyssa
Kronologis : Elyssa menerima vaksin di sekolah, kurang ingat vaksin apa. Lalu Elyssa mengalami lumpuh selama seminggu kemudian kejang, tanpa demam. Akhirnya dilarikan ke RS namun sehari di sana nyawa anak sudah tidak tertolong. Elyssa menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 9 Desember 2017 pukul 9.30. 

Sumber berita : Benny Runtah band ( ayah dari Elyssa via inbox FB dengan penulis).

34. Laudia Lavega (13 tahun di tahun 2018, ketika kejadian kipi). Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. 

Kronologis : Tanggal 2 Agustus 2018 Laudia divaksin MR di sekolahnya di SD Negeri 01 Situjuh Ladang Laweh, sorenya mengeluh sakit kepala sebelah kanan. Keadaannya makin parah di tanggal 8 Agustus. Tantenya meng-upload foto-foto Vega di Facebooknya.
Dinkes membantah keterkaitan sakitnya Vega dengan vaksin MR. Begitu juga Bupati Kabupaten Limapuluh membenarkan pernyataan Dinkes.
"Tidak ada hubungan sakit Vega ini dengan imunisasi. Jika berefek samping, pasti seluruh badannya yang kena. Bukan syaraf dekat mata kanan saja," kata Bupati.
Sebaliknya wakil bupati, Ferizal Ridwan meradang mengapa masih diadakan vaksinasi MR dikala MUI mengeluarkan pernyataan menunda vaksin MR sampai jelas kehalalannya. Akhirnya Bupati dan wakil Bupati sepakat untuk menunda vaksin MR sampai keluarnya fatwa halal dari MUI.

Vega ketika mengalami KIPI
"Dinas kesehatan sudah saya suruh evaluasi total dalam imunisasi ini. Agar lebih aman dan tidak ada lagi persoalan maupun isu yang berkembang nanti," kata Bupati.Sedangkan Dinas Pendidikan langsung meninjau kondisi para siswa yang sudah mendapatkan imunisasi. Pasalnya, ada laporan kepada Wakil Bupati, Ferizal Ridwan yang menyebutkan korban imunisasi berjumlah lima siswa. Masing-masing di sekolah daerah Taeh, Kecamamatan Payakumbuh dan Lareh Sago Halaban."Semua koordinator UPT Pendidikan di masing-masing kecamatan kami kerahkan untuk meninjau kondisi para siswa pasca imunisasi," kata Plt Kadis Pendidikan Limapuluh Kota, Indrawati.

Sumber berita : covesia


35. Rizki Wahyu Purnomo (12 tahun). Lahir tahun 2006. Lokasi Pontianak Utara, Kalimantan Barat.

Kronologis : Mendung duka menyelimuti keluarga Purwanto (39). Anak sulungnya, Rizki Wahyu Purnomo (12) meninggal dunia setelah dua hari dirawat di RSUD Soedarso. Murid kelas VI SD 17 Pontianak Utara itu mengembuskan napas terakhir pada Minggu (12/8) dini hari. Kondisi kesehatan Wahyu mulai menurun sejak Jumat (3/8) lalu. Dia mengalami flu. “Anak saya mengalami pilek waktu itu,” kata Purwanto mengenang anaknya. Satu hari berselang Wahyu mengikuti Vaksin Measles Rubella di sekolahnya. Vaksin dilakukan bersama dengan murid lainnya. “Setelah itu anak saya merasa pusing. Sebelumya kondisi kesehatan sempat dicek suhu tubuh normal meskipun dia (Wahyu) dalam keadaan pilek,” kata pria berusia 39 tahun ini. Dua hari setelah itu, pusing yang dialami Wahyu juga tak hilang. Meski sempat dilarang, Wahyu tetap nekat masuk sekolah di hari Senin (6/8). “Sempat dilarang tapi masih tetap mau sekolah. Saat di sekolah itu, Wahyu bermain dan kemudian terjatuh,” cerita Purwanto saat ditemui di kediamannya Jalan 28 Oktober Gang Bimasakti 3 Jalur 2. Kemudian Selasa (7/8) malam Purwanto berinisiatif membawa Wahyu ke dokter praktik karena pusing masih terasa. Wahyu bahkan merasa sakit di bagian dada. “Kemudian Kamis malam anak saya muntah dan demam,” jelas Purwanto. Wahyu sempat menjalani perawatan di rumah sebelum dirujuk ke rumah sakit. Saat itu Purwanto juga sempat bertanya ke Puskesmas di Parit Pangeran mengenai kondisi anaknya. “Jawaban kepala puskesmas efek suntikan itu memang demam dan kepala pusing,” ungkap Purwanto. Masih dihantui kekhawatiran, pada Jumat (10/8) pagi, Purwanto membawa anaknya ke Puskesmas Telaga Biru. Di hari yang sama, dari puskesmas ini, Wahyu kemudian dirujuk ke Yarsi dan dan berlanjut dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah Soedarso Pontianak. “Kami masuk ke Soedarso itu sekitar pukul dua siang,” kata dia.

Di RS plat merah itu, Wahyu langsung mendapat penanganan medis di IGD. Awal ketika di IGD asam darah dan gula darah Wahyu tinggi. “Diagnosa gula darah tinggi sampai 400,” ucap Purwanto.

Kondisi dianggap belum membaik, Wahyu kemudian masuk ICU Soedarso. “Wahyu masuk ICU pas Maghrib,” kata Purwanto. Diagnosa pun bertambah ketika masuk ke ICU, yaitu radang otak, infeksi lambung dan leukosit tinggi. Ketika di ICU Wahyu sempat mengalami muntah darah hitam. 

Perubahan ke arah yang lebih baik juga belum terlihat. Wahyu kembali masuk ke ruangan ICCU RSUD Soedarso. “Ketika di ICCU, dokter saraf bilang terjadi pembengkakan di otak dan itu yang menyebabkan pusing. Kami diminta menunggu dokter anak pada hari Senin untuk mendapatkan penjelasan,” cerita Purwanto. Dua hari koma di rumah sakit, Wahyu pun mengembuskan napas terakhir Minggu (11/8) dini hari. 

Saat ini pihak keluarga kebingungan dengan banyak penyakit itu yang dialami Wahyu. Pihak keluarga meyakini Wahyu tidak mengalami penyakit apapun. Apalagi anak sulung dari empat bersaudara itu merupakan anak yang aktif berolahraga dan jarang jajan diluar. 

“Dari rentetan kejadian, gejala-gejala itu timbul setelah vaksin karena Wahyu tidak ada riwayat penyakit sebelumnya. Keluarga ikhlas dengan kejadian tentu ini menjadi pelajaran bersama,” ungkap Purwanto.
Terkait kasus yang dialami RWP anak berusia 12 tahun, yang diduga meninggal dunia akibat setelah melaksanakan Imunisasi MR. Komite Daerah Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KOMDA KIPI) Kalbar, selaku lembaga independen yang dipercaya menangani kasus tersebut serta Dinas Kesehatan Kalbar menegaskan jika korban meninggal dunia bukan disebabkan oleh vaksin Measles Rubella (MR), Senin (13/08/2018).

Pernyataan tersebut disampaikan langsung oleh KOMDA KIPI bersama Diskes Provinsi dan Diskes Kota Pontianak pada Press Conference di Ruang Sekretaris Dinas Kesehatan Kalbar.

Press Conference tersebut digelar untuk memberi penjelasan hasil investigasi KOMDA KIPI atas kasus yang terkait meninggalnya RWP, bocah kelas 6 SD yang diduga diakibatkan oleh vaksin MR.

Ketua KOMDA KIPI Provinsi Kalbar dr. James Alvin Sinaga SpA menjelaskan, jika kasus tersebut dari hasil investigasi tim ahli menyatakan, sebab meninggalnya RWP diakibatkan oleh pembengkakan pada otaknya (radang otak).

Menurut Alvin hal tersebut mungkin berhubungan dengan pasca korban diberikan vaksin MR di sekolahnya.

"Kesimpulan yang didapatkan penyebab kematian ini diduga ensefalitis berdasarkan hasil CT Scan, dan vaksin campak Rubella tidak menyebabakan terjadinya infeksi otak, sehingga kejadian ini merupakan koonsiden atau kebetulan memang anak ini meninggal akibat ensefalitis dan kebetulan sepekan lalu anak ini mendapat vaksinasi MR. Dan tidak ada hubungannya antara imunisasi campak Rubella dengan kematiannya, jadi ini adalah hubungan kebetulan," jelas Alvin.

Dengan hasil investigasi yang dilakukan oleh tim ahli dari KOMDA KIPI, selaku perwakilan dari Dinkes Provinsi Kalbar drg Harry Agung T menyatakan, akan terus melanjutkan program Imunisasi Measles Rubella dan meminta kepada masyarakat untuk lebih dapat memperhatikan informasi yang telah didapat.

Dijelaskannya, jika Imunisasi MR adalah upaya dari pemerintah dalam mengeliminasi penyakit menular campak Rubella.

