DATA KIPI (KEJADIAN IKUTAN PASCA IMUNISASI) DI INDONESIA

Sebelumnya saya mohon maaf sebesar-besarnya membuat artikel ini kepada siapapun yang merasa tidak pantas atau terganggu ketika membaca artikel ini. Mohon maaf kalau artikel ini bisa membuat keragu-raguan untuk vaksin buah hatinya. Tidak ada niat saya untuk mengajak orang-orang untuk berbondong-bondong meninggalkan vaksin. Kita semua menginginkan anak yang sehat, kita semua adalah pro-kehidupan. Tidak ada yang mau mencelakakan anak. Di dunia vaksin ada yang namanya teori herd immunity, dimana kekebalan kelompok di jadikan andalan untuk memaksakan vaksinasi di seluruh belahan dunia. Teori ini mengajarkan bahwa suatu kelompok akan kebal dari suatu penyakit apabila orang-orang dalam kelompok/daerah tersebut sudah divaksin 95% sampai 100%. Berangkat dari teori tersebut, akhirnya kita menjadi paham mengapa ada sekolah-sekolah yang sampai diam-diam melakukan vaksinasi kepada anak-anak tanpa memberitahu orang tuanya terlebih dahulu. Sekarang kita pun menjadi paham mengapa ada sekolah yang sampai mengeluarkan surat yang harus ditandatangani orang tua yang menolak vaksinasi yang isinya mengancam bahwa orang tua yang tidak memilih vaksinasi harus mau bertanggung jawab apabila terjadi wabah di daerahnya? yup, itu semua demi tercapainya herd immunity. Tentu tidak semua sekolah seperti itu, kebetulan sekolah anak saya termasuk yang tidak memaksakan vaksin. Namun saya hanya berharap teori ini hancur lebur bak pasir. Supaya vaksinasi itu bisa menjadi pilihan, bukan lagi menjadi kewajiban.
Saya pribadi bukanlah seorang dokter ataupun peneliti, saya hanya ibu rumah tangga yang ikut bergabung dengan Komunitas Thinker Parents, komunitas yang peduli dengan korban vaksin. Di komunitas tersebut, saya berperan sebagai relawan untuk mengumpulkan data kasus-kasus KIPI yang terjadi di seluruh Indonesia baik itu melalui surat kabar, dan media sosial lain. Nama saya, Angelin Rike Hadiana, saat ini tinggal di Jakarta Timur. Saya bisa dihubungi di WA 081283285519.
 Selama ini data KIPI (kejadian ikutan pasca imunisasi) saya tulis untuk di grup FB tertutup saja, tidak saya sebarkan di timeline karena saya tahu konsekuensinya nanti orang-orang akan cemas berlebihan pada vaksin. Akhirnya saya memulai menulis datanya satu persatu dimulai dari merebaknya kasus lumpuh Niken di Demak yang sampai masuk ke TV juga, lalu sampailah 5 kasus saya data..dalam hati berkata nanti mau saya publikasikan di timeline jika jumlah sudah 10 kasus saja. Tak lama..jumlah korban terus bertambah hingga sampailah ke kasus nomor 10..kembali saya urungkan niat karena saya takut untuk membukanya di timeline, saya naikkan target jika sampai 15 saja baru dipublikasikan. Hari demi hari, saya dapat laporan sesama teman di grup tersebut..korban bertambah lagi sampai akhirnya mencapai 15..lagi-lagi saya urungkan niat dan meninggikan kembali target jika sampai 20 saja. Lama-lama korban bertambah 17 18..sampai akhirnya 20, lagi-lagi untuk ke sekian kalinya saya urungkan niat, sampai akhirnya bertambah ke kasus no. 21 saya sudah tidak tahan lagi, bencana ini! 


Sekarang saya pindahkan artikel ini di blog ini, agar semua orang dapat membacanya. Tujuannya apa? Supaya semua orang tua baiknya mempertimbangkan risk dan benefit sebelum menyerahkan anak untuk di vaksin, tujuan lain artikel ini adalah terutama untuk para tenaga kesehatan dan sekolah-sekolah dan Pemerintah Indonesia, tolong jangan sampai melakukan vaksinasi massal secara DIAM-DIAM TANPA SEPENGETAHUAN ORANGTUA MURID!!! Berikan kebebasan kepada setiap orangtua untuk memilih vaksin/tidak vaksin. Semua nyawa anak berharga, KIPI memang jarang terjadi, namun sekalinya menimpa pada anakmu, waktu tidak bisa diputar kembali. KIPI sendiri di Indonesia tidak satu pun diakui oleh tenaga kesehatan disebabkan oleh vaksin (mereka menganggap semua kejadian KIPI 100% koinsidens alias kebetulan sakit/lumpuh/meninggalnya anak terjadi pasca vaksinasi padahal bukan vaksin penyebabnya), karena memanglah untuk membuktikannya harus melalui serangkaian tes lab sampai ke tahap tes DNA yang pastinya memakan biaya yang tidak sedikit sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan. Namun satu hal yang pasti, bahwa anak-anak ini BENAR sakit/meninggal/lumpuh pasca mereka menerima vaksin. Yang membuat kasus ini semakin dramatis adalah kematian atau lumpuhnya anak-anak pasca vaksinasi diabaikan begitu saja oleh pemerintah seakan efek samping vaksinasi itu sudah dianggap wajar (atau malah tidak dianggap?), hingga pada akhirnya keluarga korbanlah yang harus berjuang dan menanggung penderitaan yang dialami oleh anak-anak mereka sendiri. Padahal sudah sewajarnya pemerintah turut andil bertanggungjawab pada keluarga korban sebagaimana keluarga korban pernah ikut mensukseskan program vaksinasi dari pemerintah.
Di artikel ini, saya juga tuliskan bagaimana tenaga kesehatan menanggapi kasus KIPI, akan terlihat bagaimana mereka tidak mengakui adanya KIPI, lepas tanggungjawab, dan tanpa mencurigai sedikitpun apakah benar vaksin yang menyebabkan sakit/lumpuh/meninggalnya si anak, malahan mereka terus menerus menyuarakan jalankan program tersebut tanpa evaluasi dari laporan korban.
Baiklah, berikut data KIPI yang berhasil saya susun dibantu dengan beberapa teman dari Komunitas Thinker Parents.

PERIODE SEBELUM TAHUN 2017

1. Azkadhia Karunia Hanum. Umur 6 bulan. Surakarta. 

Kronologis : Pada November 2011, anak sedang sehat-sehatnya (menurut pengamatan sang ibu), maka diambillah jadwal imunisasi DPT 2 di salah satu RSIA di Solo,yang menyuntik bidan waktu itu.sepulangnya dari vaksin selang kira-kira 1 jam badan adek mulai demam, ibu masih pikir ini hal yang wajar. Bu bidan juga berkata demikian, lalu diminumkan parasetamol sirup, dingin sebentar habis itu demam lagi begitu terus naik turun sampai hari ke-3, hari ke-4 masih dicoba observasi sendiri dirumah oleh Ibu karena anak masih mau minum asi, tapi malamnya justru semakin demam sampai 39,5 C dan ga mau menyusu, ga rewel sama sekali,hanya suara desahan nafasnya yang terdengar berat sambil terpejam, saat itu juga dibawa lari ke dsa, sampai disana ibu menceritakan awal mula si adek demam, ga banyak bicara dokter langsung menyuruh ibu bawa anak ke UGD, setelah dikasih obat penurun panas anak berangsur mulai turun panasnya, setelah beberapa jam panas lagi begitu terus sampai 3 hari dirawat di RS, ibu bertanya apa ini gara-gara vaksin yang buat anak seperti ini, jawab dokter bisa jadi karena imunitas anak yang ga bagus, ibu ga ngerti apa yang mau ditanyakan lagi waktu itu, pokoknya iya aja apa kata dokter. Katanya kandungan vaksinnya udah dinetralkan, setelah hari ke-5 di RS barulah keadaan anak stabil, suhu tubuhnya udah normal dan hari ke-6 boleh dibawa pulang. Setelah kejadian itu sang ibu mulai baca-baca tentang efek vaksin (kipi) tp saat itu belum sebanyak sekarang informasi yang didapatkan oleh sang ibu. Meskipun begitu mulai detik itu juga Ibu dari Azkadhia dan suami mantep bismillah memutuskan untuk tidak lagi memvaksin anak-anaknya yang lain yang saat itu baru berumur 3 th.

Sumber berita : Yanti Mahanum (Ibu) melalui Seliawati (Tim KIPI Komunitas Parents) lewat FB.

2. Arya Rendra Priyatama. Umur 2 bulan. Desa Sonopatik, Kecamatan Berbek, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.

Kronologis : Primita Andriyani (18 tahun), ibu bayi itu mengatakan anaknya diimunisasi (tidak disebutkan vaksin apa, kemungkinan pentabio) pada 15 Oktober 2016 di posyandu desa mereka. Setelah imunisasi, pada malam hari bayinya mengalami panas. "Setelah imunisasi badan panas dan menangis terus. Saya telepon bu Endang (bidan desa) dan disuruh ke sana (pos kesehatan) jam 05.30 WIB dan diberi obat," katanya ditemui di rumah duka, Kamis (27/10). Ia mengaku diminta membayar uang Rp 40 ribu untuk mengganti obat untuk anaknya tersebut. Setelah sampai, panas anaknya bukannya turun, tapi justru bertambah naik. Bahkan, anaknya juga mengalami diare parah. Ia pun membawa anaknya ke bidan lain, namun diminta untuk membawa anaknya ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Nganjuk. Di tempat itu, anaknya mendapatkan perawatan medis. "Saya sempat ditanya dokter, dan saya jawab baru diimunisasi. Di rumah sakit, dokter mengatakan anak saya kritis dan tidak tertolong," katanya dengan mata berkaca-kaca. Ia mengaku kaget dengan kejadian tersebut, sebab sebelum diimunisasi anaknya dalam kondisi sehat. Bahkan, berat badannya pun normal, sekitar 6 kilogram. Namun, anaknya meninggal dunia pada 19 Oktober 2016. Ibnu (30), bapak bayi itu mengaku tidak tahu menahu mengapa kondisi anaknya menjadi drop, padahal anaknya sehat. Ia meminta agar petugas menegur bidan yang bertugas, agar hal ini tidak terjadi pada bayi lainnya. "Mungkin dari obat yang disuntikkan itu ada yang salah, saya juga kurang tahu. Tapi, kami berpikir dari situ penyebabnya, dari obatnya, sebelumnya anak saya tidak apa-apa, sehat," katanya. Walaupun masih penasaran mengapa anaknya meninggal dunia setelah diimunisasi, Ibnu mengaku rela melepas kepergiannya. Ia hanya berharap, tidak ada bayi lain yang mengalami nasib seperti anaknya.

Sumber berita : Republika, Antaranews.

3. Divia Akila Putri. Umur 9 bulan. Desa Sonopatik, Kecamatan Berbek, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.

Kronologis : kejadian sama dengan nomor 1. Keluarga terpukul dengan kejadian tersebut. Namun, keluarga enggan untuk dimintai konfirmasi dengan alasan semua telah diserahkan ke perangkat desa setempat. Keluarga mengikuti permintaan dari perangkat. Kepala Puskesmas Grogol Endang Rahayu mengatakan sudah memberikan laporan terkait dengan kronologi meninggalnya dua bayi di Desa Sono, Kecamatan Berbek, Kabupaten Nganjuk itu. "Semua sudah kami laporkan ke dinas, jadi konfirmasi ke dinas saja," kata Endang kepada wartawan.

Sumber berita : Sama dengan nomor 2.

4. Rasqa Alkholifi Pamudji. Umur 5 bulan. Pasar Rebo, Jakarta Timur.

Kronologis : Sebelumnya, bayi tersebut menderita panas tinggi setelah mendapatkan imunisasi di sebuah rumah sakit di Jakarta Timur. Usai diimunisasi, Rasqa mengalami panas tinggi selama 5 hari. Ayahanda Rasqa, Agung Pamudji (27) mengatakan, kejadian itu bermula saat anak keduanya mengikuti imunisasi DPT 3, Rabu 11 Mei 2016 lalu.
"Habis imunisasi itu, setelah hari ketiga, turun panasnya. Setelah itu sampai hari kelima anak saya panasnya semakin parah. Panasnya enggak turun-turun. Makanya saya bawa balik lagi ke rumah sakit," kata Agung di kediamannya di Jalan Kalisari 3, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Rabu (18/5/2016).
Saat dibawa ke rumah sakit, bayi Rasqa itu langsung diperiksa dokter. Sang dokter lalu memberikan kembali resep obat antibiotik, agar segera diminum Rasqa untuk menurunkan panasnya.
"Tapi Rabu (hari ini) anak saya kelihatan sesak," lanjut Agung.
Karena ketakutan akan kondisi anaknya, Agung kembali membawa buah hatinya ke rumah sakit tersebut. Di sana, dia disarankan oleh dokter untuk membawa anaknya ke RS Harapan Bunda.
"Namun ketika di dalam ambulans, anak saya menghembuskan nafas terakhir. Pukul 08.00 WIB," tutup dia. Saat ini, keluarga Rasqa masih berduka. Orangtua sang bayi menduga ada malapraktik dalam kasus kematian anaknya. Petugas dari Polsek Pasar Rebo terlihat di lokasi untuk mencari informasi dugaan penyebab meninggalnya Rasqa.

Sumber berita : Liputan6, Kompas, TribunBali.

5. Clara Minarti Pricilia. Umur 7 tahun. Desa Purwasari, Kecamatan Purwasari, Karawang, Jawa Barat.



Kronologis : Sebelumnya keluarga korban mengira korban meninggal karena sakit yang dideritanya sejak Senin. Namun keluarga baru mengetahui kalau korban yang sedang menderita sakit tersebut sudah mendapat suntikan imunisasi dari pihak sekolah. Korban yang sempat dilarikan ke Rumah Sakit (RS) Karyawan Husada meninggal sebelum mendapat perawatan intens dari dokter. "Memang sebelum diimunisasi dia sudah sakit tapi kenapa harus ikut imunisasi dan kami pihak keluarga tidak diberitahu," kata Pakarta (40), salah seorang paman korban kepada wartawan, Senin (28/11/2016). Pakarta mengatakan, awalnya Senin 22 November 2016, korban berangkat ke sekolah dan saat tiba di sekolah seluruh siswa langsung diimunisasi. Setelah pulang ke rumah, tangan bekas disuntik membiru dan badan korban mengalami panas tinggi. Lalu orangtua korban memberi obat warung kepada korban dan saat itu kondisi demamnya turun. "Kami tidak tahu kalau korban sudah diimunisasi karena tidak diberitahu pihak sekolah. Keluarga mengira korban sakit demam biasa, sehingga dikasih obat warung," ucapnya. Kemudian Rabu, 23 November 2016, kondisi korban mengalami panas tinggi, dan pegal linu pada seluruh persendian badannya. Kemudian korban kembali diberi obat warung dan kondisi panasnya turun, namun esok harinya dia (korban) mengalami kejang-kejang. Kemudian pihak keluarga membawa korban ke RS Karya Husada, tetapi di perjalanan nyawa korban tidak tertolong. Pakarta menjelaskan, pihak keluarga tidak akan menuntut siapapun dan sudah merelakan meninggalnya korban. Namun pihaknya menginginkan sekolah untuk dapat menjelaskan proses imunisasi yang dilakukan. "Akibat meninggalnya korban, pihak orangtua akan melakukan jalur kekeluargaan. Korban tidak akan dilakukan autopsi dan langsung dimakamkan oleh pihak keluarga," jelasnya. Sementara Kepala Puskesmas Purwasari dr Iin Indiati belum bisa berkomentar banyak. Dia beralasan masih mencari tahu penyebab kematian Clara. "Kami nanti akan coba minta laporan hasil dari RS Karya Husada, untuk mencari tahu. Kalau memang harus diautopsi, maka akan dilakukan itu," ucapnya. Pihak Puskesmas mengaku sudah mewanti-wanti kepada sekolah serta orangtua siswa, kalau pelajar yang sakit tidak boleh ikut imunisasi. "Sebelum memberikan imunisasi ke siswa, itu bertanya dulu ke guru dan orang tuanya. Kalau ada yang sakit, maka tidak akan diberikan penyuntikan. Waktu itu orangtua Clara juga ada di jendela melihat anaknya disuntik," tuturnya.



Sumber berita : Okezone.



6. Ahmad Faris. Umur 2 bulan. Kampung Sawah Leuga, Desa Ngamplang Sari, Kecamatan Cilawu.



Kronologis : Keluarga pasangan Neti Srihandayani dan Patah Yasin, menuntut pertanggungjawaban pihak Puskesmas Pasundan. Seperti ditayangkan Liputan 6 Siang SCTV, Selasa (29/11/2016), mereka menuding ada unsur kelalaian pada proses imunisasi Ahmad Faris yang yang masih berusia 2 bulan oleh tim medis. AKibatnya, bayi malang itu sempat kejang dan dua hari kemudian meninggal dunia. Sementara itu, pihak puskesmas tengah menunggu hasil pemeriksaan tim dokter ahli untuk mengetahui dugaan penyebab kematian bayi Ahmad Faris. "Betul. Cuma masalah penyakitnya belum bisa menentukan. Apakah ini langsung karena imunisasi, itu belum," jelas Kepala Puskesmas Pasundan Elin Muslih. Setelah kehilangan anak ketiganya, baik Yasin dan Neti menuntut tanggung jawab pihak puskesmas dan berencana menempuh jalur hukum. "Kami mengharapkan dari pihak Puskesmas untuk menjelaskan dan bertanggungjawab," ucap Patah Yasin, orangtua korban. Bayi Ahmad Farisi menderita kejang-kejang usai menerima suntikan imunisasi. Paha bekas suntikan bahkan terus berdarah. Proses imunisasi dilakukan mahasiswa semester akhir dari Perguruan Tinggi Kebidanan dengan pengawasan bidan yang bertugas. Selang dua hari kemudian, bayi malang itu menghembuskan nafas terakhir.
Orang tua bayi Ahmad Faris menuntut pertanggungjawaban (Image diambil dari liputan6)

Sumber berita : Liputan6.



7. Rika Nurcahya Rani. Umur 8 tahun. Kampung Cidangdeur, Desa Linggarsari, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta.






Kronologis : 



Rika Nurcahya Rani Azahra bocah 8 tahun yang tinggal di Kampung Cidangdeur, 07/03 Desa Linggarsari, Kecamatan Plered hanya bisa terbaring lemas. Pelajar yang harusnya duduk di kelas II sekolah dasar ini sudah delapan bulan tidak bisa sekolah. Penyebabnya, kedua kaki mungilnya mendadak lumpuh dan nyeri persendian tulang punggung.

Keluarga sempat menuduh penyakit yang diderita Rika akibat vaksin yang disuntikan oleh petugas imunisasi yang datang ke sekolahnya pada Januari 2016 lalu. Pasalnya, Rika mulai sakit panas beberapa jam setelah diimunisasi. Kondisinya semakin parah hingga akhirnya lumpuh, kedua kakinya kaku tidak bisa berjalan. 

Namun anggapan itu terpatahkan oleh diagnosa dokter. Ternyata Rika memiliki riwayat penyakit paru-paru. Dokter rumah sakit yang menangani penyakit Rika memprediksi penyakit itu berasal dari penyakit flek yang sudah diderita Rika sejak balita, namun karena tidak diobati penyakit tersebut kemudian menjalar dan kuman atau bakterinya menggerogoti tubuhnya.

Usut punya usut ternyata Rika lahir dari keluarga kurang mampu. Sejak bayi Rika tinggal dan diurus neneknya. Itu karena kedua orangtua Rika yang belakangan bernama Rina (25), dan Junaedi (30) bercerai sejak usia Rika dua tahun. Sebagian keluarga Rika mengakui jika Rika memang kurang mendapat perhatian dari orangtuanya. "Memang Rika dulu sering sakit-sakitan sejak bayi. Tapi itu biasa dan sembuh," kata Aisyah (50), neneknya saat ditemui kediamanya, kemarin.

Sejak jatuh sakit delapan bulan lalu, kata Aisyah, cucunya sudah berobat ke sejumlah rumah sakit, bahkan juga ke pengobatan arternatif. Namun bukannya sembuh, kondisi Rika semakin memburuk. Yang membuat dirinya sedih, cucunya Rika selalu merengek ingin sekolah. Termasuk saat melihat teman-temanya bermain, Rika selalu ingin ikut bermain, tapi apa daya untuk hanya sekedar duduk pun Rika selalu mengeluh sakit pungung. "Sekarang ya begini, aktivitas sehari-harinya hanya tidur. Kami sudah bingung, kemarin sudah dibawa ke RS Siloam Purwakarta. Di rumah sakit itu Rika dirawat lima hari, tapi karena tidak ada biaya untuk bekal sehari-hari di rumah sakit kami pun pulang. Untuk biaya berobatnya memang sudah gratis," tutur Aisyah.

Namun demikian, Aisyah dan keluarganya saat ini sudah bisa bernafas lega. Kemarin rumahnya didatangi Tim Dinas Kesehatan yang diperintahkan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi untuk kembali menjemput cucunya. Rika kemudian dibawa oleh tim tersebut ke RS Siloam dan akhirnya dirujuk ke RS Hasan Sadikin, Bandung.

