DATA KIPI VAKSIN (periode sebelum tahun 2017)

Data ini saya susun berdasarkan info yang saya gali dari media sosial, melalui japri langsung ataupun tidak langsung dengan keluarga bersangkutan. KIPI sendiri adalah semua kejadian sakit terhitung 30 hari pasca vaksin, baik yang berupa koinsidens (sakitnya bukan dari vaksin) maupun kausal (sakitnya memang disebabkan oleh vaksinnya). KIPI di Indonesia selama ini 100% diakui koinsidens, entah karena yang kausal tak terlapor ataukah memang ada berbagai pihak yang menganut dogma "vaksin tidak pernah salah", entahlah... Sebelumnya saya mohon maaf sebesar-besarnya jika sudah memuat artikel ini, saya menulis dengan keterbatasan saya sebagai ibu rumah tangga yang tidak bisa mendatangi dan survey satu per satu keluarga KIPI ini, karena itu dengan segala kekurangannya saya mohon maaf. Di sini saya akan tuliskan data apa adanya seperti yang tertulis di media sosial. Tidak saya tambah-tambahi atau dilebih-lebihkan, untuk selanjutnya supaya bisa dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi semua pihak.


1. Azkadhia Karunia Hanum. Umur 6 bulan. Surakarta.



Kronologis : Pada November 2011, anak sedang sehat-sehatnya (menurut pengamatan sang ibu), maka diambillah jadwal imunisasi DPT 2 di salah satu RSIA di Solo,yang menyuntik bidan waktu itu.sepulangnya dari vaksin selang kira-kira 1 jam badan adek mulai demam, ibu masih pikir ini hal yang wajar. Bu bidan juga berkata demikian, lalu diminumkan parasetamol sirup, dingin sebentar habis itu demam lagi begitu terus naik turun sampai hari ke-3, hari ke-4 masih dicoba observasi sendiri dirumah oleh Ibu karena anak masih mau minum asi, tapi malamnya justru semakin demam sampai 39,5 C dan ga mau menyusu, ga rewel sama sekali,hanya suara desahan nafasnya yang terdengar berat sambil terpejam, saat itu juga dibawa lari ke dsa, sampai disana ibu menceritakan awal mula si adek demam, ga banyak bicara dokter langsung menyuruh ibu bawa anak ke UGD, setelah dikasih obat penurun panas anak berangsur mulai turun panasnya, setelah beberapa jam panas lagi begitu terus sampai 3 hari dirawat di RS, ibu bertanya apa ini gara-gara vaksin yang buat anak seperti ini, jawab dokter bisa jadi karena imunitas anak yang ga bagus, ibu ga ngerti apa yang mau ditanyakan lagi waktu itu, pokoknya iya aja apa kata dokter. Katanya kandungan vaksinnya udah dinetralkan, setelah hari ke-5 di RS barulah keadaan anak stabil, suhu tubuhnya udah normal dan hari ke-6 boleh dibawa pulang. Setelah kejadian itu sang ibu mulai baca-baca tentang efek vaksin (kipi) tp saat itu belum sebanyak sekarang informasi yang didapatkan oleh sang ibu. Meskipun begitu mulai detik itu juga Ibu dari Azkadhia dan suami mantep bismillah memutuskan untuk tidak lagi memvaksin anak-anaknya yang lain yang saat itu baru berumur 3 th.



Sumber berita : Yanti Mahanum (Ibu) melalui Seliawati (Tim KIPI Komunitas Parents) lewat FB.



2. Arya Rendra Priyatama. Umur 2 bulan. Desa Sonopatik, Kecamatan Berbek, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.



Kronologis : Primita Andriyani (18 tahun), ibu bayi itu mengatakan anaknya diimunisasi (tidak disebut jenis vaksinnya, sepertinya pentabio) pada 15 Oktober 2016 di posyandu desa mereka. Setelah imunisasi, pada malam hari bayinya mengalami panas. "Setelah imunisasi badan panas dan menangis terus. Saya telepon bu Endang (bidan desa) dan disuruh ke sana (pos kesehatan) jam 05.30 WIB dan diberi obat," katanya ditemui di rumah duka, Kamis (27/10). Ia mengaku diminta membayar uang Rp 40 ribu untuk mengganti obat untuk anaknya tersebut. Setelah sampai, panas anaknya bukannya turun, tapi justru bertambah naik. Bahkan, anaknya juga mengalami diare parah. Ia pun membawa anaknya ke bidan lain, namun diminta untuk membawa anaknya ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Nganjuk. Di tempat itu, anaknya mendapatkan perawatan medis. "Saya sempat ditanya dokter, dan saya jawab baru diimunisasi. Di rumah sakit, dokter mengatakan anak saya kritis dan tidak tertolong," katanya dengan mata berkaca-kaca. Ia mengaku kaget dengan kejadian tersebut, sebab sebelum diimunisasi anaknya dalam kondisi sehat. Bahkan, berat badannya pun normal, sekitar 6 kilogram. Namun, anaknya meninggal dunia pada 19 Oktober 2016. Ibnu (30), bapak bayi itu mengaku tidak tahu menahu mengapa kondisi anaknya menjadi drop, padahal anaknya sehat. Ia meminta agar petugas menegur bidan yang bertugas, agar hal ini tidak terjadi pada bayi lainnya. "Mungkin dari obat yang disuntikkan itu ada yang salah, saya juga kurang tahu. Tapi, kami berpikir dari situ penyebabnya, dari obatnya, sebelumnya anak saya tidak apa-apa, sehat," katanya. Walaupun masih penasaran mengapa anaknya meninggal dunia setelah diimunisasi, Ibnu mengaku rela melepas kepergiannya. Ia hanya berharap, tidak ada bayi lain yang mengalami nasib seperti anaknya.



Sumber berita : Republika, Antaranews.



3. Divia Akila Putri. Umur 9 bulan. Desa Sonopatik, Kecamatan Berbek, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.



Kronologis : Keluarga terpukul dengan kejadian tersebut. Namun, keluarga enggan untuk dimintai konfirmasi dengan alasan semua telah diserahkan ke perangkat desa setempat. Keluarga mengikuti permintaan dari perangkat. Kepala Puskesmas Grogol Endang Rahayu mengatakan sudah memberikan laporan terkait dengan kronologi meninggalnya dua bayi di Desa Sono, Kecamatan Berbek, Kabupaten Nganjuk itu. "Semua sudah kami laporkan ke dinas, jadi konfirmasi ke dinas saja," kata Endang kepada wartawan.



Sumber berita : Sama dengan nomor 2. 



4. Rasqa Alkholifi Pamudji. Umur 5 bulan. Pasar Rebo, Jakarta Timur. 



Kronologis : Sebelumnya, bayi tersebut menderita panas tinggi setelah mendapatkan imunisasi di sebuah rumah sakit di Jakarta Timur. Usai diimunisasi, Rasqa mengalami panas tinggi selama 5 hari. Ayahanda Rasqa, Agung Pamudji (27) mengatakan, kejadian itu bermula saat anak keduanya mengikuti imunisasi DPT 3, Rabu 11 Mei 2016 lalu. 

"Habis imunisasi itu, setelah hari ketiga, turun panasnya. Setelah itu sampai hari kelima anak saya panasnya semakin parah. Panasnya enggak turun-turun. Makanya saya bawa balik lagi ke rumah sakit," kata Agung di kediamannya di Jalan Kalisari 3, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Rabu (18/5/2016). 

Saat dibawa ke rumah sakit, bayi Rasqa itu langsung diperiksa dokter. Sang dokter lalu memberikan kembali resep obat antibiotik, agar segera diminum Rasqa untuk menurunkan panasnya. 

"Tapi Rabu (hari ini) anak saya kelihatan sesak," lanjut Agung. 

Karena ketakutan akan kondisi anaknya, Agung kembali membawa buah hatinya ke rumah sakit tersebut. Di sana, dia disarankan oleh dokter untuk membawa anaknya ke RS Harapan Bunda. 

"Namun ketika di dalam ambulans, anak saya menghembuskan nafas terakhir. Pukul 08.00 WIB," tutup dia. Saat ini, keluarga Rasqa masih berduka. Orangtua sang bayi menduga ada malapraktik dalam kasus kematian anaknya. Petugas dari Polsek Pasar Rebo terlihat di lokasi untuk mencari informasi dugaan penyebab meninggalnya Rasqa. 





Sumber berita : Liputan6, Kompas, TribunBali

5. Clara Minarti Pricilia. Umur 7 tahun. Desa Purwasari, Kecamatan Purwasari, Karawang, Jawa Barat. 

Kronologis : Sebelumnya keluarga korban mengira korban meninggal karena sakit yang dideritanya sejak Senin. Namun keluarga baru mengetahui kalau korban yang sedang menderita sakit tersebut sudah mendapat suntikan imunisasi dari pihak sekolah. Korban yang sempat dilarikan ke Rumah Sakit (RS) Karyawan Husada meninggal sebelum mendapat perawatan intens dari dokter. "Memang sebelum diimunisasi dia sudah sakit tapi kenapa harus ikut imunisasi dan kami pihak keluarga tidak diberitahu," kata Pakarta (40), salah seorang paman korban kepada wartawan, Senin (28/11/2016). Pakarta mengatakan, awalnya Senin 22 November 2016, korban berangkat ke sekolah dan saat tiba di sekolah seluruh siswa langsung diimunisasi. Setelah pulang ke rumah, tangan bekas disuntik membiru dan badan korban mengalami panas tinggi. Lalu orangtua korban memberi obat warung kepada korban dan saat itu kondisi demamnya turun. "Kami tidak tahu kalau korban sudah diimunisasi karena tidak diberitahu pihak sekolah. Keluarga mengira korban sakit demam biasa, sehingga dikasih obat warung," ucapnya. Kemudian Rabu, 23 November 2016, kondisi korban mengalami panas tinggi, dan pegal linu pada seluruh persendian badannya. Kemudian korban kembali diberi obat warung dan kondisi panasnya turun, namun esok harinya dia (korban) mengalami kejang-kejang. Kemudian pihak keluarga membawa korban ke RS Karya Husada, tetapi di perjalanan nyawa korban tidak tertolong. Pakarta menjelaskan, pihak keluarga tidak akan menuntut siapapun dan sudah merelakan meninggalnya korban. Namun pihaknya menginginkan sekolah untuk dapat menjelaskan proses imunisasi yang dilakukan. "Akibat meninggalnya korban, pihak orangtua akan melakukan jalur kekeluargaan. Korban tidak akan dilakukan autopsi dan langsung dimakamkan oleh pihak keluarga," jelasnya. Sementara Kepala Puskesmas Purwasari dr Iin Indiati belum bisa berkomentar banyak. Dia beralasan masih mencari tahu penyebab kematian Clara. "Kami nanti akan coba minta laporan hasil dari RS Karya Husada, untuk mencari tahu. Kalau memang harus diautopsi, maka akan dilakukan itu," ucapnya. Pihak Puskesmas mengaku sudah mewanti-wanti kepada sekolah serta orangtua siswa, kalau pelajar yang sakit tidak boleh ikut imunisasi. "Sebelum memberikan imunisasi ke siswa, itu bertanya dulu ke guru dan orang tuanya. Kalau ada yang sakit, maka tidak akan diberikan penyuntikan. Waktu itu orangtua Clara juga ada di jendela melihat anaknya disuntik," tuturnya. 

Sumber berita : Okezone

6. Ahmad Faris. Umur 2 bulan. Kampung Sawah Leuga, Desa Ngamplang Sari, Kecamatan Cilawu. 

Kronologis : Keluarga pasangan Neti Srihandayani dan Patah Yasin, menuntut pertanggungjawaban pihak Puskesmas Pasundan. Seperti ditayangkan Liputan 6 Siang SCTV, Selasa (29/11/2016), mereka menuding ada unsur kelalaian pada proses imunisasi Ahmad Faris yang yang masih berusia 2 bulan oleh tim medis. AKibatnya, bayi malang itu sempat kejang dan dua hari kemudian meninggal dunia. Sementara itu, pihak puskesmas tengah menunggu hasil pemeriksaan tim dokter ahli untuk mengetahui dugaan penyebab kematian bayi Ahmad Faris. "Betul. Cuma masalah penyakitnya belum bisa menentukan. Apakah ini langsung karena imunisasi, itu belum," jelas Kepala Puskesmas Pasundan Elin Muslih. Setelah kehilangan anak ketiganya, baik Yasin dan Neti menuntut tanggung jawab pihak puskesmas dan berencana menempuh jalur hukum. "Kami mengharapkan dari pihak Puskesmas untuk menjelaskan dan bertanggungjawab," ucap Patah Yasin, orangtua korban. Bayi Ahmad Farisi menderita kejang-kejang usai menerima suntikan imunisasi. Paha bekas suntikan bahkan terus berdarah. Proses imunisasi dilakukan mahasiswa semester akhir dari Perguruan Tinggi Kebidanan dengan pengawasan bidan yang bertugas. Selang dua hari kemudian, bayi malang itu menghembuskan nafas terakhir. 

Orang tua bayi Ahmad Faris menuntut pertanggungjawaban (Image diambil dari liputan6) 

Sumber berita : Liputan6

7. Rika Nurcahya Rani. Umur 8 tahun. Kampung Cidangdeur, Desa Linggarsari, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta.