"Program imunisasi MR ini adalah upaya untuk mencegah kejadian-kejadian dari penyakit-penyakit menular, sehingga program ini akan terus kita lakukan, dan mudah-mudahan masyarakat dapat memilah dan memilih informasi terkait imunisasi campak Rubella ini," ujarnya.
Hasil penelusuran tim investigasi KIPI

“Wahyu diimunisasi MR dalam keadaan sehat. Ini sesuai dengan screening yang diisi sebelum diimunisasi dan ditandatangani orangtua,” kata Ketua Komda KIPI Kalbar, James Alvin didampingi Kepala Dinas Kesehatan Kota Pontianak, Sidiq Handanu, Sekretaris Dinas Kesehatan Kalbar, Hary Agung Tjahyadi dan Dokter Anak dr Nevita di Ruang Kepala Dinas Kesehatan Kalbar, Senin (13/8) sore.
Dari hasil penelusuran, menurutnya Wahyu divaksin MR pada 2 Agustus 2018. Penelusuran dilanjutkan pada tempat Wahyu berobat. Yakni dokter praktik swasta di Siantan. Wahyu dibawa berobat karena mengeluhkan sesak napas dan sakit di bagian dada.
“Penyebabnya karena terjatuh. Keterangan ini kami dapatkan dari dokter,” kata Alvin. Kendati demikian, pada 4 hingga 9 Agustus, murid kelas IV SD 17, Siantan Hulu Pontianak Utara ini tetap bersekolah seperti biasa.
Kemudian tanggal 10 Agustus, Wahyu kembali dibawa ke Puskesmas Telaga Biru masih dengan keluhan sama. Anak sulung dari empat bersaudara itu merasa sesak dan nyeri di dada sebelah kiri. Dari Puskesmas Telaga Biru ini, Wahyu kemudian dirujuk ke RS Yarsi.
“Di perjalanan pasien ini sempat pingsan dan kondisi fisik terus menurun. Pemeriksaan di RS Yarsi gula darahnya 414. Ini mirip dengan orang yang menderita kencing manis,” jelas Alvin.
Karena keterbatasan fasilitas, Wahyu dirujuk kembali ke RSUD Soedarso Pontianak. Dari hasil pemeriksaan medis di rumah sakit ini, gula darah Wahyu masih tinggi. “Gula darah masih 414. Leukosit juga tinggi sebesar 23.379,” sebutnya.
Saat di RSUD Soedarso, kondisi kesehatan Wahyu terus menurun. Dokter yang menangani kemudian meminta pemeriksaan CT Scan. “Kesimpulan radiologi menyatakan terjadi pembengkakan otak, ensapilitis atau radang otak,” jelas Alvin.
Dari pemeriksaan itu Komda KIPI menyimpulkan penyebab kematian diduga ensapilitis (radang otak) yang berdasarkan CT Scan. “Kenapa disebut diduga, karena tidak sempat dilakukan pemeriksaan khusus virologi. Specimen yang harus diambil cairan dari sumsum tulang, maka istilah medisnya diduga,” jelas Alvin.
Alvin pun menegaskan dengan penelusuran itu maka meninggalnya Wahyu tidak ada hubungan selama sekali dengan pemberian vaksin imunisasi MR. Ia juga menegaskan bahwa vaksin MR tidak menyebabkan radang otak. “Jadi tidak ada hubungan. Kejadian ini hanya kebetulan. Pasien meninggal karena radang otak dan kebetulan minggu lalu mendapat vaksin MR,” jelas Alvin.
Dokter Spesialis Anak di Rumah Sakit Sudarso Nevita mengatakan vaksin MR tidak bisa diberikan jika anak mengalami sakit berat, termasuk yang menjalani kemoterapi karena itu akan membuat daya tahan tubuhnya turun.
“Jika selama anak itu dalam kondisi sehat, dan tidak ada kontraindikasi maka bisa diberikan vaksin MR,” kata dia. Oleh karena itu tenaga kesehatan dibekali petunjuk teknis dan mencermati riwayat kesehatan anak yang akan diiimunisasi.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Pontianak Sidiq Handanu memastikan tahapan imunisasi yang dilakukan terhadap Wahyu sudah sesuai prosedur. Seperti pemeriksaan suhu tubuh anak sebelum imunisasi. “Pemeriksaan suhu anak ini sebelum imunisasi 36,7. Suhu ini tidak termasuk kategori demam,” kata Sidiq.
Kemudian, orang tua juga mengisi formulir yang berisi pertanyaan soal kondisi anak sebelum imunisasi. Imunisasi baru dapat dilakukan jika disetujui orang tua. Dinas Kesehatan melengkapi formulir ini di tingkat puskesmas. “Form ini ditandatangani orangtua,” pungkas Sidiq.

Sumber berita : Pontianakpost , pontianak tribun news


36. Evillzha Faiqah. Murid kelas 1 SDN 79 Pagar Dewa Kota Bengkulu.




Kronologi : Evillzha masih terbaring lemas di Ruang VIP C5 RSMY tanggal 12 Agustus 2018. Ia terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena mengalami demam tinggi usai suntik vaksin MR di sekolahnya pada hari Sabtu (4 Agustus 2018).

Ibu Evillzha, Kashatimenuturkan, 14 jam setelah disuntik vaksin MR anaknya mengalami demam tinggi. Ia sempat memberi obatpenurun panas. Sempat turun, namun selang beberapa jam naik kembali.

"Hari Senin anak saya masih sempat sekolah. Sorenya kami membawanya ke IGD RS Ummi dan demamnya sampai 39 derajat" kata Kashati yang juga merupakan guru di SDN 79 Kota Bengkulu.

Setelah diberi obat, kondisi Evillzha membaik. Saat dicek di lab, menurutnya tidak ditemukan penyakit lain. Hingga dokter menyarankan untuk rawat jalan. Keluarga pun mengikuti saran tersebut. "Saya bangun subuh anak saya panas tinggi hingga saya membawanya ke IGD M. Yunus. Setelah diobservasi, demamnya kembali turun.

Tidak hanya Evillzha, menurutnya ada juga temannya yang sempat mengalami demam usai disuntik. Tetapi setelah dikasih obat, suhunya kembali turun. "Mungkin juga sebelum disuntik anak saya belum sempat makan. Makanya tubuhnya lemah", tambahnya.

Imunisasi MR dimulai serentak pada 1 Agustus - September 2018 ditujukan untuk bayi usia 9 bulan sampai anak usia 15 tahun.

Sementara itu kemarin, Kepala Dinkes Kota Bengkulu, Susilawaty mengatakan dia sudah mengunjungi Evillzha yang tengah dirawat di RS M. Yunus Bengkulu. Dia memastikan demam tinggi bukan disebabkan oleh pemberian vaksin. Sebab, menurutnya efek vaksin MR ini baru dirasakan oleh tubuh 12 hari untuk rubella dan 4 hari untuk campak. Sedangkan pasien tersebut, baru 12 jam setelah pemberian vaksin langsung mengalami demam tinggi.

"Pengakuan dari orang tuanya, saat pemberian vaksin ini, pagi harinya anaknya belum sarapan. Mungkin sebelumnya dia ini mau demam. Tapi saat disuntik vaksin MR ini, suhu tubuhnya belum panas. Mungkin ada kompilasi penyakit lain", terang Susilawaty.

Dia menegaskan pemberian vaksin ini hampir tidak ada efek samping. Pemberian vaksin ini juga diawasi dokter berpengalaman untuk mengawasi kejadian usai pemberian vaksin. Dia menghimbau pada masyarakat untuk tidak takut anaknya divaksin MR. karena ini bentuk ikhtiar bersama dalam memerangi penyakit campak dan rubella. Di Kota Bengkulu memang belum ditemukan kasus anak menderita penyakit ini. Namun di kabupaten dalam Provinsi Bengkulu sudah ada yang ditemukan.

"Jadi kalau yang mau menunggu fatwa halal haram MUI silahkan. Pemberian vaksin ini juga sampai September. Jadi masih ada waktu kita akan melakukan imunisasi ini. Bahkan kami akan jemput bola. Ada anak yang belum imunisasi akan buat pos di mall-mall untuk mereka bisa vaksin", terangnya.

Ditambahkan Kadis Kesehatan Provinsi Bengkulu Herwan Antoni, bahwa tidak ada efek samping yang berat akibat pemberian vaksin MR "efeknya hanya ringan demam, ruam kulit, nyeri di bagian kulit bekas suntikan. Kami juga akan mengecek dan mengunjungi anak yang demam ini. Mohon informasi lebih lanjut supaya petugas bisa mengecek", katanya.

Sementara itu, Anggota Komisi I DPRD Kota Bengkulu Bahyudin Basrah mengatakan, selaku mitra kerja Dinkes, Komisi I akan segera akan memanggil Dinkes untuk membahas masalah pemberian vaksin MR ini. Terutama menyikapi adanya murid SD yang dirawat di RS setelah pemberian vaksin MR akan dibahas di tingkat komisi. "Nanti akan saya bawa ke Komisi I untuk supaya kita agendakan memanggil Dinkes untuk membahas masalah vaksin ini", katanya.
Dia mengatakan pemanggilan Dinkes ini harus dilakukan dengan cepat, sebab pemberian vaksin ini tengah berlanjut. Dengan penjelasan yang diberikan oleh Dinkes nantinya masyarakat bisa mengetahui aman atau tidaknya pemberian vaksin itu kepada anak-anak. "Inikan sudah mulai di Kota Bengkulu pemberian vaksinnya. Jadi memang perlu cepat kita hearing dengan Dinkes supaya bisa menjelaskan apa saja dampak dalam pemberian vaksin ini. Supaya masyarakat bisa tahu", tutupnya.



Sumber berita : harianrakyatbengkulu


37. M. Helmi Sultansyah (7,8 tahun). Murid kelas 2 SD N 1 Pasie Rawa, Kota Sigli, Pidie, Aceh.



Kronologis :

Murid kelas dua SDN 1 Pasi Rawa, Kota Sigli tersebut harus menjalani perawatan di rumah sakit plat merah itu sejak Senin (06/8/2018), karena tidak bisa menggerakkan kedua kakinya. Menurut keterangan Dewi Rani (32) ibu kandung M Helmi, anak sulungnya mengalamai hal itu usai disuntik vaksin measless rubella (MR) di sekolah.

“Kakinya tidak bisa digerakkan dan berdiripun tidak bisa lagi, ketika berdiri jatuh,” kata Dewi, kepada beritakini Sabtu (11/8/2018).

Beberapa hari sebelum launching kampanye imunisasi MR digagas, kata Dewi, Helmi mengalami sakit demam dan sudah mendapat penenanganan medis.

Pada tanggal 1 Agustus 2018, anaknya kembali bersekolah seperti biasa. Di sekolah tempat M Helmi menimba ilmu yaitu SDN 1 Pasi Rawa, dilaksanakan launching vaksin Imunisasi Measles Rubella (MR) kepada anak-anak.

Sebelum ke sekolah, Dewi sudah mewanti-wanti agar anaknya menolak untuk disuntik. Namun, tiba-tiba anaknya tetap disuntik dan itu dilakukan tanpa diketahui Dewi serta suaminya.

“Saya tanya ke gurunya, apa anak saya ada disuntik dan gurunya saja tidak tau, tapi tiba-tiba sudah disuntik,” kata Dewi.

Sejak disuntik MR, menjelang malam Helmi mengalami kejang-kejang dan demam. Dewi akhirnya membawa buah hatinya berobat ke rumah sakit. “Setelah itu, anak saya tidak bisa lagi bergerak,” kata Dewi.