Kepala Bidang Promosi Kesehatan pada Dinas Kesehatan (Diskes) Purwakarta dr. Deni Darmawan, yang juga ketua Tim Diskes yang datang menjembut Rika mengatakan, penyakit paru-paru yang diderita Rika sudah ada sejak Rika bayi, tapi karena tidak diobati maka kuman atau bakterinya mejalar dan menjadi parah.

Biasanya penyakit ini akibat penyakit flek yang tidak diobati atau kalau pun diobati mungkin tidak tuntas. Seharusnnya penderita penyakit flek diobati selama sembilan bulan bahkan hingga satu tahun," ungkap dia.

Namun demikian, pihaknya optimis Rika bisa sembuh dan kembali berkumpul dengan teman-temanya, asalkan pengobatan Rika yang saat ini akan dimulai kembali jangan sampai terputus. Pengobatan penyakit itu akan butuh waktu panjang. Pasalnya penyakitnya sudah masuk stadium lajut yang masuk katagori parah. "Yang terjadi pada pasien Rika ini adalah kerusakan tulang belakang akibat penyakit paru-paru, yang mengakibatkan kelumpuhan pada tungkai kaki kanan. Solusnya ya diobati, tapi harus berlajut dengan waktu cukup lama. Kami pastikan penyakit ini bukan disebabkan dari imunisasi," jelas Deni.

Menurutnya, flek paru-paru atau yang biasa dikenal dengan Tuberkulosis (TB) merupakan sejenis penyakit menular yang dapat mengakibatkan suatu potensi yang fatal yang dapat mempengaruhi setiap bagian tubuh, terutama infeksi paru-paru. Penyakit ini disebabkan oleh adanya infeksi yang ditimbulkan oleh mikroorganisme bakteri yang dikenal dengan basil tuberkel atau Mycobacterium tuberculosis. "Flek paru-paru merupakan salah satu jenis penyakit yang dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama. Namun penyakit paru-paru ini dapat diobati atau disembuhkan, serta dapat dicegah dengan penggunaan berbagai obat-obatan tertentu. Untuk penyakit ini seharusnya tidak harus dibiarkan seperti apa yang diderita Rika saat ini," pungkasn

Kabid diskes menyatakan, "Apabila kelumpuhan Rika disebabkan karena vaksin, dipastikan tidak hanya Rika, tetapi rekan siswa Rika lainnya akan mengalami kelumpuhan." Jelasnya, Rabu (31/8). Diduga, penyebab kelumpuhan Rika Nurcahya Rani, Siswi Kelas 2 SDN 1 Linggarsari Kecamatan Plered Purwakarta ini, karena adanya riwayat pengobatan paru paru yang di alami Rika yang tidak selesai. Yang mana seharusnya Rika menjalani pengobatan paru paru selama 6 bulan, tetapi baru 2 bulan telah dihentikan, sehingga bakteri paru paru menyerang lumban ke 4 dan 5 atau bagian tulang belakang, sehingga jadi lumpuh dan kemungkinan sulit disembuhkan. Terang, Deni Darmawan kepada awak media. Rabu (31/8).Hingga saat ini, Rika hanya bisa terkolek lemah di rumahnya. Ironisnya, kelumpuhan yang di terimanya, terjadi usai ia menjalani vaksinasi massal di sekolah 8 bulan lalu." Kini pelajar kelas 2 SDN 1 Linggarsari kecamatan Plered Purwakarta ini, telah dua bulan lamanya tak bisa berangkat sekolah, karena lumpuh. Sementara pihak orang tua telah berupaya membawa berobat anaknya ke dokter desa, namun tak juga ada perubahan. Menurut Rina, orang tua korban, Rika Nurcahya Rani, awalnya mengalami panas tinggi dan pembengkakan dibagian lengan yang disuntik vaksin. Ia kemudian jatuh sakit, hingga akhirnya menderita kelumpuhan."

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) daerah Purwakarta, mendesak Dinas Kesehatan segera mengobati Neng Rika Nurcahya Rani Azrha (8), bocah setengah lumpuh asal Desa Linggarsari, Kecamatan Plered.

Gadis cantik yang terkena penyakit seperti stroke itu, hingga kini belum mendapat penanganan serius. Padahal, penyakit yang di derita bocah putus sekolah itu sudah menginjak hampir tujuh bulan. "Kita dari KPAI akan minta Neng Rika, agar segera ditangani supaya anak itu bisa kembali sehat," ujar Nunung Nurjanah, Sekretaris KPAI daerah Purwakarta kepada Radar Karawang, Minggu (7/8).

Menurut Nunung, setiap warga Purwakarta berhak mendapatkan pelayanan maksimal. "Terlepas dengan kurangnya masalah persyaratan atau penyebab penyakit anak itu. Yang jelas Neng Rika harus kembali sehat dan bisa sekolah," tegasnya.

Untuk diketahui, sehari-hari aktifitas Rika terbatas. Sebab, sebagian tubuhnya tidak berfungsi atau seperti mengalami lumpuh. Ia seharusnya naik ke kelas 2 SD Negeri Linggarsari. Namun kondisi fisiknya tidak memungkinkan ia untuk melanjutkan sekolah. Sehari-hari, ia dirawat bapaknya yang bernama Juned (31) dan neneknya Aisah (58). Kondisi itu ia alami sejak tujuh bulan lalu. Selama tujuh bulan itu pula, ia terbaring lemah. Meskipun, kesadarannya masih normal. Sehari-hari, neneknya dengan sabar merawat bocah kecil berambut sebahu ini



Sumber berita : Seputarjabar, radarkarawang



8. Andini Aulia. Umur 7 tahun. Kota Sukabumi, Jawa Barat.


Andini dan ortu saat berobat


Kronologis : Bocah berusia tujuh tahun yang duduk di kelas 1 SDN Cipetir 1, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi diduga mengalami kelumpuhan otot di bagian wajah, sehingga wajahnya terlihat melorot. Keluarga menduga itu terjadi setelah bocah ini diberi vaksin campak di sekolah pada Selasa 28 September 2016 lalu. Melihat kondisi wajah Andini yang seperti itu, pihak keluarga membawa gadis malang ini ke RSUD R Samsudin SH Kota Sukabumi untuk dilakukan scan terhadap penyakit yang dideritanya. Sebelumnya Adini pun sempat ditangani oleh RSUD Sekarwangi pada Jumat lalu. Berdasarkan keterangan ibu kandung Andini, Yuli mengatakan diagnosa awal putrinya trsebut mengalami Bells Pelsy atau kelumpuhan sementara pada otot wajah. Sehingga, bagian setengah wajah sebelah kiri susah digerakan. Awal mula kondisi Andini ketahuan oleh pihak keluarga saat malam hari setelah diberikan vaksin. Andini mengeluh merasakan sakit panas, dan saat akan tidur, kelopak mata Andini kesulitan untuk ditutup. "Ketahuannya keliatan dari fisik, Andini ngeluh, pas tidur mata susah gak menutup, saat itu bingung harus ngapain," katanya.Yuli menambahkan begitu mengetahui ia langsung lapor ke SD tempat Andiri sekolah. Dibantu tenaga pengajar untuk dibawa ke RSUD Sekarwangi, tapi pihak medis rumah sakit milik Pemkab Sukabumi tersebut memberikan rujukan untuk discan di RSUD R Syamsudin SH," tambah warga asal kampung Cijarian Petir RT23/RW07 Desa Cipetir ini. Sampai berita ini diturunkan Andini masih diperiksa oleh dokter spesialis syaraf dan psioterafi RSUD Syamsudin SH. Pihak rumah sakit belum bisa memberikan keterangan penyebab penyakit yang diderita Andini.



Sumber berita : Sukabumiupdate



9. Raihan Fadilah. Umur 5 tahun. Warga Rt 05 Rw 14 Dusun Nusagede Desa Cijulang Kecamatan Cijulang Kabupaten Pangandaran.



Kronologis : Anak dari Ny. Cicih (35) harus tergolek di tempat tidur karena penyakit yang dideritanya, seharusnya di usia itu, Raihan, layaknya teman-teman usia sebayanya sedang riang-riangnya bermain. Menurut orangtuanya, penyakit yang diderita Raihan diduga akibat mal praktek Saat Raihan mengikuti imunisasi yang mengakibatkan anak bernasib malang itu harus menderita kelumpuhan setelah pelaksanaan imunisasi DPT 1 (Difteri, Pertusis, Tetanus) tahun 2011 lalu hingga sekarang Raihan kondisinya sangat memperihatinkan. “Kejadiannya diawali saat mengikuti kegiatan pos yandu, saat itu usia anak saya baru berumur empat bulan. “Terang Cicih.(30/8). Usai imunisasi, masih terang Cicih, anaknya mengalami kejang kejang tapi beruntung bisa disembuhkan hanya bedanya, anak yang tadinya aktif menjadi pasif dalam kesehariannya. “Bulan berikutnya anak kami ikut imunisasi lagi dan disuntik DPT 2, tapi setelah diimunisasi yang kedua kalinya itu anak saya kejang-kejang lagi bahkan lebih parah. “Lanjut Cicih. Saat berikutnya, ketika ada pemanggilan imunisasi ke 3, Cicih tidak membawa anaknya ke pos yandu lagi karena kondisi anaknya sudah semakin menghawatirkan. Sejak itulah anaknya menderita kelumpuhan dan tidak bisa bicara sampai sekarang. ”Waktu itu kami pun sempat mengadukan hal ini kepada bidan tapi tidak ada tanggapan sama sekali. “Katanya. Dan saat itu Cicih pun sempat juga membawa anaknya ke dokter anak di Ciamis saat Raihan menginjak usia 11 bulan, dan hasil diagnosa dokter yang menangani buah hatinya menerangkan, Raihan menderita epilepsy. “Saya pun kaget karena anak saya saat usia 3 bulan keadaannya normal-normal saja dan sama seperti bayi lainnya sebelum diimunisasi." Imbuhnya. Tinggalah kini, bocah malang Raihan hanya bisa tergolek di tempat tidur dengan kondisi memperihatinkan dengan kondisi kakinya yang semakin mengecil. Sebagai orangtua, Cicih pun berharap anaknya bisa sembuh kembali dan bisa berjalan seperti anak-anak sebayanya, ia ingin melihat buah hatinya bisa berjalan dan bicara kembali seperti anak seumurnya dengan penuh keriangan. ”Pengobatan sudah saya lakukan tapi berhubung keterbatasan biaya, sekarang saya hanya bisa pasrah sama yang maha kuasa saja", Ungjkap Ccich.



Sumber berita : Pangandarannews.



10. Ashila Dzakira Munandar. Umur 1,5 bulan. Cianjur.



Kronologis : Setelah vaksin DPT pada tahun 2008. mengalami panas kemudian ada gerakan gerakan refleks tapi hanya tubuh bagian kiri. Setelah itu dibawa ke DSA dan mondok disana. Setelah bbrp hari dirawat, gerakan refleks itu tidak berhenti. Anak malah kejang lalu disuntik, kejang lagi disuntik lagi sampai entah berapa kali anak sudah disuntik. Setelah itu dirujuk ke RS di Bandung. Di UGD anak didiagnosa paru parunya pecah dan detak jantungnya melemah. Bagian otak terindikasi ada virus. Dan setelah melewati hari hari yang menyakitkan, anak kami meninggal.



Sumber berita : Ira Adriany (ibu) melalui Seliawati via WA grup admin KTP.



11. Ajeng Atsira Nawazakia. 6 bulan 2 minggu. Sunter, Jakarta Utara.



Kronologis : Kejadian meninggalnya 13 November 2015 di RS Sulianti Suroso Jakarta. Pemberian vaksin DPT 3 , combo ditambah polio tetes di puskesmas Bambu Kuning Sunter Jakarta Utara. Nanti sang ibu akan menjelaskan detailnya seperti apa, saat ini sedang menyusui anak ke 2 dan tidak bisa menceritakannya.



Sumber berita : Endar Wati (via FB, ibu dari anak).



12. Fanani Nur Latif. Saat kena KIPI ketika tahun 2014, umur 3 bulan di Blora, Jawa Tengah. Saat ini sudah pindah ke Tuban, Jawa Timur.

Kronologis : Dulu suntik yang pertama di lengan tidak terjadi apa2, tidak ada demam. Lalu yang ke dua itu di paha (kayaknya DPT), habis vaksin di posyandu oleh bidan dikasih paracetamol yang obat gerus, disuruh minumkan kalau sudah pulang oleh sang bidan penyuntik. Parasetamol diminumkan ke anak. Sore sekitar ashar badan anak menghangat, tidak sampai demam tinggi ibu langsung kasih minum obatnya lagi namun dimuntahin. Habis muntah jarak beberapa menit matanya seperti melotot2 lalu badannya kaku wajah membiru nafasnya tidak beraturan. Karena ibu ketakutan lalu sang ibu meminta nenek Ifan (panggilan Fanani) menggendong Ifan, lalu ibu langsung hubungi bidan yang suntik. Tidak berapa lama bidannya datang tapi saat itu memang sudah berhenti kejangnya. Bidan mengecek suhu badan juga 37,4 kalo tidak salah. Oleh bidan, Ifan dimunumkan kembali parasetamol yang cair dan pesan kalau masih kejang lagi bawa ke Dsa. 

Ifan saat usia 4 tahun
Setelah itu Ifan masih saja kejang setiap jarak berapa jam melotot2 lagi akhirnya dibawa ke Dsa. Di dsa, ibu tidak bilang bahwa Ifan habis divaksin karena tidak pernah terpikir akibat vaksin, sehingga Dsa bilang ini tidak apa-apa, yang penting dikasih obat. Namun obat mau habis tetap saja tidak hilang, masih kambuh terus. Akhirnya Ifan diopname. Selama di RS cuma kambuh 1x. Setelah pulang dari RS tetap masih seperti itu, namun jarak beberapa hari terus sampai sekitar 3 bulanan kejang terus. Setelah lewat beberapa bulan sudah ga pernah lagi kejang sampai sekarang (2018). Kejadian KIPI ini membuat Ifan yang dulu sudah bisa tengkurap, sekarang di umurnya 4 tahun dia bertingkah seperti anak umur 1 tahun, belum bisa mandiri dan belum bisa bicara. Saat ini masih terapi wicara.

Sumber berita : Nurul Ni'mah (melalui FB atas nama Nurul chayang Ifand, ibu dari Ifan).

13. Naura Aurin Dita. Lahir tanggal 6 November 2012. Pontianak. Anak pertama dari 2 bersaudara.

Dita (6 tahun) saat terapi 
Kronologis : Anak terlahir secara normal dan tanpa suatu penyakit apa pun. Awal mulanya adalah anak dapat suntik DPT 1 umur 4 bulan di sebuah klinik. Pagi disuntik sorenya kejang lebih dari 1 jam. Tetapi anak masih normal dan ibu mencoba konsultasi ke bidan yang menyuntiknya dibilang bukan karena disuntik tapi memang penyakit itu ada di badan anak. Saat itu, ibu berfikir mungkin karena faktor keturunan karena waktu kecil ibu juga ada riwayat kejang. Masih belum ketahuan kalau anak tidak cocok imunisasi, sebulan kemudian anak divaksin DPT 2 paginya suntik sorenya terulang kembali kejang sampai beberapa hari rawat inap 5 hari tapi kata dokter cuma kekurangan sel darah putih.
Kejangnya berlanjut tapi secara fisik dia normal kayak anak seusianya. Saat main dia letih langsung kejang, bangun tidur kejang. Mencoba konsultasi ke sepesial saraf di RS Antonius + spesialis anak tetapi belum juga ketahuan penyakitnya.
Dokter syaraf menyarankan terapi obat, lalu ibu jalankan sampai dokter sarafnya pernah salah kasih dosis obat, yang semestinya obat untuk 3 bulan dijadikan 1 bulan. Hasilnya anak oleng kayak anak mabok.
Kejang terus berlanjut itensitasnya malah makin sering. Segala macam cara dicoba, tapi tidak mengurangi kejangnya. Dokter syaraf menyarankan eeg, disitu hasilnya anak didiagnosa epilepsi. Akan teteapi dokter masih terus menyarankan imunisasi di Rumkit yg tanpa demam.
Tapi sampai rumah anak tetap demam juga. Keadaan anak masih normal walaupun dia sering kejang. Terapi obat berlanjut sampai umur 1 tahun 8 bulan, kemudian ada batuk pilek demam dan anak mengalami kejang dari subuh sampai malam. Keadaan pada saat itu di luar kota sore putuskan buat balik ke Pontianak. Sesampainya pada malam hari langsung masuk Rumkit Antonius dalam keadaan tidak sadar dan terus kejang.
Masuk langsung ruangan ICU anak dinyatakan koma 5 hari dalam keadaan demam tinggi. Sadar dia udah ngak bisa ngapa-ngapain. Badanya kaku seperti sebatang kayu motorik dan sensoriknya tidak lagi berfungsi. Syaraf mata pendengaran nya kena semua akibat kejang.
Difonis radang selaput otak + peomonia oleh dokter. Dokter bilang kalau anak memang tidak cocok imunisasi dan disarankan untuk tidak diimunisasi lagi. Sungguh menyesal hati sang ibu mengapa baru ketahuan setelah anak tidak bisa apa apa.
Sekarang usianya hampir 6 tahun sedang belajar untuk mandiri. Terakhir anak divonis menderita cerebral palsy (kelumpuhan otak) tapi bukan dokter sepesialisnya yang memberi tahu melainkan terapisnya. Kejadian ini membuat sang ibu trauma jika mengingat vaksinasi.

Sumber berita : FB Evi nya Firdaus (ibu dari anak, melalui penulis via inbox FB)

14. Abdul Khamid Rafiudin (Rafi). Lahir tanggal 4 Mei 2007. Gentasari, Kroya, Cilacap, Jawa Tengah. Anak ke 3 dari 3 bersaudara.


Kronologis : Siang itu (Mei 2007) kira-kira semingu setelah kelahiran putraku aku membawa anak untuk imunisasi BCG ke dokter anak tapi katanya suruh ke bidan terdekat karena jarak antara rumahku ke kota agak jauh. Aku akhirnya ke bidan yang dekat rumah tapi dari dua bidan yang aku temui, mereka menyarankan untuk ke puskesmas karena sayang kalau vaksinnya hanya dipakai untuk satu bayi. Jadi, aku ke puskesmas, dan aku sengaja berangkat siang supaya tidak mengantri. Akhirnya kami sampai di puskesmas dan didata. Tapi disini aku merasa ada sesuatu yang janggal. Biasanya setelah pendataan di depan ruangan periksa, pasien kan seharusnya menunggu dulu untuk dipanggil, kali ini entah mengapa setelah didata, aku langsung disuruh menidurkan anak di tempat tidur pasien dan tanpa basa basi bidan langsung menyuntik paha kanan anakku, tidak ada sekedar pertanyaan benar/tidaknya mau vaksin. Sempat terbesit dibenakku, apa ini bidan salah suntik ya, namun kutepis pikiran itu. Karena masih ada antrian di belakangku, aku langsung pulang. Sesampainya kami di rumah, bayiku rewel nangis terus menerus dan tidak mau minum asi. Tidurnya gelisah dan terkejut-kejut tanpa sebab. Selang 5 jam kemudian, bayiku tetap tidak mau menyusu sehingga aku memutuskan untuk menelepon teman yang kebetulan berprofesi dokter. Temanku menyarankan untuk membawa Rafi ke dokter spesialis anak. Dalam perjalanan Rafi tetap terkejut-kejut dalam gendonganku..dengan sedih dan panik kupeluk dia melalui 1 jam perjalanan akhirnya aku sampai di RS di Banyumas ke dokter spesialis anak dan langsung di suruh ke UGD. Di UGD perawat bilang anakku sudah Kritis...
Bibir, kuku tangan, dan kuku kakinya sudah membiru dan Rafi dinyatakan koma oleh dokter.
Di Banyumas, selama seminggu perawatan 2 kali Rafi sempat tidak ada dan ada lagi karena aku belum ikhlas melepasnya.
Akhirnya dipindah ke RS yang lebih besar di Purwokerto, dirawat kembali selama seminggu. Seminggu tidak ada perubahan sama sekali dan dokter bilang aku harus Ikhlas karena Rafi hanya bergantung sama alat-alat yang menempel di tubuhnya. Kalaupun bisa bertahan Rafi sudah tidak bisa apa-apa karena yang diserang sistem syaraf.
Akhirnya aku ikhlas tapi sebelum alat-alat dilepas aku mau menemui anakku. Aku melihat anakku seperti kesakitan dengan semua alat yang menempel di tubuhnya. Pada saat aku datang, Rafi tersenyum seolah-olah mengatakan supaya aku kuat dan merelakan ia pergi.
Setelah kepergiannya, aku tidak ingat apapun kurang lebih selama 3 bulan kata suamiku. Buku imunisasi sampai dibakar juga oleh kakakku yang sangat marah akan kejadian ini. Kata suamiku waktu itu ada pihak puskesmas yang ke rumah dan ingin damai dan suami sudah mengikhlaskan semuanya karena sudah takdir. Suami tidak mau diperpanjang masalahnya karena tidak bisa mengembalikan lagi putra kami. Dan suami juga lagi binggung merawatku yang sudah hampir kehilangan akal sehat ketika itu, harus dijaga 24 jam, karena jika tidak aku seringkali menyakiti diri sendiri. Oleh Pak Kyai, kami diminta untuk memaafkan semuanya. Disaat aku sadar kembali, suami menangis dibawah kakiku terus memeluk'ku kencang sekali sampai membuatku susah bernapas saking ia bahagianya melihatku sadar kembali. Belum lama ini, aku bertemu bidan yang menyuntik anakku waktu itu dan dari gelagatnya ia gelisah lalu aku dekatin dan kubilang padanya bahwa aku sudah memaafkan semuanya.
Sampai sekarang, kedua kakak Rafi memang masih saya vaksin, namun vaksinnya harus di dokter anak, tidak akan lagi vaksin di puskesmas.