Kronologis :

Rika Nurcahya Rani Azahra bocah 8 tahun yang tinggal di Kampung Cidangdeur, 07/03 Desa Linggarsari, Kecamatan Plered hanya bisa terbaring lemas. Pelajar yang harusnya duduk di kelas II sekolah dasar ini sudah delapan bulan tidak bisa sekolah. Penyebabnya, kedua kaki mungilnya mendadak lumpuh dan nyeri persendian tulang punggung.
Keluarga sempat menuduh penyakit yang diderita Rika akibat vaksin yang disuntikan oleh petugas imunisasi yang datang ke sekolahnya pada Januari 2016 lalu. Pasalnya, Rika mulai sakit panas beberapa jam setelah diimunisasi. Kondisinya semakin parah hingga akhirnya lumpuh, kedua kakinya kaku tidak bisa berjalan. 
Namun anggapan itu terpatahkan oleh diagnosa dokter. Ternyata Rika memiliki riwayat penyakit paru-paru. Dokter rumah sakit yang menangani penyakit Rika memprediksi penyakit itu berasal dari penyakit flek yang sudah diderita Rika sejak balita, namun karena tidak diobati penyakit tersebut kemudian menjalar dan kuman atau bakterinya menggerogoti tubuhnya.
Usut punya usut ternyata Rika lahir dari keluarga kurang mampu. Sejak bayi Rika tinggal dan diurus neneknya. Itu karena kedua orangtua Rika yang belakangan bernama Rina (25), dan Junaedi (30) bercerai sejak usia Rika dua tahun. Sebagian keluarga Rika mengakui jika Rika memang kurang mendapat perhatian dari orangtuanya. "Memang Rika dulu sering sakit-sakitan sejak bayi. Tapi itu biasa dan sembuh," kata Aisyah (50), neneknya saat ditemui kediamanya, kemarin.
Sejak jatuh sakit delapan bulan lalu, kata Aisyah, cucunya sudah berobat ke sejumlah rumah sakit, bahkan juga ke pengobatan arternatif. Namun bukannya sembuh, kondisi Rika semakin memburuk. Yang membuat dirinya sedih, cucunya Rika selalu merengek ingin sekolah. Termasuk saat melihat teman-temanya bermain, Rika selalu ingin ikut bermain, tapi apa daya untuk hanya sekedar duduk pun Rika selalu mengeluh sakit pungung. "Sekarang ya begini, aktivitas sehari-harinya hanya tidur. Kami sudah bingung, kemarin sudah dibawa ke RS Siloam Purwakarta. Di rumah sakit itu Rika dirawat lima hari, tapi karena tidak ada biaya untuk bekal sehari-hari di rumah sakit kami pun pulang. Untuk biaya berobatnya memang sudah gratis," tutur Aisyah.
Namun demikian, Aisyah dan keluarganya saat ini sudah bisa bernafas lega. Kemarin rumahnya didatangi Tim Dinas Kesehatan yang diperintahkan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi untuk kembali menjemput cucunya. Rika kemudian dibawa oleh tim tersebut ke RS Siloam dan akhirnya dirujuk ke RS Hasan Sadikin, Bandung.
Kepala Bidang Promosi Kesehatan pada Dinas Kesehatan (Diskes) Purwakarta dr. Deni Darmawan, yang juga ketua Tim Diskes yang datang menjembut Rika mengatakan, penyakit paru-paru yang diderita Rika sudah ada sejak Rika bayi, tapi karena tidak diobati maka kuman atau bakterinya mejalar dan menjadi parah.
Biasanya penyakit ini akibat penyakit flek yang tidak diobati atau kalau pun diobati mungkin tidak tuntas. Seharusnnya penderita penyakit flek diobati selama sembilan bulan bahkan hingga satu tahun," ungkap dia.
Namun demikian, pihaknya optimis Rika bisa sembuh dan kembali berkumpul dengan teman-temanya, asalkan pengobatan Rika yang saat ini akan dimulai kembali jangan sampai terputus. Pengobatan penyakit itu akan butuh waktu panjang. Pasalnya penyakitnya sudah masuk stadium lajut yang masuk katagori parah. "Yang terjadi pada pasien Rika ini adalah kerusakan tulang belakang akibat penyakit paru-paru, yang mengakibatkan kelumpuhan pada tungkai kaki kanan. Solusnya ya diobati, tapi harus berlajut dengan waktu cukup lama. Kami pastikan penyakit ini bukan disebabkan dari imunisasi," jelas Deni.
Menurutnya, flek paru-paru atau yang biasa dikenal dengan Tuberkulosis (TB) merupakan sejenis penyakit menular yang dapat mengakibatkan suatu potensi yang fatal yang dapat mempengaruhi setiap bagian tubuh, terutama infeksi paru-paru. Penyakit ini disebabkan oleh adanya infeksi yang ditimbulkan oleh mikroorganisme bakteri yang dikenal dengan basil tuberkel atau Mycobacterium tuberculosis. "Flek paru-paru merupakan salah satu jenis penyakit yang dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama. Namun penyakit paru-paru ini dapat diobati atau disembuhkan, serta dapat dicegah dengan penggunaan berbagai obat-obatan tertentu. Untuk penyakit ini seharusnya tidak harus dibiarkan seperti apa yang diderita Rika saat ini," pungkasn
Kabid diskes menyatakan, "Apabila kelumpuhan Rika disebabkan karena vaksin, dipastikan tidak hanya Rika, tetapi rekan siswa Rika lainnya akan mengalami kelumpuhan." Jelasnya, Rabu (31/8). Diduga, penyebab kelumpuhan Rika Nurcahya Rani, Siswi Kelas 2 SDN 1 Linggarsari Kecamatan Plered Purwakarta ini, karena adanya riwayat pengobatan paru paru yang di alami Rika yang tidak selesai. Yang mana seharusnya Rika menjalani pengobatan paru paru selama 6 bulan, tetapi baru 2 bulan telah dihentikan, sehingga bakteri paru paru menyerang lumban ke 4 dan 5 atau bagian tulang belakang, sehingga jadi lumpuh dan kemungkinan sulit disembuhkan. Terang, Deni Darmawan kepada awak media. Rabu (31/8).Hingga saat ini, Rika hanya bisa terkolek lemah di rumahnya. Ironisnya, kelumpuhan yang di terimanya, terjadi usai ia menjalani vaksinasi massal di sekolah 8 bulan lalu." Kini pelajar kelas 2 SDN 1 Linggarsari kecamatan Plered Purwakarta ini, telah dua bulan lamanya tak bisa berangkat sekolah, karena lumpuh. Sementara pihak orang tua telah berupaya membawa berobat anaknya ke dokter desa, namun tak juga ada perubahan. Menurut Rina, orang tua korban, Rika Nurcahya Rani, awalnya mengalami panas tinggi dan pembengkakan dibagian lengan yang disuntik vaksin. Ia kemudian jatuh sakit, hingga akhirnya menderita kelumpuhan."

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) daerah Purwakarta, mendesak Dinas Kesehatan segera mengobati Neng Rika Nurcahya Rani Azrha (8), bocah setengah lumpuh asal Desa Linggarsari, Kecamatan Plered.
Gadis cantik yang terkena penyakit seperti stroke itu, hingga kini belum mendapat penanganan serius. Padahal, penyakit yang di derita bocah putus sekolah itu sudah menginjak hampir tujuh bulan. "Kita dari KPAI akan minta Neng Rika, agar segera ditangani supaya anak itu bisa kembali sehat," ujar Nunung Nurjanah, Sekretaris KPAI daerah Purwakarta kepada Radar Karawang, Minggu (7/8).
Menurut Nunung, setiap warga Purwakarta berhak mendapatkan pelayanan maksimal. "Terlepas dengan kurangnya masalah persyaratan atau penyebab penyakit anak itu. Yang jelas Neng Rika harus kembali sehat dan bisa sekolah," tegasnya.
Untuk diketahui, sehari-hari aktifitas Rika terbatas. Sebab, sebagian tubuhnya tidak berfungsi atau seperti mengalami lumpuh. Ia seharusnya naik ke kelas 2 SD Negeri Linggarsari. Namun kondisi fisiknya tidak memungkinkan ia untuk melanjutkan sekolah. Sehari-hari, ia dirawat bapaknya yang bernama Juned (31) dan neneknya Aisah (58). Kondisi itu ia alami sejak tujuh bulan lalu. Selama tujuh bulan itu pula, ia terbaring lemah. Meskipun, kesadarannya masih normal. Sehari-hari, neneknya dengan sabar merawat bocah kecil berambut sebahu ini

Sumber berita : Seputarjabarradarkarawang
8. Andini Aulia. Umur 7 tahun. Kota Sukabumi, Jawa Barat. 
Andini dan ortu saat berobat

Kronologis : Bocah berusia tujuh tahun yang duduk di kelas 1 SDN Cipetir 1, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi diduga mengalami kelumpuhan otot di bagian wajah, sehingga wajahnya terlihat melorot. Keluarga menduga itu terjadi setelah bocah ini diberi vaksin campak di sekolah pada Selasa 28 September 2016 lalu. Melihat kondisi wajah Andini yang seperti itu, pihak keluarga membawa gadis malang ini ke RSUD R Samsudin SH Kota Sukabumi untuk dilakukan scan terhadap penyakit yang dideritanya. Sebelumnya Adini pun sempat ditangani oleh RSUD Sekarwangi pada Jumat lalu. Berdasarkan keterangan ibu kandung Andini, Yuli mengatakan diagnosa awal putrinya trsebut mengalami Bells Pelsy atau kelumpuhan sementara pada otot wajah. Sehingga, bagian setengah wajah sebelah kiri susah digerakan. Awal mula kondisi Andini ketahuan oleh pihak keluarga saat malam hari setelah diberikan vaksin. Andini mengeluh merasakan sakit panas, dan saat akan tidur, kelopak mata Andini kesulitan untuk ditutup. "Ketahuannya keliatan dari fisik, Andini ngeluh, pas tidur mata susah gak menutup, saat itu bingung harus ngapain," katanya.Yuli menambahkan begitu mengetahui ia langsung lapor ke SD tempat Andiri sekolah. Dibantu tenaga pengajar untuk dibawa ke RSUD Sekarwangi, tapi pihak medis rumah sakit milik Pemkab Sukabumi tersebut memberikan rujukan untuk discan di RSUD R Syamsudin SH," tambah warga asal kampung Cijarian Petir RT23/RW07 Desa Cipetir ini. Sampai berita ini diturunkan Andini masih diperiksa oleh dokter spesialis syaraf dan psioterafi RSUD Syamsudin SH. Pihak rumah sakit belum bisa memberikan keterangan penyebab penyakit yang diderita Andini. 

Sumber berita : Sukabumiupdate

9. Raihan Fadilah. Umur 5 tahun. Warga Rt 05 Rw 14 Dusun Nusagede Desa Cijulang Kecamatan Cijulang Kabupaten Pangandaran. 

Kronologis : Anak dari Ny. Cicih (35) harus tergolek di tempat tidur karena penyakit yang dideritanya, seharusnya di usia itu, Raihan, layaknya teman-teman usia sebayanya sedang riang-riangnya bermain. Menurut orangtuanya, penyakit yang diderita Raihan diduga akibat mal praktek Saat Raihan mengikuti imunisasi yang mengakibatkan anak bernasib malang itu harus menderita kelumpuhan setelah pelaksanaan imunisasi DPT 1 (Difteri, Pertusis, Tetanus) tahun 2011 lalu hingga sekarang Raihan kondisinya sangat memperihatinkan. “Kejadiannya diawali saat mengikuti kegiatan pos yandu, saat itu usia anak saya baru berumur empat bulan. “Terang Cicih.(30/8). Usai imunisasi, masih terang Cicih, anaknya mengalami kejang kejang tapi beruntung bisa disembuhkan hanya bedanya, anak yang tadinya aktif menjadi pasif dalam kesehariannya. “Bulan berikutnya anak kami ikut imunisasi lagi dan disuntik DPT 2, tapi setelah diimunisasi yang kedua kalinya itu anak saya kejang-kejang lagi bahkan lebih parah. “Lanjut Cicih. Saat berikutnya, ketika ada pemanggilan imunisasi ke 3, Cicih tidak membawa anaknya ke pos yandu lagi karena kondisi anaknya sudah semakin menghawatirkan. Sejak itulah anaknya menderita kelumpuhan dan tidak bisa bicara sampai sekarang. ”Waktu itu kami pun sempat mengadukan hal ini kepada bidan tapi tidak ada tanggapan sama sekali. “Katanya. Dan saat itu Cicih pun sempat juga membawa anaknya ke dokter anak di Ciamis saat Raihan menginjak usia 11 bulan, dan hasil diagnosa dokter yang menangani buah hatinya menerangkan, Raihan menderita epilepsy. “Saya pun kaget karena anak saya saat usia 3 bulan keadaannya normal-normal saja dan sama seperti bayi lainnya sebelum diimunisasi." Imbuhnya. Tinggalah kini, bocah malang Raihan hanya bisa tergolek di tempat tidur dengan kondisi memperihatinkan dengan kondisi kakinya yang semakin mengecil. Sebagai orangtua, Cicih pun berharap anaknya bisa sembuh kembali dan bisa berjalan seperti anak-anak sebayanya, ia ingin melihat buah hatinya bisa berjalan dan bicara kembali seperti anak seumurnya dengan penuh keriangan. ”Pengobatan sudah saya lakukan tapi berhubung keterbatasan biaya, sekarang saya hanya bisa pasrah sama yang maha kuasa saja", Ungjkap Ccich. 