Masih dengan nada terbata-bata, Dewi berharap anaknya bisa disembuhkan seperti sedia kala. “Kami berharap anak saya bisa berjalan lagi, itu saja,” katanya.

Pantaun di ruang M Helmi dirawat, dia harus digendong oleh orang tuanya untuk ke kamar mandi.

Petugas medis yang menjaga pasien enggan berkomentar terkait rekam medis M Helmi. Mereka mengarahkan agar dikonfirmasi ke Manajemen RSUD Tgk Chik DI Tiro Sigli.

M Nur, Wakil Direktur RSUD Tgk Chik DI Tiro Sigli dikonfirmasi Beritakini. via selularnya juga tidak bisa menjawab mengenai diagnosa pasien bernama M Helmi tersebut.

“Itu ranahnya pelayanan, jadi ke Bidang Pelananan saja di telpon,” ujar M Nur.

Dr Dwi Wijaya Kabid Pelayanan RSUD Tgk Chik Di Tiro Sigli dikonfirmasi mengatakan tidak mengatahui persis diagnosa pasien tersebut. Dia meminta awak media menunggu hingga Senin (138/2018), agar bisa mendapatkan data detail diagnosa dari dokter yang menangani.

“Karena sedang ditangani dokter, jadi kami konfirmasi dulu. Jadi jangan berkembang pula nanti diagnosa aneh-aneh, jadi kami minta waktu sampai Senin,” ujar Dwi.

“Kami minta waktu hingga Senin (13/8), karena sedang ditangani dokter, jadi tunggu hasil dulu. Jangan nanti berkembang informasi yang aneh-aneh, sehingga menimbulkan opini baru di masyarakat,” kata Dwi.

Sementara itu, anggota Komite Daerah Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komda KIPI) Aceh, dr Herlina Sp.A menjelaskan sebelum menentukan seseorang anak itu KIPI ada SPO-nya.

"Kita harus mengevaluasi secara paripurna, kalau pemeriksaannya belum selesai menyeluruh, bagaimana kita menyatakan bahwa klinis anak tersebut saat ini disebabkan imunisasi MR. Dan yang menyatakan apa itu KIPI adalah KomDa KIPI," tegasnya.



Sumber berita : balikpapan prokal, mercinews


38. M. Arfah (13 tahun). Siswa SMPN 5 Takalar di Lingkungan Batu Maccing, Kelurahan Bulukunyi, Kecamatan Polongbangkeng Selatan.
Muh. Arfah semasa hidupnya

Kronologis : Seorang siswa SMPN 5 Takalar di Lingkungan Batu Maccing, Kelurahan Bulukunyi, Kecamatan Polongbangkeng Selatan bernama Arfah (13) meninggal dunia, Senin (13/8/2018) dini hari tadi. Korban meninggal hanya selang beberapa hari sejak diberi vaksin Measles Rubella (MR). Dari informasi yang dihimpun, Irfan diberi vaksi MR di sekolahnya pada Senin (6/9/2018). Sehari pasca divaksin, korban mengalami demam tinggi. Hingga hari ketiga pasca diberi vaksin suhu tubuh korban kian tinggi. Ia pun terpaksa dilarikan ke Puskesmas Bulukunyi, Polongbangkeng Selatan untuk mendapatkan perawatan. “Korban ini sehat sebelum diimunisasi di sekolahnya. Setelah diimunisasi dia demam tinggi selama dua hari di rumahnya,” ujar salah satu keluarga korban, Daeng Sibali. Keluarga korban yang lain bernama Herniyati Yusuf mengungkapkan bahwa usai divaksin, korban mengalami pembengkakan pada bagian lengan dan demam tinggi. Hingga dua hari di rumah sakit, kondisi korban tak kunjung membaik. Sehingga pihak keluarga memutuskan untuk membawa pulang korban. Kondisi korban kritis pada Minggu (12/8/2018) malam, sehingga pihak keluarga memutuskan membawa korban ke RSUD Padjonga Dg Ngalle. Namun, nahas belum tiba dirumah sakit, korban yang sedang dalam perjalanan meninggal dunia pada Senin (13/8/2018) sekitar pukul 03.00 Wita. “Setelah korban meninggal baru dokter datang untuk melakukan pengecekan darah, karena menurutnya dokter dari Puskesmas korban ini mengalami demam berdarah. Tapi kami langsung tidak menerima penawaran dokter itu. Buat apalagi dilakukan pemeriksaan darah kalau korban sudah meninggal,” kata Daeng Sibali. Saat ini jenazah korban telah dimakamkan pemakaman keluarga di lingkungan Batu Maccing, Kecamatan Polonbangkeng
Selatan, Kabupaten Takalar.
Irfan saat hendak dikuburkan
Meninggalnya siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) 5 Takalar yang diduga karena vaksin Rubella (MR) ditepis Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Sulsel dr Bachtiar Baso. Bachtiar mengatakan berdasarkan laporan anggota Komite Daerah Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KOMDA KIPI), kematian Muh. Arfah (13) dikategorikan bukan karena Vaksin Rubella yang suntikan.
"Informasi yang kami dapat dari dokter spesialis anak anggota dari KOMDA KIPI menjelaskan kematian itu bukan karena vaksin, untuk sementara akibat dugaan yang bersangkutan menderita demam berdarah sehingga terjadi pendarahan," ucap Bachtiar saat ditemui KABAR.NEWS usai bertemu Penjabat (Pj) Gurbernur Sulsel Soni Sumarsono bersama perwakilan WHO dan Unicef di Rujab Gubernur, Selasa (14/8/2018)."Pendarahan itu tidak ada kaitannya dengan vaksin, demam berdarah ketika trombosit-nya turun, demamnya turun biasanya terjadi pendarahan. Vaksin tidak ada kaitannya dengan itu," tegasnya.

Sumber berita : sulselsatu , kabar news
39. Fahri (12). Pelajar SMP di Pangkalpinang, Bangka Belitung. 
Fahri ketika dikunjungi tim surveillance dari Dinkes


Kronologis : Fahri sempat dilarikan ke rumah sakit lantaran suhu tubuhnya yang meningkat disertai muntah paska diberi vaksin Measles Rubella (MR), mendapati kabar tersebut, Tim Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan dinkes kota Pangkalpinang, Puskesmas Pangkalbalam langsung mendatangi RSUD Depati Hamzah untuk melihat keadaan Fahri. Tiba di ruangan Asoka, tim mengumpulkan informasi dari perawat dan dokter ruangan di ruangan kepala ruangan. Hampir 40 menit mereka mengumpulkan informasi terkait kondisi medis yang dialami Fahri. Pihaknya juga menggali informasi dari orangtua Fahri terkait kondisi anaknya bisa berada di rumah sakit. Usai mengumpulkan informasi, pihaknya langsung menyambangi Fahri ke ruang rawat yang masih terbaring dengan infus ditangannya.

Menurut, perawat jaga kondisi Fahri sudah mulai membaik dan sudah bisa berjalan dengan kondisi suhu tubuh sudah normal yakni 36.

Kasi Surveilans dan Imunisasi Dinkes Babel, M Rais Haru mengunkapkan beberapa pemeriksaan seperti tes urine dan tes fisik paska suntikan imunisasi sudah dilakukan pengecekan.

"Menurut petugas Puskesmas Pangkalbalam yang imunisasi satu jam lebih setelah imunisasi tidak ada reaksi apa, bekas suntikan tidak ada merah. Kita menunggu kesimpulan dari Komdak KIPI nanti," katanya.

Ketua Komisi Kejadian Ikutan Pascaimunisasi (KIPI) Bangka Belitung (Babel) dr Helfiani mengatakan sudah melihat hasil laboratorium terhadap urin Fahri, pasien RSUD Depati Hamzah yang dirawat setelah panas tinggi dan selalu muntah tiap sesudah makan--yang sebelumnya.

Awalnya diduga kondisi Fahri ini akibat efek samping vaksin Measles Rubella (MR).

Hasilnya, KIPI Babel menyatakan demam panas yang dialami Fahri tak terkait dengan efek samping imunisasi MR. Fahri, kata Helfiani, mengalami panas tinggi karena infeksi saluran kemih.

"Jadi panasnya itu karena infeksi saluran kencing. Kebetulan pas disuntik MR. Bukan karena MR. Saya sudah konfirmasi kepada dokter dan bidan yang merawatnya, saya lihat hasil lab-nya, rupanya ada peningkatan sel darah putih di urinnya, jadi dia panas karena infeksi saluran kencing," ucap Helfiani kepada Bangka Pos, Jumat (3/8/2018) sore.

Kemudian, Helfiani menjelaskan, efek samping suntik vaksin MR biasanya tidak langsung terjadi setelah disuntik. Efek baru dirasakan pada lima hingga tujuh hari setelah disuntik. Hasil ini juga telah disampaikan kepada orangtua Fahri.

"Kalau efeknya baru terjadi pada lima sampai tujuh hari setelah disuntik, baru kemungkinan KIPI-nya ini karena MR ini. Kasus ini, setelah diperiksa ada infeksi saluran kencing rupanya, ini yang menyebabkan panas. Sudah kami sampaikan ke keluarganya, mereka sudah mengerti. Mungkin karena panik karena sebelumnya tidak tahu," ucap Helfiani.



Sumber berita : Bangka Tribun news.
40. Tiga anak di Polewali Mandar, Sulawesi Barat, Dua orang berasal dari Kecamatan Wonomulyo dan satu orang berasal dari Kecamatan Campalagian, Kabupaten Polman.