Sumber berita : Atik Fathiyah (Ibu dari anak via inbox di FB kepada penulis)

15. Erlangga. Lahir April 2008. Solo. Anak pertama, saat ini (2018) ibu sedang mengandung anak ke 2. 

Kronologis : Sekitar bulan Agustus 2008, ketika umur anak 4 bulan anak mendapat vaksin DPT, HB, dan polio di bidan desa setempat. Setelah imunisasi, anak seringkali demam dan lama-lama otot tubuh melemah dan mulai tidak bisa apa-apa. Padahal sebelum itu sudah bisa tengkurap dan sudah bisa angkat tubuhnya tinggi persiapan mau merangkak, lama-lama tumbuh kembang terhambat dikala anak seusianya sudah berjalan, anak belum bisa jalan dan belum bisa berbicara. Terkadang pendapat dokter yang berbeda-beda sempat membuat ibu bingung. Ibu pun tidak melapor karena masih belum paham apa itu KIPI. Berbagai terapi telah dijalankan, diantaranya terapi di Aquatreat Hj. Juanda, terapi di Soeharso Ortopedi Solo namun tidak ada perubahan. Dokter menyarankan ibu untuk cek darah takut ada virus di rahim, ini nanti ditakutkan ketika ibu punya anak lagi bisa cacat lagi, jadi dokter sedikit menyalahkan cacatnya anak karena virus dari ibunya bawaan lahir. Dicek kandungan ternyata hasilnya bersih. 

Sumber berita : Rini (Ibu dari anak, melalui FB inbox ke Fitri, anggota Komunitas Thinker Parents).

16. Yasmine Jane Wiguna. Lahir tanggal 5 Januari 2002. Jakarta. Anak pertama dari 4 bersaudara.


Kejadiannya 02 Mei 2002 pukul 11 siang di suia 4 bulan anak mendapat vaksin DPT 1 di Puskesmas Jakarta, tempat Yasmine dilahirkan. Sebenarnya saat itu Yasmine ada pilek sedikit sehingga ibu hanya berniat untuk menimbang saja, namun entah mengapa akhirnya jadi suntik dan bayar. Ibu juga tidak memberi obat setelah anak disuntik. Dan pukul 2.30 anak kejang padahal suhu 36,5 dan dibawa ke klinik 24 Jam M.Husni Thamrin namun klinik tidak punya diazepam sehingga langsung disuruh ke RS, dan akhirnya diopname dan didiagnosis dokter kejang demam komplek itu pertama kali di RS. Sumber Waras, sempat ke RSCM tetapi ditangani sama dokter praktek, diagnosisnya epilepsi. Ibu tidak melapor sama sekali ke puskesmasnya karena pikiran kalut total. Banyak yang bilang lapor bidannya dan polisi, namun ibu tidak mau karena sudah panik dan hanya menginginkan anak saat itu bisa sehat kembali. Dan juga sempat di RSAL Mintohardjo dengan Diagnosis Syaraf kejepit. Kejang terus berlanjut sampai kini juga masih. Berbagai obat2an distop ketika usia 7 tahun. Konsumsi Enchepabhol terus menerus. Kalau dulu, ibu hampir hafal sama obat-obatan anak. Kalau sekarang sudah pasrah karena pinternya hilang, bicaranya hilang, dan sekarang dan sekarang hanya bisa merangkak saja.
Ibu baru banyak membaca dan baru tahu ternyata kasus Yasmine banyak terjadi. Ibu pernah mencoba menghubungi Kak Seto ternyata ga bisa Sekarang seharusnya dah lulus SMA tetapi posturnya masih seperti usia 7 tahun. Setelah kejadian itu ibu trauma dengan vaksin. 
Ibu juga sempat ingin bisa konsul sama dokter special kejang RSCM tapi ditolak, semua karena masalah keuangan yang terbatas. Jadi pasrah dulu ke dokter itu berkali2 dalam sebulan.

Yasmine (2018)
Sumber berita : Nurhayati Suta (Ibu dari anak, via inbox FB ke penulis).
17. Syakilla Esma Sulistio. Lahir di Brebes, 05 oktober 2015.


Syakilla
Kronologis : Tahun 2015, tepatnya bulan Oktober ketika itu anak saya batuk pilek sudah hampir 2 minggu, hari kamis saya periksa ke dokter spesialis anak katanya tidak apa-apa dan saya tanya dok anak saya belum BCG gimana dok, kata dokternya tidak apa-apa bu imunisasi BCG cuma di kulit dan tidak menimbulkan demam. Besoknya hari jum'at saya pergi ke puskesmas untuk vaksin BCG, lalu setelahnya masih baik-baik saja namun sorenya anak saya menangis kencang matanya sampai melotot2. Pada saat itu saya belum menyadari bahwa badannya sudah biru dikarenakan lampu rumah kurang terang dan warna cat dinding yang juga gelap. Semalaman dia terus menangis kejer dan nafasnya tersendat-sendat dan pagi harinya saya bawa anak ke rumah sakit terdekat dan dokter bilang rumah sakit tersebut tidak bisa menerima anak saya dikarenakan tidak ada ruang picu (saya bingung sebenarnya sakit apa anak saya sehingga rumah sakit tersebut tidak bisa menangani anak saya). Dan akhirnya saya bawa anak saya ke rumah sakit di daerah Tegal dengan keadaan badan yang sudah sangat biru dan saturasi cuma di angka 45 sedangkan normal nya 90-100. Saturasinya tidak stabil. Anak masih dalam keadaan sadar malah dia masih tersenyum seperti tidak lagi sakit. Sewaktu dibawa pakai ambulan juga dia tidak rewel sama sekali. Anak tidak ada demam sama sekali, bahkan selama anak lahir sampai wafatnya anak tidak pernah demam. Selama di rumah sakit anak disuruh puasa oleh dokter. Kata dokter anak saya kena virus di paru-parunya. Saya tidak melapor ke pihak penyuntik karena tidak mau memperpanjang kasian adek sudah tenang di surga Allah. Saya juga fokus ke anak sehingga tidak berpikir untuk melapor. Anak menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 26 November 2015 

Sumber berita : Rismaya Yulianti Putri (Ibu dari anak, via inbox FB ke penulis).

18. Rafi Ahmad Fahrazi. Lahir tanggal 23 Agustus 2008. Jakarta.

Ravi sebelum vaksin, sehat.
Kronologis : Kejadiannya ketika anak mendapat vaksin campak umur 9 bulan (Mei 2009) di bidan daerah Cileduk. Setelah vaksin pagi, sore menjelang magrib anak kejang, tetapi anehnya badan tidak demam sama sekali. Akhirnya dibawa oleh ibu ke klinik namun kata bidan tidak apa-apa, cuma reaksi dari vaksin itu. Sebenarnya disuruh opname tapi ibu tidak ada biaya jadi hanya rawat jalan. Setelah berhenti kejang, beberapa bulan kambuh lagi, bahkan sehari bisa 10 sampe 12 kali bahkan lebih. Akhirnya anak diopname di Cipto periksa cairan otak katanya gejala epilepsi. Waktu itu biaya dibantu bos suami yang berbaik hati membiayai pengobatan anak, sehingga dapat dirujuk ke RS Tarakan Tanah Abang. Di sana ke bagian spesialis syaraf dikasih obat rutin minum pagi dan sore, tidak boleh telat karena kalau telat bisa kambuh katanya. Dan benar waktu minum obat itu anak tidak pernah kejang lagi. Setelah 2 tahun minum obat, ibu menjadi takut dengan dampak terlalu banyak konsumsi obat kimia. Akhirnya obat distop, sampai sekarang tidak pernah kejang namun permasalahannya perkembangannya jadi lambat. Umur 3 tahun belum biasa apa-apa bahkan merangkak saja tidak bisa. Ibu disuruh terapi ke tumbuh kembang tapi lagi-lagi biayanya tidak ada. Akhirnya anak dibawa ke tukang urut diurut tiap minggu sekali baru ada sedikit perkembangan. Akhirnya umur 4 tahun bisa jalan. Tapi sampai sekarang belum bisa bicara. Usia Ravi saat data ini dibuat sudah 10 tahun, namun belum sekolah di SLB karena terkendala biaya. Ibu sangat mengharap uluran tangan dermawan untuk menyekolahkan atau terapi Ravi.

Ravi 4 tahun, baru bisa jalan 

Ravi, 10 tahun, belum sekolah
Sumber berita : Wiwien Winarty (Ibu dari anak via inbox FB ke penulis). 

19. Muhammad Sultan Solehudin. Lahir di Bandung 20 April 2010. Lokasi kejadian di Bandung.

Sultan ketika masuk RS pertama kali
Kronologis : Ketika anak usia 7 tahun (kelas 1 SD waktu itu), di sekolahnya ada momen vaksinasi campak serentak. Padahal saya sudah tolak bahkan ada penandatanganan penolakan tetapi tetep disuntik. Ibu tidak ingin anak divaksinasi karena anak dari lahir dulu tiap habis vaksin demam 2-3 minggu, kulit memerah sekujur tubuh. Pulang sekolah mimisan dan mengeluh sakit di perut sama lengan. Malamnya pukul dua dini hari demam ampe 40 derajat dan dibawa ke UGD naik lagi 41.3 derajat. Dokter langsung suruh rawat inap. Dari situ mulai telinganya mengeluarkan darah dari hidung, mulut bagian gusinya, dan telinga, darahnya seperti jelly menempel. Tensi melorot, trombosit turun.
Masuk UGD pasca vaksinasi campak KIPI (dokter yang periksa yang bilang itu KIPI). Abis campaknya keluar, menyusul trombosit turun lalu kena tipes, 3 hari kemudian cek lab positif DBD. Jadi, setelah vaksin anak kena campak, tipes, dan DBD menyusul. Dokter yg suntik cuma bilang, "oh gpp Bu ini cuma KIPI". Tapi gak ada tindakan penanganan apa pun. Bayangkan bagaimana sakitnya rasanya badan anak saya waktu itu. Jelas saya minta penjelasan dari pihak dokter yang melaksanakan vaksinasi sayangnya mereka bilang ini tanggung jawab pihak sekolah, ketika minta penjelasan ke pihak sekolah pun malah mereka bilang ini tanggung jawab dokter puskesmas yang menyuntik. Saya dipingpongin. Saya pulang lagi ke RS dengan sedih, saya ceritain ke suami, suami ke sekolah ngamuk-ngamuk, saya sendiri terlalu lemas ketika itu. Kami bukan mau minta uang, hanya mau minta penjelasan kenapa bisa begitu, sudah tanda tangan di surat penolakan tapi masih disuntik. Anak saya kesakitan, tertinggal pelajaran di sekolah selama hampir sebulan karena pasca 2 minggu di RS, pulangnya tetap harus bedrest 2 minggu. Mereka minta maaf pun setelah anak saya pulih dan masuk sekolah (sebulan pasca suntik). Sampe sekarang kalau ada momen vaksinasi para orangtua murid yang sekelas sama anakku langsung ingat kejadian 2 tahun lalu waktu suami ngamuk gebrak meja. 
Kami sebagai orangtua tiap ada momen vaksinasi serentak disekolah harus standby menemani anak pas tanggalnya harus bersikukuh sama pihak puskesmas yang bertugas menyuntik, bersikukuh sama pihak sekolah juga. Sampai akhirnya ada kalimat dari saya yang agak kasar mungkin seperti ini, "Kami orang tua akan mengijinkan anak kami vaksinasi jika disini ada yang berani menjamin dan bertanggung jawab atas resiko yang terjadi lagi pada anak saya pasca vaksinasi nanti". Namun, tidak ada yang berani angkat tangan. Berarti saya akan tetap menolak vaksinasi untuk anak saya. Lihat kejadian anak saya setelah vaksin beberapa ibu jd ada yg takut ikut vaksinasi krn melihat langsung KIPI yang menimpa anak, tapi saya sama sekali tidak mempengaruhi mereka untuk tidak ikut vaksinasi apalagi provokasi.

Valerie ketika tertular campak 
Sedangkan Valerie adiknya Sultan, ketika kakaknya di RS, minggu depannya dia terkena campak (adiknya belum pernah vaksin sebelumnya), kemungkinan tertular Sultan. Saya bawa ke dokter anak, positif campak katanya. Disuruh diisolasi dirumah aja, penulihannya sekitar 10 hari tanpa ada darah sama muntah, ada demam sampe 39 derajat. Pemulihan Valerie justru lebih cepat dari Sultan. 

Sumber berita : Adentina Daeroby (Ibu dari anak, via inbox FB ke penulis).

20. Ananda Riani Ahmad. Laki-laki. Lahir tanggal 5 Oktober 2010. Di Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Banjarmasin, Kalimantan Selatan. 


Ananda sehari-harinya hanya berbaring
Kronologis : Asal mula anak saya diimunisasi waktu umur anak baru 4 bulan. Pergi ke posyandu untuk imunisasi polio dan difteri dan setelah diimunisasi malamnya demam disertai panas tinggi, itu pun turun panasnya apabila masih ada reaksi obat penurun panas dan apabila tidak ada lagi reaksi obatnya naik drastis panasnya, ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama kira-kira 1 bulan, dan setelah itu kejang dengan durasi yang lumayan lama kira-kira 1jam, dan setelah kejang tiba-tiba langsung koleps/koma tidak sadarkan diri. Langsung saya larikan ke RSUD setempat. Pada awalnya saya tidak tau bahwa anak saya korban malpraktek dan di RSUD koma selama 2 bulan dan itu pun saya minta 3 kali rujukan rumah sakit. Sampai yang ke 3 kalinya saya minta rujukan rumah sakit di Makassar, Sulawesi Selatan dan saya sempat sewa dokter dari dokter ahli saraf, dokter spesialis anak, dokter spesialis paru dan jantung dan pelengkap dokter terapi versi medis. Dan hasil kesimpulan tim dokter yang saya sewa tadi muncullah diagnosa bahwa anak saya korban malpratek, anak saya sakit karena kandungan vaksinnya dan salah suntik yang seharusnya suntik vaksin difteri tapi malah disuntik vaksin campak. Setelah saya mengetahuinya saya shok, campur aduk perasaan ada semua waktu saat itu. Perlahan saya selidiki dan cari bukti-buktinya sampai akhirnya saya menemukan buktinya,dan setelah saya dapat semua saya mau melanjutkan diranah hukum. Namun, di keluarga saya ada yang tidak setuju, khususnya mertua saya. Mertua bilang, tidak usah dilanjutkan perkara ini. Namun, dari sisi lain saya tidak ihklas, emosi dan orang tua mana sih yang mau anaknya dijadikan ajang percobaan. Di satu sisi saya dituntut dan harus belajar untuk mengiklaskan dan menerima apa yang saya sedang hadapi. Kata mertua saya siapa yang menanam dia lah Yang menuai, jadi saya harus belajar untuk semua itu. Lama saya baru bisa mengikhlaskan kurang lebih 3 tahun baru bisa saya mengikhlaskan apa yang saya pernah hadapi dan alhamdulillah cobaan yang pernah saya alami ada hikmanya atas ijin Yang Maha Kuasa. Ketika kejadian saya tidak melapor ke pihak posyandu karena saya belum tahu semuanya. Ananda sejak kejadian itu, keadaannya sangat memprihatinkan, sehari-harinya hanya bisa tiduran, hanya satu tangan yang bisa diangkat dan ini berlangsung selama 8 tahun. Ananda meninggal tanggal 8 agustus 2018 jam 15.35.

Ananda saat koma untuk terakhir kalinya
Sumber berita : Ahmad Saleh (ayah dari anak via inbox di FB dan WA penulis).



21. Mokhammad Rofi' Al-Nafi'. Laki-laki. Lahir di Kediri, tanggal 18 Oktober 2015.
Rofi ketika sebelum vaksin, sehat, gemuk, dan aktif

Kronologis : suatu hari (sudah agak lupa kapan) anak mendapatkan vaksin DPT HB dan polio di pagi hari di bidan di Kediri. Sore hari anak mulai demam dan demam berlangsung sampai esok paginya, suhu makin tinggi dan ini berlangsung selama 3 hari. Waktu demam pertama kali anak dibawa ke bidan lain (bukan penyuntik) yang lokasinya dekat rumah. Akhirnya demam anak turun. Bidan berkata demamnya anak karena virus. Lalu bidan memberi obat yang harus rutin diminum selama di rumah. Namun hari ke 3 belum juga sembuh, jadi Ibu bertanya kembali ke bidan, dan bidan bilang kalau lebih dari 3 hari silahkan ke RS. Hari ke empat anak terlihat lebih baik karena demamnya turun. Hari ke lima  anak dibawa lagi ke bidan tersebut, lagi-lagi bidannya bilang bahwa anak cuma terserang virus mau pilek. Bidan menyarankan diuap aja, lalu akhirnya anak diuap. Setelah itu, pulang ke rumah sejam kemudian anak mendadak kejang lalu dibawa ke RS ditangani beberapa saat, lalu dinyatakan kritis namun akhirnya dokter mengumumkan bahwa anak sudah meninggal. Gejala saat sebelum kejang adalah sesak atau sulit bernapas padahal demamnya sudah turun. Selama kejadian, keluarga tidak ada yang melapor ke puskesmas karena keluarga sudah ikhlas dan tidak akan menuntut bidannya namun keluarga mencurigai vaksin sebagai penyebab kematian anaknya. 



Sumber berita :Safitrimo Sapa (ibu dari anak via inbox Fb ke penulis.