Sumber berita : Pangandarannews

10. Ashila Dzakira Munandar. Umur 1,5 bulan. Cianjur. 

Kronologis : Setelah vaksin DPT pada tahun 2008. mengalami panas kemudian ada gerakan gerakan refleks tapi hanya tubuh bagian kiri. Setelah itu dibawa ke DSA dan mondok disana. Setelah bbrp hari dirawat, gerakan refleks itu tidak berhenti. Anak malah kejang lalu disuntik, kejang lagi disuntik lagi sampai entah berapa kali anak sudah disuntik. Setelah itu dirujuk ke RS di Bandung. Di UGD anak didiagnosa paru parunya pecah dan detak jantungnya melemah. Bagian otak terindikasi ada virus. Dan setelah melewati hari hari yang menyakitkan, anak kami meninggal. 

Sumber berita : Ira Adriany (ibu) melalui Seliawati via WA grup admin KTP. 

11. Ajeng Atsira Nawazakia. 6 bulan 2 minggu. Sunter, Jakarta Utara. 

Kronologis : Kejadian meninggalnya 13 November 2015 di RS Sulianti Suroso Jakarta. Pemberian vaksin DPT 3 , combo ditambah polio tetes di puskesmas Bambu Kuning Sunter Jakarta Utara. Nanti sang ibu akan menjelaskan detailnya seperti apa, saat ini sedang menyusui anak ke 2 dan tidak bisa menceritakannya. 

Sumber berita : Endar Wati (via FB, ibu dari anak). 

12. Fanani Nur Latif. Saat kena KIPI ketika tahun 2014, umur 3 bulan di Blora, Jawa Tengah. Saat ini sudah pindah ke Tuban, Jawa Timur. 

Kronologis : Dulu suntik yang pertama di lengan tidak terjadi apa2, tidak ada demam. Lalu yang ke dua itu di paha (kayaknya DPT), habis vaksin di posyandu oleh bidan dikasih paracetamol yang obat gerus, disuruh minumkan kalau sudah pulang oleh sang bidan penyuntik. Parasetamol diminumkan ke anak. Sore sekitar ashar badan anak menghangat, tidak sampai demam tinggi ibu langsung kasih minum obatnya lagi namun dimuntahin. Habis muntah jarak beberapa menit matanya seperti melotot2 lalu badannya kaku wajah membiru nafasnya tidak beraturan. Karena ibu ketakutan lalu sang ibu meminta nenek Ifan (panggilan Fanani) menggendong Ifan, lalu ibu langsung hubungi bidan yang suntik. Tidak berapa lama bidannya datang tapi saat itu memang sudah berhenti kejangnya. Bidan mengecek suhu badan juga 37,4 kalo tidak salah. Oleh bidan, Ifan dimunumkan kembali parasetamol yang cair dan pesan kalau masih kejang lagi bawa ke Dsa. 

Ifan saat usia 4 tahun 

Setelah itu Ifan masih saja kejang setiap jarak berapa jam melotot2 lagi akhirnya dibawa ke Dsa. Di dsa, ibu tidak bilang bahwa Ifan habis divaksin karena tidak pernah terpikir akibat vaksin, sehingga Dsa bilang ini tidak apa-apa, yang penting dikasih obat. Namun obat mau habis tetap saja tidak hilang, masih kambuh terus. Akhirnya Ifan diopname. Selama di RS cuma kambuh 1x. Setelah pulang dari RS tetap masih seperti itu, namun jarak beberapa hari terus sampai sekitar 3 bulanan kejang terus. Setelah lewat beberapa bulan sudah ga pernah lagi kejang sampai sekarang (2018). Kejadian KIPI ini membuat Ifan yang dulu sudah bisa tengkurap, sekarang di umurnya 4 tahun dia bertingkah seperti anak umur 1 tahun, belum bisa mandiri dan belum bisa bicara. Saat ini masih terapi wicara. 

Sumber berita : Nurul Ni'mah (melalui FB atas nama Nurul chayang Ifand, ibu dari Ifan). 

13. Naura Aurin Dita. Lahir tanggal 6 November 2012. Pontianak. Anak pertama dari 2 bersaudara. 


Dita (6 tahun) saat terapi 
Kronologis : Anak terlahir secara normal dan tanpa suatu penyakit apa pun. Awal mulanya adalah anak dapat suntik DPT 1 umur 4 bulan di sebuah klinik. Pagi disuntik sorenya kejang lebih dari 1 jam. Tetapi anak masih normal dan ibu mencoba konsultasi ke bidan yang menyuntiknya dibilang bukan karena disuntik tapi memang penyakit itu ada di badan anak. Saat itu, ibu berfikir mungkin karena faktor keturunan karena waktu kecil ibu juga ada riwayat kejang. Masih belum ketahuan kalau anak tidak cocok imunisasi, sebulan kemudian anak divaksin DPT 2 paginya suntik sorenya terulang kembali kejang sampai beberapa hari rawat inap 5 hari tapi kata dokter cuma kekurangan sel darah putih. 
Kejangnya berlanjut tapi secara fisik dia normal kayak anak seusianya. Saat main dia letih langsung kejang, bangun tidur kejang. Mencoba konsultasi ke sepesial saraf di RS Antonius + spesialis anak tetapi belum juga ketahuan penyakitnya. 
Dokter syaraf menyarankan terapi obat, lalu ibu jalankan sampai dokter sarafnya pernah salah kasih dosis obat, yang semestinya obat untuk 3 bulan dijadikan 1 bulan. Hasilnya anak oleng kayak anak mabok. 
Kejang terus berlanjut itensitasnya malah makin sering. Segala macam cara dicoba, tapi tidak mengurangi kejangnya. Dokter syaraf menyarankan eeg, disitu hasilnya anak didiagnosa epilepsi. Akan teteapi dokter masih terus menyarankan imunisasi di Rumkit yg tanpa demam. 
Tapi sampai rumah anak tetap demam juga. Keadaan anak masih normal walaupun dia sering kejang. Terapi obat berlanjut sampai umur 1 tahun 8 bulan, kemudian ada batuk pilek demam dan anak mengalami kejang dari subuh sampai malam. Keadaan pada saat itu di luar kota sore putuskan buat balik ke Pontianak. Sesampainya pada malam hari langsung masuk Rumkit Antonius dalam keadaan tidak sadar dan terus kejang. 
Masuk langsung ruangan ICU anak dinyatakan koma 5 hari dalam keadaan demam tinggi. Sadar dia udah ngak bisa ngapa-ngapain. Badanya kaku seperti sebatang kayu motorik dan sensoriknya tidak lagi berfungsi. Syaraf mata pendengaran nya kena semua akibat kejang. 
Difonis radang selaput otak + peomonia oleh dokter. Dokter bilang kalau anak memang tidak cocok imunisasi dan disarankan untuk tidak diimunisasi lagi. Sungguh menyesal hati sang ibu mengapa baru ketahuan setelah anak tidak bisa apa apa. 
Sekarang usianya hampir 6 tahun sedang belajar untuk mandiri. Terakhir anak divonis menderita cerebral palsy (kelumpuhan otak) tapi bukan dokter sepesialisnya yang memberi tahu melainkan terapisnya. Kejadian ini membuat sang ibu trauma jika mengingat vaksinasi. 

Sumber berita : FB Evi nya Firdaus (ibu dari anak, melalui penulis via inbox FB) 

14. Abdul Khamid Rafiudin (Rafi). Lahir tanggal 4 Mei 2007. Gentasari, Kroya, Cilacap, Jawa Tengah. Anak ke 3 dari 3 bersaudara. 

Rafi
Kronologis : Siang itu (Mei 2007) kira-kira semingu setelah kelahiran putraku aku membawa anak untuk imunisasi BCG ke dokter anak tapi katanya suruh ke bidan terdekat karena jarak antara rumahku ke kota agak jauh. Aku akhirnya ke bidan yang dekat rumah tapi dari dua bidan yang aku temui, mereka menyarankan untuk ke puskesmas karena sayang kalau vaksinnya hanya dipakai untuk satu bayi. Jadi, aku ke puskesmas, dan aku sengaja berangkat siang supaya tidak mengantri. Akhirnya kami sampai di puskesmas dan didata. Tapi disini aku merasa ada sesuatu yang janggal. Biasanya setelah pendataan di depan ruangan periksa, pasien kan seharusnya menunggu dulu untuk dipanggil, kali ini entah mengapa setelah didata, aku langsung disuruh menidurkan anak di tempat tidur pasien dan tanpa basa basi bidan langsung menyuntik paha kanan anakku, tidak ada sekedar pertanyaan benar/tidaknya mau vaksin. Sempat terbesit dibenakku, apa ini bidan salah suntik ya, namun kutepis pikiran itu. Karena masih ada antrian di belakangku, aku langsung pulang. Sesampainya kami di rumah, bayiku rewel nangis terus menerus dan tidak mau minum asi. Tidurnya gelisah dan terkejut-kejut tanpa sebab. Selang 5 jam kemudian, bayiku tetap tidak mau menyusu sehingga aku memutuskan untuk menelepon teman yang kebetulan berprofesi dokter. Temanku menyarankan untuk membawa Rafi ke dokter spesialis anak. Dalam perjalanan Rafi tetap terkejut-kejut dalam gendonganku..dengan sedih dan panik kupeluk dia melalui 1 jam perjalanan akhirnya aku sampai di RS di Banyumas ke dokter spesialis anak dan langsung di suruh ke UGD. Di UGD perawat bilang anakku sudah Kritis...
Bibir, kuku tangan, dan kuku kakinya sudah membiru dan Rafi dinyatakan koma oleh dokter. 
Di Banyumas, selama seminggu perawatan 2 kali Rafi sempat tidak ada dan ada lagi karena aku belum ikhlas melepasnya. 
Akhirnya dipindah ke RS yang lebih besar di Purwokerto, dirawat kembali selama seminggu. Seminggu tidak ada perubahan sama sekali dan dokter bilang aku harus Ikhlas karena Rafi hanya bergantung sama alat-alat yang menempel di tubuhnya. Kalaupun bisa bertahan Rafi sudah tidak bisa apa-apa karena yang diserang sistem syaraf. 
Akhirnya aku ikhlas tapi sebelum alat-alat dilepas aku mau menemui anakku. Aku melihat anakku seperti kesakitan dengan semua alat yang menempel di tubuhnya. Pada saat aku datang, Rafi tersenyum seolah-olah mengatakan supaya aku kuat dan merelakan ia pergi. 
Setelah kepergiannya, aku tidak ingat apapun kurang lebih selama 3 bulan kata suamiku. Buku imunisasi sampai dibakar juga oleh kakakku yang sangat marah akan kejadian ini. Kata suamiku waktu itu ada pihak puskesmas yang ke rumah dan ingin damai dan suami sudah mengikhlaskan semuanya karena sudah takdir. Suami tidak mau diperpanjang masalahnya karena tidak bisa mengembalikan lagi putra kami. Dan suami juga lagi binggung merawatku yang sudah hampir kehilangan akal sehat ketika itu, harus dijaga 24 jam, karena jika tidak aku seringkali menyakiti diri sendiri. Oleh Pak Kyai, kami diminta untuk memaafkan semuanya. Disaat aku sadar kembali, suami menangis dibawah kakiku terus memeluk'ku kencang sekali sampai membuatku susah bernapas saking ia bahagianya melihatku sadar kembali. Belum lama ini, aku bertemu bidan yang menyuntik anakku waktu itu dan dari gelagatnya ia gelisah lalu aku dekatin dan kubilang padanya bahwa aku sudah memaafkan semuanya. 
Sampai sekarang, kedua kakak Rafi memang masih saya vaksin, namun vaksinnya harus di dokter anak, tidak akan lagi vaksin di puskesmas. 

Sumber berita : Atik Fathiyah (Ibu dari anak via inbox di FB kepada penulis) 

15. Erlangga. Lahir April 2008. Solo. Anak pertama, saat ini (2018) ibu sedang mengandung anak ke 2. 

Kronologis : Sekitar bulan Agustus 2008, ketika umur anak 4 bulan anak mendapat vaksin DPT, HB, dan polio di bidan desa setempat. Setelah imunisasi, anak seringkali demam dan lama-lama otot tubuh melemah dan mulai tidak bisa apa-apa. Padahal sebelum itu sudah bisa tengkurap dan sudah bisa angkat tubuhnya tinggi persiapan mau merangkak, lama-lama tumbuh kembang terhambat dikala anak seusianya sudah berjalan, anak belum bisa jalan dan belum bisa berbicara. Terkadang pendapat dokter yang berbeda-beda sempat membuat ibu bingung. Ibu pun tidak melapor karena masih belum paham apa itu KIPI. Berbagai terapi telah dijalankan, diantaranya terapi di Aquatreat Hj. Juanda, terapi di Soeharso Ortopedi Solo namun tidak ada perubahan. Dokter menyarankan ibu untuk cek darah takut ada virus di rahim, ini nanti ditakutkan ketika ibu punya anak lagi bisa cacat lagi, jadi dokter sedikit menyalahkan cacatnya anak karena virus dari ibunya bawaan lahir. Dicek kandungan ternyata hasilnya bersih. 