Kronologis : Tiga anak tersebut dilarikan ke rumah sakit karena mengalami demam tinggi berhari-hari usai disuntik vaksin Measles Rubella (MR) oleh petugas puskesmas setempat. Seluruh korban kini menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Polewali Mandar. Ketiga anak tersebut berasal dari Kecamatan Wonomulyo. Menurut perawat, dua anak telah diperbolehkan pulang karena kondisinya telah membaik setelah menjalani perawatan beberapa hari. Sementara satu orang anak kini masih menjalani perawatan. Dikonfirmasi terpisah, Kepala Dinas Kesehatan Polewali Mandar Suaib Nawawi membantah anak tersebut sakit akibat vaksin rubella. Menurut Suaib, dari hasil rekam medik, ketiga anak tersebut memang memiliki riwayat penyakit yang berbeda. “Memang ada tiga anak dilaporkan dilarikan ke rumah sakit, tapi belum pasti itu karena vaksin Rubella,” kata Suaib.
"Jadi bukan karena vaksin MR, cuman kebetulan aja bersamaan. Yang sempat dirawat inap mememiliki riwayat penyakit faringitis, tapi juga sudah pulang karena sudah seha. Tiga hari yang lalu sebelum pulang saya sempat jenguk di RSUD," jelasnya.
Suaib mengimbau masyarakat untuk tidak khawatir dan tetap membiarkan anak menjalani vaksin MR sebab sudah melalui riset atau sertifikasi dari kementerian kesehatan sebelum digunakan.
"Jadi sangat kecil sangat kecil kemungkinan akan terjadi, meskipun kami tidak menjamin, sampai sekarang kami tetap jalankan. Tapi masyarakat yang persoalkan halal dan haram, tunggu saja keputusan MUI," tuturnya.
Sementara Penanggung Jawab Imuninasi Kabupaten Polman, Jamaluddin saat dikonfirmasi via telepon mengatakan, dua anak dari Wonomulyo memang disebabkan reaksi normal vaksin.
"Dari Desa Kebung Sari, dia juga anak petugas. Kemudian satu orang dari Campalagian namanya Ardiansyah, memang dari awal punya riwayat penyakit, kalau demam langsung kejang-kejang, kemudian kesimpulan akhir dokter dia Faringitis," tuturnya
Dinkes Luwu Tetap Lakukan Vaksinasi Ia mengimbau masyarakat agar tidak resah dengan maraknya berita tentang anak yang sakit setelah divaksin Rubella. Dinkes Polewali Mandar sendiri tetap memberikan vaksian MR secara massal di sekolah-sekolah meski masih polemik soal status halal. Sejumlah petugas kesehatan yang mengelar vaksin menyatakan, vaksin MR terancam rusak jika tidak digunakan. Alasannya, tempat penyimpanan vaksin di puskesmas tidak memenuhi standar dan tidak aman untuk jangka waktu lama. “Ada sekitar 6 miliar vaksin bisa rusak kalau ditunda karena tidak bisa disimpan dalam waktu lama di puskesmas,” kata petugas kesehatan saat sibuk melayani vaksin massal di salah satu sekolah di Polewali Mandar.



Sumber berita : Makassar Tribunnews , Regional Kompas

41. M. Alfatih (2 bulan). Tanggal lahir 29 mei 2018. lahir prematur. 2,4 kg. Sempat inkubator 2 minggu. Selama hidupnya menerima asi dibantu sufor. Anak pertama. Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.
Al Fatih ketika masih sehat
Kronologis : Tanggal 3 Agustus 2018 anak menerima vaksin polio tetes dan suntik n tetes. dalam keadaan sehat. Anak vaksin di posyandu jam 10 pagi disuntik, besoknya jumat sore demam tinggi n kejang, mata ke atas. Lalu keluarga langsung melarikan anak ke UGD RS terdekat, disana dilayani perawat dan langsung disuruh rawat inap, sempat 2 jam menunggu sampai diopname.. mrk rawat. Ayah korban tidak lapor ke posyandu karena tidak terpikir efek samping vaksinnya, yang dikira wajar saja demam setelah imunisasi. Anak diinfus. Berhubung Jumat Sabtu minggu di RS tersebut tidak ada dokter, jadi yang melayani hanya perawat. Selama dirawat infus tidak masuk ke tubuh anak, jadi 2x anak ditemukan dalam keadaan basah sekelilingnya dan infus sudah kosong, ternyata tidak masuk ke tubuh anak. Sadarnya ketika mau pindahin anak. Kejadian seperti itu 2x selama dirawat di ruang rawat biasa. Satu hari di kamar biasa. Namun malamnya anak kejang lagi, disertai demam tinggi. Esok paginya anak dipindah ke ICU. Ayah sempat cerita ke suster anak sakitnya habis vaksin. Di ICU, anak dipasang oksigen dan dimasukkan cairan. Lama-lama dari hidung anak keluar darah yang sangat banyak. Saat itu,tubuh termasuk tangannya membiru dan dingin. Dokter mulai memberitahu orangtua anak untuk selalu dekat dengan anak. Dokter berkata akan diberikan tindakan terakhir berupa suntikan. Suntikan pertama jika tidak ada reaksi, maka akan dimasukkan suntikan ke 2, namun tidak juga bereaksi..hingga akhirnya suntikan ke 3 sebagai suntikan terakhir anak tidak juga ada reaksi dan akhirnya dinyatakan wafat hari Senin (6 Agustus 2018). Dokter menyebutnya sebagai pendarahan di lambung.
Al Fatih ketika masuk RS
Sumber berita : Bapak Furqan (orang tua dari anak) via WA ke penulis. 

42. Agustina Logo (9). Perempuan. Murid SD kelas IV Inpres Umpakalo, Wamena, Papua.


AL ketika meninggal



Kronologis : Seorang bocah perempuan yang tercatat sebagai murid SD kelas IV Inpres Umpakalo, Distrik Kurulu, Kabupaten Jayawijaya dikabarkan meninggal dunia setelah diberikan imunisasi Campak (Measles) dan Rubella (MR) di sekolahnya, Selasa (14/8/2018).

Dari keterangan sejumlah keluarga, korban meninggal setelah dilarikan ke Rumah Sakit Wamena usai mendapatkan imunisasi MR.

Wali kelas IV di sekolah tersebut, Herman menceritakan , petugas kesehatan dari Puskesmas Kurulu tiba di sekolah untuk melakukan imunisasi, setelah jam istirahat. Sekitar pukul 11.00 WP.

“Setelah itu seluruh murid disuruh masuk ke dalam kelas, lalu didata untuk diberi imunisasi. Sebelum imunisasi, korban tampak ceria, namun setelah diimunisasi langsung pingsan,” katanya.

Usai pingsan, korban langsung dilarikan ke rumah sakit Wamena didampingi empat guru dan juga petugas kesehatan setempat.

Agustinus Okama Kosay, keluarga korban mengakui pemberitahuan ke pihak sekolah dilakukan mendadak pada Senin (13/8/2018) malam.

Bahkan menurutnya, pihak sekolah pun sempat menolak adanya imunisasi karena dianggap mendadak, namun imunisasi tetap dilakukan.

“Undangan atau pemberitahuan ke sekolah disampaikan mendadak, sehingga bagaimana pemberitahuan itu bisa tersampaikan ke seluruh orang tua, sekolah sempat ingin membatalkan, karena setiap anak harus didampingi orang tua sebelum imunisasi,” ujar Kosay.

Disampaikan, memang sebelum imunisasi, sudah ada sosialisasinya. Namun itu hanya difasilitasi oleh Yayasan Berkat Lestari. Tanpa didampingi petugas kesehatan setempat.

Setahunya, AL ini dalam kondisi sehat. Namun dari keterangan orang tua korban bahwa memang yang bersangkutan kondisi fisiknya sedikit kurang fit.

“Seharusnya dengan kondisi fisik seperti ini harus dijelaskan orang tua sebelum diimunisasi. Tetapi dengan kondisi seperti ini, petugas kesehatan juga tidak menanyakan ke orang tua terlebih dahulu dan langsung imunisasi,” katanya.

“Tanpa ditanyakan ke orang tua anak ini sebelumnya pernah sakit atau tidak, kondisi kesehatan seperti apa harus ditanyakan, ada apa sebenarnya,” sambungnya.

Dirinya juga menyesalkan terlambatnya informasi yang diberikan Puskesmas setempat, soal akan dilakukan imunisasi.

“Keluarga baru tahu informasi pagi hari, jika pemberitahuan masuk satu dua hari sebelumnya, setidaknya orang tua akan dampingi, sekaligus bisa menjelaskan soal kesehatan anaknya. Dan saat kejadian, bapak ibunya sedang di kebun dan sekitar jam 12 siang baru mendapat kabar,” ujar Kosay.

Kapolres Jayawijaya, AKBP Yan Pieter Reba mengatakan pihaknya akan meminta keterangan dari para petugas kesehatan di Puskesmas Kurulu, yang melakukan imunisasi.

Jasad Agustina Logo
“Kami akan meminta keterangan dari semua pihak, baik sekolah maupun petugas 
Puskesmas untuk melakukan penyelidikan awal,” kata Yan Reba.
Berdasarkan informasi sementara, Agustina merupakan siswa ke enam yang disuntik vaksin campak dan rubella di sekolahnya.
Sesaat setelah disuntik, Agustina langsung pingsan sehingga dilarikan ke RSUD Wamena, namun dalam perjalanan anak itu sudah meninggal dunia.
Seorang dari beberapa guru yang mengantar Agustina ke RSUD mengatakan bahwa anak tersebut memang pernah pingsan saat di sekolah.
"Sering pingsan. Itu sudah lama," kata seorang guru di RSUD.
Lima siswa lainnya yang sebelumnya disuntik vaksin campak dan rubella bersama-sama dengan Agustina, dilaporkan dalam keadaan baik, atau tidak mengalami masalah seperti Agustina.

Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Provinsi Papua Aloysius Giay menyatakan penyebab kematian AL (9) bukan oleh vaksin measles rubella (MR) yang disuntikkan ke tubuh anak itu. Pasalnya, enam anak lainnya yang divaksin MR dalam keadaan sehat. Aloysius menjelaskan, banyak hal yang bisa memengaruhi keadaan fisik seseorang, misalnya imunitas tubuh. "Berdasarkan hasil pertemuan dengan Dinas Kesehatan Jayawijaya dan Puskesmas Kurulu, diketahui bahwa tujuh anak lainnya, yang mendapatkan imunisasi dari vial atau botol yang sama dengan Agustina, berada dalam kondisi baik. Oleh karena itu, 
saya mengajak kita semua untuk tetap tenang," katanya, Kamis (16/8/2018).
Pemerintah Kabupaten Jayawijaya akhirnya menyelesaikan permasalahan kasus meninggalnya seorang murid SD Inpers Umpagalo Disstrik Kurulu setelah pihak keluarga dari almarhuma Agustina Logo menerima penawaran kompensasi dari pemerintah daerah sebesar Rp. 500 juta.
Dalam pembayaran kompensasi yang dilakukan di ruangan Asisten 1 Setda Jayawijaya, Wakil Bupati Jayawijaya Jhon R Banua mengakui jika pihaknya telah menyelesaikan masalah ini setelah melalui diskusi yang panjang dengan pihak keluarga yang sebelumnya tetap bersikukuh dengan meminta uang sebesar Rp 1 miliar dan 100 ekor wam (babi).
“Setelah kita melakukan negosiasi dan menjelaskan jika tak ada unsur kesengajaan yang dilakukan hingga merenggut nyawa anak tersebut maka mereka sudah sepakat untuk dibayar Rp 500 juta,”ungkapnya usai membayar kompensasi, Selasa (21/8).
Menurutnya, uang kompensasi Rp 500 juta ini ditujukan untuk semua. Artinya sudah semua permintaan dipenuhi oleh pemerintah daerah sehingga pihak keluarga sudah mempersilakan Puskesmas Kurulu untuk kembali melakukan aktivitas imunisasi dan aktivtas pelayanan kesehatan lainnya seperti biasa.
“Pembayaran ini sesuai dengan petunjuk Bupati Jayawijaya yang kita jalankan, dimana pemda tak pernah membayar kompensasi hingga miliaran dan hanya Rp 500 juta yang ditawarkan seperti penyelesaian kasus yang lain,”jelas Jhon Banua.
Ia juga menyatakan jika saat ini permasalahan ini telah selesai sehingga tak ada halangan lagi untuk melaksanakan imunisasi di Kabupaten Jayawijaya. Pihak keluarga juga telah menandatangani beberapa dokumen yang disiapkan dari pemerintah daerah sebagai tanda terima dan penyelesaian masalah ini.

Sumber berita : teras , okezone , seputarpapua, regional kompas, ceposonline, liputan6

43. Ramdhan Rafael Algensya (7 tahun). Lahir Agustus 2011 kelas 1 SD. Anak pertama (baru 1 anak dari orang tuanya). Jururejo Ngawi, Jawa Timur.

Ramdhan saat sehat
Kronologis : Kira-kira tanggal 13 Juli 2018 Algensya disuntik vaksin difteri di sekolah. Dari keterangan Mbah sang anak, sebelumnya anak memang  ada keluhan sesak napas dan gampang 'ngos2an kalau lari, ada gatal-gatal di kaki, umur 2 tahun lebih baru bisa jalan, bicara juga kurang jelas. Saat vaksin batuk pilek. Keluarga kemungkinan kurang memperhatikan karena ibu harus bekerja jam 9 pagi - 9 malam, sedangkan bapaknya bekerja dari jam 6 pagi sampai 5 sore. Setelah divaksin Al sempat sesak nafas, lalu kejang dan dimasukkan sendok sehingga 5 giginya patah, darah juga mengalir ke paru-paru. Beberapa hari sempat ramai rumah Al didatangi polisi, kades, dinkes ,dokter spesialis anak. Mereka datang karena kasus ini sempat viral dis ebuah grup WA. Mereka menjelaskan bahwa Al sakit karena ada gejala meningitis, bukan karena vaksinnya. Namun jika keluarga tidak terima, maka makam akan dibuka dan diotopsi. Akhirnya, keluarga memilih menerima dari pada berujung panjang.
Kasus Al via WA
Sumber berita : Siti Guaisyah (Bude Al) lewat WA penulis. 



44. Zika Ramadani G Pole (Usia 2 bulan). Lahir tanggal 13 Juni 2018. Desa Bangkagi, Kecamatan Togean, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah, Indonesia.

Cika ketika masih sehat
Kronologis : Cika (panggilan Zika) disuntik (ibu kurang mengerti suntiknya apa, mungkin suntik campak) di rumahnya. Cika disuntik oleh bidan (baru magang, menurut keterangan dari Ibu Cika) dalam keadaan tidur. Malamnya, Cika muntah dengan tidak wajar karena banyak dan sampai keluar dari hidung. Berhubung keluarga tinggal di pulau yang jauh dari mana-mana, rencana mau naik speed boat tapi tidak dapat, namun mau naik perahu (untuk ke dokter) ombaknya lagi besar. Akhirnya nyawa Cika tak tertolong.

Jenazah Cika

Sumber berita : Mymy Syifa (Ibu anak, melalui FB ke penulis).



45. Selvia Az Zahra (6,5 tahun). Lahir tanggal 19 Februari 2012. Kelas 1 SDN 019 Gn. Samarinda, Balikpapan. Muara Rapak, Balikpapan Utara, Kalimantan Timur.


Selvia yang meringis kesakitan



Kronologis : Selvia menerima vaksin di sekolah SD 019 GN. Samarinda pada tanggal 6 Agustus 2018. Anak divaksin dalam kondisi sehat. Selvi disuntik di sekolahnya oleh petugas Puskesmas Gunung Samarinda. Hanya ditanya batuk atau tidak, demam atau tidak. Lalu dienjus. Sang ibu tidak tahu jika anaknya disuntik. Di hari sama, siang hari, Selvi duduk sendirian di lapangan dekat rumahnya. Para tetangga, Ibu Risma dan Ami, mendengar Selvi menangis keras. Ibu korban masih kerja. 

Ibu Risma bertanya pada Selvi, "Kenapa nangis, lapar? Jatuh atau dipukul?" Ternyata tidak. Selvi menjawab habis disuntik di sekolahnya. Beberapa temannya ada yang gatel. Tapi Selvi ngilu di paha kanan. 

Malam hari, Selvi demam, pusing. Ibu Selvi Bu Marliani bilang, "Nangis teriak-teriak kesakitan kayak orang gila. Saya gak tahu kenapa." 

Esoknya, masih disuruh sekolah tapi Selvi mulai sulit jalan. Pincang dan membungkuk. Ibunya melapor ke sekolah. Pihak sekolah hanya menyarankan ke Puskesmas. 

Di Puskesmas, menurut Marliani, dokternya ngomong bahasa Inggris yang ia tidak mengerti. Lalu bilang, 

"Tidak ada hubungannya dengan vaksin. Ibu jangan bilang siapa-siapa kalau anaknya habis diimunisasi MR. Ini penyakitnya berbarengan dengan pas divaksin jadi tidak ada kaitannya." 

Marliani meneruskan, "Diperiksa saja tidak kok bisa langsung dibilang tak ada kaitan dengan vaksin. Lalu gimana dengan korban di media, internet. Kata dokternya itu bohong, isu. Mana orangnya yang bilang begitu, suruh hadap ke saya." 

Marliani tidak terima dengan penjelasan itu. Jelas-jelas anaknya sehat, disuntik tanpa izin, lalu lepas tangan. 

"Kenapa pakai bahasa Inggris. Berkode gitu. Saya gak ngerti. Kok ada yang ditutupi. Setelah itu, dokter itu menelpon ke luar," kisah Marliani. 

Akhirnya pihak Puskesmas merujuk ke RSUD Gunung Malang Balikpapan. Di sana tidak diperiksa. Selvi hanya diminta meluruskan kakinya. Lalu diberi obat anti nyeri dan vitamin. 

Tapi tetap dibilang tidak ada kaitan dengan vaksin. Ia diminta agar anaknya ikut terapi dengan biaya sendiri atau ikut BPJS. 

"Tapi BPJS kan bayar. Uang dari mana saya. Ini saja terpaksa saya berhenti kerja untuk merawat anak saya." Marliani pun tak keberatan bila dilakukan penggalangan dana. 

"Saya hanya ingin anak saya kembali normal. Bisa jalan lagi, sehat lagi seperti semula. Tapi saya tak tahu biaya dari mana." 

Selvi hanya diam saja. Sesekali menahan rasa ngilu. "Sakit, Ma..."

Setelah viral kasusnya, baru walikota turun tangan untuk memberi rawat inap pada Selvia. 



dari klik balikpapan :



"Sampai sekarang tidak bisa berjalan normal. Anak saya cacat, Mas. Dimana tanggung jawab petugasnya," tutur Marliani, ibu korban ditemui di rumahnya, Minggu, 19/8/2018.

Marliani juga merasa kesal lantaran Walikota Balikpapan Rizal Effendi telah menghentikan program ini.

"Tapi kenapa anak saya masih disuntik di sekolahnya. Itu pun tanpa izin saya, kan saya yang tahu kondisi anak. Kenapa dipaksa. Ini kan melanggar UU. Melanggar perintah pak Walikota juga. Pak Wali harus memarahi anak buahnya. Setelah anak sakit pun tidak ada yang tanggung jawab. Saya hanya ingin anak saya normal," tutur Marliani.