22. Marcello Axel (2 bulan). Oktobe 2012. Tanjung Priok, jakarta Utara.
Marcelo Axle

Kronologis : Nasib malang menimpa Marcelo Axle. Bayi dua bulan itu meninggal setelah mendapat suntikan imunisasi DPT\/HB 1 dan Polio 2 di Puskesmas kec. Tanjung Priok Kamis (27/9/2012) silam. Belum dikatahui pasti penyebab meninggalnya anak pasangan Hendra Wakim,23 dan Stefi Anastasia,19, warga Jalan Enim II No 64/118 RT 004/003 Sungai Bambu, Tanjung Priok, Jakarta Utara, itu. Hingga saat ini mereka masih menunggu hasil otopsi dari pihak RSCM untuk memastikan penyebab meninggalnya korban. Stefi Anastasia,19, ibu korban saat ditemui di rumahnya mengatakan, peristiwa itu bermula anaknya Marcelo pada Kamis (27/9) mendapat imunisasi DPT Combo I di Puskesmas Tanjung Priok. Saat datang ke Puskesmas itu kondisi anaknya dalam keadaan baik-baik. Karena dinyatakan sehat, oleh dokter anaknya itu disuntik DPT Combo 1 di paha kanannya. “Setelah itu saya langsung pulang, namun sore harinya, paha kanan anak saya bekas suntikan itu langsung membengkak. Selain itu, panasnya tinggi dan rewel terus,” ujar Stefi, Jumat (5/10). Tidak sampai disitu, malam harinya kesehatan Marcelo semakin menurun dan terus menangis. Sempat diberi obat penurun panas berupa puyer. Melihat anaknya rewel, Stefi berusaha mendiamkan dengan memberikan air susu ibu (ASI). Akhirnya usahanya itu membuahkan, hasil anaknya langsung tertidur pulas pukul 20.00 WIB. Beberapa saat suaminya Hendra pulang bekerja dan bermaksud menggendong anaknya. Tapi saat dipegang badan anaknya itu sudah dingin dan kaku, bahkan sekitar jam 12 malam, lubang hidung anaknya mengeluarkan darah dan busa yang kental. “Semula saya berusaha menekan dadanya, tapi darah malah keluarnya banyak,” kata pasangan mudah tersebut yang menikah pada 25 Februari 2012 silam itu. Melihat kondisi seperti itu Hendra bergegas membawa anaknya ke RS Santo Josep di Jl Ganggeng, Sungai Bambu, Tanjung Priok untuk di perawatan dan memastikannya apakah anaknya meninggal atau belum. Namun, usaha pasangan mudah itu sia-sia, oleh dokter anak tersebut dinyatakan meninggal sejak dari rumah. Tanpa menunggu lama oleh keluarganya balita malang itu lalu dibawa pulang ke rumahnya. Keluarga heran anaknya sehat bisa begini bisa seperti itu. Sesampainya , di rumah sudah penuh warga masyarakat yang datang melayat. Setelah berunding antara kedua keluarga besar tersebut akhirnya disepakati untuk melaporkan kepada pihak kepolisian. “Setelah melalui rembukan, akhirnya keluarga keluarga besar menyepakati untuk melaporkan kejadian ini ke Polres Jakarta Utara. Polisi langsung membawa anak saya ke RSCM untuk diotopsi, setelah diotopsi, jenazah Marcel langsung dimakamkan di TPU Semper pada Sabtu (29/9) lalu,” jelasnya. Sementara itu, Hendra,23, ayah korban menambahkan saat ini pihaknya masih menunggu hasil otopsi dari RSCM dengan waktu satu pekan atau hingga Sabtu (6/10). Meski begitu pihaknya belum bisa memutuskan tuntutannya bila seandainya anaknya itu meninggal karena suntik imunisasi DPT Combo I. “Mudah-mudahan kedepan kejadian ini seperti ini tidak akan terulang lagi dan ini yang terakhir kali. Terkait tuntutannya, saya belum memutuskan karena hasil otopsi belum keluar,” imbuhnya. Menurutnya, semenjak anaknya itu meninggal, memang ada petugas Puskesmas Kecamatan Tanjung Priok yang datang ke rumahnya dan menawarkan uang duka. Namun, pihaknya menolak uang duka tersebut. “Semenjak kami tolak, Kepala Puskesmas tidak datang lagi kerumah hingga saat ini,” tuturnya. Secara terpisah, Kasudin Kesehatan Jakarta Utara Bambang Suheri yang dihubungi via telepon selulernya, membenarkan peristiwa itu. Menurutnya, hingga saat ini pihaknya belum bisa memastikan penyebab meninggalnya Marcel apakah karena malpraktik atau karena sebab lain. “Untuk memastikannya kita tengah menunggu hasil otopsi dari tim dokter RSCM. Jadi dalam hal ini kami juga belum mengetahui secara pasti penyebab meninggalnya korban,” katanya. Menurut Bambang, terkait meninggalnya Marcel, pihaknya sudah melakukan pemeriksaan terhadap semua dokter dan tim kesehatan yang ada di Puskesmas Kecamatan Tanjung Priok. Dari hasil pemeriksaan menjelaskan bahwa semuanya sudah sesuai dengan standar pelayanan yang diberikan. “Setelah kita cek tak ada kelalaian. Namun untuk memastikan hal itu tengah dilakukan otopsi,” katanya. Menurut dia, imunisasi merupakan program nasional untuk memberikan kesehatan kepada balita. “Saya minta warga tidak perlu takut untuk melakukan imunisasi kepada setiap balita,” kata Bambang sambil menambahkan kalau vaksinnya telah dikirimkan ke Balai POM untuk diteliti. Sedangkan Kepala Puskesmas Tanjung Priok, dr Clara menjelaskan bayi yang disuntik imunisasi DPT Combo I itu memang biasanya memang ada demam ringan faktor dari pertusis. “Kita sudah ada standar pelayanan. Kalau diimunisasi DPT Combo I pasti dibekali dengan obat anti panas paracetamol. Panasnya paling sehari, dan setelahnya sudah turun,” ungkapnya. Pemberian Imuninasi DPT ini tujuannya untuk memberikan kekebalan tubuh sibayi terhadap penyakit tenggorokan, batuk seratus hari, dan kejang-kejang. Sebab, dari bayi pertama lahir diberikan Hepatitis nol, setelah satu bulan diberikan BCG, dua bulan diberikan DPT Combo I, 3 bulan DPT combo 2, dan 9 bulan imunisasi campak. Sementara itu Kasatreskrim Polres Jakarta Utara, AKBP Didi Hayamansyah menambahkan, kasus ini masih dalam penyelidikan Polres Jakarta Utara dan Polsek Tanjung Priok.”Masih dalam tahap penyelidikan, dan menunggu hasil otopsi. Jika nanti hasil otopsi keluar kita juga akan meminta keterangan ahli dibidang kesehatan. Karena ahli tersebut yang paling berkompoten mengeluarkan keterangan secara detil,” kata Kasat Reskrim yang didampingi Kapolsek Tanjung Priok, Kompol Yono Suharto. Menurutnya saat ini, pihaknya juga masih menunggu hasil otopsi jenazah bayi mungil berumur dua bulan tersebut. “Iya, kasus itu sudah dari minggu kemarin, kita masih menunggu hasil otopsi untuk mengetahui perkembangan kasus tersebut,” ujarnya singkat. 

Kematian Marcelo Axle (2) yang diduga karena imunisasi masih diselidiki. Dokter Spesialis Anak Fakultas Kedokteran UI, dr Soedjatmiko, menyebut kecil kemungkinan Marcelo meninggal karena vaksin itu. "Vaksin itu sudah banyak digunakan. Saya agak sangsi misalkan benar akibat vaksin itu," kata Dokter Spesialis Anak Fakultas Kedokteran UI, dr Soedjatmiko, saat dihubungi, Senin (8\/10\/2012). Menurut Soedjatmiko, Diphteri Pertusis Tetanus (DPT) adalah jenis vaksin yang sering dan banyak digunakan di seluruh dunia. Vaksin jenis ini diekspor ke 120 negara dan telah diuji produksi Biofarma, sehingga kualitasnya bisa dipercaya. "Jenis DPT banyak digunakan di seluruh dunia. Penyebab kematiannya pasti banyak kemungkinan. Untuk memastikan ya kita harus menunggu hasil autopsi yang mengikutkan pemeriksaan darah dan cairan dari otak," kata Soedjatmiko. Soedjatmiko menambahkan keluarnya darah dan cairan dari hidung Marcelo tipis kemungkinan akibat suntikan vaksin untuk tetanus tersebut. Menurut dia, penyebab keluarnya busa dan darah dari hidung diketahui karena adanya pendarahan di paru-paru. "Pendarahan di paru-paru biasanya merupakan hasil dari penyakit demam berdarah atau pun tubercolosis. Jadi, agak kecil kemungkinan Marcelo benar meninggal karena efek vaksin DPT. Efek vaksin DPT itu tidak sampai menyebabkan pendarahan. Efek sampingnya paling demam ringan, rewel, atau bengkak di bekas suntikan, dan itu pun biasanya sudah diberi obat sama dokter. Efek sampingnya jauh lebih kecil dibanding manfaatnya," ujar Soedjatmiko. "Nggak usah berandai-andailah kalau soal itu. Sudah menjadi standar di mana-mana bahwa bayi demam tinggi tak boleh menerima vaksin DPT," lanjut Soedjatmiko. Namun Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) memastikan tidak ada keterkaitan antara kematian balita tersebut dengan vaksin yang diberikan puskesmas. 

"Untuk mengklarifikasi kasus MAW (Marcelo Axel Wakim) telah dilakukan pemeriksaan autopsi oleh Departemen Ilmu Kedokteran Forensik RSCM Jakarta. Selanjutnya, dilakukan juga batch review dengan nomor 2712111 produk vaksin dari Bio Farma dengan hasil baik. Selain itu, dilakukan pula pemeriksaan vaksin berupa uji sterilitas dan toksisitas, dengan nomor batch yang sama oleh Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPOMN) dengan hasil laporan pengujian dengan nomor PM.05.05.71.04.10.12.03, tanggal 17 Oktober 2012. Dalam hasil laporan tersebut dinyatakan bahwa vaksin memenuhi syarat," demikian rilis yang diterima detikcom dari Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan, Murti Utami, Selasa (23\/10\/2012). 

Murti mengungkapkan dalam pertemuan antara Komite Nasional (Komnas) PP KIPI bersama Komite Daerah Provinsi DKI Jakarta, Subdit Imunisasi Direktorat Simkarkesma Kemenkes RI, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Dinkes Provinsi DKI Jakarta, Sudinkes Jakarta Timur dan Puskesmas Tanjung Priok, dijelaskan kronologis kejadian berdasarkan investigasi lapangan. Pada saat yang sama dilakukannya imunisasi di Puskesmas Tanjung Priok, terdapat 48 bayi yang mendapat imunisasi DPT\/HB dan 59 vaksin polio, semua dalam keadaan sehat. "Berdasarkan analisa tersebut, Komnas PP-KIPI dan Komda PP-KIPI DKI Jakarta yang terdiri dari para ilmuwan dalam bidang kedokteran dan kesehatan masyarakat telah mengadakan kajian yang mendalam terhadap kasus ini dan menyimpulkan hasil audit klasifikasi kausalitas adalah unrelated, dengan penyebab kematian tidak berhubungan dengan imunisasi" jelasnya.

Berdasarkan hasil autopsi RSCM, Marcelo meninggal karena benturan benda tumpul di kepala. "Kalau dari RSCM, ada bekas kekerasan benda tumpul di kepala dan ada resapan darah di tulang tengkorak, sekitar pelipis kanan dan kepala belakang kanan," kata Kanitreskrim Polsek Tanjung Priok, AKP Sutikno, pada detikcom, Kamis (11\/10\/2012). Benturan benda tumpul di kepala Marcelo menyebabkan terjadinya pendarahan yang merusak sejumlah jaringan tubuh bocah mungil tersebut. "Pendarahan di atas selaput keras otak dan lebam jaringan otak akibat benturan benda tumpul itu," ujar Sutikno. Hasil mengejutkan tersebut membuat pihak kepolisian menyelidiki benda tumpul yang membentur kepala Marcelo. Soal suntikan imunisasi DPT Combo I yang diterima Marcelo sebelum meninggal juga akan diselidiki lebih dalam. "Dari hasil ini kita kembangkan dulu lewat hasil lab yang ada di BPOM mengenai pemeriksaan vaksin. Setelah itu, kita akan lihat perkembangan lebih lanjut. Dokter dan bidan (puskesmas) juga sudah diperiksa, dari pemeriksaan mereka mengatakan sudah memberikan hasil vaksin sesuai dengan prosedur," kata Sutikno. Demi mendapatkan gambaran jelas penyebab meninggalnya Marcelo termasuk benda tumpul misterius tersebut, pihak kepolisian berencana memeriksa keluarga dan orangtua Marcelo. "Setelah ini kita akan memeriksakan dari pihak keluarganya. Cuma sekarang belum datang lagi ke sini. Keluarga akan dipanggil untuk dimintai keterangan," ujar Sutikno. Marcelo Axel adalah anak dari pasangan Hendra Wakim (23) dan Stefi Anastasia (19). Marcelo meninggal dunia pada tanggal 28 September 2012 dengan mengeluarkan busa dan darah di lubang hidungnya.






23. Muhammad Keanurizha Himawan, lahir di Jakarta tanggal 26 September 2012. 
Keanurizha ketika masih sehat



Kronologis :



Anakku setiap vaksin pasti demam, tidak curiga saat itu. Setiap vaksin selalu saya ingatkan dokternya, saya tidak mau vaksin HIB ya dok (buat otak), dokter meng'iya'kan selalu namun ternyata sudah disuntik 2x pengulangan saya tidak cek bukunya lagi karena merasa percaya. Saat itu sistem paket lagi sekali datang langsung suntik 3 macam cuma selalu saya ingatkan tidak mau HIB, karena pengalaman teman ipar dulu setelah suntik anaknya lemas lumpuh akhirnya dan kaku seperti stroke, saya tidak tahu kalo HIB sudah kena pengulangan 2x sempat anak saya seminggu sudah tidak mau berdiri lagi ataupun duduk lemas, namun saya tidak curiga saat itu. Setelah seminggu saya semangatin dia ayo donk nak berdiri ya saya bantu akhirnya dia alhamdulillah kuat lagi. Sama sekali saya tidak curiga. Kemudian tiba saatnya jadwal vaksin (lupa namanya) ternyata dokter langsung bilang ini HIB harus pengulangan sekali lagi karena sudah pernah disuntik 2x, kebetulan setiap imunisasi dokternya berbeda-beda karena saya pikirkan ada buku vaksinnya jadi tercatat sehingga tidak akan double, tapi itulah karena tidak teliti jadi bablas anakku kena vaksin yang paling saya takutkan HIB, kali ini dokternya maksa dan sempat berdebat ke saya agar anaknya disuntik HIB , saya bilang, dok, anak temannya ipar saya setelah divaksin HIB langsung lemas sekarang tidak bisa apa-apa lumpuh intinya. Saya tidak menyangka, dokternya malah ceramah panjang lebar dan bilang tidak ada bukti. Jika pakai logika, namanya anak sehari-harinya kan sama bundanya, pasti bundalah orang pertama yang mengerti anaknya mengalami perubahahan perkembangan. Tetap dokter berdebat sama saya dan bilang itu anaknya aja yang sudah ada kelainan dan lain-lain alasannya. Karena saya kesal, saya bilang ya udah dok kalau mau suntik anak saya suntik aja, dengan emosinya saya ngomong, dan disitu saya menyesal mengapa tidak saat itu saya keluar saja dari ruangan dokter. Kalau saja saat itu saya keluar, mungkin anak saya tidak berakhir seperti ini. Ini lah kelemahan kita sebagai orang tua. Akhirnya anakku demam terus menerus, namun karena dipikir hanya demam biasa jadi tidak terlalu panik tapi sudah dikasih tempra dll masih tidak turun-turun juga dan dari situ saya mulai panik, karena panasnya tinggi mungkin malamnya kejang. Namanya malam, pasti ada rasa kantuk menyerang saya dan kadang tertidur, tidak menyangka malam anak kejang karena demam dan efek dari vaksin itu juga ya akhirnya terlambat semua anak saya keesokannya kok aneh lemas, duduk jatuh seperti tidak ada tulangnya. Berdiri sudah tidak bisa langsung saya bawa ke Dokter Saraf di RSPI saya disarankan cek EEG, MRI, darah tapi percuma sudah telat semua perkembangannya jadi mundur dokter cuma saran untuk diterapi, saya berpikir mau balik lagi ke dokter itu tapi pasti dia tidak percaya, ini yang lemah buat orang tua selalu dalam hal ini orangtua yang disalahkan atau anaknya, jelas-jelas saat sebelum disuntik anak saya sehat dan normal bisa duduk berdiri. Kalaulah saya mau perpanjang kasus ini percuma kita pasti kalah. Saya sempat telepon dokter kandungan yang pernah membantu proses lahiran anak saya, meminta beliau untuk cek anak saya karena takutnya dari sejak lahir dia tidak normal, namun dokter bilang anak ibu sehat ketika lahir tidak ada masalah, tidak ada kelainan apa-apa karena dokter masih ingat ketika megang anak saya pertama kali.


Saya akhirnya harus belajar ikhlas dan harus bisa menerima ini semua. Terakhir saya berdoa semoga kebenaran mengenai vaksin segera terungkap, amin. Saya termasuk ibu yang merasakan selama 9 bulan mengandung dan untuk mendapatkan anak pun harus program, sulit mendapatkannya namun begitu hadir anak malah begini jalannya .. semenjak anak saya begini saya jadi lebih hati-hati dan bijak untuk mengambil keputusan lagi, banyak baca, bertanya dan bergaul dengan anak kekurangan☺️sampai sekarang buku vaksin anak saya masih saya simpan dan terlihat jelas nama dokter yang sudah suntik 2x anakku vaksin HIB yang padahal saya sudah ingatkan dia untuk menolak. Tapi biarlah saya jalani takdir ini dan sekarang saya harus fokus perjuangan ke anak saya saja moga Allah menyembuhkannya kembali amin.




Saat ini, kecerdasannya sudah mulai bagus selama saya kasih vitamin dari USA yang tadinya tidak bisa apa-apa diam saja, sekarang bisa hitung 1-10, A-Z, warna, anggota badan sudah hafal sedikit, dan bisa mengucap meski ada yang jelas dan ada yang tidak. Sebenarnya anaknya siap sekolah namun karena belum bisa jalan ini masalahnya. Responnya sudah bagus tinggal lebih ke fisiknya aja. Daya ingat dan belajarnya sudah bagus semenjak saya kasih vitamin itu. Sekarang lumayan, kalau didudukin udah agak tegak meski tidak bisa lama. Saya sudah ke mana-mana sampai habis-habisan dan sekarang pun kalau mau terapi sudah agak berat di biaya, menunggu rezeki yang datang terkumpul dulu baru bisa terapi😭😭entahlah selama pindah ke Jakarta ini rezeki jadi agak susah.







Sumber berita : Maurizha (Ibu melalui WA dan inbox di FB).



24. Sinta Bella. 9 tahun. Sekolah Madrasah Ibtidaiyah Al Huda Jatimulya, Bekasi.

Kronologis : Diduga akibat imunisasi antitetanus, Sinta Bella (9) mengalami kelumpuhan. Kedua kakinya menjadi lemah dan tidak bisa digunakan untuk berjalan. Akibat kejadian itu, keluarga melaporkan kasus itu ke Polda Metro Jaya.Kejadian ini terjadi pada 22 November 2005. Saat itu Bella mendapat suntikan antitetanus di sekolahnya Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al Huda Jatimulya, Bekasi, oleh beberapa petugas Pukesmas Jatimulya, Bekasi.\\\"Kami melaporkan perawat yang menyuntik Bella, Umi Rotido, dan Kepala MI tempat Bella sekolah Zarkasih,\\\" kata ibu Sinta Bella, Nani, usai memberikan laporan di Sentra Pelayana Kepolisian Polda Metro Jaya, Jalan Gatot Soebroto, Jakarta, Rabu (20\/9\/2006).Kondisi Bella sendiri yang turut dibawa ke Polda, terlihat sangat kurus dan kedua kakinya bergetar jika ditekuk. Sudah sekitar 10 bulan dia tidak bisa melanjutkan sekolah lagi. \\\"Bella pengin bisa jalan lagi dan kembali sekolah,\\\" kata Bella lirih.Pasal yang digunakan dalam laporan itu adalah pasal mengenai kelalaian yang menyebabkan orang lain cacat. Keluarga Sinta Bella melaporkan ke Polda dengan didampingi LBH Kesehatan.
Kedua kaki Sinta Bella (9) lemah dan tak bisa berjalan usai disuntik imunisasi antitetanus. Namun Depkes menyatakan tidak ada hubungan antara kelumpuhan dengan suntikan tersebut. Jadi?\\\"Kelumpuhan yang dialami Sinta Bella disebutkan akibat kerusakan tulang belakang yang disebabkan oleh virus yang sudah berlangsung lama,\\\" sebut Ketua Komite Daerah Penanggulangan dan Pengkajian Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komda KIPI) Provinsi Jawa Barat Prof Dr Suganda Tanuwidjaja Sp.A (K) dalam rilis Depkes, Sabtu (30\/9\/2006).Dokter yang merawat Sinta Bella di RS Hasan Sadikin yakni dr Neli Amalia Sp.A menuturkan, dari hasil pemeriksaan terhadap Sinta Bela, terdapat infeksi kerusakan tulang belakang yang mengakibatkan keropos, sehingga dengan sendirinya menekan syaraf belakang.\\\"Infeksi disebabkan oleh kuman yang sudah berlangsung lama, tanpa disadari oleh penderita. Tulang yang sudah keropos harus dipasang pen<\/i> supaya tidak bergeser terus-menerus,\\\" kata dr Neli seraya menyatakan tidak bisa memastikan Sinta Bella dapat sembuh seperti semula atau tidak.Sementara Kepala Sub Dit Imunisasi Ditjen PPL Depkes dr Jane Soepardi mengatakan, selama program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) berlangsung, tidak pernah dilaporkan kasus seperti Sinta Bella.Kronologi Versi Depkes<\/b>Sinta Bella, murid Sekolah Madrasah Ibtidaiyah Al-Huda, Bekasi mendapat imunisasi Difteri Tetanus (DT) di sekolahnya pada 22 November 2005 pukul 09.00 WIB.Dua hari kemudian Sinta Bella terjatuh saat berebut mangga dengan teman-temannya, namun masih bisa berdiri kembali. Esok harinya dia sakit. Pada 12 Desember, Sinta Bella ujian ulangan umum di sekolahnya dalam kondisi tidak dapat berjalan tetapi masih dapat berdiri.Pada 8 Mei 2006, orangtua Sinta Bella melaporkan ke sekolah bahwa setelah beberapa hari disuntik imunisasi, putrinya tidak bisa berjalan. Pada 16 Mei, pihak sekolah membawa Sinta Bella ke RSUD Kota Bekasi lalu dirujuk ke RSD Kabupaten Bekasi lalu dirujuk lagi ke RSCM Jakarta.Sinta Bella kemudian dibawa ke Poliklinik Neorologi Anak RSCM pada 18 Mei dan didiagnosa mengalami kelumpuhan. Dia disarankan menjalani pemeriksaan MRI Torakolumbal, namun orangtuanya menolak karena tidak punya biaya.Dia kemudian dibawa berobat ke RS Polri Kramatjati dan dinyatakan kemungkinan mengalami infeksi sumsum tulang belakang, bukan akibat imunisasi.Pada 16 Agustus, Komnas Perlindungan Anak, Puskesmas dan Dinkes mengajak orangtua Sinta Bella membawa putrinya ke RS Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, namun ditolak.Pada 2 September, Sinta Bella dibawa berobat ke RSHS Bandung oleh LBH Kesehatan. Dia dirawat hingga 18 September di Bagian Ilmu Kesehatan Anak untuk dilakukan serangkaian pemeriksaan, termasuk MRI.