Sumber berita : Rini (Ibu dari anak, melalui FB inbox ke Fitri, anggota Komunitas Thinker Parents).

16. Yasmine Jane Wiguna. Lahir tanggal 5 Januari 2002. Jakarta. Anak pertama dari 4 bersaudara.


Kejadiannya 02 Mei 2002 pukul 11 siang di suia 4 bulan anak mendapat vaksin DPT 1 di Puskesmas Jakarta, tempat Yasmine dilahirkan. Sebenarnya saat itu Yasmine ada pilek sedikit sehingga ibu hanya berniat untuk menimbang saja, namun entah mengapa akhirnya jadi suntik dan bayar. Ibu juga tidak memberi obat setelah anak disuntik. Dan pukul 2.30 anak kejang padahal suhu 36,5 dan dibawa ke klinik 24 Jam M.Husni Thamrin namun klinik tidak punya diazepam sehingga langsung disuruh ke RS, dan akhirnya diopname dan didiagnosis dokter kejang demam komplek itu pertama kali di RS. Sumber Waras, sempat ke RSCM tetapi ditangani sama dokter praktek, diagnosisnya epilepsi. Ibu tidak melapor sama sekali ke puskesmasnya karena pikiran kalut total. Banyak yang bilang lapor bidannya dan polisi, namun ibu tidak mau karena sudah panik dan hanya menginginkan anak saat itu bisa sehat kembali. Dan juga sempat di RSAL Mintohardjo dengan Diagnosis Syaraf kejepit. Kejang terus berlanjut sampai kini juga masih. Berbagai obat2an distop ketika usia 7 tahun. Konsumsi Enchepabhol terus menerus. Kalau dulu, ibu hampir hafal sama obat-obatan anak. Kalau sekarang sudah pasrah karena pinternya hilang, bicaranya hilang, dan sekarang dan sekarang hanya bisa merangkak saja.
Ibu baru banyak membaca dan baru tahu ternyata kasus Yasmine banyak terjadi. Ibu pernah mencoba menghubungi Kak Seto ternyata ga bisa Sekarang seharusnya dah lulus SMA tetapi posturnya masih seperti usia 7 tahun. Setelah kejadian itu ibu trauma dengan vaksin. 
Ibu juga sempat ingin bisa konsul sama dokter special kejang RSCM tapi ditolak, semua karena masalah keuangan yang terbatas. Jadi pasrah dulu ke dokter itu berkali2 dalam sebulan.

Yasmine (2018) 
Sumber berita : Nurhayati Suta (Ibu dari anak, via inbox FB ke penulis).
17. Syakilla Esma Sulistio. Lahir di Brebes, 05 oktober 2015.

Syakilla 
Kronologis : Tahun 2015, tepatnya bulan Oktober ketika itu anak saya batuk pilek sudah hampir 2 minggu, hari kamis saya periksa ke dokter spesialis anak katanya tidak apa-apa dan saya tanya dok anak saya belum BCG gimana dok, kata dokternya tidak apa-apa bu imunisasi BCG cuma di kulit dan tidak menimbulkan demam. Besoknya hari jum'at saya pergi ke puskesmas untuk vaksin BCG, lalu setelahnya masih baik-baik saja namun sorenya anak saya menangis kencang matanya sampai melotot2. Pada saat itu saya belum menyadari bahwa badannya sudah biru dikarenakan lampu rumah kurang terang dan warna cat dinding yang juga gelap. Semalaman dia terus menangis kejer dan nafasnya tersendat-sendat dan pagi harinya saya bawa anak ke rumah sakit terdekat dan dokter bilang rumah sakit tersebut tidak bisa menerima anak saya dikarenakan tidak ada ruang picu (saya bingung sebenarnya sakit apa anak saya sehingga rumah sakit tersebut tidak bisa menangani anak saya). Dan akhirnya saya bawa anak saya ke rumah sakit di daerah Tegal dengan keadaan badan yang sudah sangat biru dan saturasi cuma di angka 45 sedangkan normal nya 90-100. Saturasinya tidak stabil. Anak masih dalam keadaan sadar malah dia masih tersenyum seperti tidak lagi sakit. Sewaktu dibawa pakai ambulan juga dia tidak rewel sama sekali. Anak tidak ada demam sama sekali, bahkan selama anak lahir sampai wafatnya anak tidak pernah demam. Selama di rumah sakit anak disuruh puasa oleh dokter. Kata dokter anak saya kena virus di paru-parunya. Saya tidak melapor ke pihak penyuntik karena tidak mau memperpanjang kasian adek sudah tenang di surga Allah. Saya juga fokus ke anak sehingga tidak berpikir untuk melapor. Anak menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 26 November 2015 

Sumber berita : Rismaya Yulianti Putri (Ibu dari anak, via inbox FB ke penulis).

18. Rafi Ahmad Fahrazi. Lahir tanggal 23 Agustus 2008. Jakarta.

Ravi sebelum vaksin, sehat.
Kronologis : Kejadiannya ketika anak mendapat vaksin campak umur 9 bulan (Mei 2009) di bidan daerah Cileduk. Setelah vaksin pagi, sore menjelang magrib anak kejang, tetapi anehnya badan tidak demam sama sekali. Akhirnya dibawa oleh ibu ke klinik namun kata bidan tidak apa-apa, cuma reaksi dari vaksin itu. Sebenarnya disuruh opname tapi ibu tidak ada biaya jadi hanya rawat jalan. Setelah berhenti kejang, beberapa bulan kambuh lagi, bahkan sehari bisa 10 sampe 12 kali bahkan lebih. Akhirnya anak diopname di Cipto periksa cairan otak katanya gejala epilepsi. Waktu itu biaya dibantu bos suami yang berbaik hati membiayai pengobatan anak, sehingga dapat dirujuk ke RS Tarakan Tanah Abang. Di sana ke bagian spesialis syaraf dikasih obat rutin minum pagi dan sore, tidak boleh telat karena kalau telat bisa kambuh katanya. Dan benar waktu minum obat itu anak tidak pernah kejang lagi. Setelah 2 tahun minum obat, ibu menjadi takut dengan dampak terlalu banyak konsumsi obat kimia. Akhirnya obat distop, sampai sekarang tidak pernah kejang namun permasalahannya perkembangannya jadi lambat. Umur 3 tahun belum biasa apa-apa bahkan merangkak saja tidak bisa. Ibu disuruh terapi ke tumbuh kembang tapi lagi-lagi biayanya tidak ada. Akhirnya anak dibawa ke tukang urut diurut tiap minggu sekali baru ada sedikit perkembangan. Akhirnya umur 4 tahun bisa jalan. Tapi sampai sekarang belum bisa bicara. Usia Ravi saat data ini dibuat sudah 10 tahun, namun belum sekolah di SLB karena terkendala biaya. Ibu sangat mengharap uluran tangan dermawan untuk menyekolahkan atau terapi Ravi.

Ravi 4 tahun, baru bisa jalan

Ravi, 10 tahun, belum sekolah 

Sumber berita : Wiwien Winarty (Ibu dari anak via inbox FB ke penulis).

19. Muhammad Sultan Solehudin. Lahir di Bandung 20 April 2010. Lokasi kejadian di Bandung.

Sultan ketika masuk RS pertama kali

Kronologis : Ketika anak usia 7 tahun (kelas 1 SD waktu itu), di sekolahnya ada momen vaksinasi campak serentak. Padahal saya sudah tolak bahkan ada penandatanganan penolakan tetapi tetep disuntik. Ibu tidak ingin anak divaksinasi karena anak dari lahir dulu tiap habis vaksin demam 2-3 minggu, kulit memerah sekujur tubuh. Pulang sekolah mimisan dan mengeluh sakit di perut sama lengan. Malamnya pukul dua dini hari demam ampe 40 derajat dan dibawa ke UGD naik lagi 41.3 derajat. Dokter langsung suruh rawat inap. Dari situ mulai telinganya mengeluarkan darah dari hidung, mulut bagian gusinya, dan telinga, darahnya seperti jelly menempel. Tensi melorot, trombosit turun.
Masuk UGD pasca vaksinasi campak KIPI (dokter yang periksa yang bilang itu KIPI). Abis campaknya keluar, menyusul trombosit turun lalu kena tipes, 3 hari kemudian cek lab positif DBD. Jadi, setelah vaksin anak kena campak, tipes, dan DBD menyusul. Dokter yg suntik cuma bilang, "oh gpp Bu ini cuma KIPI". Tapi gak ada tindakan penanganan apa pun. Bayangkan bagaimana sakitnya rasanya badan anak saya waktu itu. Jelas saya minta penjelasan dari pihak dokter yang melaksanakan vaksinasi sayangnya mereka bilang ini tanggung jawab pihak sekolah, ketika minta penjelasan ke pihak sekolah pun malah mereka bilang ini tanggung jawab dokter puskesmas yang menyuntik. Saya dipingpongin. Saya pulang lagi ke RS dengan sedih, saya ceritain ke suami, suami ke sekolah ngamuk-ngamuk, saya sendiri terlalu lemas ketika itu. Kami bukan mau minta uang, hanya mau minta penjelasan kenapa bisa begitu, sudah tanda tangan di surat penolakan tapi masih disuntik. Anak saya kesakitan, tertinggal pelajaran di sekolah selama hampir sebulan karena pasca 2 minggu di RS, pulangnya tetap harus bedrest 2 minggu. Mereka minta maaf pun setelah anak saya pulih dan masuk sekolah (sebulan pasca suntik). Sampe sekarang kalau ada momen vaksinasi para orangtua murid yang sekelas sama anakku langsung ingat kejadian 2 tahun lalu waktu suami ngamuk gebrak meja. 
Kami sebagai orangtua tiap ada momen vaksinasi serentak disekolah harus standby menemani anak pas tanggalnya harus bersikukuh sama pihak puskesmas yang bertugas menyuntik, bersikukuh sama pihak sekolah juga. Sampai akhirnya ada kalimat dari saya yang agak kasar mungkin seperti ini, "Kami orang tua akan mengijinkan anak kami vaksinasi jika disini ada yang berani menjamin dan bertanggung jawab atas resiko yang terjadi lagi pada anak saya pasca vaksinasi nanti". Namun, tidak ada yang berani angkat tangan. Berarti saya akan tetap menolak vaksinasi untuk anak saya. Lihat kejadian anak saya setelah vaksin beberapa ibu jd ada yg takut ikut vaksinasi krn melihat langsung KIPI yang menimpa anak, tapi saya sama sekali tidak mempengaruhi mereka untuk tidak ikut vaksinasi apalagi provokasi.
Sedangkan Valerie adiknya Sultan, ketika kakaknya di RS, minggu depannya dia terkena campak (adiknya belum pernah vaksin sebelumnya), kemungkinan tertular Sultan. Saya bawa ke dokter anak, positif campak katanya. Disuruh diisolasi dirumah aja, penulihannya sekitar 10 hari tanpa ada darah sama muntah, ada demam sampe 39 derajat. Pemulihan Valerie justru lebih cepat dari Sultan.


Sumber berita : Adentina Daeroby (Ibu dari anak, via inbox FB ke penulis).


20. Ananda Riani Ahmad. Laki-laki. Lahir tanggal 5 Oktober 2010. Di Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Banjarmasin, Kalimantan Selatan. 

Ananda sehari-harinya hanya berbaring
Kronologis : Asal mula anak saya diimunisasi waktu umur anak baru 4 bulan. Pergi ke posyandu untuk imunisasi polio dan difteri dan setelah diimunisasi malamnya demam disertai panas tinggi, itu pun turun panasnya apabila masih ada reaksi obat penurun panas dan apabila tidak ada lagi reaksi obatnya naik drastis panasnya, ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama kira-kira 1 bulan, dan setelah itu kejang dengan durasi yang lumayan lama kira-kira 1jam, dan setelah kejang tiba-tiba langsung koleps/koma tidak sadarkan diri. Langsung saya larikan ke RSUD setempat. Pada awalnya saya tidak tau bahwa anak saya korban malpraktek dan di RSUD koma selama 2 bulan dan itu pun saya minta 3 kali rujukan rumah sakit. Sampai yang ke 3 kalinya saya minta rujukan rumah sakit di Makassar, Sulawesi Selatan dan saya sempat sewa dokter dari dokter ahli saraf, dokter spesialis anak, dokter spesialis paru dan jantung dan pelengkap dokter terapi versi medis. Dan hasil kesimpulan tim dokter yang saya sewa tadi muncullah diagnosa bahwa anak saya korban malpratek, anak saya sakit karena kandungan vaksinnya dan salah suntik yang seharusnya suntik vaksin difteri tapi malah disuntik vaksin campak. Setelah saya mengetahuinya saya shok, campur aduk perasaan ada semua waktu saat itu. Perlahan saya selidiki dan cari bukti-buktinya sampai akhirnya saya menemukan buktinya,dan setelah saya dapat semua saya mau melanjutkan diranah hukum. Namun, di keluarga saya ada yang tidak setuju, khususnya mertua saya. Mertua bilang, tidak usah dilanjutkan perkara ini. Namun, dari sisi lain saya tidak ihklas, emosi dan orang tua mana sih yang mau anaknya dijadikan ajang percobaan. Di satu sisi saya dituntut dan harus belajar untuk mengiklaskan dan menerima apa yang saya sedang hadapi. Kata mertua saya siapa yang menanam dia lah Yang menuai, jadi saya harus belajar untuk semua itu. Lama saya baru bisa mengikhlaskan kurang lebih 3 tahun baru bisa saya mengikhlaskan apa yang saya pernah hadapi dan alhamdulillah cobaan yang pernah saya alami ada hikmanya atas ijin Yang Maha Kuasa. Ketika kejadian saya tidak melapor ke pihak posyandu karena saya belum tahu semuanya. Ananda sejak kejadian itu, keadaannya sangat memprihatinkan, sehari-harinya hanya bisa tiduran, hanya satu tangan yang bisa diangkat dan ini berlangsung selama 8 tahun. Ananda meninggal tanggal 8 agustus 2018 jam 15.35.