Selvi, jelas Marliani, disuntik di sekolahnya tanpa izin darinya. Selvi disuntik petugas Puskesmas Gunung Samarinda tanggal 6 Agustus 2018 di sekolahnya, setelah Walikota Rizal meminta penundaan.
"Kenapa Puskesmas dan sekolah mau mengambil hak saya sebagai orangtunya. Izin dulu dong harusnya. Jangan main suntik saja," geram Marliani.
Ia mengetuk hati penguasa agar bisa membantunya. "Pak Walikota Rizal tolong bantuin anak saya. Saya tak minta apa-apa, hanya minta anak saya bisa normal lagi," pinta Marliani, diamini para tetangganya.
"Betul Mas. Tetangga semua tahu Selvi ini sehat dan ceria. Tapi habis disuntik vaksin MR malah gak bisa jalan," sambung Anita, tetangga korban.
Saat KLIK menyambangi rumah korban, para tetangga berduyun-duyun ikut mendampingi keluarga korban. Selvi yang tinggal di rumah ibunya berukuran 3x4 meter, hanya bisa menahan rasa ngilu.
"Sakit, Ma," keluh Selvi, yang sedari tadi mengelus paha kanannya. Ia tidak bisa lagi berjalan normal. Bahkan sekadar meluruskan kaki kanannya juga tidak mampu. Saat diminta berjalan, ia tak kuat menopang badannya. Jalannya terseok-seok.
"Tuh, lihat sendiri kan, Mas. Siapa yang tega melihat anak sehat ceria tau-tau bisa begini. Apalagi perempuan. Semua tetangga di sini tahu Selvi itu lincah," tutur Ami, yang juga tetangga korban.
Apa tanggapan sekolah dan pihak Puskesmas? Ani bercerita, tidak ada tanggung jawab apapun dari pihak terkait. Dari sekolah hanya disarankan ke Puskesmas.
Setelah ke Puskesmas Gunung Samarinda dan menemui dokter yang menyuntiknya, lanjut Marliani, hanya dibilang bukan terkait vaksin.
"Ada tiga orang dokter tapi ngomongnya bahasa Inggris. Berkode gitu. Saya gak ngerti. Cuma bilang, 'ibu jangan bilang siapa-siapa kalau anaknya habis diimunisasi MR'. Kok menutupi gitu sih," kesalnya.
Marliani melanjutkan, jelas-jelas anaknya sehat sebelum divaksin. Usai divaksin merintih, demam, pusing, lalu tak bisa jalan.
"Kok dokternya bilang mungkin penyakitnya datang bersamaan saat disuntik. Kan aneh Mas. Saya gak terima lah jawabannya aneh," kesalnya. Anaknya pun dirujuk ke RSUD Gunung Malang.
Di sana diberi obat anti nyeri gratis. "Lalu dibilang anak saya ikut terapi saja dengan biaya sendiri. Katanya bukan karena vaksin. Tapi kok tidak diperiksa hanya diminta kakinya diluruskan," sesalnya.
Ani pun bingung dokter hanya menyarankan agar anaknya ikut terapi dengan biaya sendiri. Ia juga diminta membuat BPJS. "Kan BPJS bayar juga. Saya uang dari mana?" tuturnya. Marliani mengaku tidak memiliki biaya untuk menyembuhkan anaknya.
Terlebih ia sendiri terpaksa berhenti bekerja untuk mengurus anaknya. "Mau kerja gimana, anak saya cacat begini. Suami sudah misah," ujarnya.
Ia hanya berharap pihak terkait membantu anaknya untuk kembali normal.
Anita, tetangga korban pun berinisiatif melakukan penggalangan dana untuk menyembuhkan Selvi.
Selvi yang beralamat di Jalan Payau Gang Merpati RT 33 No.14 Muara Rapak, Balikpapan Utara, hanya bisa meringis kesakitan. Sudah sepekan ia tidak bisa sekolah.
"Gimana mau sekolah, Mas. Tiap malam teriak-teriak kesakitan kayak orang gila. Jalan saja susah," jelas Marliani. 
Alhamdulillah, Selvi sudah berjalan normal dan sehat kembali. 
Sumber berita : Saksi: para tetangga (Ibu Anita, Ibu Ami, Ibu Risma, dan lima ibu-ibu lain plus satu anak kecil).

Sumber berita dari FB : Adhenitha (melalui FB dan WA ke penulis), klikbalikpapan


46. Syahril Abawi. Siswa kelas 3 di SDN 013829 Ledong Timur. Warga lingkungan XII Kuala Kel. Aekkanopan Timur, Kecamatan Kualuh Hulu, Kabupaten Labura.
Sekolah di SDN 013829 Ledong Timur Kecamatan Aek Ledong Kabupaten Asahan, Sumatera Utara.
Syahril Abawi

Kronologis :

Seorang siswa kelas tiga di SDN 013829 Ledong Timur Kecamatan Aek Ledong Kabupaten Asahan meninggal pasca disuntik imunisasi Measless Rubella (MR). Siswa tersebut bernama Syahril Abawi warga Lingkungan XII Kuala, Aek Kanopan Timur Kabupaten Labura.

Ade Aprianti wali kelas Syahril Abawi didampingi Kepsek Marianto, rabu (15/8) di Ledong Timur membenarkan bahwa sebelumnya siswa kelas tiga tersebut di suntik Measless Rubella oleh pihak puekesmas sepuluh hari yang lalu.

"Petugas datang kesekolah menyuntik pada Rabu (1/8) lalu. Memang sebelum disuntik badan siswa tersebut berkeringat, bajunya basah," kata Ade Aprianti

Kepsek mengatakan, sebelumnya pihaknya belum ada memberikan surat untuk suntik imunisasi MR, karena tahun tahun sebelumnya tak pernah memakai surat pemberitahuan orang tua.

Pihak Puskesmas Aek Ledong menerangkan bahwa pihaknya telah memberikan imunisasi MR sesuai prosedur. Sebelumnya, pihak puskesmas juga memberi informasi kepada sekolah untuk memberitahukan kepada pihak orang tua siswa.

"Sudah sesuai prosedur, dan sebelum disuntik dilakukan siswa juga diberitahukan untuk sarapan terlebih dahilu, bawa teh manis, cuci tangan dan punya kartu posyandu, dalam catatan kami tidak ada kontra indikasi saat mau disuntik," ujar Maharani kasubbag TU Puskesmas Aek Ledong.

Dinas Kesehatan Sumatera Utara belum dapat memastikan meninggalnya seorang siswa sekolah dasar di Kabupaten Asahan yang diduga akibat pemberian vaksin MR. Jawatan ini masih mengkaji kasus tersebut dengan mengumpulkan data dan melibatkan saksi ahli, KOMDA KIPI.

“Mengenai kasus ini masih dikaji oleh dokter spesialis penyakit dalam dan Komisi Daerah Pemanduan dan Penanganan Kasus Ikutan Pasca Imunisasi (Komda Kipi) dan akan diberikan klarifikasi secara resmi jika kasus sudah terungkap,” kata Suhadi, Kepala Seksi Surveilans dan Imunisasi Dinkes Sumut, Rabu (15/8/2018).

Komda Kipi akan terus berupaya untuk mengungkap kasus ini, apakah Syahril Abawi, siswa SDN 013829 Ledong Timur, Asahan ini, meninggal akibat insiden pemberian vaksin MR (measles rubella). Hasil klarifikasi ini akan diperoleh secara resmi antara Sabtu dan Senin bulan ini.

“Pihak yang berwenang untuk mengklarifikasikan kasus ini adalah Komda Kipi, dan bekerja sama dengan dokter spesialis penyakit dalam. Saat ini masih dilakukan pengkajian,” ujarnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, Syahril Abawi siswa SDN 013829 Ledong Timur, Asahan. diduga meninggal setelah disuntik imunisasi vaksin campak-Rubella, Rabu (15/8). Dia diberikan vaksin campak – rubella oleh pihak puskemas sepuluh hari yang lalu.

Menurut keterangan kepala sekolah, Marianto, badan siswa tersebut sebelum disuntik sudah berkeringat dan bajunya basah. Pihak sekolah tidak memberikan surat untuk pengajuan pemberian imunisasi vaksin campak-rubella kepada orang tua.

Sementara, informasi yang diperoleh dari puskemas Aek Ledong meneyebutkan, pemberian imunisasi sesuai dengan prosedur, dan di dalam catatan mereka tidak ada kontra indikasi pada saat disuntik.
Ketua IDAI Sumut, Prof. Munar Lubis, SpA (K), menyebutkan belum pernah ada laporan kasus anak yang meninggal pasca imunisasi. Sebab reaksi suntikan imunisasi itu biasanya 4 hari setelah suntikan, baru demam.
Bukan begitu suntik, langsung demam. Ketua IDAI itu mengatakan kepada Waspada Rabu (15/8), terkait dengan pemberitaan meninggalnya anak ini. Menurutnya, "dalam kasus di Labura itu, mungkin si anak memang sakit, dan yang menyuntiknya tidak tahu bahwa anak sedang sakit", kata Munar. Dia mengakui memang ada KIPI. KIPI itu bermacam-macam mulai dari bekas suntikan memerah, bengkak, hingga demam. "Namun belum pernah ada laporan si anak meninggal akibat divaksin. Saya belum mendapat laporan di Labura itu", ungkapnya.
Dia menegaskan anak yang sakit tidak boleh diimunisasi. Dirinya menyarankan, anak boleh divaksin 2 minggu setelah sembuh dari sakitnya. "kalau saya biasanya tunggu 2 minggu setelah sembuh baru divaksin, karena kita tidak tahu penyakitnya kan. Apalagi saat ini yang melakukan vaksin ke anak adalah juru imunisasi. Dia tidak tahu itu, sakit apa anak itu", tegasnya.
Dia menduga, jurim hanya diajari cara menyuntik saja, sedangkan ilmu penyakitnya mungkin tidak diajari. Jurim itu dibina oleh puskesmas. Dia menyarankan, jika para jurim ini ragu ketika mau menyuntik, karena si anak sedang sakit atau baru sakit, maka sebaiknya dikonsultasikan dulu ke dokter. "Jangan hanya mengejar target, disuntik aja, padahal anak sedang sakit atau baru sembuh dari sakit", tambahnya.
Sedangkan Kepala seksi (Kasi) Imunisasi Dinkes Sumut, Suhadi mengaku sudah mendapatkan laporan kasus anak meninggal di Asahan. "Masih info lisan dari kabupaten", katanya.
Begitupun, kata Suhadi, pihaknya belum bisa memastikan penyebab anak itu meninggal. "Nanti akan ada klarifikasi setelah ada hasil dari tim ahli (Komda KIPI). Prosedurnya dari Pokja KIPI Labura, atau diserahkan ke Komda KIPI, tergantung hasil kesepakatan setelah dilakukan penyelidikan dan analis tim", tambahnya.







47. Aidil Fickrizal. 11 tahun. Lahir tanggal 12 Oktober 2007. Sekolah di SDN 005 Bontang Utara. Kelurahan Guntung, Bontang, kaltim. 



Kronologis : Lilik Purwanti, warga Jalan Gong 04 RT 16 Kelurahan Guntung menceritakan awal mulai anaknya mengalami KIPI. Memang KIPI yang terjadi bukan pasca imunisasi Measless dan Rubella (MR) yang sedang ramai saat ini. Namun KIPI terjadi pasca imunisasi difteri yang sempat meresahkan masyarakat Bontang, dengan ditemukannya 6 kasus difteri di Bontang.

“Jadi waktu imunisasi difteri tahap pertama itu, sepulang sekolah tiba-tiba anak pertama saya langsung demam, ruam atau biduran di semua badannya, jantung sakit, sesak nafas, bengkak-bengkak hingga di kemaluan,” jelas Lilik saat ditemui di kediamannya, Jumat (24/8) kemarin.

Merasa kejadian itu baru pertama kali dialami anaknya, Lilik pun memberi pertolongan pertama dengan meminumkan anaknya paracetamol sebagai obat penurun demam. Namun demikian, hari berikutnya, demamnya tak kunjung turun. Karena merasa anaknya masih bisa menahan rasa sakit di jantungnya, Lilik pun belum membawanya ke dokter.