Sumber berita : newsdetik1, newsdetik2

25. Suci Guntari. 6 tahun. Pekanbaru.

PEKANBARU (RiauInfo) – Imunisasi Campak membabi buta yang dilakukan Dinas Kesehatan (Diskes) Pekanbaru di sekolah-sekolah akhirnya menelan korban juga. Suci Guntari (6) siswa Kelas 1 SD 017 Bukitraya Pekanbaru mengalami kelumpuhan setelah mengikuti imunisasi di sekolahnya.
Imunisasi itu sendiri terjadi 15 Februari 2007 lalu saat pihak Diskes Pekanbaru melakukan imunisasi di SD 017 Bukitraya tersebut. Pelaksanaan imunisasi itu sendiri tanpa pemberitahuan kepada para orangtua murid.
Malam sebelum imunisasi itu, Susi memang mengalami sedikit demam panas. Tapi karena kondisinya tidak parah, paginya dia tetap pergi ke sekolah seperti biasa. Kebetulan pada hari itu ada program imunisasi yang dilakukan Diskes Pekanbaru di sekolahnya.
Demi mengikuti aturan sekolah, Suci pun mengikuti program tersebut. Malany baginya, habis disuntik imunisasi, tubuhnya terasa semakin melemah. Namun kondisi itu kurang dihiraukannya, sehingga tidak dilaporkannya kepada guru.
Tapi sewaktu sudah pulang ke rumah, sekitar pukul 15.30 Wib, tiba-tiba tubuhnya kejang-kejang dan mulutnya mengeluarkan bisa serta mata membelalak. Atas inisiatif tetangga diapun dilarikan ke rumah sakit Awal Bross.
Meski telah mendapatkan perawatan intensif kondisi Suci tetap memburuk. Bahkan sebelah tubuhnya kemudian tidak bisa digerakkan lagi. “Pihak rumah sakit sampai sekarang tidak memberitahukan penyakit apa yang diderita anak kami,” ungkap Anto (39) ayah korban.
Anto sendiri tidak bisa menerima kondisi anaknya yang sekarang sudah lumpuh tersebut. Dia merasa yakin kondisi tersebut disebabkan oleh imunisasi yang diberikan kepada anaknya.
Namun Anto belum bisa memastikan apakah nantinya akan menuntut pihak sekolah dan Diskes Pekanbaru. “Yang jelas kondisi anak saya saat ini sangat menyedihkan. Saya tidak tahu lagi harus berbuat apa,” ujarnya sedih.
Sudah dapat dipastikan bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, semua instansi akan saling lempar tanggungjawab. Begitu pula halnya dengan kasus Suci, siswa kelas 1 SD 017 Bukitraya, Pekanbaru yang lumpuh setelah diimunisasi.
Bahkan Kadisdikpora Pekanbaru, Drs Syahril Manaf ketika dihubungi wartawan mengaku belum tahu kasus yang menimpa Suci itu. “Saya belum mendapatkan laporan atas kasus tersebut,” ungkap dia seperti dirilis oleh Metro Riau.
Karena belum adanya laporan itu dia mengaku belum bisa memberikan komentar lebih jauh. Sebab dia perlu melakukan pengecekan ke bawahannya, misalnya ke Kepala Cabang Dinas Bukitraya.
Sementara itu Kepala Cabang Dinas Bukitraya, Agussalim SPd ketika dihubungi wartawan mengatakan pihaknya telah memanggil Kepala SD 017 Bukitraya Dra Netti Herawati guna meminta keterangan berkisar kasus tersebut.
Namun dari hasil pemanggilan itu, Kepsek bersangkutan mengaku belum mendapatkan laporan dari orangtua korban. Karena itu dia belum bisa memberikan tanggapan terhadap kasus itu.
Kadis Kesehatan Pekanbaru, Syaiful Rab belum bisa dihubungi. Namun sebelum kasus ini terjadi Syaiful kepada RiauInfo pernah mengatakan bahwa bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan akibat imunisasi yang dilakukan di sekolah, silahnya menuntut menteri kesehatan.
Menurut dia, program imunisasi campak yang dilakukan terhadap anak-anak, termasuk di sekolah-sekolah itu merupakan program nasional. “Kami di daerah hanya menjalankan tugas saja,” ungkapnya kala itu.(Ad)
Terkait adanya kasus lumpuhnya murid SD 017 Bukitraya yang diduga akibat imunisasi yang dilakukan di sekolah, pihak Diskes Pekanbaru menyatakan akan bertanggungjawab.
Kepala Diskes Pekanbaru Syaiful Bahri Rab kepada wartawan di Pekanbaru mengatakan, pihaknya akan bertanggungjawab jika memang benar ada siswa yang mendapat dampak negatif akibat imunisasi tersebut.
Namun demikian, menurut dia, tentu harus terlebih dahulu siswa tersebut diperiksa untuk diketahui secara pasti apa penyebabnya. “Biasanya untuk pemeriksaan itu harus dilakukan oleh lembaga kesehatan independen,” ungkapnya.
Syaiful sendiri mengaku sampai saat ini pihaknya belum menerima laporan atas kasus tersebut, baik dari Puskesmas Bukit Raya maupun dari pihak sekolah. “Sampai sekarang kami belum mendapatkan laporan,” ujarnya.
Namun begitu pihaknya akan melakukan pemanggilan terhadap pihak puskesmas dan pihak sekolah tentang kebenaran informasi itu. Dia mengaku kasus tersebut memang pernah terjadi di Indonesia, tapi belum ada di kota Pekanbaru.

Sumber berita : kasus

26. Sri Apriliani. 19 tahun. Kubu Raya Kalimantan. Jl. Adisucipto, gg. Sabar samping SPBU Kampung Arang, Kec. Sungai Raya, Kab. Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Kronologis : Awalnya pada tahun 1999,Sri diimunisasi pertama kali pada umur 4 bulan di posyandu di Wonodadi, Kampung Arang pada siang hari, tiba-tiba malamnya panas tinggi dan kejang sempat dibawa ke RS Sudarso selama 1 minggu dan melakukan pengobatan namun tidak membuahkan hasil yang akhirnya kondisi anak menjadi lumpuh dan tidak bisa bicara. Menurut ayahnya, pihak keluarga sudah melapor ke puskesmas namun tidak ada respon yang baik, malah menyalahkan keluarga, padahal kondisi anak sebelum imunisasi sangatlah sehat dan tidak memiliki penyakit.Walaupun sudah melapor dan keadaan anak semakin memburuk hingga lumpuh hingga tidak bisa bicara. Pihak tenaga kesehatan tidak memberikan kompensasi apapun. Sehingga keluarga harus mengeluarkan biaya sendiri untuk pengobatan sang anak sampai akhirnya sang anak meninggal dunia pada 11 April 2018.

Sumber berita : Pak Misri (ayah dari anak, melalui Maha Latansa (rekan Komunitas Thinker Parents di FB).

27. Aireine Deindra Kireinafitri Aliyya . Lahir tanggal 05 juli 2006. Kasus ini ketika umur 14 bulan. Anak pertama. Karawaci, Kota Tangerang, Banten.
  
Kronologis :
Antara bulan Oktober / November 2007 anak divaksin MMR, lalu masuk RS Borromeus Bandung karena kejang 7 kali tanpa demam, sekitar dua minggu setelah vaksin, kejang tiba-tiba saat bermain bahkan saat akan tidur, 7 kali kejang terjadi dalam waktu 2 hari. Diobservasi 5 hari di RS (opname), bukan karena infeksi atau epilepsi, dengan diagnosa akhir hyperactive. Orang tua tidak melapor ke bidan penyuntik dikarenakan sebelumnya tidak paham kolerasi kejang dan efek samping vaksin MMR, sampai suatu hari sang ibu membaca sebuah artikel tentang Vaksin MMR. Dan mulai melakukan pencarian tentang efek samping vaksin MMR dan kaitannya dengan kejadian anak. Sebelum vaksin, anak sehat, jarang sakit, hanya flu, demam atau diare ringan. Di vaksin yang sebelumnya pernah mengalami reaksi demam atau diare, namun saat itu orang tua belum terlalu mengerti efeknya. Saat ini masih terapi untuk pendengaran dan penglihatannya karena terjadi kerusakan akibat kejang tersebut, terapi totok dan prana. Ke depannya, ibu memutuskan untuk tidak vaksin anak. 

Sumber berita : Deindra (Ibu anak), melalui inbox di FB ke penulis.

28. Muhammad Risky. Lahir di Muara Teweh, tanggal 1 April 2007. Kondisi per September 2018 : dalam keadaan cacat /lumpuh usianya 11 tahun.

Kronologis :   

Akan menjalankan operasi tanggal 3 september 2018 dirumah sakit Ulin Banjarmasin Kalimantan Selatan karena sedang mengalami sakit Polio sudah 9 tahun dan  sudah masuk tahap parah sekali. Keadaan tulang pantat sudah menyatu dan pernah patah. Bahwa keadaan ekonomi dari beliau adalah kurang mampu.
Setelah Imunisasinya lengkap di puskesmas Karang Jawa Muara Teweh, Kalimantan tengah
Kemudian pasca imunisasi polio tanggal 15 September 2007, anak kemudian demam tinggi, setelah demam turun anak tiba-tiba menjadi layu, hingga di umurnya 1 tahun belum bisa berjalan. Bisa berjalan pada umur 20 bulan. Kondisi layu ini berlangsung sampai umur 8 tahun tidak bisa berjalan normal seperti anak biasanya. Bangun dari duduk saja dibantu dan sangat keaulitan, kerap merintih mengangkat punggung telebih dahulu dengan bantuan telapak tangan menekan ke lantai.

Kemudian, di usia masuk sekolah SD mengalami cidera akibat jatuh kemungkinan patah tulang di bagian pantat. Setelah terjatuh terduduk sampai 3 tahun ini tidak bisa berjalan lagi/lumpuh. Kata dokter yang memeriksa di puskesmas Risky terkena penyakit AFP(Acute flaccid paralisis) mendadak lumpuh layu/polio dan kata dokter di RSUD Buntok menyatakan penyakit lumpuh yang di sebabkan jatuh terduduk.
Ini rincian imunisasi Anak Muhammad Risky :
BCG tgl 26-5-2007
HepatitisB dan DPT tgl 9-6-2007, ­4-8-2007, dan 15-9-2007
Polio: 26-5-2007, ­30-6-2007, ­4-8-2007, 15-9-2007.


Campak: 9-2-2008.
Ibu Risky tidak bekerja (ibu rumah tangga) sedangkan ayahnya bekerja serabutan kadang memulung plastik, kadang membantu main musik jika ada acara.

Sumber berita : Mardiyah Hafshah (Tante anak, adik dari Ibu anak, melalui WA ke penulis).

29. Narenda Athaya Lanin. Umur 2 tahun 1 bulan (ketika 17 Oktober 2018).

Cerita dari FB Novi Riandini :
Tanggal 17 Oktober 2018 jam 21.03 WIB, seorang Ibu penderita Hemophilia, Mbak Alvita Lanin, menghubungi saya. Dalam keadaan bingung dan sedikit kalut, mbak Vita menanyakan kondisi anaknya yang sudah 2 hari BAB berwarna hitam. Khawatir perdarahan saluran cerna, saya sarankan untuk segera membawa si kecil, Narenda Athaya Lanin, yang berusia 2 tahun 1 bulan ke IGD RSUPN Cipto Mangunkusumo. Enda (nama panggilan si kecil) adalah pasien Hemophilia A yang telah terdiagnosis sejak usia 7 bulan ketika memiliki lebam pada paha yang tidak menghilang setelah pemberian imunisasi. Ia merupakan anak dari co-founder Masak.TV Adek H. Lanin (@adeklanin).
Dan ternyata benar dugaan saya.. ternyata Enda perdarahan saluran cerna. Perdarahan saluran cerna merupakan salah satu perdarahan yang mengkhawatirkan. 
Karena perdarahan saluran cerna yg berlangsung terus menerus akan menyebabkan anemia yg dapat mengganggu fungsi organ.
Selain itu, perbaikan perdarahannya juga tidak mudah bagi hemophiliac. Maka sejak saat itu pun Enda, selalu buang air besar berwarna kehitaman dan produksi selang makan melalui hidung pun tampak kecoklatan dan beberapa kali kehitaman.
Hingga hari ini, keadaan Enda belum membaik. Buang air besar masih berwarna hitam dengan produksi dari selang makan masih berwarna kecoklatan sehingga Enda masih dipuasakan hingga sekarang dan mendapatkan asupan nutrisi penuh melalui infus. Enda harus dipuasakan agar tidak terjadi perdarahan yang lebih banyak lagi.
Untuk atasi perdarahannya selama perawatan di RSCM dengan menggunakan fasilitas BPJS (sejak 1 bulan lalu) Enda sudah mendapatkan :
- konsentrat FVIII dan transfusi Cryoprecipitate utk mengatasi perdarahan
- transfusi PRC utk mengatasi anemia krn perdarahan yg masih berlangsung.
Semua pengobatan ini telah menghabiskan dana ratusan juta.
Namun sayangnya semua pengobatan yang telah diberikan tidak membantu menghentikan perdarahannya. Perdarahan hingga hari ini masih tetap berlangsung karena Enda memiliki faktor penyulit dalam tubuhnya yakni Inhibitor.
Sebagai informasi, Hemophilia adalah gangguan perdarahan bawaan lahir yang menyebabkan darahnya tidak dapat berhenti secara normal. Jadi apabila perdarahan terjadi (luka terbuka/lebam), maka darah akan terus mengalir lamban namun pasti hingga pada akhirnya penderita Hemophilia kehabisan darah dalam tubuhnya. Hemophilia sendiri terbagi atas 2 jenis : Hemophilia A (defisiensi Factor VIII/FVIII) dan Hemophilia B (defisiensi Factor IX/FIX). Keduanya memiliki gejala. Satu satunya pengobatan yang dibutuhkan adalah pemberian suntikan konsentrat/transfusi sesuai jenis Factor defisiensinya.
Sedangkan kondisi Hemophilia dengan Inhibitor adalah dimana tubuh Hemophiliac sudah timbul penyulit berupa zat dalam diri sendiri yang menolak setiap pemberian Factor yang dibutuhkan tubuhnya.
Nah.. karena dalam tubuh mungil Enda ini telah timbul Inhibitor, maka tubuhnya tidak lagi merespon pemberian FVIII untuk hentikan perdarahannya. Enda butuh FVIIa. Di Indonesia, saat ini hanya ada 1 produk FVIIa dengan merk dagang Novo7 yang harga sebesar Rp. 9.749.993/vial.
Menurut Tim Medis, Enda membutuhkan Novo7 sebanyak 117 vial untuk pemberian selama 2 minggu untuk menghentikan perdarahan saluran cerna yang aktif pada usus kecil (dari hasil endoskopi) yang menyebabkan pasien masih harus puasa hingga sekarang.
Dengan demikian, berarti Enda membutuhkan dana sebesar Rp. 1.140.749.181,- hanya untuk membeli obat pembeku darahnya saja (FVIIa/Novo7) yang saat pihak RSCM maupun BPJS sudah tidak mampu lagi membayar kelebihan biaya untuk itu.
Untuk itu, saya atas nama pribadi dan mewakili Indonesian Hemophilia Society memohon kesedian Sahabat Hemophilia dapat membantu men-share informasi ini atau mengulurkan bantuannya melalui rekening :

Bank Mandiri
a/n Indonesian Hemophilia Society 
No. Rekening : 122-00-0988510-7
KCP Jakarta R.S.C.M

Berapapun besar donasi yang diberikan, kami mengucapkan banyak terima kasih. Dan bila membutuhkan informasi lebih lanjut, dapat menghubungi kami di 082166676660.

Hormat kami,
Novi Riandini
Hubungan Internasional dan Donasi
Indonesian Hemophilia Society
(Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia)

30. Fathiyyah Zahra Purnama, lahir 15 November 2007, meninggal 04 Juni 2008.
Kronologis :
Seingat saya, dedek menerima vaksin DPT 2 (usia 6,5 bulan) padahal anak saya baru sembuh demam 2 harian, dan memang saat itu jadwal vaksin serentak di posyandu, dan berobat pun di bidan yang sama dengan yang bertugas di posyandu.
Waktu mau divaksin saya sudah tanyakan, apakah kondisi anak saya aman untuk divaksin? Bu bidan memeriksa kening, ketiak anak saya, dan menjawab kalau sudah tidak demam dan aman. Lalu anak saya disuntik. Sore harinya anak saya demam (vaksin pagi jam 10) lalu saya minumkan obat yang dibawakan oleh bidan, saya pikir demam biasa karena pengaruh vaksin. Pukul 5 sore, saya suntik KB di bidan yg sama, saya bilang anak saya demam, beliau bilang tidak apa-apa, itu karena vaksinnya, dan kalau malam masih demam disuruh minum obat lagi. 
Lalu menjelang isya, demam tidak turun malah semakin tinggi, anak saya tidak mau menyusu sama sekali. Dini hari, saya terbangun karena ibu saya membangunkan, anak saya makin tinggi demamnya, air mata kering, tidak mau menutup mata. Saya telepon suami yang kebetulan di luar pulau kerjanya, beliau minta anak saya dibawa ke IGD rumah sakit terdekat, sampai di sana sudah dilakukan bermacam-macam tindakan medis, dari pemasangan selang infus yang gagal karena susah menemukan titik suntiknya. Akhirnya (seingat saya) anak saya dipacu jantungnya namun tidak tertolong.
Bidan yang menyuntik sangat shok, saya tidak menyalahkannya karena pengetahuan akan KIPI sangat samar ketika itu.

Sumber berita : Siska Setiarini (ibu anak di komentar status FB penulis mengenai kasus KIPI Malika).



PERIODE JANUARI 2017 - NOVEMBER 2017



1. Niken Angelia, SMPN 4, Demak.

Niken dan ibu saat dirawat 
Kronologis : Kini (11 Agustus 2017), siswi bernama Niken Angelia tersebut sudah dirawat selama satu minggu. Yuli Suryaningsih, ibu kandung Niken menjelaskan putrinya mendapat imunisasi pada hari Rabu (2/8/2017) siang hari.
Kepala SMPN 4 Demak, Mulyadi menjelaskan imunisasi MR di sekolahnya ditangani oleh Puskesmas II Mulyorejo. 
"Ada sekitar 780 siswa SMP ini. Saat itu ikut imunisasi MR," ujar Mulyadi, di kantornya, Desa Mulyorejo, Kecamatan Demak Kota, Selasa (15/8/2017).
Menurutnya, pihak sekolah hanya berwenang untuk mengkondisikan siswanya supaya dapat mengikuti imunisasi MR. Sebab, imunisasi ini merupakan kebijakan dari pemerintah pusat. 
"Kami sifatnya mengkondisikan dan berkoordinasi dengan puskesmas yang menangani secara langsung imunisasi ini," lanjutnya. 
Sesuai prosedur, sebelum dilakukan suntik imunisasi MR, pihak sekolah bersama puskesmas mendata siswa yang memiliki gangguan kesehatan, belum makan dan keluhan lainnya. Dari data yang ada, Niken Angelia tidak termasuk yang mengeluhkan memiliki riwayat penyakit. 
"Tidak ada dalam daftar (siswa yang memiliki keluhan). Bahkan setelah dilakukan imunisasi, Niken tidak termasuk yang dirawat di UKS. Cuma ada dua yang mengalami pusing dan lemas. Yakni Dwi Melina dan Bela Lailaturahma. Niken justru tidak ada masalah," papar dia. 
Sehari setelah imunisasi, orangtua niken melayangkan surat izin tidak masuk sekolah karena sakit. Lantaran ada dugaan diakibatkan imunisasi, lantas sekolah berkoordinasi dengan puskesmas setempat menjenguk ke rumah Niken di Desa Bango Kecamatan Demak Kota. 
"Lalu dibawa ke rumah sakit untuk perawatan lebih lanjut," tambah Mulyadi. 
Meski demikian, pihaknya belum mengetahui secara pasti kondisi kesehatan Niken sebelum imunisasi. 
"Kami belum tahu persis apakah punya riwayat penyakit atau tidak, karena baru kelas tujuh belum ada satu bulan di sini. Tapi saat pendataan awal tidak ada keluhan," ungkapnya. 
Ia berharap, siswinya itu dapat segera sembuh dan kembali bersekolah. 
"Sebagai orangtua kedua, kami berharap sangat Niken dapat kembali sekolah dalam kondisi sehat," tandasnya. 
"Sebelum di imunisasi pas berangkat sekolah hari itu sehat, namun setelah imunisasi katanya ia pusing dan lemas sehingga harus dirawat di UKS," ujar Yuli Jumat (11/8/2017). 
Ia memaparkan seusai pulang dari sekolah, putrinya justru kesulitan tidur karena sakit di bagian pinggang hingga kaki. 
Kondisi tersebut terus memburuk hingga akhirnya Niken harus menjalani rawat inap di RS NU Demak. 
Ketua Pokja Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Kabupaten Demak, dr Rini SpA tidak membantah adanya siswi yang dirawat di RS setelah imunisasi. 
Meski demikian ia menyangkal bahwa kejadian itu adalah efek pemberian vaksin. 
"Perlu diuruskan, sakitnya Niken bukan karena imunisasi, kami sudah melakukan pemeriksaan dan hasilnya sakitnya karena faktor lain yang kebetulan muncul setelah imunisasi," terang Rini. 
Meski demikian, dokter yang juga menangani Niken tersebut enggan menjelaskan penyakit apa yang diderita siswi asal Desa Bango, Kecamatan Demak tersebut. 
"Kalau diagnosa pasien saya rasa tidak etis jika disampaikan di media, namun saya pastikan dirawatnya anak tersebut bukan karena imunisasi," tandasnya. 
Ia menyatakan memang ada kejadian sampingan pasca imunisasi MR, mulai dari badan panas hingga kulit memerah. 
Diduga ada 3 siswa lain yang drop setelah vaksin (pusing dan lemas), tetapi tidak separah Niken yang sampai lumpuh. 
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo ikut menjenguk Niken dan percaya sakitnya Niken bukan karena vaksin. 
Secara umum, kondisi bocah asal Demak itu sudah membaik. Pejabat Humas RSUP dr Kariadi, Parna menjelaskan Niken yang sebelumnya tidak bisa menggerakkan kedua kakinya, kini sudah mulai mengangkat dan menggoyangkan keduanya. 
"Pasien Niken hingga saat ini masih dalam perawatan. Kondisinya makin membaik," katanya kepada Liputan6.com, Sabtu, 26 Agustus 2017. 
Niken sebelumnya hanya bisa berbaring dan merasa sakit ketika hendak duduk. Namun menurut Parna, saat ini sudah menunjukan tanda-tanda positif. "Sudah bisa duduk," katanya. 
Pasca-mengalami kelumpuhan, Niken dirawat secara khusus oleh tim dokter gabungan. Konsultan spesialis anak, dr Wistiani yang ditemui di sela perawatan Niken, menjelaskan ada dokter tulang, dokter penyakit dalam, dan dokter anak yang mengawasi Niken. 
"Bisa dikatakan ketika datang, kedua tungkainya belum bisa melawan gravitasi. Ini sudah alami perbaikan," ujar Wistiani. 
Dari pemeriksaan diketahui Niken yang memiliki penyakit bawaan, yakni adanya selisih panjang dari kedua kaki bukan imbas dari vaksin MR. "Dari sekitar dua ratus siswa yang disuntik bersamaan dengan Niken, hanya Niken yang mengalami kelumpuhan. Ini ada unsur bawaan," katanya. 
Menurut sang ibu Yuli Suryanisih, bocah Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Demak, sejak 3 Agustus 2017 terbaring dengan seluruh badannya tertutup dengan selimut fasilitas rumah sakit. 
"Niken tidak bisa bergerak setelah pulang sekolah. Setelah di rumah tidak bisa bergerak. Jadi langsung dibawa ke rumah sakit," kata Yuli.