Ananda saat koma untuk terakhir kalinya
Sumber berita : Ahmad Saleh (ayah dari anak via inbox di FB dan WA penulis).


21. Mokhammad Rofi' Al-Nafi'. Laki-laki. Lahir di Kediri, tanggal 18 Oktober 2015.
Rofi ketika sebelum vaksin, sehat, gemuk, dan aktif

Kronologis : suatu hari (sudah agak lupa kapan) anak mendapatkan vaksin DPT HB dan polio di pagi hari di bidan di Kediri. Sore hari anak mulai demam dan demam berlangsung sampai esok paginya, suhu makin tinggi dan ini berlangsung selama 3 hari. Waktu demam pertama kali anak dibawa ke bidan lain (bukan penyuntik) yang lokasinya dekat rumah. Akhirnya demam anak turun. Bidan berkata demamnya anak karena virus. Lalu bidan memberi obat yang harus rutin diminum selama di rumah. Namun hari ke 3 belum juga sembuh, jadi Ibu bertanya kembali ke bidan, dan bidan bilang kalau lebih dari 3 hari silahkan ke RS. Hari ke empat anak terlihat lebih baik karena demamnya turun. Hari ke lima  anak dibawa lagi ke bidan tersebut, lagi-lagi bidannya bilang bahwa anak cuma terserang virus mau pilek. Bidan menyarankan diuap aja, lalu akhirnya anak diuap. Setelah itu, pulang ke rumah sejam kemudian anak mendadak kejang lalu dibawa ke RS ditangani beberapa saat, lalu dinyatakan kritis namun akhirnya dokter mengumumkan bahwa anak sudah meninggal. Gejala saat sebelum kejang adalah sesak atau sulit bernapas padahal demamnya sudah turun. Selama kejadian, keluarga tidak ada yang melapor ke puskesmas karena keluarga sudah ikhlas dan tidak akan menuntut bidannya namun keluarga mencurigai vaksin sebagai penyebab kematian anaknya. 

Sumber berita :Safitrimo Sapa (ibu dari anak via inbox Fb ke penulis.

22. Marcello Axel (2 bulan). Oktobe 2012. Tanjung Priok, jakarta Utara.

Marcelo Axle

Kronologis : Nasib malang menimpa Marcelo Axle. Bayi dua bulan itu meninggal setelah mendapat suntikan imunisasi DPT\/HB 1 dan Polio 2 di Puskesmas kec. Tanjung Priok Kamis (27/9/2012) silam. Belum dikatahui pasti penyebab meninggalnya anak pasangan Hendra Wakim,23 dan Stefi Anastasia,19, warga Jalan Enim II No 64/118 RT 004/003 Sungai Bambu, Tanjung Priok, Jakarta Utara, itu. Hingga saat ini mereka masih menunggu hasil otopsi dari pihak RSCM untuk memastikan penyebab meninggalnya korban. Stefi Anastasia,19, ibu korban saat ditemui di rumahnya mengatakan, peristiwa itu bermula anaknya Marcelo pada Kamis (27/9) mendapat imunisasi DPT Combo I di Puskesmas Tanjung Priok. Saat datang ke Puskesmas itu kondisi anaknya dalam keadaan baik-baik. Karena dinyatakan sehat, oleh dokter anaknya itu disuntik DPT Combo 1 di paha kanannya. “Setelah itu saya langsung pulang, namun sore harinya, paha kanan anak saya bekas suntikan itu langsung membengkak. Selain itu, panasnya tinggi dan rewel terus,” ujar Stefi, Jumat (5/10). Tidak sampai disitu, malam harinya kesehatan Marcelo semakin menurun dan terus menangis. Sempat diberi obat penurun panas berupa puyer. Melihat anaknya rewel, Stefi berusaha mendiamkan dengan memberikan air susu ibu (ASI). Akhirnya usahanya itu membuahkan, hasil anaknya langsung tertidur pulas pukul 20.00 WIB. Beberapa saat suaminya Hendra pulang bekerja dan bermaksud menggendong anaknya. Tapi saat dipegang badan anaknya itu sudah dingin dan kaku, bahkan sekitar jam 12 malam, lubang hidung anaknya mengeluarkan darah dan busa yang kental. “Semula saya berusaha menekan dadanya, tapi darah malah keluarnya banyak,” kata pasangan mudah tersebut yang menikah pada 25 Februari 2012 silam itu. Melihat kondisi seperti itu Hendra bergegas membawa anaknya ke RS Santo Josep di Jl Ganggeng, Sungai Bambu, Tanjung Priok untuk di perawatan dan memastikannya apakah anaknya meninggal atau belum. Namun, usaha pasangan mudah itu sia-sia, oleh dokter anak tersebut dinyatakan meninggal sejak dari rumah. Tanpa menunggu lama oleh keluarganya balita malang itu lalu dibawa pulang ke rumahnya. Keluarga heran anaknya sehat bisa begini bisa seperti itu. Sesampainya , di rumah sudah penuh warga masyarakat yang datang melayat. Setelah berunding antara kedua keluarga besar tersebut akhirnya disepakati untuk melaporkan kepada pihak kepolisian. “Setelah melalui rembukan, akhirnya keluarga keluarga besar menyepakati untuk melaporkan kejadian ini ke Polres Jakarta Utara. Polisi langsung membawa anak saya ke RSCM untuk diotopsi, setelah diotopsi, jenazah Marcel langsung dimakamkan di TPU Semper pada Sabtu (29/9) lalu,” jelasnya. Sementara itu, Hendra,23, ayah korban menambahkan saat ini pihaknya masih menunggu hasil otopsi dari RSCM dengan waktu satu pekan atau hingga Sabtu (6/10). Meski begitu pihaknya belum bisa memutuskan tuntutannya bila seandainya anaknya itu meninggal karena suntik imunisasi DPT Combo I. “Mudah-mudahan kedepan kejadian ini seperti ini tidak akan terulang lagi dan ini yang terakhir kali. Terkait tuntutannya, saya belum memutuskan karena hasil otopsi belum keluar,” imbuhnya. Menurutnya, semenjak anaknya itu meninggal, memang ada petugas Puskesmas Kecamatan Tanjung Priok yang datang ke rumahnya dan menawarkan uang duka. Namun, pihaknya menolak uang duka tersebut. “Semenjak kami tolak, Kepala Puskesmas tidak datang lagi kerumah hingga saat ini,” tuturnya. Secara terpisah, Kasudin Kesehatan Jakarta Utara Bambang Suheri yang dihubungi via telepon selulernya, membenarkan peristiwa itu. Menurutnya, hingga saat ini pihaknya belum bisa memastikan penyebab meninggalnya Marcel apakah karena malpraktik atau karena sebab lain. “Untuk memastikannya kita tengah menunggu hasil otopsi dari tim dokter RSCM. Jadi dalam hal ini kami juga belum mengetahui secara pasti penyebab meninggalnya korban,” katanya. Menurut Bambang, terkait meninggalnya Marcel, pihaknya sudah melakukan pemeriksaan terhadap semua dokter dan tim kesehatan yang ada di Puskesmas Kecamatan Tanjung Priok. Dari hasil pemeriksaan menjelaskan bahwa semuanya sudah sesuai dengan standar pelayanan yang diberikan. “Setelah kita cek tak ada kelalaian. Namun untuk memastikan hal itu tengah dilakukan otopsi,” katanya. Menurut dia, imunisasi merupakan program nasional untuk memberikan kesehatan kepada balita. “Saya minta warga tidak perlu takut untuk melakukan imunisasi kepada setiap balita,” kata Bambang sambil menambahkan kalau vaksinnya telah dikirimkan ke Balai POM untuk diteliti. Sedangkan Kepala Puskesmas Tanjung Priok, dr Clara menjelaskan bayi yang disuntik imunisasi DPT Combo I itu memang biasanya memang ada demam ringan faktor dari pertusis. “Kita sudah ada standar pelayanan. Kalau diimunisasi DPT Combo I pasti dibekali dengan obat anti panas paracetamol. Panasnya paling sehari, dan setelahnya sudah turun,” ungkapnya. Pemberian Imuninasi DPT ini tujuannya untuk memberikan kekebalan tubuh sibayi terhadap penyakit tenggorokan, batuk seratus hari, dan kejang-kejang. Sebab, dari bayi pertama lahir diberikan Hepatitis nol, setelah satu bulan diberikan BCG, dua bulan diberikan DPT Combo I, 3 bulan DPT combo 2, dan 9 bulan imunisasi campak. Sementara itu Kasatreskrim Polres Jakarta Utara, AKBP Didi Hayamansyah menambahkan, kasus ini masih dalam penyelidikan Polres Jakarta Utara dan Polsek Tanjung Priok.”Masih dalam tahap penyelidikan, dan menunggu hasil otopsi. Jika nanti hasil otopsi keluar kita juga akan meminta keterangan ahli dibidang kesehatan. Karena ahli tersebut yang paling berkompoten mengeluarkan keterangan secara detil,” kata Kasat Reskrim yang didampingi Kapolsek Tanjung Priok, Kompol Yono Suharto. Menurutnya saat ini, pihaknya juga masih menunggu hasil otopsi jenazah bayi mungil berumur dua bulan tersebut. “Iya, kasus itu sudah dari minggu kemarin, kita masih menunggu hasil otopsi untuk mengetahui perkembangan kasus tersebut,” ujarnya singkat. 
Kematian Marcelo Axle (2) yang diduga karena imunisasi masih diselidiki. Dokter Spesialis Anak Fakultas Kedokteran UI, dr Soedjatmiko, menyebut kecil kemungkinan Marcelo meninggal karena vaksin itu. "Vaksin itu sudah banyak digunakan. Saya agak sangsi misalkan benar akibat vaksin itu," kata Dokter Spesialis Anak Fakultas Kedokteran UI, dr Soedjatmiko, saat dihubungi, Senin (8\/10\/2012). Menurut Soedjatmiko, Diphteri Pertusis Tetanus (DPT) adalah jenis vaksin yang sering dan banyak digunakan di seluruh dunia. Vaksin jenis ini diekspor ke 120 negara dan telah diuji produksi Biofarma, sehingga kualitasnya bisa dipercaya. "Jenis DPT banyak digunakan di seluruh dunia. Penyebab kematiannya pasti banyak kemungkinan. Untuk memastikan ya kita harus menunggu hasil autopsi yang mengikutkan pemeriksaan darah dan cairan dari otak," kata Soedjatmiko. Soedjatmiko menambahkan keluarnya darah dan cairan dari hidung Marcelo tipis kemungkinan akibat suntikan vaksin untuk tetanus tersebut. Menurut dia, penyebab keluarnya busa dan darah dari hidung diketahui karena adanya pendarahan di paru-paru. "Pendarahan di paru-paru biasanya merupakan hasil dari penyakit demam berdarah atau pun tubercolosis. Jadi, agak kecil kemungkinan Marcelo benar meninggal karena efek vaksin DPT. Efek vaksin DPT itu tidak sampai menyebabkan pendarahan. Efek sampingnya paling demam ringan, rewel, atau bengkak di bekas suntikan, dan itu pun biasanya sudah diberi obat sama dokter. Efek sampingnya jauh lebih kecil dibanding manfaatnya," ujar Soedjatmiko. "Nggak usah berandai-andailah kalau soal itu. Sudah menjadi standar di mana-mana bahwa bayi demam tinggi tak boleh menerima vaksin DPT," lanjut Soedjatmiko. Namun Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) memastikan tidak ada keterkaitan antara kematian balita tersebut dengan vaksin yang diberikan puskesmas. 
"Untuk mengklarifikasi kasus MAW (Marcelo Axel Wakim) telah dilakukan pemeriksaan autopsi oleh Departemen Ilmu Kedokteran Forensik RSCM Jakarta. Selanjutnya, dilakukan juga batch review dengan nomor 2712111 produk vaksin dari Bio Farma dengan hasil baik. Selain itu, dilakukan pula pemeriksaan vaksin berupa uji sterilitas dan toksisitas, dengan nomor batch yang sama oleh Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPOMN) dengan hasil laporan pengujian dengan nomor PM.05.05.71.04.10.12.03, tanggal 17 Oktober 2012. Dalam hasil laporan tersebut dinyatakan bahwa vaksin memenuhi syarat," demikian rilis yang diterima detikcom dari Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan, Murti Utami, Selasa (23\/10\/2012). 
Murti mengungkapkan dalam pertemuan antara Komite Nasional (Komnas) PP KIPI bersama Komite Daerah Provinsi DKI Jakarta, Subdit Imunisasi Direktorat Simkarkesma Kemenkes RI, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Dinkes Provinsi DKI Jakarta, Sudinkes Jakarta Timur dan Puskesmas Tanjung Priok, dijelaskan kronologis kejadian berdasarkan investigasi lapangan. Pada saat yang sama dilakukannya imunisasi di Puskesmas Tanjung Priok, terdapat 48 bayi yang mendapat imunisasi DPT\/HB dan 59 vaksin polio, semua dalam keadaan sehat. "Berdasarkan analisa tersebut, Komnas PP-KIPI dan Komda PP-KIPI DKI Jakarta yang terdiri dari para ilmuwan dalam bidang kedokteran dan kesehatan masyarakat telah mengadakan kajian yang mendalam terhadap kasus ini dan menyimpulkan hasil audit klasifikasi kausalitas adalah unrelated, dengan penyebab kematian tidak berhubungan dengan imunisasi" jelasnya.
Berdasarkan hasil autopsi RSCM, Marcelo meninggal karena benturan benda tumpul di kepala. "Kalau dari RSCM, ada bekas kekerasan benda tumpul di kepala dan ada resapan darah di tulang tengkorak, sekitar pelipis kanan dan kepala belakang kanan," kata Kanitreskrim Polsek Tanjung Priok, AKP Sutikno, pada detikcom, Kamis (11\/10\/2012). Benturan benda tumpul di kepala Marcelo menyebabkan terjadinya pendarahan yang merusak sejumlah jaringan tubuh bocah mungil tersebut. "Pendarahan di atas selaput keras otak dan lebam jaringan otak akibat benturan benda tumpul itu," ujar Sutikno. Hasil mengejutkan tersebut membuat pihak kepolisian menyelidiki benda tumpul yang membentur kepala Marcelo. Soal suntikan imunisasi DPT Combo I yang diterima Marcelo sebelum meninggal juga akan diselidiki lebih dalam. "Dari hasil ini kita kembangkan dulu lewat hasil lab yang ada di BPOM mengenai pemeriksaan vaksin. Setelah itu, kita akan lihat perkembangan lebih lanjut. Dokter dan bidan (puskesmas) juga sudah diperiksa, dari pemeriksaan mereka mengatakan sudah memberikan hasil vaksin sesuai dengan prosedur," kata Sutikno. Demi mendapatkan gambaran jelas penyebab meninggalnya Marcelo termasuk benda tumpul misterius tersebut, pihak kepolisian berencana memeriksa keluarga dan orangtua Marcelo. "Setelah ini kita akan memeriksakan dari pihak keluarganya. Cuma sekarang belum datang lagi ke sini. Keluarga akan dipanggil untuk dimintai keterangan," ujar Sutikno. Marcelo Axel adalah anak dari pasangan Hendra Wakim (23) dan Stefi Anastasia (19). Marcelo meninggal dunia pada tanggal 28 September 2012 dengan mengeluarkan busa dan darah di lubang hidungnya.