“Saya pikir mungkin itu reaksi dari vaksin difteri, tetapi sampai kemaluannya bengkak. Saya ajak dia ke dokter, tetapi anaknya bilang masih kuat, akhirnya saya biarkan dan sembuh sendiri,” terang dia.

Dua minggu kemudian, anak pertamanya itu kembali mengalami demam lagi. Lilik mengira demam itu karena anaknya kehujanan usai pulang dari pengajian. Dengan inisiatif, diberikannya obat paracetamol lagi. Tetapi malah muncul bengkak lagi, gatal-gatal, dada sesak, jantung sakit, hingga membuatnya panik.

“Saya tunggu sampai besok dan dibawa ke Puskesmas, di sana dikasih obat demam dan batuk. Tetapi reaksinya sama bengkak dan gatal,” ujar Lilik.

Karena tak ada perubahan, sorenya, Lilik kembali membawa anaknya ke Puskesmas Bontang Utara II dan dia menceritakan awal mula anaknya menderita demam, ruam, bengkak, serta sakit di dada dan jantungnya. Dokter pun menyarankan untuk tes laboratorium dengan mengecek darah dan air seni Aidil. Hasilnya gula bersih, ginjalnya juga bersih dan negatif dari gagal ginjal.

Tetapi karena obat dari puskesmas tidak bereaksi, saya pun diberi rujukan ke RS PKT dan ditangani dokter anak Naomi,” ungkapnya.

Hasil pemeriksaan dokter anak, Lilik diminta agar tidak menyalahkan vaksin dan mencoba food challenge. Sehingga, Aidil diminta untuk memakan dari protein nabati seperti tahu tempe. Setelah itu dicoba protein dari telur, dan ayam. Hasilnya Aidil tetap baik-baik saja. Selama sebulan, anaknya demam lagi, dan langsung dirujuk ke dokter anak rujukannya tertulis drugs alergy (z, 88).”Saya sampaikan dari makanan tidak masalah, tetapi minum obat atau vitamin sedikit saja langsung bengkak, demam, kemaluannya bengkak sampai gede banget,” ujarnya.Memang dari kecil, diakui Lilik, Aidil terbiasa meminum obat. Tetapi, sekeras apapun obat yang diberikan tidak menimbulkan efek alergi separah itu. Bahkan dokter menyatakan sampai gagal jantung karena ketika demam, jantungnya sakit seperti ditusuk-tusuk.“Kalau gagal ginjal negatif, tetapi kalau gagal jantung dokter juga menyatakan hal itu,” terang dia.Atas pengalamannya itu, Lilik mengimbau kepada para orang tua agar lebih peka terhadap kondisi anaknya. Jangan melakukan imunisasi sekedar ikut-ikutan saja. Tetapi kondisi kesehatan anak dan riwayat kesehatannya harus benar-benar dikenali agar tidak terjadi hal serupa. “Saya ini bukan mendoktrin siapapun, hanya mengingatkan, jika mau imunisasi dicek dulu kondisi kesehatan anaknya. Ini karena saya mungkin masih kurang peka, sampai akhirnya anak saya mengalami alergi tingkat berat dan tak bisa sembarang meminum obat,” bebernya.Jadi kalau dia demam, ada obatnya yang diberikan dengan cara injeksi, paracetamol sudah tidak bisa dikonsumsi lagi,” imbuhnya.Penjelasan dari dokter Naomi juga dikatakan Lilik, bahwa sebenarnya vaksin difteri itu menyuntikkan bakteri ke tubuh anak supaya dia kebal jika virus itu mencoba menyasarnya. Tetapi saat divaksin difteri tahap pertama itu, sistem imun Aidil seperti kondisi memerangi bakteri difteri itu. Entah menolak atau apa, tetapi sistem imunnya yang justru gagal. “Makanya mengalami alergi tingkat berat, sampai ke gagal jantung. Jadi saya kerja sama sama guru, teman-temannya agar menjaga Aidil untuk tidak minum sembarang obat,” pungkasnya.Kejadian yang dialami Lilik dan Aidil ini mengingatkan, agar para orang tua lebih waspada ketika hendak mengizinkan anaknya untuk divaksin di sekolah. Jika anak dalam kondisi kurang sehat, sebaiknya vaksin ditunda. 




Sumber berita : Yulinya Hamid (teman FB yang sama-sama tinggal di Bontang yang sudah menghubungi langsung ibunda Aidil via WA dan inbox ke penulis), bontangpost.


48. Anggi Rahmadania. Lahir di Tanah Bumbu tanggal 23 September 2007. Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.

Kronologis : Suntik di sekolah SDN 2 Kersikputih Kab. Tanah Bumbu. Pada tanggal 8 Agustus 2018 sekitar jam 11.00 dilakukan suntik vaksin MR, setelah disuntik kurang lebih 1/2 jam langsung kejang. Orang tua langsung membawa anak pulang ke rumah. Sampai di rumah, kurang lebih 10 menit di rumah langsung dilarikan ke RSUD, dari saran si pemberi/petugas imunisasi vaksin MR. Setelah di rumah sakit langsung ditangani dan hasil diagnosa dari dokter dan hasil citiscan dan hasil lab darah dan kencing, hasilnya tidak ada penyakit dan bukan dari vaksin MR. Kasus ini sudah dimediasi dipertemukan antara lain kapolsek, orang tua korban, kepala dinkes, dan dirut RSUD dan datanya disembunyikan tidak diberikan sebagai bekal untuk si korban.dirumah sakit selama 1 minggu.
Orang tua sudah lapor petugas suntik dan ibu korban kipi tidak tau apa tanggapan dari laporan itu, karena yang melapor kakek dan ayah korban. Kondisi sehat walafiat tanpa ada riwayat sakit bawaan.
Sebelum kejadian ini, setiap kali vaksin tidak ada reaksi apa-apa. Anak tidak memiliki penyakit genetis. Tidak ada santunan berupa materi dari dinkes atau instasi terkait dan cuma santunan pengobatan secara kontrol rutin di RSUD. Orang tua tidak mau lagi vaksin anak, apa pun bentuknya.

Sumber berita : Orangtua korban melalui pak Ahmad Saleh (anggota Komunitas Thinker Parents).

49. Asella Novianti. 9 tahun. Bengkulu.
Pekerjaan Ayah/Ibu : jualan sosis
Alamat : Flamboyan 17, Skip, Bengkulu




Kronologis :

Pada tanggal 13 Agustus 2018 Sella disuntik vaksin MR di sekolah SD 36 Bengkulu, tanpa pemberitahuan kepada pihak orangtua terlebih dahulu. Setelah itu Sella mengalami panas tinggi disertai batuk pilek selama 3 hari. 2 hari panas turun. Di hari ke 6 Pasca vaksin Sella mulai susah bergerak. Saat ini Sella dirawat di RS M Yunus Bengkulu. Kata Dokter, Sella nyaris lumpuh, mirisnya dokter menyatakan ini disebabkan karena batuk dan kecapekan gendong tas. Pihak RS merujuk ke RS Palembang, tapi orang tua Sella yang sehari-hari jualan sosis mengalami kendala biaya.

Sumber berita : Ngadiman dan Darsih (orang tua) melalui Fitri (Tim Komunitas Thinker Parents).

50. Alkhalifi Virendra Shafwan. Lahir tanggal 5 Mei 2017. Saat sakit umur 1 tahun 3 bulan yang saat itu menjalani perawatan intensif di PICU salah satu Rumah sakit Fatmawati, Jakarta selatan.

Kronologis :
Pada tanggal 30 Mei 2018 siang jam 11.00 anak saya vaksin MR di Puskesmas. Jam 8 malam kaki sebelah kirinya lemas dan sulit di gerakkan hari esoknya kembali ke Puskesmas, dokter puskesmas bilang tidak apa-apa dan ingin di observasi. Tanggal 5-8 Juni dirawat di RS terdekat dan kemudian dirujuk ke RS yang lebih besar untuk menjalani pengecekan dan rawat jalan di RS tersebut sampai tanggal 29 Juni 2018.
Kelumpuhan Alkhalifi sudah menjalar sampai ke tangan kanan dan tatapan mata kosong seperti stroke. pada tanggal 02 juni dini hari Alkhalifi tidak bisa menghisap asi ibunya dan juga sesak nafas dan saya langsung membawanya ke RS Rujukan dan masuk IGD. Tanggal 3 Juni 2018 masuk ruang PICU lalu dokter mendiagnosis Alkhalifi menderita GBS, meningitis, TB otak, paru-paru dan sepsis. Mendengar diagnosis tersebut hati saya hancur karena tidak bisa membayangkan bayi kecil saya harus bertarung dengan banyak monster di tubuhnya.
Satu minggu di ruang PICU terjadi penurunan kesadaran dan harus menggunakan ventilator utk pernafasan . Setelah CT Scan ulang terdapat cairan di kepala (hidrocephalus) Alkhalifi juga sudah melakukan operasi pasang VP shunt (selang kepala) untuk mengeluarkan cairan di kepalanya. selama 7 minggu dirawat baru sempat 2 hari diruang perawatan tetapi demam tidak turun juga kejang dan akhirnya sekarang kembali lagi ke ICU. Sampai sekarang Alkhalifi masih di rawat di ICU salah satu RSU Jakarta Selatan.
Untuk pengobatan Alkhalifi di cover BPJS namun saya memang masih membutuhkan bantuan dana untuk biaya akomodasi selama di RS dan keperluan lainnya seperti Pampers ataupun susu high protein khusus untuk bayi saya. Ada beberapa biaya yang tida cover BPJS seperti beberapa obat dan lab yang harsu dilakukan di luar RS. Selain itu dokter juga tidak tahu kapan Alkhalifi akan terus dirawat. Namun saya akan tetap berusaha untuk kesembuhan bayi saya.
Suami saya juga terus berjuang dengan bekerja siang dan malam sebagai driver ojek online dan saya sebagai Ibu rumah tangga. Alkhalifi merupakan anak ketiga kami dan saya berharap dia akan sembuh seperti kakak kakaknya di rumah. Saya berharap saudara saudara berkenan hati membantu saya demi kesembuhan bayi saya.

Sumber berita : Andini (Ibu dari anak) melalui WA penulis.