NB : Berdasar website menkes dikatakan bahwa sakitnya Niken akibatinfeksi susunan syaraf tulang belakang. 

Sumber berita : tribunews , newsdetik , liputan6 , liputan61 , sehatnegeriku menkes

2. Krisna, kelas 8 SMP 2 Lumajang.

Kronologis : "saudara sepupu ipar pingsan di sekolah dan sekarang 4 hari koma, sempat dinyatakan meninggal, tapi alhamdulillah Tuhan masih sayang, setelah dilakukan CT scan dan cek lab, dokter tidak menemukan penyakit dan kerusakan organ dalam dan tidak pernah punya riwayat penyakit, sebelumnya di sekolah dapat vaksin rubella, apakah itu penyebabnya?"
Sumber berita : status seseorang di FB (nama : Hanz) yang kemudian status ini diedit berkali2 oleh yang bersangkutan dikarenakan RS melarangnya untuk menyebarkan di medsos. Bukti asli masih kami simpan. Update tgl 30 agustus , anak tsb belum juga sadar. dokter masih belum tahu penyakitnya apa. keluarga sudah pasrah. Dokter memvonis lumpuh.

3. Ghina Naziba Yasmin. 11 tahun. SDN Sentul I. Warga Desa Nutug RT 03/RW 06, Kecamatan Citeuteup, Kabupaten Bogor.

Kronologis : 
(dari tutur sang Ibu) 9 Agustus disuntik vaksin rubella di sekolahnya.
Tiga hari pasca disuntik vaksinasi Ghina mengalami buang air besar hebat 2 hari, setelah itu anak saya sekolah seperti biasa tetapi sambil kakinya diseret, ketika saya tanyakan katanya kakinya sakit, sebelum disuntik anak saya baik-baik saja dan sehat, tidak ada yang aneh pada diri anak saya, tetapi pasca disuntik kok malah anak saya sakit".
Bukan itu saja, keluarga juga seperti dilarang membeberkan kejadian yang menimpa anaknya itu kepada publik.
“Dokter tidak menjelaskan tentang penyakit anak saya, bahkan setelah anak saya meninggal dunia saya diminta pihak rumah sakit untuk tutup mulut,” terangya.Seminggu setelah mendapatkan suntikan imunisasi rubella di sekolahnya SDN Sentul I, tiba tiba Ghina lumpuh,
Karena panik, sang ibu mengajak paman korban ke rumah sakit. Namun beberapa rumah sakit yang didatangi selalu menolak dengan alasan keterbatasan alat.
“Kami ke RS Insani, Annisa, Trimitra, RSUD Cikaret, saat kami sebutkan lumpuhnya anak kami setelah imunisasi mereka angkat tangan. Baru kemudian kami ke Sentra Medika diterima dan di sana anak saya meninggal setelah sempat dirawat,
Hasil pemeriksaan : Dinkes memastikan berdasarkan hasil audit, Ghina meninggal bukan karena imunisasi rubella, melainkan terkena infeksi otak. tidak ada kaitan antara vaksinasi MR dgn kematiannya. Hasil pemerikasaan dokter RSSM, laboratorium, rontgen, MRI, cek cairan otak menunjukkan adanya infeksi otak (encefalomyelitis).

Sumber berita : jabar pojoksatu.

4. 8 Balita dirawat di rumah sakit, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.

Kronologis : 

Dari 125 laporan efek samping ringan mulai dari demam, muntah dan diare yang cukup diberikan obat, dapat sembuh. Sementara 8 sasaran yang rata-rata balita, terpaksa dirawat di puskesmas atau rumah sakit karena mengalami penurunan kondisi tubuh. (Hendro Subagyo, Kasi Imunisasi dan Surveilan Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar). menurut Hendro semua laporan itu sudah ditindaklanjuti dan sudah ditangani tim kesehatan dan dinyatakan sembuh. Hendro mengaku rata-rata mereka yang terkena efek samping karena saat imunisasi dalam kondisi kurang sehat tetapi enggan mengatakan kepada petugas imunisasi.

Sumber berita : news detik

5. Arya Dimas, 4 tahun, warga Dusun Besole Desa RT 1 RW 3 Desa Darungan, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.

Kronologis : 

Arya Dimas (4), warga Dusun Besole, Desa Darungan, Kecamatan Kademangan Kabupaten Blitar meninggal dunia pasca mendapatkan imunisasi MR. Tujuh hari pasca meninggalnya Dimas, Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar menyatakan jika penyebab kematian Dimas bukan karena dampak atau kejadian ikutan pasca imunisasi (Kipi) MR.
Hal itu ditegaskan Kepala Bidang (Kabid) pencegahan pemberantasan penyakit (P2P) Dinkes Kabupaten Blitar Krisna Yekti. Kata Krisna, pasca diimunisasi MR pada 15 Agustus lalu, Dimas masih bisa bersekolah dan melakukan kegiatan seperti biasanya. Baru pada 17 Agustus atau dua hari setelahnya, Dimas mengalami muntah, diare, serta kejang. Dimas sempat dirawat di rumah sakit Aminah Kota Blitar, namun nyawa Dimas tidak tertolong.
"Setelah diimunisasi masih bisa beraktivitas seperti biasa," papar Krisna, Kamis (24/8).
Kata Krisna, pasca kematian Dimas, pihaknya melalui Komda Kipi Kabupaten Blitar sudah menelusuri dan mengumpulkan data di lapangan. Kemudian data tersebut diserahkan kepada pemerintah provinsi Jawa Timur. Krisna menyebutkan berdasarkan informasi yang ia terima dari Dinkes Provinsi, Dimas memang memiliki riwayat GE (Gastroenteritis) atau penyakit infeksi pada perut. Kata Krisna, imunisasi MR tersebut waktunya bersamaan atau berdekatan dengan sakit GE.
"Sebenarnya yang berhak memberikan statement lebih lanjut adalah Dinkes Provinsi Jatim, karena semua laporan sudah kami serahkan ke Dinkes Provinsi," ungkap Krisna. 
Lebih lanjut Krisna menjelaskan biasanya pada setiap imunisasi tak terkecuali imunisasi MR, memang selalu ada kejadian ikutan pasca imunisasi (Kipi). Namun hanya sebatas demam, dan rasa nyeri di bagian yang disuntik. 
"Setiap habis diimunisasi biasanya memang anak atau balita akan mengalami demam atau nyeri di bagian yang disuntik, namun hanya sebatas itu saja," terangnya. 
Sementara Ismail, kerabat Dimas juga mengatakan hal senada. Pasca diberi imunisasi MR Dimas masih bisa bersekolah. Kemudian dua hari setelahnya dimas mengalami kejang. Namun sebelum imunisasi MR pun Dimas memang sudah sering mengalami kejang, sehingga pihak keluarga belum membawa Dimas untuk mendapatkan perawatan medis. Setelah Dimas mengalami muntah dan diare keluarga pun akhirnya membawa dimas ke rumah sakit. 
"Dibawa kerumah sakitnya tanggal 17 Agustus sekitar jam sembilan pagi, lalu kondisinya ngedrop dan sorenya dinyatakan meninggal dunia," jelasnya 

Sumber berita : DetiknewsKumparan

6. Fajrik (lelaki), kec. rowosari kendal, Jawa Tengah. antara kelas 1 atau 2 SD tantenya kebetulan kurang ingat.

Fajrik sebelum vaksin
Kronologis : 

Setelah vaksin MR, badan anak demam . Biasanya ibu memberikan parasetamol. Tante anak (yang memberikan berita ini) kurang faham apakah parasetamolnya dari bidan yang memberi vaksin atau beli sendiri. Kata kerabat parasetamolnya dari bidan yang memberikan vaksin dan keluarga yakin tidak ada istilah kadaluarsa parasetamol atau salah beli parasetamol. Dari sejak vaksin sampe hari ke-5 demam juga belum turun dan badan mulai melepuh sekujur tubuh sampe matanya melepuh mengeluarkan air. Lalu, anak dibawa ke Rumah Sakit Montong ( Montong adalah nama desa lokasi rumah sakit terdekat. Keluarga biasa menyebut RS montong jadi tantenya sudah lupa nama RS aslinya apa). Di rumah sakit ini, hanya beberapa jam saja lalu pihak rumah sakit merujuk di rs yg agak besar, RS kendal ( lupa juga nama RSnya apa ).

Fajrik setelah vaksin 
Di RS kendal belum genap 3 hari, pihak RS Kendal menyerah dan merujuk ke rumah sakit yang lebih besar lagi RS Semarang. Dan di rumah sakit tersebut, anak langsung ditaruh di ruang isolasi ( kurang faham pernah masuk ruang isolasi ato tidak ). Selama di ruang isolasi pasien dilarang bertemu dengan orang lain karena keringat orang lain akan berdampak tidak baik buat pasien. Sewaktu sekeluarga datang menengok pasien, dokter langsung bilang diharap jangan pada menjenguk karna setiap orang keluar masuk menjenguk si pasien. Badan anak kemudian tambah demamn. Mungkin karna kulitnya infeksi. Tidak bisa makan dan minum karena mulutnya terkena radang. Mungkin karena tingginya suhu sehingga mulut anak mengeluarkan darah. Jadi makan dan minum lewat selang di hidung. Biaya rumah sakit ditangung pemerintah karena orang tua pakai BPJS. Dokter tidak berani mengklaim karena efek imunisasi . Dokter cenderung bilang mungkin karena efek parasetamol. 
Sebagai catatan, anak tidak mempunyai alergi kulit dan tidak tercatat punya penyakit apa apa ato penyakit keturunan pun tidak.
Kami pasrah mungkin lagi di uji oleh Allah mengingat 2 ponakan yang lain yang divaksin tidak apa apa. Melepuh nya sudah kering sehingga terlihat merah merah kayak bekas terbakar. Total anak demam sudah 3 minggu dari sejak imunisasi.
Tgl 1 september (update) 
Fajrik masih di ruang isolasi, menunggu hingga radangnya membaik. Radang di mulut membuat Fajrik susah makan lewat mulut. Tapi alhamdulillah tidak rewel. Bekas-bekas melepuh di tubuh juga mulai kering. Semoga berangsur membaik.

Sumber Berita : Shannaz Nur Tracak (tante korban)

7. Sarifah Paradika. 11 tahun. Siswi kelas V SD Negeri Jogoyudan 2 Lumajang Jawa Timur.

Kronologis : Sarifah (11) putri pertama dari Agus Suroso meninggal dunia pasca ikuti Imunisasi MR (Measles Rubella) di sekolahnya yakni Sekolah Dasar Negeri Jogoyudan 2 Lumajang Jawa Timur beberapa waktu lalu tepatnya Rabu (6/9).
Sarifah yang merupakan siswi kelas V tersebut dikatakan oleh ayahnya (Agus Suroso) sempat alami demam tinggi hingga kejang, keluar air seni tak beraturan sebelum akhirnya meregang nyawa. 
"Sorenya mengalami demam tinggi dan kejang-kejang yang disertai keluarnya air seni, dan tak sadar," kata Agus, Sabtu (9/9). 
Masih kata Agus, dirinya menyanyangkan pihak sekolah yang tidak memberikan sosialisasi terlebih dulu pada wali murid, sehingga pengetahuan dari wali murid tentang riwayat dari kondisi terkini (kesehatan) putra putri tidak didapati jelang dilakukannya imunisasi MR. 
"Safira akhirnya meninggal dunia setelah mendapat penanganan medis dari Puskesmas Kota dan dirujuk ke RSI," ucapnya sembari tertatih-tatih menahan tangjs. 
Dilain tempat, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lumajang Jawa Timur Dr. Triworo mengiakan jika peristiwa itu terjadi. 
Di sisi lain pada sejumlah awak media ia mengatakan, jika pihaknya sudah melaksanakan program Imunisasi MR sesuai prosedur atau mekanisme dengan benar. 
"Sebelumnya korban sudah mengalami sakit sekitar satu Minggu, sehingga tidak masuk sekolah. Namun saat imunisasi MR disekolahnya, ibu korban memaksa anaknya untuk masuk sekolah, tujuannya untuk mengikuti Imunisasi MR," ujarnya. 
Mantan Direktur Utama RSUD Dr. Haryoto Lumajang ini menyayangkan jika murid yang masih sakit tidak mengatakan kepada petugas kesehatan jika kondisinya masih sakit. 
"Dampak setelah dari Imunisasi MR itu salah satunya demam, dan pihak petugas kesehatan sebelum melakukan imunisasi tersebut selalu berkoordinasi terlebih dahulu kepada Kepala Sekolahnya. 
Sementara Kepala UPT Pendidikan Kota Lumajang Drs. Sukoco tidak berani mengatakan jika meninggalnya Sarifah merupakan akibat dari injeksi imunisasi MR yang dilaksanakan melalui sekolah SDN Jogoyudan 2. 
Selain membenarkan sosialisasi dari Dinas Kesehatan sudah dilakukan kepada Kepala Sekolah, namun Sukoco menggraris bawahi jika tiap sekolah mempunyai tekhnis dan cara sendiri - sendiri dalam bersosialisasi untuk menyampaikan terhadap wali muridnya. 
"Yang pasti ada siswa yang meninggal, namun kami tidak bisa mengatakan jika siswa SDN Jogoyudan 2 meninggal karena imunisasi rubella," ucapnya singkat. 
Hingga berita ini ditayangka. Pihak Kepala Sekolah SDN Jogoyudan 2, Sutinah S.pd belum bisa dikonfirmasi karena nomor hpnya tidak bisa dihubungi. 
Memasuki hari keempat meninggalnya Safira Faradika (11), siswa kelas 5 SD di Lumajang, Jawa Timur, suasana duka masih menyelimuti keluarga. Sang ayah, Agus Suroso, tak henti-hentinya menatap dan memandangi barang-barang milik putri sulungnya yang diduga meninggal dunia akibat vaksin MR itu.
Agus mengaku, sebelumnya telah mengikhlaskan kepergian Sarifah yang amat mendadak. Namun, hatinya kembali panas setelah mendengar pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Lumajang, Tri Woro, saat konferensi pers pada Sabtu, 9 September 2017.
Menurut Agus, pihak dinas kesehatan terkesan tidak bertanggung jawab atas kesalahan prosedur yang diduga dialami anaknya saat pemberian vaksin MR.
"Sesaat setelah saya mendengar pernyataan Ibu Kepala Dinas Kesehatan, saya sangat menyesal sekali. Saya sangat kecewa sekali karena Beliau tidak mengakui kesalahan dan kekurangan dari prosedur dari kesehatan," tutur Agus, Minggu siang, 10 September 2017.
Dia mengatakan, masih akan berembuk bersama keluarganya, apakah kasus ini dilanjutkan atau tidak. "Sebenarnya Beliau itu sudah ke sini, tapi enggak bilang apa-apa, cuma bilang sabar gitu saja," katanya.
Dia menyebut pihak Dinas Kesehatan kurang menyosialisasikan perihal vaksinasi MR. Ia juga mengaku tidak mendapat pemberitahuan dari sekolah sebelum imunisasi itu diberikan pada anaknya.
"Sosialisasi itu tidak ada dan pemberitahuan dari sekolah juga tidak ada kalau ada imunisasi," ujarnya. 
Sebelumnya, Safira, siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN) 2 Joguyudan, Lumajang, Jawa Timur, mengalami kejang-kejang sepulang sekolah. Pada Rabu siang, 6 September 2017, ia mengaku habis disuntik vaksin MR.
Ayah korban, Agus Suroso (43) mengatakan, sebelumnya anaknya sempat izin tidak masuk sekolah selama tiga hari karena sakit demam. "Setelah ikut suntik campak dan imunisasi rubella, anak saya pulang dan langsung tidur hingga sore. Saat bangun, anak saya pergi ke kamar mandi dan tak lama kemudian anak saya teriak minta tolong disertai kejang-kejang," tutur Agus.
Dia mengatakan, anaknya sempat dirawat di puskesmas terdekat, tetapi nyawanya tidak bisa diselamatkan. "Anak saya korban meninggal dunia pada Kamis dini hari kemarin," ucapnya.
Dikonfirmasi secara terpisah, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lumajang, Tri Woro menyampaikan jika pihaknya mengaku tidak mengetahui jika korban baru sembuh dari sakit demam.
"Korban meninggal bukan karena imunisasi rubella, tetapi karena sebelumnya dia memang sakit. Dan kebetulan rumah korban juga tetanggaan dengan puskesmas, maka tentu kita juga sudah takziah kemarin," ujar Tri.

Sumber berita : suarajatimpost , liputan6

8. Nana Puspita Sari. 14 tahun. Siswi SMP Negeri 3 Kasihan Bantul. warga Dusun Nitiprayan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. keluarga menolak memberikan kronologis.(harianjogja).

Kronologis dari Solopos : 

korban menjalani imunisasi Rubella pada Selasa (29/8/2017) lalu. Namun saat itu, kondisi korban tengah tidak vit karena sedikit flu dan demam ringan, ditambah lagi saat itu merupakan masa-masa menjelang menstruasi. Namun lantaran hanya flu biasa korban masih mampu berangkat sekolah. Sepulang sekolah, korban menderita demam tinggi hingga mengalami gejala kelumpuhan di bagian kakinya. Ia sempat berobat ke puskesmas dan dirujuk ke sejumlah rumah sakit. Kondisinya terus memburuk hingga menghembuskan nafas terakhir pada Jumat lalu. Jenazah dimakamkan Sabtu (9/9/2017)
Nahasnya pada hari yang bersamaan, SMP Negeri 3 Kasihan tengah menggelar imunisasi massal Rubella yang merupakan program nasional. Gadis malang itu tak luput dari tindakan imunisasi seperti rekan-rekannya yang lain, meski saat itu ia sudah memberitahukan kepada petugas imunisasi kondisinya tengah tidak vit.
Sumber berita : harianjogjaSoloposTribunjogja

9. Aisyah Zahira Albaiza (5th) vaksin MR di TK Rabbani Arcamanik Bandung.

Kronologis : 

Di vaksin di sekolah (TK Rabbani) kamis tgl 24 agustus 2017 dalam keadaan sehat karena yang tidak divaksin hari itu diliburkan. Malamnya langsung panas tinggi 39 C dkasih tempra forte ga turun2, jumat pagi dibawa ke dr. Nurahim dikasih obat tapi panas tetep ga turun.. sabtu pagi dibawa ke RS limijati dgn prof. Mirna dicek lab dbd negatif, mungkin typus dminta lagi cek lab hari senin.. tapi sabtu malam zha (panggilan Albaiza) sudah hilang kesadaran dan kejang2, sang ibu membawanya ke IGD RSIA Graha Bunda dan opname ditangani prof. Hary garna. selama opname cek lab typus negatif, rontgen bagus, dbd ulang msh negatif.. hari senin malam pulang ke rumah karena panas sudah turun dan semua hasil lab negatif.. akan tetapi di rumah kembali panas, sakit perut, dan sakit semua badan, kembali panas tinggi kejang2 hilang kesadaran bahkan tertawa2 sendiri.. kembali di bawa ke IGD RS Graha bunda, cek lab dbd lagi karena ada bintik merah tapi hasil tetap negatif hanya trombosit rendah dan ada pengentalan darah.. masuk lagi opname, sampai sini dokter belum kasih diagnosa walaupun sang ibu bilang berulang kali zha panas setelah di vaksin. Selama opname utk bab zha harus dibantu dulkolax.. jadi 3 kali dimasukin via anal. Selama opname zha dicek darah 2x sehari pagi dan sore. Sampai akhirnya zha sembuh.. sang ibu mendesak profnya utk mendiagnosa, dan beliau bilang memang ada kemungkinan KIPI. Vaksin gratis, tetapi sang ibu harus mengeluarkan uang sebesar 7 juta rupiah ditambah pengalaman yang sangat mengerikan. Zha baru pertama kali ini kejang seumur hidupnya.