Sumber berita : News detik 1, News detik 2, Poskota, News detik 3.

23. Muhammad Keanurizha Himawan, lahir di Jakarta tanggal 26 September 2012. 

Keanurizha ketika masih sehat


Kronologis :
Anakku setiap vaksin pasti demam, tidak curiga saat itu. Setiap vaksin selalu saya ingatkan dokternya, saya tidak mau vaksin HIB ya dok (buat otak), dokter meng'iya'kan selalu namun ternyata sudah disuntik 2x pengulangan saya tidak cek bukunya lagi karena merasa percaya. Saat itu sistem paket lagi sekali datang langsung suntik 3 macam cuma selalu saya ingatkan tidak mau HIB, karena pengalaman teman ipar dulu setelah suntik anaknya lemas lumpuh akhirnya dan kaku seperti stroke, saya tidak tahu kalo HIB sudah kena pengulangan 2x sempat anak saya seminggu sudah tidak mau berdiri lagi ataupun duduk lemas, namun saya tidak curiga saat itu. Setelah seminggu saya semangatin dia ayo donk nak berdiri ya saya bantu akhirnya dia alhamdulillah kuat lagi. Sama sekali saya tidak curiga. Kemudian tiba saatnya jadwal vaksin (lupa namanya) ternyata dokter langsung bilang ini HIB harus pengulangan sekali lagi karena sudah pernah disuntik 2x, kebetulan setiap imunisasi dokternya berbeda-beda karena saya pikirkan ada buku vaksinnya jadi tercatat sehingga tidak akan double, tapi itulah karena tidak teliti jadi bablas anakku kena vaksin yang paling saya takutkan HIB, kali ini dokternya maksa dan sempat berdebat ke saya agar anaknya disuntik HIB , saya bilang, dok, anak temannya ipar saya setelah divaksin HIB langsung lemas sekarang tidak bisa apa-apa lumpuh intinya. Saya tidak menyangka, dokternya malah ceramah panjang lebar dan bilang tidak ada bukti. Jika pakai logika, namanya anak sehari-harinya kan sama bundanya, pasti bundalah orang pertama yang mengerti anaknya mengalami perubahahan perkembangan. Tetap dokter berdebat sama saya dan bilang itu anaknya aja yang sudah ada kelainan dan lain-lain alasannya. Karena saya kesal, saya bilang ya udah dok kalau mau suntik anak saya suntik aja, dengan emosinya saya ngomong, dan disitu saya menyesal mengapa tidak saat itu saya keluar saja dari ruangan dokter. Kalau saja saat itu saya keluar, mungkin anak saya tidak berakhir seperti ini. Ini lah kelemahan kita sebagai orang tua. Akhirnya anakku demam terus menerus, namun karena dipikir hanya demam biasa jadi tidak terlalu panik tapi sudah dikasih tempra dll masih tidak turun-turun juga dan dari situ saya mulai panik, karena panasnya tinggi mungkin malamnya kejang. Namanya malam, pasti ada rasa kantuk menyerang saya dan kadang tertidur, tidak menyangka malam anak kejang karena demam dan efek dari vaksin itu juga ya akhirnya terlambat semua anak saya keesokannya kok aneh lemas, duduk jatuh seperti tidak ada tulangnya. Berdiri sudah tidak bisa langsung saya bawa ke Dokter Saraf di RSPI saya disarankan cek EEG, MRI, darah tapi percuma sudah telat semua perkembangannya jadi mundur dokter cuma saran untuk diterapi, saya berpikir mau balik lagi ke dokter itu tapi pasti dia tidak percaya, ini yang lemah buat orang tua selalu dalam hal ini orangtua yang disalahkan atau anaknya, jelas-jelas saat sebelum disuntik anak saya sehat dan normal bisa duduk berdiri. Kalaulah saya mau perpanjang kasus ini percuma kita pasti kalah. Saya sempat telepon dokter kandungan yang pernah membantu proses lahiran anak saya, meminta beliau untuk cek anak saya karena takutnya dari sejak lahir dia tidak normal, namun dokter bilang anak ibu sehat ketika lahir tidak ada masalah, tidak ada kelainan apa-apa karena dokter masih ingat ketika megang anak saya pertama kali.

Saya akhirnya harus belajar ikhlas dan harus bisa menerima ini semua. Terakhir saya berdoa semoga kebenaran mengenai vaksin segera terungkap, amin. Saya termasuk ibu yang merasakan selama 9 bulan mengandung dan untuk mendapatkan anak pun harus program, sulit mendapatkannya namun begitu hadir anak malah begini jalannya .. semenjak anak saya begini saya jadi lebih hati-hati dan bijak untuk mengambil keputusan lagi, banyak baca, bertanya dan bergaul dengan anak kekurangan☺️sampai sekarang buku vaksin anak saya masih saya simpan dan terlihat jelas nama dokter yang sudah suntik 2x anakku vaksin HIB yang padahal saya sudah ingatkan dia untuk menolak. Tapi biarlah saya jalani takdir ini dan sekarang saya harus fokus perjuangan ke anak saya saja moga Allah menyembuhkannya kembali amin.

Saat ini, kecerdasannya sudah mulai bagus selama saya kasih vitamin dari USA yang tadinya tidak bisa apa-apa diam saja, sekarang bisa hitung 1-10, A-Z, warna, anggota badan sudah hafal sedikit, dan bisa mengucap meski ada yang jelas dan ada yang tidak. Sebenarnya anaknya siap sekolah namun karena belum bisa jalan ini masalahnya. Responnya sudah bagus tinggal lebih ke fisiknya aja. Daya ingat dan belajarnya sudah bagus semenjak saya kasih vitamin itu. Sekarang lumayan, kalau didudukin udah agak tegak meski tidak bisa lama. Saya sudah ke mana-mana sampai habis-habisan dan sekarang pun kalau mau terapi sudah agak berat di biaya, menunggu rezeki yang datang terkumpul dulu baru bisa terapi😭😭entahlah selama pindah ke Jakarta ini rezeki jadi agak susah.





Sumber berita : Maurizha (Ibu melalui WA dan inbox di FB).



24. Sinta Bella. 9 tahun. Sekolah Madrasah Ibtidaiyah Al Huda Jatimulya, Bekasi.



Kronologis : Diduga akibat imunisasi antitetanus, Sinta Bella (9) mengalami kelumpuhan. Kedua kakinya menjadi lemah dan tidak bisa digunakan untuk berjalan. Akibat kejadian itu, keluarga melaporkan kasus itu ke Polda Metro Jaya.Kejadian ini terjadi pada 22 November 2005. Saat itu Bella mendapat suntikan antitetanus di sekolahnya Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al Huda Jatimulya, Bekasi, oleh beberapa petugas Pukesmas Jatimulya, Bekasi.\\\"Kami melaporkan perawat yang menyuntik Bella, Umi Rotido, dan Kepala MI tempat Bella sekolah Zarkasih,\\\" kata ibu Sinta Bella, Nani, usai memberikan laporan di Sentra Pelayana Kepolisian Polda Metro Jaya, Jalan Gatot Soebroto, Jakarta, Rabu (20\/9\/2006).Kondisi Bella sendiri yang turut dibawa ke Polda, terlihat sangat kurus dan kedua kakinya bergetar jika ditekuk. Sudah sekitar 10 bulan dia tidak bisa melanjutkan sekolah lagi. \\\"Bella pengin bisa jalan lagi dan kembali sekolah,\\\" kata Bella lirih.Pasal yang digunakan dalam laporan itu adalah pasal mengenai kelalaian yang menyebabkan orang lain cacat. Keluarga Sinta Bella melaporkan ke Polda dengan didampingi LBH Kesehatan.

Kedua kaki Sinta Bella (9) lemah dan tak bisa berjalan usai disuntik imunisasi antitetanus. Namun Depkes menyatakan tidak ada hubungan antara kelumpuhan dengan suntikan tersebut. Jadi?\\\"Kelumpuhan yang dialami Sinta Bella disebutkan akibat kerusakan tulang belakang yang disebabkan oleh virus yang sudah berlangsung lama,\\\" sebut Ketua Komite Daerah Penanggulangan dan Pengkajian Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komda KIPI) Provinsi Jawa Barat Prof Dr Suganda Tanuwidjaja Sp.A (K) dalam rilis Depkes, Sabtu (30\/9\/2006).Dokter yang merawat Sinta Bella di RS Hasan Sadikin yakni dr Neli Amalia Sp.A menuturkan, dari hasil pemeriksaan terhadap Sinta Bela, terdapat infeksi kerusakan tulang belakang yang mengakibatkan keropos, sehingga dengan sendirinya menekan syaraf belakang.\\\"Infeksi disebabkan oleh kuman yang sudah berlangsung lama, tanpa disadari oleh penderita. Tulang yang sudah keropos harus dipasang pen<\/i> supaya tidak bergeser terus-menerus,\\\" kata dr Neli seraya menyatakan tidak bisa memastikan Sinta Bella dapat sembuh seperti semula atau tidak.Sementara Kepala Sub Dit Imunisasi Ditjen PPL Depkes dr Jane Soepardi mengatakan, selama program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) berlangsung, tidak pernah dilaporkan kasus seperti Sinta Bella.Kronologi Versi Depkes<\/b>Sinta Bella, murid Sekolah Madrasah Ibtidaiyah Al-Huda, Bekasi mendapat imunisasi Difteri Tetanus (DT) di sekolahnya pada 22 November 2005 pukul 09.00 WIB.Dua hari kemudian Sinta Bella terjatuh saat berebut mangga dengan teman-temannya, namun masih bisa berdiri kembali. Esok harinya dia sakit. Pada 12 Desember, Sinta Bella ujian ulangan umum di sekolahnya dalam kondisi tidak dapat berjalan tetapi masih dapat berdiri.Pada 8 Mei 2006, orangtua Sinta Bella melaporkan ke sekolah bahwa setelah beberapa hari disuntik imunisasi, putrinya tidak bisa berjalan. Pada 16 Mei, pihak sekolah membawa Sinta Bella ke RSUD Kota Bekasi lalu dirujuk ke RSD Kabupaten Bekasi lalu dirujuk lagi ke RSCM Jakarta.Sinta Bella kemudian dibawa ke Poliklinik Neorologi Anak RSCM pada 18 Mei dan didiagnosa mengalami kelumpuhan. Dia disarankan menjalani pemeriksaan MRI Torakolumbal, namun orangtuanya menolak karena tidak punya biaya.Dia kemudian dibawa berobat ke RS Polri Kramatjati dan dinyatakan kemungkinan mengalami infeksi sumsum tulang belakang, bukan akibat imunisasi.Pada 16 Agustus, Komnas Perlindungan Anak, Puskesmas dan Dinkes mengajak orangtua Sinta Bella membawa putrinya ke RS Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, namun ditolak.Pada 2 September, Sinta Bella dibawa berobat ke RSHS Bandung oleh LBH Kesehatan. Dia dirawat hingga 18 September di Bagian Ilmu Kesehatan Anak untuk dilakukan serangkaian pemeriksaan, termasuk MRI. 