51. Fayza Shaqueena. Lahir tanggal 17 Agustus 2017. Saat berita ditulis 13 bulan. Suntik di 
PKM Cilawu Garut.

Kronologis : T
gl 25.01.18 pagi imunisasi DPT 3. Siangnya anak kejang tanpa gerak hanya mata yang terlihat putihnya saja. Langsung ke dokter umum dikasih obat dan kembali sehat. Selang 1 minggu anak diare selama 7 hari baru dibawa ke igd karena kondisi si anak sudah lemas sekali (dehidrasi). Akhirnya dirawat +-5 hari baru boleh pulang. Waktu hari ke 5 diare, saya bawa anak perjalanan jauh dari Garut-Bandung pulang pergi untuk konsultasi dengan dokter sp.BA karena persiapan mau operasi labio (anak saya labio palato). Saya fikir anak kecapekan karena perjalanan jauh, jadi drop.
Saya tidak melapor karena merasa ini kelalaian saya sebagai ibu, masih belum terfikir kalau ini akibat dari vaksin DPT3. Anak saya sehat sebelum vaksin. Di vaksin yang sebelumnya pernah ada reaksi juga, ketika vaksin DPT1 dan DPT2 reaksi hanya demam 2 harian, lalu dikasih obat penurun demam, sembuh. Satu bulan terakhir anak kejang tanpa demam. Indikasi dokter anak saya epilepsi gen dari ayahnya. Tetapi hasil EEg blm keluar jadi epilepsi atau tidaknya belum tahu. Saya sekarang berobat jalan kalau tiba-tiba terjadi kejang lagi. Ke depannya, saya masih galau antara vaksin atau tidak.
Sumber berita : A
zta Frizta (Ibu dari anak) melalui WA ke penulis.
52. Indriyani (11), asal Kampung Cipetir, RT 04/03, Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Siswi kelas 6 Sekolah Dasar Negeri (SDN) Cipetir 01.

Kronologis : Menurut sang ibu, Omah (40), anaknya itu, meninggal dunia pada Senin (20/8/2018) lalu, seminggu setelah menjalani imunisasi.
Selain itu, ia menuturkan bahwa saat hendak disuntik vaksin DPT, anak satu-satunya itu sedang menderita sakit panas dingin.
"(Pemberitahuan imunisasi) ada, anaknya juga bilang gini, biarin ini mah biar sehat katanya. Lagi panas dingin itu," kata Omah sembari berlinang air mata, di hadapan wartawan, Kamis (23/8/2018).
Padahal, kata dia, anaknya itu sudah memberitahukan kepada petugas kesehatan bahwa dia memang sedang sakit saat hendak disuntik.
Usai jalani imunisasi di sekolah, kata dia, sakit panas yang dialami Indriyani tak kunjung sembuh bahkan keluarga berinisiatif membawanya ke dokter.
Namun, ia tidak menjelaskan rinci ketika Indri diperiksa dokter, seakan-akan seperti menutupi sesuatu.
"Ini mah gak apa-apa udah nasib aja gitu. Ini mah gak banyak bicara lah, gak mau, kalau sodara bilang juga, jangan, jangan didenger katanya," ungkap Omah.
Pihak Puskesmas meragukan kematian siswi SDN Cipetir 01, Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Indriyani (11), berhubungan dengan imunisasi DPT (Difteri, Pertusis dan Tetanus).
Kepala Puskesmas Cigombong, Sonny Budiman, mengatakan bahwa jika ada kekeliruan dalam imunisasi DPT pasti akan berdampak pada banyak siswa tidak hanya satu siswa.
"Kan ada sekitar 500-an yang disuntik, misalkan 50 persen lah kena dampak yang sama, itu baru bisa dipertanyakan vaksinnya," kata Sonny kepada TribunnewsBogor.com, Sabtu (25/8/2018).
Ia mengatakan bahwa Indriyani sebelum mengikuti imunisasi memang sakit, namun kemudian saat dilakukan imunisasi dia sudah sembuh dan masuk sekolah.
Usai divaksin Indriyani mengalami panas dan itu kata dia memang dampak sementara imunisasi.
"Setelah panas itu, dia masuk lagi kok sekolah biasa seminggu," kata Sonny.
Ia mengaku sudah menjalankan SOP sepenuhnya seperti siswa yang sakit tidak boleh menjalani imunisasi.
Bahkan imunisasi program pemerintah itu dilakukan tanpa adanya paksaan.
"Kita sudah sesuai dengan prosedur. Saya agak ragu kalau itu dikaitkan dengan vaksin. Tapi saya belum bisa beri keterangan lebih lanjut karena ini sedang ditangani oleh dinas kesehatan," kata Sonny.
Diberitakan sebelumnya, Seorang siswi kelas 6 Sekolah Dasar Negeri (SDN) Cipetir 01, Indriyani (11), asal Kampung Cipetir, RT 04/03, Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, meninggal usai menjalani imunisasi DPT.
Menurut sang ibu, Omah (40), anaknya itu, meninggal seminggu setelah menjalani imunisasi.
Selain itu, ia menuturkan bahwa saat hendak disuntik vaksin DPT, anaknya itu sedang menderita sakit panas dingin.
Namun ia menerima kematian anak satu-satunya itu dengan ikhlas.
"Ini mah gak apa-apa udah nasib aja gitu. Ini mah gak banyak bicara lah, gak mau, kalau sodara bilang juga, jangan, jangan didenger katanya," ungkap Omah.
Sumber berita : TribunnewsBogor

52. Nazwa Nur Azizah. Umur 12 tahun saat November 2018. warga Rw. 10 Rt. 07 ,Kelurahan Binong - Kecamatan Batununggal.


Kronologis : Nazwa merupakan anak dari pasangan Bpk. Yadi dan Ibu Suryamah, yang mana 10 bulan kebelakang mengalami Tyfus dan Dbd. Setelah sebelumnya menjalani suntik rubella di sekolah bulan Januari 2018, namun seusainya sering demam dan sesak nafas, selanjutnya pihak keluarga membawa anak ke IGD Rs. Pindad lalu dinyatakan Tyfus dan DBD mendapatkan perawatan 8 hari dan pulih, namun setelah 3 bulan di rumah dan sudah beraktifitas kembali kondisi nazwa menurun dan mengalami kejang serta sesak nafas, penanganan pertama dari keluarga membawa ke RS. Al-Islam setelah test lab dinyatakan menderita TB Paru lalu mendapatkan perawatan di ruang isolasi Rs. Al-Islam selama 8 hari.
Kondisi semakin berangsur baik obat tidak pernah telat, yang di berikan oleh Rs. Al islam adalah obat dengan capsul berwarna merah di peruntukan untuk Tb paru.
Berangsur pulih dan sudah bisa beraktifitas, 3 bulan kemudian kondisi Nazwa kembali drop dengan gejala kejang-kejang dan sesak nafas lalu di larikan kembali ke IGD Rs. Al-Islam dan di nyatakan Liver penanganan di berikan dengan pemberian Antibiotik namun anak Kembali Kejang kemudian Nazwa di rujuk ke Rs. Hasan Sadikin - di Rs. Hasan Sadikin Pasien belum di tangani secara intens dan dokter mempersilahkan pulang lalu menganjurkan kembali check up di Hari Selasa,30 Oktober 2018. Namun keluarga tidak yakin karena keadaan anak sudah sangat kesakitan, tidak bisa masuk makanan,keluarga mengambil tindakan pengobatan alternatif di Tasik dan di beri Obat Herbal - Setelahnya kondisi Nazwa kembali membaik dan bisa bersekolah seminggu lamanya, Tepat 4 November kondisi Nazwa kembali menurun demam dan Kejang lalu perut Nazwa mulai membuncit, hingga detik ini keluarga masih kebingungan untuk menempuh jalur pengobatan yang akan di jalani, sementara ada beberapa obat²an yang di konsumsi, sebelum menuju ke perawatan selanjutnya.
Gejala yang sekarang sering terasa sakit kepala, perut membengkak, kaki membengkak, kehilangan nafsu makan, kembung dan sakit, juga jika bagian tubuh tertekan akan menjadi bengkak.
Pengobatan yang sedang berjalan :
Pengobatan Alternatif - di Tasik.
Jaminan Kesehatan : BPJS - Kelas 3
*Kebutuhan* : 1. Perawatan Kesehatan
2. Vitamin
3. Bpjs yang belum di bayarkan selama 3 bulan karena kendala Finansial.
Dokter bilang penyakit Nazwa tidak ada hubungannya dengan vaksin.
Namun, Nazwa menghembuskan nafas terakhirnya tanggal 26 November 2018.

Sumber : tim penggalang dana Nazwa di kitabisa.com

53. Ilham Nur Ahmad. 4 tahun. Dusun Bancang RT 03 RW11, Desa Tahulu, Kecamatan Merak Urak, Kabupaten Tuban.

Kronologis :
 "Anak saya pun pernah jadi korban imunisasi difteri 2 yang ada di puskesmas Dusun Bancang, pagi anak aktif dan sehat, namun sesudah vaksin jam 10an, sekitar jam 5 sore anak saya kelihatan lemas dan merasa kedinginan padahal paracetamolnya sudah diminumkan sesuai petunjuk bidan, lalu sekitar jam 10 malam merasa kedinginan makin parah tapi badannya panas, anaknya juga kaget-kaget begitu, sampai jam 12 malam anak saya kejang kaku seperti kayu. Langsung saya bawa ke RS nu tuban yang jaraknya sekitar 12 km, alhamdulillah dirawat beberapa hari akhirnya sembuh tapi saya selalu tanya kenapa dengan anak saya setelah kena vaksin kok begini, jawaban yang saya terima selalu gak nyambung dengan perasaan saya, yang disayangkan tidak ada kepedulian sama sekali dari bidan desa, menjenguk pun tidak. Semoga musibah saya beberapa bulan lalu jadi pelajaran bagi ortu yang lain. Kalau saya pribadi tidak akan berikan vaksin apapun pada anak saya dari hari itu dan sampai kapanpun, sudah gak percaya lagi."

Sumber : Pakcik (Ayah dari anak lewat WA penulis).

Comments

AlFana said…
Terimakasih sudah upload investigasi ini.
Anak pertama saya kena kipi (demam tinggi,muntah, ga bisa bab 10 hari), alhamdulillah dia survive
Dokter Vaksin said…
DokterVaksin.com Melayani Vaksin Meningitis, Yellow Fever, Haji dan Umrah di Indonesia

Popular Posts