Sumber berita : Fitri Albaiza (ibu korban), melalui FB.

10. Adhiyasta Prasraya Mahanipura, umur 4 tahun kurang 2 bulan. belum sekolah.

Kronologis : Pada hari Sabtu 16 sept suntik MR di Posyandu dekat rumah tanpa dicek terlebih dahulu anaknya (ngambil nomor antrian, dipanggil lalu disuntik) di Bogor setelah selang beberapa jam anak langsung bersin2 n bapil padahal saat mau disuntik kondisi fisiknya sehat lagi aktif2nya. Sang ibu memeriksakan anaknya ke dokter 24 jam sembuh akan tetapi ternyata keesokan harinya demam selama 2 hari dan ditambah muntah2 n akhirnya dibawa ke spesialis anak dan dokter bilang anak dehidrasi dan harus dirawat di RS Binahusada, Bogor. Tgl 19 sept, anak masih muntah dan dokter bilang perutnya masih kembung, sudah mulai bisa makan bubur. Ibu korban tidak melapor ke puskesmas yg menyuntik anak, dikarenakan sudah ikhlas dan takut berbuntut panjang.Setelah pulang dari RS, tgl. 27 Sept keluar bintik-bintik merah di area perut dan dada saja, tanpa demam.

Sumber berita : Maya Vetta (ibu korban) di trit gesamun.

11. Nadine aurelia wijaya. perempuan. 11 tahun. Kelas 5 SD. SDN Jelambar 01 Jakarta Barat.

Kronologis : Setelah vaksin (antara tanggal 1 atau 2 Agustus 2017), hari jumat (4 Agustus 2017) Nadine mulai merasa sakit, lalu ke dokter. Pulang kembali ke rumah, bukannya membaik malah memburuk kemudian hari Sabtu (5 Agustus) kembali ke RS ke dokter dirujuk ke ICU. Yang dirasakan : sesak tidak bisa bernapas, keram dan kesemutan seluruh badan. Akhirnya Nadine koma selama seminggu lebih di RS Harapan Kita Jakarta. Dokter bilang, bahwa kemungkinan hidupnya tinggal 2 % dan Nadine didiagnosa terken GBS (Guillain Bare Syndrome). 

Nadine saat koma
Tanggal 9 September, keadaan Nadine mulai membaik, alat ventilator sudah dilepas dan sudah bisa bernapas dengan chikaranya sendiri. Akhirnya, dipindah ke RS Tarakan, Jakarta Pusat karena ketidaktersediaan obat. Berdasarkan info dari tante Nadine tanggal 19 September 2017, minggu depan sudah bisa keluar dari RS tetapi badan masih lemas, belum bisa bergerak, jadi pemulihannya di rumah. Waktu itu dari pihak sekolah sudah bilang dgn departemen kesehatan , dan orang Depkes katanya mau datang tetap ditunggu tidak datang-datang.

Nadine mulai membaik 
Nadine sehat kembali berfoto dengan dokter yang merawat
Tgl 20 sept, Nadine dibolekan melanjutkan perawatan dirumah namun badan belum bisa berdiri dan bergerak. Dan ternyata, dokter menggratiskan seluruh pengobatan Nadine, alhamdulillah. Kabar terakhir Nadine sudah sehat kembali.

Sumber berita : Agustina awijaya Nakashima (tante korban).

12. RH (11), laki2. kelas 5 Sekolah Dasar (SD). Kampung Genteng RT 01 RW 04 Desa Langensari, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. 



Kronologis : 

Bocah RH (11) hanya bisa tergolek lemah di ruang tamu tempat tinggalnya Kampung Genteng RT 01 RW 04 Desa Langensari, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Menurut sang ayah Ujang Darmawan (40) putra tunggalnya itu mengalami kelumpuhan usai disuntik Measles Rubella (MR) di sekolah diikuti dengan timbulnya bentol-bentol merah di sekujur tubuhnya. Mulai tidak bisa jalan 29 Agustus 2017. 
Sebelum disuntik Uak RH bernama Toah (45) sempat menjelaskan jika bocah RH tengah mengidap penyakit Bronkitis. 
"Saat disuntik saya sedang kuli bangunan di Padang Sumatera Barat, ditelepon sama keluarga anak saya masuk rumah sakit katanya badannya lemah enggak bisa jalan," kata Ujang Darmawan (40) ayah korban kepada detikcom, Jumat (15/9/2017). 
Keluarga RH bahkan sudah memperlihatkan hasil rontgen yang menyebut jika bocah kelas 5 Sekolah Dasar (SD) itu mengidap Bronkitis. "Dari beberapa anak yang disuntik, nama anak saya bahkan dilingkari. Tapi ternyata tetap saja disuntik oleh bidan," lanjut Ujang. 
Sementara itu, Toah, menjelaskan jika sebelum disuntik keponakannya, ia menandatangani formulir. Dalam formulir itu ada pilihan tentang kondisi kesehatan anak yang akan disuntik imunisasi MR, saat itu Toah mengisi kondisi RH sedang mengidap Bronkitis. 
"RH ini tidak bilang sudah disuntik karena ada jeda beberapa hari setelah mengisi formulir. Saya sudah jelaskan kondisi RH sedang sakit, taunya sudah disuntik lalu ngeluh badannya lemas selang sehari kemudian baru dia total nggak bisa jalan," ujar Toah. 
RH diketahui mendapatkan vaksin MR pada Sabtu (19/8/2017) lalu, tidak hanya RH seluruh teman-temannya di SDN Langensari juga disuntik MR oleh pihak Puskesmas Limbangan, Sukaraja. Pihak Puskesmas sendiri sudah mengetahui kondisi RH dan sempat memberikan rujukan agar mendapat perawatan di RSUD Sekarwangi. 
"Saya mengadukan hal ini kepada pihak Puskesmas yang berlanjut dengan rujukan ke RSUD Sekarwangi, Cibadak. Anak saya dirawat 9 minggu, lalu diperbolehkan pulang meski kondisinya masih seperti sekarang," lanjut Ujang. 
Akibat mengalami kelumpuhan RH memilih untuk tidak sekolah, keceriaan tidak lagi muncul di wajahnya pasca mengalami kelumpuhan. "Dulu anak saya sehat segar bugar dan saya berharap kondisinya bisa kembali pulih seperti semula," lirih Ujang. 
Sementara itu saat dikonfirmasi terpisah Kusnadi, salah seorang staf Puskesmas menyebut jika kondisi RH telah mendapat penanganan dari dokter spesialis anak di RSUD Sekarwangi tinggal menunggu hasilnya. 
"Hari itu ada 277 anak yang juga menerima vaksin MR, kondisi seperti ini hanya dialami oleh bocah RH. Untuk kesimpulannya mungkin tinggal menunggu hasil pemeriksaan dari dokter spesialis," singkat dia. 
Keluarga besar RH berharap bocah itu kembali normal seperti sediakala. "Saya hanya ingin pihak pemerintah bisa memulihkan kondisi anak saya. Mau pahit, mau hitam mau putih kondisi anak saya harus normal kembali," tegas Ujang. 
Ditemui terpisah, Dasep Hidayat, Kepala Puskesmas Limbangan, Kecamatan Sukaraja membantah kelumpuhan yang dialami akibat imunisasi MR. RH sudah menjalani pemeriksaan lanjutan di RSUD Sekarwangi, hasilnya MR diketahui mengidap TBC tulang dan Suspect Thypoid. 
"Hasil pemeriksaan di rumah sakit RH mengidap penyakit TBC Tulang dan Suspect Thypoid atau gejala tipes, nah ini baru terdeteksi setelah RH menjalani perawatan," kata Dasep didampingi Kusnaedi Kasubag TU Puskesmas Limbangan, kepada wartawan Jumat (15/9/2017). 
RH menjalani perawatan dan pemeriksaan medis selama 9 hari. Setelah hasil pemeriksaan itu keluar RH kemudian pulang ke rumah diantar keluarganya. 
"Keluarga kan memberikan penjelasan juga, jika sehari setelah disuntik MR bocah RH ini sempat ikut lomba dan kegiatan pada 17 Agustus di kampungnya bisa saja itu juga memicu penyakitnya," lanjut dia. 
Menambahkan keterangan tersebut, Kusnaedi menjelaskan jika penyakit TBC tulang itu menahun dan sebelumnya bocah RH ini sempat tinggal bersama ibu nya di Padang Sumatera Barat. 
"Mungkin ada masalah keluarga RH ini ikut keluarga ayahnya disini. Bisa saja TBC Tulangnya memang dibawa dari kampung halaman ibunya di Padang, itu penyakit menahun dan bisa kambuh kapan saja," jelas Kusnaedi. 
Kusnaedi dan pihak Puskesmas berencana akan mengunjungi kediaman RH minggu depan dan membentuk tim dari beberapa program untuk melakukan pemeriksaan lebih jauh. 
"RH sudah diperiksa juga oleh tim Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi," tutupnya. 

Sumber berita : detiknews

13. Muhammad Isa Al-Jabbar. 5,8 tahun. Cimahi.

Kronologis :
Tgl 16 sep (sabtu) mendapat vaksin MR di posyandu. Berdasar informasi, anak dgn riwayat kejang boleh diimunisasi, lalu anak divaksin. Terakhir kejang 4,3 tahun.
Tgl 17 sep malam demam dan kejang.
Tgl 18 sep pagi kejang ke 2 kalinya. Dirawat di RS Umum Avisena, cimahi selatan, jawa barat.
Tgl 20 sep masih di rs. Diagnosa dokter setelah rontgen : pneumonia.
Divaksin dalam keadaan sehat

Sumber berita : Sri Rahayu N'chi (ibu korban) di FB.

14. Abimanyu. Laki-laki. 5 tahun. Rembang, Semarang, Jawa Tengah. TK negeri 2 Rembang.

Abimanyu saat sehat

Kronologis : 

Vaksin hari jumat (8 sept) dalam keadaan sehat sekali, setiap pagi pun selalu sarapan, itu menjadi prioritas utama. Setelah vaksin, Anyu makan siang lalu ikut sholat Jumat. Ibu selalu menanamkan pondasi agama yang baik kepada Anyu. Sehabis itu terus istirahat nonton tv lalu tidur, bangun jam 4. Habis itu sang ibu mengecek suhu badan normal, tidak ada di pikiran ibu bahwa dengan suntik MR bisa membuat nyawa anaknya melayang.
Malamnya masih bermain seperti biasa, lalu makan malam bersama ibu dan bapak. Lalu jam 9 malam minta tidur lagi. Sebelum tidur, diminumkan parasetamol. Sabtu pagi (9 Sept) badan pun tidak demam. Lalu dia pun sekolah seperti biasa.
Di sekolah jam 9 pagi, sang Ibu ditelpon gurunya klo putranya muntah. Lalu ibu menjemputnya untuk pulang. Sampai dirumah, badannya tidak demam..tapi ibu membalur tubuh Anyu pakai bawang merah dan minyak kayu putih. Habis itu minum susu, lalu Anyu minta tidur.
Lalu malamnya, muntah lagi, lalu ibu memberi obat paracetamol dan tolak angin anak. Tengah malam bangun terlihat sudah bugar dan sehat, dalam hati ibu berkata "alhamdulillah putra ku sudah sehat".
Minggu pagi (10 Sept) Anyu agak sedikit lemes dan pucat, berbeda dengan malam yang dilihat Ibu dan Bapaknya. Lalu Ibu membawa Anyu ke dokter, RS Keluarga Sehat Hospital (Pati).
Ibu pun bilang ke dokter apakah ini karena suntik rubella dok, karena hari jumat kemarin habis suntik? Dokter bilang tidak. Dikasih 3 obat (paracetamol, antibiotik dan anti mual). Sudah diminum tidur. Sudah tidak muntah lagi, makan pun mau, minum susu juga mau.
Malam menjelang isya mulai muntah lagi.
Lalu ibu membawa Anyu ke rumah sakit.dan dinyatakan harus masuk icu krn hilang kesadaran. Padahal di mobil masih sadar.
Semalam di rumah sakit putra tercinta menghembuskan nafas terakhirnya.
Diagnosa dokter bilang nya ditubuh Anyu ada virus, Tetapi tidak bilang virus apa.
Virus itu sudah menyebar keseluruh jaringan.
Kalau menurut ibu dan bapak Anyu, virus itu virus suntik itu, seandainya kena virus lewat udara mungkin daya imun anak mampu mengusir. Tetapi kalau sudah disuntikan ke jaringanan darah dan masuk jantung darah tsb dan dipompa oleh jantung akhirnya kan menyebar.
Anyu (panggilan Abimanyu) adalah anak yang sangat dinantikan, 4 tahun menikah baru dikaruniai anak setelah sebelumnya sempat keguguran. 

Sumber berita : Nia Iswandari (ibu korban).

15. Felicia Agustina. Perempuan. 5 tahun. Jl. Sani Bokoharjo Banjeng Maguwoharjo Depok Sleman. TK.

Kronologis : 

Felicia vaksin di sekolah tgl 13 September yang diadakan oleh puskesmas setempat. terhitung tgl 28 Sept, Felicia sudah seminggu di RS Sarjito. Masih menunggu hasil lab ini itu, akan tetapi semakin hari semakin sering kejang-kejang. Sebelum suntik dalam keadaan sehat. Namun kian hari kaki Felicia mulai seperti orang lumpuh tidak kuat untuk berdiri, bahkan berjalan. Sampai sekarang masih sering ambruk sendiri, karena tidak kuat berdiri. Sudah dibawa dan diperiksa ke puskesmas Depok Sleman, lalu dirujuk ke RS Sarjito, Ruang Melati 3. Nenek dari Felicia yang menungguinya di RS setiap hari. Dokter bilang ada kemungkinan dari vaksin, tapi status saat ini, hasil lab sedang ditunggu.

Sumber berita : Ibam Supriyono (paman korban).

16. Royyan Ari Mubarok. Laki-laki. 9 bulan 19 hari. Desa Krimun blok Karang Gadog, Kecamatan Losarang, Indramayu, Jawa Barat.

Royyan bersama sang ibu
Kronologis : 

Tgl. 5 September 2017 vaksin. Ketika disuntik, anak tidak sedang dalam keadaan fit, badannya hangat, akan tetapi tetap dipaksa oleh bidan/petugas yg ada di posyandu dengan alasan itu hanya anget bekas gendongan tanggan ibunya dan akhirnya anak disuntik. setelah disuntik tidak diberi obat untuk jaga2 barangkali panas. Siang harinya, anak demam tinggi, tidak diberi obat, hanya diberi minum terus, demam turun setelah 2 jam. Setelah demam turun, 3 x di siang hari dan 5x di malam hari. Sang ibu merasa bahwa diare kali ini berbeda dari biasanya. Biasanya kalau sudah dibawa berobat 2 hari setelah berobat biasanya langsung sembuh tapi ini tidak kunjung sembuh (total 3 hari diare) kemudian demam kembali, diberi obat penurun panas, demam turun akan tetapi kondisi anak kian melemah akhirnya di bawa untuk berobat ke bidan yang waktu anak tsb dilahirkan, diberi obat, namun frekuensi diare lebih sering malam 8x dan paginya 3 x, karena tidak ada perubahan akhirnya dibawa ke klinik tetapi dokter di klinik tidak sanggup (anak sudah koleps) karena tidak ada alatnya akhirnya dibawa ke RS Bhayangkara Losarang, dicari nadinya untuk pasang infus 2x gagal akhirnya bisa diinfus tetapi jalan infus (menurut sang ibu) terlalu pelan padahal seharusnya jika anak demam tinggi infus dipercepat (berdasar info dari teman sang ibu yg bekerja di bidang medis), demam tinggi 41,5 pas diberi obat lalu panasnya turun 39,6. Kecemasan tinggi melanda hati sang ibu namun hanya bisa diam dan mendaftar, menebus semua obat, pesan kamar lalu menghadap dokter akhirnya anak masuk diruang HCU (setara dengan ruang ICU) dari situ belum tau hasilnya dari sampel darah & pup sebenarnya sakit apa sang anak. Hati ibunda sangat sedih bertanya-tanya sampai separah itukah anak sakit. Masuk ke ruang HCU, ibu masih menggendong anaknya. Sang ibu sendiri juga baru sembuh setelah kecelakaan, namun dikuatkan untuk menggendong Royyan. Ketika sampai ke ruang HCU, alat untuk deteksi cairan infusan tidak jalan ke tubuh anak, keluarga panik dan terus berdoa hingga akhirnya bisa masuk ke tubuh. Lalu sang ibu disuruh nebus obat lagi, lalu dilakukan pemasangan selang untuk masuk asi melalui hidung, dan selang kateter. Hati ibu hancur berkeping-keping melihat anak dipakaikan alat, padahal sudah dipakaikan pampers kenapa mesti dipasang kateter. Ditambahl lagi, alat untuk deteksi jantung, hati, lambung, dan napas. Malamnya jam 10, sang ibu dipanggil dokter dengan membawa hasil lab, terdeteksi ada virus yang sudah menyebar di kepala dan paru-paru, sehingga itu yang menyebabkan panasnya tak kunjung turun. Ketika ditanya ibu apa penyebabnya bisa ada virus? dokter menjawab bisa jadi ada penularan atau ada cairan yang masuk sehingga tubuh tidak kuat untuk merespon. Dari situ dokter bilang untuk banyak berdoa/mengiklaskan bayi ini. Sang ibu masuk kembali ke ruang HCU, panasnya tidak kunjung turun akhirnya dikompres terus pakai air anget. Ketika di HCU, suami (ayah Royyan) menegurnya untuk makan/istirahat dulu tetapi sang ibu tidak mau meninggalkan Royyan, ibunda terus memegang tangannya. "dedek kalau kuat dilawan penyakit itu karena ini semuanya sudah jalan dari Allah tetapi kalau dedek sudah gak kuat lagi, bunda ikhlas mungkin ini yang terbaik tuk dek Royyan" sambil terus menerus baca Surat Yaasin dan ayat Kursi ibu melihat sang anak meneteskan air mata. mata kiri bercucuran, mata kanan hanya menggenang. Oleh sang ibu diseka pakai tisu dan setiap kali meninggalkannya untuk tebus obat dia seperti tidak mau ditinggal terus pegang tangan bundanya dengan erat. di suatu waktu, ibu sadar bahwa Royyan sudah tidak kuat lagi, sang ibu mulai bilang "bunda ikhlas nak, mungkin ini terbaik untuk dd" habis itu keluar air liur dari mulut anak, dilap, tambah banyak jadi pakai alat untuk sedot air liur lalu dimasukkan obat pakai alat lagi bukan via infusan. Pas tangannya dipegang terus sambil dioles minyak telon tai tambah dingin, sang ibu mengulang kembali kata2nya untuk mengikhlaskan Royyan dan merelakan Allah jika ingin mengambil anaknya karena semua hanya titipanNya dan Allah lebih sayang pada Royyan. Kata-kata ini diulang sampai 3 x. Ketika sang ibu bilang mau ke apotek untuk ambil obat buat roy supaya cepat sembuh akhirnya pegangan tangan tersebut terlepas, Berikut detail cerita dari Ibunda Royyan saya co pas dari percakapan kami di inbox FB: "Pas sy suruh sdr dr ibu tuk panggil abah dd royyan msk ke ruang HCU pas sy lht dilayar tuk diteksi jantung,hati,nafas,lambung perlahan" ngedrop yg tdnya diatas 222 lama" menghilang gak keluar angkanya 
pas muncul mulai dr 222 - 170 -169-120 - 90 - 80 -120 - 80 - 70 - 60 - 40 - 90 - 30 pas bunda trs bilng nak klu gak kuat jngn dipaksa nanti kami akan bertemu lg di syurga nya Allah pas abahnya msk trs alat tsb lngsng diangka 0 sy & suami nangis" tak henti" pas sy coba tuk bilng nak klu Allah lbh syng ini yg terbaik tuk royyan tiba" muncul lg di angka 170 pas abahnya mau lepas alat"yg nempel dibadan dd royyan,sy smbil jerit" & menangis tuk panggil dokter trs abahnya mengumandangan adzan & komat smpai nangis dd royyan kamipun ikut nangis gak kuat melihatnya kesakitan trs nyawa anak kamipun tak bisa diselamatkan lg" Royyan menghadap Sang Kholik tgl. 13 September 2017 (Kamis) jam 01.45.

Info tambahan :
Yang memberikan vaksin adalah bidan di posyandu yg petugas dr puskesmas
Semua biaya yg di RS semuanya dibayar oleh keluarga pasien
Bidan yang memberikan vaksin tidak datang ke rmh duka
Setelah 3 hari pihak puskesmas datang bersama kader posyandu
Setelah 10 hari pihak puskesmas datang lagi sambil membawa data observasi pasen bilangnya untuk data dilaporkan ke dinaskes (karena pihak keluarga telp ke dokter ketua bagian puskesmas)
Ibu korban : Kami tidak akan menuntut mungkin ini jln nya anak kami, cuma jadi pelajaran jangan sampai terulang kembali, kalau untuk diadakan autopsi kami pihak keluarga tidak setuju sebab anak kami sudah tidak ada luka dari luar nanti kalau diadakan autopsi pasti dibedah bagian kepala dan perut yang dibilang dokter ada virusnya.