Sumber berita : newsdetik1, newsdetik2


25. Suci Guntari. 6 tahun. Pekanbaru.

Kronologis : PEKANBARU (RiauInfo) – Imunisasi Campak membabi buta yang dilakukan Dinas Kesehatan (Diskes) Pekanbaru di sekolah-sekolah akhirnya menelan korban juga. Suci Guntari (6) siswa Kelas 1 SD 017 Bukitraya Pekanbaru mengalami kelumpuhan setelah mengikuti imunisasi di sekolahnya.
Imunisasi itu sendiri terjadi 15 Februari 2007 lalu saat pihak Diskes Pekanbaru melakukan imunisasi di SD 017 Bukitraya tersebut. Pelaksanaan imunisasi itu sendiri tanpa pemberitahuan kepada para orangtua murid.
Malam sebelum imunisasi itu, Susi memang mengalami sedikit demam panas. Tapi karena kondisinya tidak parah, paginya dia tetap pergi ke sekolah seperti biasa. Kebetulan pada hari itu ada program imunisasi yang dilakukan Diskes Pekanbaru di sekolahnya.
Demi mengikuti aturan sekolah, Suci pun mengikuti program tersebut. Malany baginya, habis disuntik imunisasi, tubuhnya terasa semakin melemah. Namun kondisi itu kurang dihiraukannya, sehingga tidak dilaporkannya kepada guru.
Tapi sewaktu sudah pulang ke rumah, sekitar pukul 15.30 Wib, tiba-tiba tubuhnya kejang-kejang dan mulutnya mengeluarkan bisa serta mata membelalak. Atas inisiatif tetangga diapun dilarikan ke rumah sakit Awal Bross.
Meski telah mendapatkan perawatan intensif kondisi Suci tetap memburuk. Bahkan sebelah tubuhnya kemudian tidak bisa digerakkan lagi. “Pihak rumah sakit sampai sekarang tidak memberitahukan penyakit apa yang diderita anak kami,” ungkap Anto (39) ayah korban.
Anto sendiri tidak bisa menerima kondisi anaknya yang sekarang sudah lumpuh tersebut. Dia merasa yakin kondisi tersebut disebabkan oleh imunisasi yang diberikan kepada anaknya.
Namun Anto belum bisa memastikan apakah nantinya akan menuntut pihak sekolah dan Diskes Pekanbaru. “Yang jelas kondisi anak saya saat ini sangat menyedihkan. Saya tidak tahu lagi harus berbuat apa,” ujarnya sedih.
Sudah dapat dipastikan bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, semua instansi akan saling lempar tanggungjawab. Begitu pula halnya dengan kasus Suci, siswa kelas 1 SD 017 Bukitraya, Pekanbaru yang lumpuh setelah diimunisasi.
Bahkan Kadisdikpora Pekanbaru, Drs Syahril Manaf ketika dihubungi wartawan mengaku belum tahu kasus yang menimpa Suci itu. “Saya belum mendapatkan laporan atas kasus tersebut,” ungkap dia seperti dirilis oleh Metro Riau.
Karena belum adanya laporan itu dia mengaku belum bisa memberikan komentar lebih jauh. Sebab dia perlu melakukan pengecekan ke bawahannya, misalnya ke Kepala Cabang Dinas Bukitraya.
Sementara itu Kepala Cabang Dinas Bukitraya, Agussalim SPd ketika dihubungi wartawan mengatakan pihaknya telah memanggil Kepala SD 017 Bukitraya Dra Netti Herawati guna meminta keterangan berkisar kasus tersebut.
Namun dari hasil pemanggilan itu, Kepsek bersangkutan mengaku belum mendapatkan laporan dari orangtua korban. Karena itu dia belum bisa memberikan tanggapan terhadap kasus itu.
Kadis Kesehatan Pekanbaru, Syaiful Rab belum bisa dihubungi. Namun sebelum kasus ini terjadi Syaiful kepada RiauInfo pernah mengatakan bahwa bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan akibat imunisasi yang dilakukan di sekolah, silahnya menuntut menteri kesehatan.
Menurut dia, program imunisasi campak yang dilakukan terhadap anak-anak, termasuk di sekolah-sekolah itu merupakan program nasional. “Kami di daerah hanya menjalankan tugas saja,” ungkapnya kala itu.(Ad)
Terkait adanya kasus lumpuhnya murid SD 017 Bukitraya yang diduga akibat imunisasi yang dilakukan di sekolah, pihak Diskes Pekanbaru menyatakan akan bertanggungjawab.
Kepala Diskes Pekanbaru Syaiful Bahri Rab kepada wartawan di Pekanbaru mengatakan, pihaknya akan bertanggungjawab jika memang benar ada siswa yang mendapat dampak negatif akibat imunisasi tersebut.
Namun demikian, menurut dia, tentu harus terlebih dahulu siswa tersebut diperiksa untuk diketahui secara pasti apa penyebabnya. “Biasanya untuk pemeriksaan itu harus dilakukan oleh lembaga kesehatan independen,” ungkapnya.
Syaiful sendiri mengaku sampai saat ini pihaknya belum menerima laporan atas kasus tersebut, baik dari Puskesmas Bukit Raya maupun dari pihak sekolah. “Sampai sekarang kami belum mendapatkan laporan,” ujarnya.
Namun begitu pihaknya akan melakukan pemanggilan terhadap pihak puskesmas dan pihak sekolah tentang kebenaran informasi itu. Dia mengaku kasus tersebut memang pernah terjadi di Indonesia, tapi belum ada di kota Pekanbaru.
Sumber berita :
kasus

26. Sri Apriliani. 19 tahun. Kubu Raya Kalimantan. Jl. Adisucipto, gg. Sabar samping SPBU Kampung Arang, Kec. Sungai Raya, Kab. Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Kronologis : Awalnya pada tahun 1999,Sri diimunisasi pertama kali pada umur 4 bulan di posyandu di Wonodadi, Kampung Arang pada siang hari, tiba-tiba malamnya panas tinggi dan kejang sempat dibawa ke RS Sudarso selama 1 minggu dan melakukan pengobatan namun tidak membuahkan hasil yang akhirnya kondisi anak menjadi lumpuh dan tidak bisa bicara. Menurut ayahnya, pihak keluarga sudah melapor ke puskesmas namun tidak ada respon yang baik, malah menyalahkan keluarga, padahal kondisi anak sebelum imunisasi sangatlah sehat dan tidak memiliki penyakit.Walaupun sudah melapor dan keadaan anak semakin memburuk hingga lumpuh hingga tidak bisa bicara. Pihak tenaga kesehatan tidak memberikan kompensasi apapun. Sehingga keluarga harus mengeluarkan biaya sendiri untuk pengobatan sang anak sampai akhirnya sang anak meninggal dunia pada 11 April 2018.

Sumber berita : Pak Misri (ayah dari anak, melalui Maha Latansa (rekan Komunitas Thinker Parents di FB).
27. Aireine Deindra Kireinafitri Aliyya . Lahir tanggal 05 juli 2006. Kasus ini ketika umur 14 bulan. Anak pertama. Karawaci, Kota Tangerang, Banten.

Kronologis :
Antara bulan Oktober / November 2007 anak divaksin MMR, lalu masuk RS Borromeus Bandung karena kejang 7 kali tanpa demam, sekitar dua minggu setelah vaksin, kejang tiba-tiba saat bermain bahkan saat akan tidur, 7 kali kejang terjadi dalam waktu 2 hari. Diobservasi 5 hari di RS (opname), bukan karena infeksi atau epilepsi, dengan diagnosa akhir hyperactive. Orang tua tidak melapor ke bidan penyuntik dikarenakan sebelumnya tidak paham kolerasi kejang dan efek samping vaksin MMR, sampai suatu hari sang ibu membaca sebuah artikel tentang Vaksin MMR. Dan mulai melakukan pencarian tentang efek samping vaksin MMR dan kaitannya dengan kejadian anak. Sebelum vaksin, anak sehat, jarang sakit, hanya flu, demam atau diare ringan. Di vaksin yang sebelumnya pernah mengalami reaksi demam atau diare, namun saat itu orang tua belum terlalu mengerti efeknya. Saat ini masih terapi untuk pendengaran dan penglihatannya karena terjadi kerusakan akibat kejang tersebut, terapi totok dan prana. Ke depannya, ibu memutuskan untuk tidak vaksin anak.

Sumber berita : Deindra (Ibu anak), melalui inbox di FB ke penulis.


28. Muhammad Risky. Lahir di 
Muara Teweh, tanggal 1 April 2007. Kondisi per September 2018 : dalam keadaan cacat /lumpuh usianya 11 tahun.

Kronologis :   

Akan menjalankan operasi tanggal 3 september 2018 dirumah sakit Ulin Banjarmasin Kalimantan Selatan karena sedang mengalami sakit Polio sudah 9 tahun dan  sudah masuk tahap parah sekali. Keadaan tulang pantat sudah menyatu dan pernah patah. Bahwa keadaan ekonomi dari beliau adalah kurang mampu.
Setelah Imunisasinya lengkap di puskesmas Karang Jawa Muara Teweh, Kalimantan tengah
Kemudian pasca imunisasi polio tanggal 15 September 2007, anak kemudian demam tinggi, setelah demam turun anak tiba-tiba menjadi layu, hingga di umurnya 1 tahun belum bisa berjalan. Bisa berjalan pada umur 20 bulan. Kondisi layu ini berlangsung sampai umur 8 tahun tidak bisa berjalan normal seperti anak biasanya. Bangun dari duduk saja dibantu dan sangat keaulitan, kerap merintih mengangkat punggung telebih dahulu dengan bantuan telapak tangan menekan ke lantai.

Kemudian, di usia masuk sekolah SD mengalami cidera akibat jatuh kemungkinan patah tulang di bagian pantat. Setelah terjatuh terduduk sampai 3 tahun ini tidak bisa berjalan lagi/lumpuh. Kata dokter yang memeriksa di puskesmas Risky terkena penyakit AFP(Acute flaccid paralisis) mendadak lumpuh layu/polio dan kata dokter di RSUD Buntok menyatakan penyakit lumpuh yang di sebabkan jatuh terduduk.
Ini rincian imunisasi Anak Muhammad Risky :
BCG tgl 26-5-2007
HepatitisB dan DPT tgl 9-6-2007, ­4-8-2007, dan 15-9-2007
Polio: 26-5-2007, ­30-6-2007, ­4-8-2007, 15-9-2007.

Campak: 9-2-2008.
Ibu Risky tidak bekerja (ibu rumah tangga) sedangkan ayahnya bekerja serabutan kadang memulung plastik, kadang membantu main musik jika ada acara.

Sumber berita : Mardiyah Hafshah (Tante anak, adik dari Ibu anak, melalui WA ke penulis).



29. Narenda Athaya Lanin. Umur 2 tahun 1 bulan (ketika 17 Oktober 2018).

Cerita dari FB Novi Riandini :
Tanggal 17 Oktober 2018 jam 21.03 WIB, seorang Ibu penderita Hemophilia, Mbak Alvita Lanin, menghubungi saya. Dalam keadaan bingung dan sedikit kalut, mbak Vita menanyakan kondisi anaknya yang sudah 2 hari BAB berwarna hitam. Khawatir perdarahan saluran cerna, saya sarankan untuk segera membawa si kecil, Narenda Athaya Lanin, yang berusia 2 tahun 1 bulan ke IGD RSUPN Cipto Mangunkusumo. Enda (nama panggilan si kecil) adalah pasien Hemophilia A yang telah terdiagnosis sejak usia 7 bulan ketika memiliki lebam pada paha yang tidak menghilang setelah pemberian imunisasi. Ia merupakan anak dari co-founder Masak.TV Adek H. Lanin (@adeklanin).
Dan ternyata benar dugaan saya.. ternyata Enda perdarahan saluran cerna. Perdarahan saluran cerna merupakan salah satu perdarahan yang mengkhawatirkan. 
Karena perdarahan saluran cerna yg berlangsung terus menerus akan menyebabkan anemia yg dapat mengganggu fungsi organ.
Selain itu, perbaikan perdarahannya juga tidak mudah bagi hemophiliac. Maka sejak saat itu pun Enda, selalu buang air besar berwarna kehitaman dan produksi selang makan melalui hidung pun tampak kecoklatan dan beberapa kali kehitaman.
Hingga hari ini, keadaan Enda belum membaik. Buang air besar masih berwarna hitam dengan produksi dari selang makan masih berwarna kecoklatan sehingga Enda masih dipuasakan hingga sekarang dan mendapatkan asupan nutrisi penuh melalui infus. Enda harus dipuasakan agar tidak terjadi perdarahan yang lebih banyak lagi.
Untuk atasi perdarahannya selama perawatan di RSCM dengan menggunakan fasilitas BPJS (sejak 1 bulan lalu) Enda sudah mendapatkan :
- konsentrat FVIII dan transfusi Cryoprecipitate utk mengatasi perdarahan
- transfusi PRC utk mengatasi anemia krn perdarahan yg masih berlangsung.
Semua pengobatan ini telah menghabiskan dana ratusan juta.
Namun sayangnya semua pengobatan yang telah diberikan tidak membantu menghentikan perdarahannya. Perdarahan hingga hari ini masih tetap berlangsung karena Enda memiliki faktor penyulit dalam tubuhnya yakni Inhibitor.
Sebagai informasi, Hemophilia adalah gangguan perdarahan bawaan lahir yang menyebabkan darahnya tidak dapat berhenti secara normal. Jadi apabila perdarahan terjadi (luka terbuka/lebam), maka darah akan terus mengalir lamban namun pasti hingga pada akhirnya penderita Hemophilia kehabisan darah dalam tubuhnya. Hemophilia sendiri terbagi atas 2 jenis : Hemophilia A (defisiensi Factor VIII/FVIII) dan Hemophilia B (defisiensi Factor IX/FIX). Keduanya memiliki gejala. Satu satunya pengobatan yang dibutuhkan adalah pemberian suntikan konsentrat/transfusi sesuai jenis Factor defisiensinya.
Sedangkan kondisi Hemophilia dengan Inhibitor adalah dimana tubuh Hemophiliac sudah timbul penyulit berupa zat dalam diri sendiri yang menolak setiap pemberian Factor yang dibutuhkan tubuhnya.
Nah.. karena dalam tubuh mungil Enda ini telah timbul Inhibitor, maka tubuhnya tidak lagi merespon pemberian FVIII untuk hentikan perdarahannya. Enda butuh FVIIa. Di Indonesia, saat ini hanya ada 1 produk FVIIa dengan merk dagang Novo7 yang harga sebesar Rp. 9.749.993/vial.
Menurut Tim Medis, Enda membutuhkan Novo7 sebanyak 117 vial untuk pemberian selama 2 minggu untuk menghentikan perdarahan saluran cerna yang aktif pada usus kecil (dari hasil endoskopi) yang menyebabkan pasien masih harus puasa hingga sekarang.
Dengan demikian, berarti Enda membutuhkan dana sebesar Rp. 1.140.749.181,- hanya untuk membeli obat pembeku darahnya saja (FVIIa/Novo7) yang saat pihak RSCM maupun BPJS sudah tidak mampu lagi membayar kelebihan biaya untuk itu.
Untuk itu, saya atas nama pribadi dan mewakili Indonesian Hemophilia Society memohon kesedian Sahabat Hemophilia dapat membantu men-share informasi ini atau mengulurkan bantuannya melalui rekening :

Bank Mandiri
a/n Indonesian Hemophilia Society 
No. Rekening : 122-00-0988510-7
KCP Jakarta R.S.C.M

Berapapun besar donasi yang diberikan, kami mengucapkan banyak terima kasih. Dan bila membutuhkan informasi lebih lanjut, dapat menghubungi kami di 082166676660.

Hormat kami,
Novi Riandini
Hubungan Internasional dan Donasi
Indonesian Hemophilia Society
(Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia)
30. Fathiyyah Zahra Purnama, lahir 15 November 2007, meninggal 04 Juni 2008.
Kronologis :
Seingat saya, dedek menerima vaksin DPT 2 (usia 6,5 bulan) padahal anak saya baru sembuh demam 2 harian, dan memang saat itu jadwal vaksin serentak di posyandu, dan berobat pun di bidan yang sama dengan yang bertugas di posyandu.
Waktu mau divaksin saya sudah tanyakan, apakah kondisi anak saya aman untuk divaksin? Bu bidan memeriksa kening, ketiak anak saya, dan menjawab kalau sudah tidak demam dan aman. Lalu anak saya disuntik. Sore harinya anak saya demam (vaksin pagi jam 10) lalu saya minumkan obat yang dibawakan oleh bidan, saya pikir demam biasa karena pengaruh vaksin. Pukul 5 sore, saya suntik KB di bidan yg sama, saya bilang anak saya demam, beliau bilang tidak apa-apa, itu karena vaksinnya, dan kalau malam masih demam disuruh minum obat lagi. 
Lalu menjelang isya, demam tidak turun malah semakin tinggi, anak saya tidak mau menyusu sama sekali. Dini hari, saya terbangun karena ibu saya membangunkan, anak saya makin tinggi demamnya, air mata kering, tidak mau menutup mata. Saya telepon suami yang kebetulan di luar pulau kerjanya, beliau minta anak saya dibawa ke IGD rumah sakit terdekat, sampai di sana sudah dilakukan bermacam-macam tindakan medis, dari pemasangan selang infus yang gagal karena susah menemukan titik suntiknya. Akhirnya (seingat saya) anak saya dipacu jantungnya namun tidak tertolong.
Bidan yang menyuntik sangat shok, saya tidak menyalahkannya karena pengetahuan akan KIPI sangat samar ketika itu.

Sumber berita : Siska Setiarini (ibu anak di komentar status FB penulis mengenai kasus KIPI Malika).

31. 
Anindita wahyu pratista. Umur anak 3,5 tahun.

Kronologis : Dari bayi selalu suntik di posyandu. Dari usia 2 bulan, selalu menangis minta asi terus sampai muntah, perut buncit lalu ibu periksa ke dokter dengan diagnosa kolik (akibat alergi protein, sehingga ada masalah pada pencernaan) dan bayi harus puasa asi. Vaksin pertama di paha kiri (lupa, vaksin apa). Timbul demam, lalu ke terapis untuk dipijat. Terapis mengatakan bahwa itu dikarenakan vaksin, namun ibu tidak percaya sehingga ibu tetap meneruskan jadwal imunisasi anak. Setelah anak menerima vaksin yang berikutnya (kalau tidak salah polio 2, Juli 2016), kaki kiri hampir lumpuh, kebetulan suntiknya juga di paha kiri. Anak terlambat berjalan dan kaki kurus. Lalu ibu membawanya ke terapi pijat kembali, sehingga anak bisa berjalan. Setiap suntik imunisasi di bagian lengan, lengan bengkak dan hilangnya lama sampai berbulan-bulan lamanya. Bengkak berupa benjolan keras. Terakhir vaksin DPT 3 membuat anak demam dan gondongan. Seminggu yang lalu (ketika diwawancara, 12 Oktober 2019) anak mendapat vitamin A, lalu sekarang demam dan batuk radang. Anak kena TB paru, dokter mengira bahwa anak belum mendapat vaksin BCG, padahal vaksinnya lengkap. Saat wawancara, usia anak sudah 3,5 tahun. Sekarang ibu menyadari pada vaksin mengandung zat-zat asing yang tidak semua anak bisa menerimanya. Bulan Agustus 2018, anak selesai pengobatan TB lalu rontgen perut karena sering konstipasi, lalu kata dokter tidak apa-apa, menurutnya usus besar anak terlalu panjang sehingga perlu proses untuk keluar. BAB anak sering berbentuk bulat hitam. Sampai saat ini, ibu tidak pernah melapor ke petugas suntik. Anak tidak punya penyakit genetis. Ke depannya ibu tidak akan lagi melanjutkan jadwal imunisasi anak. Keluhan anak sampai detik ini adalah BB susah naik, dan jalan tidak normal, sering terjatuh.

Sumber berita : Aida melalui Seliawati.


Kejadian efek samping Vitamin K :


1. Muhammad Ibrahim Al Fatih (Baim), lahir 16 Okt 2015 hari Jumat. Lahir sehat berat 4 kg panjang 51 cm



Kronologis : Waktu lahiran di bidan sangat terganggu dengan anak-anak PKL kebidanan . Istri saya stress lihat seliweran mereka di ruang bersalin . Tanya ini tanya itu, bikin sebal.

Kontraksi 6 jam dari subuh sampai duhur dan bada Jum'atan lahir . Nah pas udah lahir saya sebenernya sudah bilang jangan di vaksin apapun. Tapi kecolongan, asisten bidannya ngasih Vitamin K. Seperti yang kita tahu, vitamin K mengandung aluminium tinggi. 1 - 2 bulan, bayi sering demam, gerakan kurang. Tidak seperti bayi seharusnya yang banyak menendang. Bulan ke- 3 - 4 leher bayi masih lemah yang harusnya leher tegak, ini tetap lemah tidak bisa tegak, juga sering muntah. Tubuh secara umum lemah meskipun tidak kurus karena ASI terus.

Pada saat itu terjadi dua kubu, keluarga pihak istri orientasi Rumah Sakit melulu, sementara saya cenderung diobati alami. Sampai akhirnya saya sama keluarga besar istri musuhan. Terutama sama saudarasaudara isteri yang menganggap saya dukun herbal karena mengharamkan vaksin pada anak saya sendiri.

Suatu hari bayi muntah-muntah terus sehingga istri diantar keponakannya ke dokter spesialis anak. Saya sudah mewanti-wanti nanti di dokter cuman periksa aja kenapa muntah-muntah terus. tidak perlu minum obat-obatannya. Isteri saya setuju.

Tapi pas saya ke luar kota, rupanya istri memberi obat2an dokter spA itu sampai habis. Saya datang heran kok ada obat2an yang masuk kategori obat keras ?

Akhirnya kami ribut. Dan seminggu kemudian kulitnya memerah, demam, dan nangis berulang2 dengan nada dan suara sama. Terus menerus tidak berhenti tetapi tidak mengeluarkan air mata. Saya sudah curiga ada syaraf yang terganggu. Sebab seperti kaset yang diulang-ulang.

Akhirnya masuk UGD RS Hermina. Malah dimarahi sama dokter jaga, kenapa baru sekarang ke UGD? Kemarahan saya tahan. Saya tidak bilang bahwa saya juga tahu medis, untuk menghormati kerja mereka.

Setelah baby tenang . Mereka dengan sedikit menakut2-nakuti akan terjadi lagi anfal maka bayi harus masuk ruang PICU. Padahal menurut feeling saya, bayi sudah bisa dibawa pulang. 

Masuk ruang PICU malah diinfus, dipasang berbagai alat seolah2 parah banget .. 
Pas jantungnya melemah disuntik, pernapasan lemah disuntik dan seterusnya. Terus-terusan hingga tubuhnya bengkak karena cairan kimia suntikan yang terlalu banyak . 
Hari kedua membaik namun tiba-tiba drop dan hampir gagal napas dan dipasang ventilator. Jika ventilator dalam 12 jam tidak mampu menaikan daya napasnya maka dicabut.Sementara dokter spesialisnya cuma 1 kali nengok selama 5 menit saja . Bilangnya bayi ini pneumonia tanpa penjelasan lagi langsung pulang. 
Perasaan saya sudah lain. Akhirnya saya bilang sama istri bahwa Baim (panggilan Ibrahim) itu yg punya adalah Alloh. Kalau mau diambil sama Yang Punya, kita ikhlas kan saja .. toh yang kasih pinjem juga Alloh... 
Akhirnya istri sy yg awalnya ngotot pengen Baim sembuh , luluh hatinya dan membisikan di telinga Baim bahwa Umi sudah ikhlas.. kalo Baim mau pulang tidak apa-apa ... Umi ikhlas..
Akhirnya bada duhur itu Pas juga Setelah sy jumatan kembali ke ruang PICU langsung minta dokter jaga untuk melepas ventilator... dan semua selang yg menempel serta tusukan2 jarum yg membuat dia tambah menderita Supaya Baim lega untuk kembali ke Allah .. dia sudah cukup berjuang untuk Umi Abi nya..
Pihak dokter tetap mempertahankan ventilator dan semua peralatan menempel meskipun saya sudah bilang untuk cepat melepaskan itu semua. 
1 jam kemudian Baim drop banget, semua dokter diminta datang ke ruang itu dan dilakukan kejut jantung terus menerus akhirnya baru mereka menyerah.. 
Baim sudah pulang..




LIST INI AKAN TERUS BERTAMBAH KARENA SETIAP KETEMU KASUS BARU AKAN SAYA UPDATE...NAMUN SAYA PUBLISH SUPAYA ORANG-ORANG DAPAT MEMBACA DATA YANG ADA TERLEBIH DAHULU

Comments

Marsya said…
AJO_QQ poker
kami dari agen poker terpercaya dan terbaik di tahun ini
Deposit dan Withdraw hanya 15.000 anda sudah dapat bermain
di sini kami menyediakan 7 permainan dalam 1 aplikasi
- play aduQ
- bandar poker
- play bandarQ
- capsa sunsun
- play domino
- play poker
- sakong
di sini tempat nya Player Vs Player ( 100% No Robot) Anda Menang berapapun Kami
Bayar tanpa Maksimal Withdraw dan Tidak ada batas maksimal
withdraw dalam 1 hari.Bisa bermain di Android dan IOS,Sistem pembagian Kartu
menggunakan teknologi yang mutakhir dengan sistem Random
Permanent (acak) |
Whatshapp : +855969190856

Popular Posts