Sumber berita : Eka Rini Jeh (ibu korban).

17. Sarah. Perempuan. 3 tahun. Ciheulang, Bandung.

Kronologis : Tgl. 10 September disuntik, pada hari yang sama demam dan kejang dirawat tgl 12 atau 13 (lupa) di RS Salamun. Diagnosa dokter : kelainan paru-paru, bukan karena vaksinnya, seperti asma. Padahal tidak ada riwayat sakit paru-paru sebelumnya. Dul pernah operasi besar karena masalah usus.

Sumber berita : Deindra (kerabat Sarah).

18. Kinanti Enjelin. Perempuan. 2,5 tahun. Kampung Kondangsari, Desa Kertajaya, Cibatu, Garut, Jawa Barat.




Kronologis : 

Kinanti menerima vaksin 15 September 2017 di Posyandu (di Detikcom dikatakan tgl. 13 September) dalam keadaan sehat dan bugar. Namun 3 sampai 4 hari kemudian (Detikcom : 5 harian) Kinanti jadi sulit berjalan. Kelumpuhan pada anaknya tersebut diketahui saat anaknya enggan beranjak dari tempat tidur. 
"Saya kira dia malas bangun, tapi pas dia mau jajan terus berdiri tapi dia jatuh lagi," katanya. Ketika mencoba berjalan, kaki Kinanti seakan rapuh. Berkali-kali coba, berkali-kali pula jatuh. Ai membawa Kinanti ke Puskesmas Cibatu. Namun akibat masalah finansial, Kinanti dirujuk ke RSUD dr Slamet Garut sejak Senin 2 Oktober dirawat di ruangan ICU. Ketika di RSU, Kinanti bertemu dengan dokter yang sama seperti di klinik sebelumnya. Dokter tersebut pun akhirnya menyarankan Kinanti supaya memperoleh perawatan medis di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. 
Ibunya (Ai Lisna) menuding RSU Garut seolah menahan Kinanti agar tak dirawat di RSHS Bandung. Padahal, Kinanti perlu mendapat perawatan medis yang lengkap secepatnya sebelum penyakit merambat ke organ dalam. 
"Kata dokter anak harus segera diobati karena masih masa inkubasi 14 hari dari kejadian. Seandainya tidak segera diatasi maka khawatir masuk ke organ lain, jantung jadi tidak bisa ditangani," ucapnya. 
Pihak RSU Garut, kata dia berdalih bahwa tidak ada ruangan di RSHS Bandung buat Kinanti. Sehingga perawatan perlu diteruskan di RSU Garut saja. 
"Jumat (6/10) malam rencananya dirujuk ke Bandung. Justru hari Jumat malam adu argumen dengan orang RSU karena bilang tidak ada ruangan, dan lainnya," keluhnya. 
Diketahui, Kinanti bukan berasal dari keluarga mapan. Usai kematian ayahnya, ibunya harus banting tulang menghidupi Kinanti dan dua saudara sekandungnya. Ibunda Kinanti bekerja sebagai pedagang batagor keliling yang berputar dari kampung ke kampung. 
Ai berharap agar anaknya tersebut cepat pulih dan dalam kondisi normal kembali. "Harapan saya mah supaya anak saya cepat sehat lagi aja," ujarnya. 
Sementara itu Humas RSUD dr Slamet Garut Lingga Saputra menyatakan berdasarkan pemeriksaan sementara dokter, pasien mengalami kelainan saraf. 
"Cuman untuk indikasi apakah terkait dengan rubella atau bukan itu kewenangan dinkes untuk menyampaikan. Sekarang pasien tersebut masih ditangani oleh dokter di ruangan ICU," katanya. 
Ditemui di tempat terpisah Kepala Dinas Kesehatan Garut Tenni Swara Rifai mengatakan penyebab kelumpuhan yang dialami Kinanti masih didalami. 
"Jadi gini, sebelum imunisasi dia sempat terjatuh juga. Sayangnya orang tua tidak langsung membawa ke puskesmas atau rumah sakit, tapi dirawat di rumah," ungkap Tenni di kantornya, Jalan Proklamasi, Tarogong Kidul, Garut, hari ini. 
Tenni menjelaskan hal tersebut mengakibatkan keterlambatan penanganan. "Seharusnya saat ini dirujuk ke RSHS (Rumah Sakit Hasan Sadikin) tapi penuh. Jadi sekarang dirawat di RSUD dr. Slamet," katanya. 
Tenni menambahkan saat ini pihaknya terus melakukan komunikasi dengan RSUD dr Slamet Garut dalam penanganan pasien. 
"Terus kita tangani. Belum bisa disimpulkan apa yang menjadi kelumpuhan, yang pasti masih ditangani tim dokter," ungkapnya. 

Sumber berita : RepublikaDetikcom

19. Sapuan (nama panggil anak). Kelas 1 SD. Nama ayah : Pak Bambang. Domisili di Graha Mutiara Permai 3 - Tangerang.

Kronologis : 

Awalnya jumat kemarin (20 okt) muncul bintik-bintik merah di badan..terus dibawa ke dokter, cek darah n macem2 saya juga kurang tahu detilnya, lalu terdiagnosa leukimia.. saat dijenguk ibu2 tadi siang, si anak sudah kemo 1x.. di RSUD Tangerang. sebelumnya sehat wal afiat.. terus pas dibawa ke dokter, dokternya bilang: "untung penyakitnya ketahuan sekarang karena disuntik rubella.. kalau engga begitu, gak bakal tau si anak ada leukimia." 
Sekarang bapak si anak harus menanggung biaya kemo 4x seminggu selama 4 tahun, padahal bukan orang berpunya juga.
Tgl. 9 Januari 2018, Sapuan meninggal dini hari jam 3 subuh. Ramadhiny (sumber berita) sudah tidak pernah bertemu dengan anak (Sapuan) dan ortunya lagi karena memang sudah tidak dibawa pulang ke rumah, di rumah neneknya terus.

Sumber berita : Ramadhiny Susilo di grup FB TAFTP (tetangga korban).

20. Arfan Abdul hafizh. 1 tahun. Tempat diimunisasi : Posyandu Rawamangun Rw 05 Jakarta.

Kronologis :

Tgl 26 Sep 17, jam 10.30 anak saya tiga orang ( usia 8th,3th,1 th) suntik MR.
Tgl 27 Sep 17 dari pagi sampai sore Arfan badannya lemes makan sedikit dan perutnya kembung.
Tengah malam Arfan demam lalu kita kompres pakai kain basah sempat turun demamnya.
Tgl 28 Sep pagi ini Arfan sudah tidak mau makan tapi saya kasih ASI trus menerus. Keadaan masih lemes pucat, jam 7 malam sy bawa berobat ke bidan, dikasih resep puyer dan amoxicilin sirup kering. Tengah malam demam lagi.
Tgl 29 Sep pagi kondisi masih sama lemas. Arfan maunya minum terus sampai tengah malam.
Tgl 30 Sep kondisi masih sama lemes lalu siang dan sore muntah2 jam 7 malam saya ke bidan lagi. Dengan​ kondisi tsb dapat resep vesperum sirup, kita kasih obat itu ke Arfan, muntah2nya sudah berkurang.
Tgl 30, 1 Okt, 2 Okt tiap hari itu selalu ada muntah2nya, sampai akhirnya kondisinya tambah lemes. Matanya sudah mulai beda kita ajak bicara tidak ada respon.
Selama 1 minggu itu lebih banyak tidur, karena kondisinya lemes. Tgl 3 Okt sore kita ke klinik sukma anggrek karena kita baru lunasi bpjs nya. Dr kasih saran utk segera dibawa ke IGD.. jam isya nya kita ke IGD Rs Khusus Bedah Rawamangun. Dgn diagnosa awal dehidrasi.
Jam 8 malam setelah selesai administrasi, Arfan ada tindakan untuk sampel darah, hasilnya HB, trombosit bagus, tapi leukositnya tinggi sampai 22.000 lalu pasang infus lalu pindah ke ruang perawatan, jam 12 malam di kasih infus antibiotik yang di berikan 1 hari 3x ( jam 12 malam, 6 pagi dan 6 sore). Kondisi arfan dgn diagnosa awal dehidrasi sudah terbantu dengan asi dan obat kata dokter anak.
Tgl 6 Okt jam 05.00 Arfan sempat cabut jarum infus, darah muncrat banyak ke tembok dan bajunya jam 06.00 pasang infus di tangan sebelahnya tapi jarumnya pecah hingga 2 x infus jarum patah, tangannya bengkak. Lalu saya minta istirahat dulu pasang infusnya jam. 09.00.
Tgl 7 jam 1.30 tangan Arfan gemetar hingga berlanjut kejang. Suster dan dokter jaga datang. Melihat kondisi arfan seperti ini RS telpon dokter anak yang merawat arfan katanya Arfan untuk segera dirujuk ke RS Thamrin Salemba, berhubung dokter anak ini sekaligus pemilik RS Thamrin. Di siapkan lah ruang picu anak. Jam 06.00 di IGD RS Thamrin Arfan ada tindakan pindah pernafasan ke mulut ventilasi mekanik, selang di hidung, infus pindah ke paha, langsung ke pembuluh besar. jam 09.00 rontgen thorax dan ct scan kepala, langsung naik ke ruang picu anak. Jam 10.30 kita di kabari hasil dari lab. Untuk thorax bagus. Ct scan kepala ada cairan di otak yang menumpuk,. Dokter bilang sejenis penyakit hyrocefalus.Penyebabkannya dokter masih belum tau.dan ini Arfan sakitnya baru kata dokternya. Untuk agar lebih tau dan pastinya dokter menyarankan untuk ada tindakan operasi pasang shunt di otak.
Masih tgl 7 okt jam besuk 12.00 Kondisi Arfan masuk picu dalam keadaan tak sadar mungkin masih reaksi obat kejang, tapi selama itu arfan respon gerakan-gerakan masih aktif banget kakinya yang tidak mau di selimuti dan sampai-sampai tangannya sampai diikat takut tarik kabel.
Tgl 8 okt jam 17.30 Arfan lakukan operasi di kepala, oleh Dr bedah syaraf abrar amrar, DR syaraf panggilan dr rscm.stlh itu kondisi msh sama, tidak ada perubahan, sebelum dan sesudah operasi.
1 minggu di ruang picu, dokter menyarankan agar kita segera tandatangan tindakan trakeotomi tapi kita belum bisa ijinkan karena belum kuat. Tgl 16 HB arfan turun 6,7. Tgl 20 Arfan transfusi donor lgsg Hb jd 12,6. Di kondisi ini badan arfan sehat, gerakan masih aktif, batuk2, ngulet,netes air mata, mata nya kedip2 saat kita minta tapi mata yang masih belum buka.
Saya bertanya kembali ke dokter dari hasil lab cairan di otak apa hasilnya kata Dr anak ini virus, tapi jenis virus nya RS blm tau apa, dan kalau pun harus di teliti percuma virus tidak akan ketemu, karena jenis virus banyak ibu pun tidak akan mengerti. Semua RS juga tidak akan sampai meneliti sejauh itu kata dokter anak.
2 minggu lebih di ruang picu leukosit mulai turun smp mau mendekati normal, namun nyawa Arfan tidak tertolong. Semua biaya pengobatan dan pembiayaan di iccu, di tanggung oleh bpjs. Kita belum melapor ke pihak yang memberikan imunisasi.

Sumber berita : Titin (ibu korban).


21. Zen. Umur 1 tahun. Cianjur.




Kronologis : bermula dari suntikan vaksin rubela yang diadakan di tiap desa-desa, Tanggal 28 September 2017 Zen vaksin, lalu badannya demam dan mengalami diare selama seminggu kurang lebih, kemudian Zen di bawa kepuskesmas dan bidan, "katanya hanya mengeluarkan virus dari badannya" (pangkas bidan), setelah minum obat panasnya turun naik dan terlihat perubahan pada badan menjadi bengkak-bengkak, setelah beberapa hari kemudian zen di bawa kembali ke dokter spesialis anak, hasil dari dokter anak zen pengalami penyakit yang serius (ginjal bocor) dan harus di rujuk ke RS segera. (cerita dari ayahnya zen).

Lalu Zen dirujuk ke RS di IGD dengan kondisi fisik yang bengkak badannya disertai dengan tangisan di setiap waktunya, Zen tidak mempunyai tunjangan untuk kesehatan seperti BPJS untuk pengobatan tersebut. dan dalam kondisi yang harus segera ditangani pihak medis.

Kondisi Zen 29 Nov 2017, ternyata Zen sudah keluar masuk RS beberapa kali. Pertama Di RSUD Cianjur, kemudian di bawa ke keluarga Ibunya Zen di Jawa tepatnya di Pemalang. Kemudian di bawa lagi ke RS Ashari, Pemalang. kondisi di infus di kaki, karena tangan sudah ga bisa masuk lagi cairan infus dan menangis kencang kesakitan ketika diinfus lewat kakinya, kata ibu Zen saat di hubungi via telepon. Kondisi Zen pada beberapa hari kemudian, sebelumnya bengkaknya sudah mengecil dan paginya badan Zen demam kemudian ada pembengkakan pada alat kelaminnya. Vonis dokter karena ginjal bocor jadi untuk proses pengeluaran urine tidak sempurna dan menjadikan bengkak, kemudian Zen pulang karena harus di rujuk ke RS yang lebih besar dan fasilitas yang baik..

Zen masuk lagi ke RS Margono, Purwokerto. sekarang posisi infusan di kaki kanan dan dikasih kayu buat tahanannya.

Kondisi Zen 24 Januari 2018, ginjal membesar dan dokter menyarankan untuk kemoterapi.

Saat ini, keluarga Zen punya BPJS kelas 3, obat-obatan biasanya tidak dicover. Sedangkan sehari-hari ibu Zen tidak bekerja (ibu rumah tangga) dan ayah Zen bekerja sebagai supir truk.




Zen menghembuskan nafas terakhirnya tanggal 3 September 2018, keadaannya 2 hari sebelum kepergiannya bengkak sekali.



Sumber berita : Ikhwan Alamsyah (penggalang dana untuk keluarga zen).





22. Nur Latifah. Siswa kelas 1 SDN Gunung Sekar 2 Sampang, Jawa Timur.

Kronologis : Usai disuntik vaksin MR (14 Nov 2017), badan Nur panas dan kejang-kejang sampai lemas sehingga harus dilarikan ke RSUD Sampang untuk mendapatkan perawatan intensif. Dugaan sementara, terjadi mal praktik, karena tak terima anaknya menderita, Marsudi (ayah) sekolah didampingi LSM dan wartawan melaporkannya ke Polres Sampang. Marsudi berpendapat bahwa menurut pengakuan anaknya, Nur disuntik 2x, pertama karena mengenai tulang lengan kemudian disuntik kembali. Sebelum imunisasi, Nur sangat sehat. Marsudi semakin bingung ketika Nur dirawatinap di RS, Nur justru didiagnosa gizi buruk oleh dokter yang menanganinya. Seumur hidupnya anaknya tidak pernah mendapat diagnosa gizi buruk. Saat berita diturunkan, belum ada keterangan polisi. Dinkes Kabupaten Sampang Firman Pria Abadi membenarkan berita ini namun menyangkal sakitnya Nur akibat vaksin karena vaksinasi dilakukan sudah sesuai prosedur dan Nur memang kurus dan ada diagnosa gizi buruk, tidak masalah waktu disuntik kena tulang.

Sumber berita : mediamadura , newsindonesianetralnews.

23. Cania Mauladiskia Putri. Umur 4 bulan. Vaksin Polio dan DPT. Puskesmas Warunggunung, Kecamatan Warunggunung, Kabupaten Lebak.

Kronologis : Anak kedua dari pasangan Udi dan Kurnia ini diberikan imunisasi Polio dan DPT saat kondisi tubuh bayi dalam keadaan panas. Kurnia selaku ibu kandungnya sudah memberitahukan kepada bidan yang bertugas di Posyandu tersebut, bahwa kondisi anaknya dalam kondisi kurang sehat. "Bahkan ketika dilakukan imunisasi, bidan mengatakan bahwa tidak masalah, itu cuma kondisi bayi baru bangun tidur. Kemudian Saya dikasih obat dan diminum dengan cara membagi jadi lima bagian," ujar Kurnia. Setelah tiga hari pasca imunisasi panasnya tidak turun, bahkan balita mengalami mata bengkak dan kejang-kejang. Setelah sembilan hari balita ini akhirnya dilarikan ke RSUD Adjidarmo, Rangkas Bitung. Selang beberapa hari mengalami perawatan di RSUD, akhirnya balita ini meninggal dunia. Ketika JurnalTangerang.co melakukan konfirmasi ke Puskesmas Warunggunung, bidan yang menangani balita tersebut sudah berpindah tugas dan Kepala Puskesmas sedang tidak berada di tempat. Saat mencoba konfirmasi melalui telepn selulernya, nomor sudah tidak aktif. "Saya harap cukup kejadian ini hanya menipa Saya saja, jangan sampe ada korban lain yang mengalami hal yang sama dengan saya," tandas kurnia.

Sumber berita : Jurnaltangerang.

24. Rasya Putra Gautama. Umur 9 tahun. Vaksin MR. Sumberharjo, Prambanan.

Kronologis :

9 Agustus mengisi formulir persetujuan vakasin MR.
14 Agustus anak demam diantar pulang dari sekolah.
16 Agustus anak tetap divaksin MR.
17 Agustus anak demam hilang timbul.
19 Agustus mulai terlihat bengkak di pipi.
20-21 Agustus bengkak di pipi semakin besar.
22 Agustus anak dibawa ke Puskesmas Sribit, dikasih obat selang 2 hari dan agak hilang bengkaknya.
26 Agustus jam 10 malam batuk-batuk disertai muntah air terus-menerus. Sudah hilang batuknya, lalu sesak napas. Jam 11 malam dibawa ke RSUD Prambanan, diberikan alat bantu nafas. Di RSUD tidak ada dokter anak. Jam 11.30 malam dipindah ke RSI, sampai di jalan sebelum tiba di RSI sudah lemah. Dokter menangani sampai jam 12.00 malam tetapi tidak ada reaksi. Setelah 30 menit ditangani dokter tidak ada reaksi, dokter memutuskan untuk melepas semua alat bantu yang ada ditubuhnya dan menyatakan anak sudah tidak bisa ditolong lagi.
Tidak ada informasi dari dokter apakah ini KIPI karena imunisasi atau bukan padahal sang ibu sudah memberitahu anak memburuk setelah imunisasi. Semua pembiayaan di RS ditanggung sendiri.
Dua hari setelah kematian anak, pihak kesehatan datang ke rumah menanyakan kronologi kejadian dan menjelaskan bahwa imunisasi itu penyuntikan virus ke dalam tubuh tetapi jika tubuh tidak fit bisa jadi sakit atau melemah. Sang ibu mengharapkan agar ke depannya nakes wajib mengecek detil kondisi anak sebelum divaksin dan semoga pemerintah lebih peduli dan tanggap akan masalah KIPI.

Sumber berita : Ike Irawati (Ibu).

25. Andika Rio Pratama. Umur 12 tahun. Vaksin MR. Sumberharjo, Prambanan.

Kronologis :

1 September anak demam dan bengkak di muka.
7 September dibawa ke RSI lalu diminta opname. Di RS disuruh cek lab lengkap, USG ginjal dan rontgen paru-paru. Hasil diagnosis dokter : Radang ginjal. Satu minggu setelah opname diperbolehkan pulang dengan catatan kontrol rutin 1 minggu sekali. Biaya pengobatan ditanggung Jamkesos, biaya kontrol ditanggung sendiri sampai sembuh.

Sumber berita : Ike Irawati (Ibu).

26. Syafiq Khalif Al Alkbar. Umur 2 bulan 5 hari. Bogor.

Kronologis : hari Minggu, 15 Oktober 2017 jam 10 pagi Syafiq suntik BCG, sebenarnya jadwal sudah telat, sudah harus suntik DPT. Sebelum vaksin, petugas suntiknya mengecek suhunya terlebih dahulu lalu divaksin. Tidak ada gejala yang aneh ketika itu. Tidak ada demam juga. Namun Syafiq tidak mau menyusu seperti biasa, lalu ibu memompa asi untuk ditaruh di botol. Tanggal 18 Oktober Syafiq mulai rewel, tidur tidak nyenyak, dan setiap mau menyusu seperti mau muntah tapi tidak muntah. Begitu terus sampai akhirnya tanggal 21 Oktober malam mulai muntah-muntah sampai dua kali. Sang ibu mengira Syafiq masuk angin, ibu merasa mungkin salah posisi saat menyusui. Badan Syafiq keringat dingin pada dahi, perut kembung, kulit dalam kuku kaki kebiruan, bibir pucat, tidur gelisah, sesak napas, cegukan dan ada batuk. Akhirnya ibu memutuskan untuk membawa Syafiq ke bidan yang menyuntik. Bidan meminta untuk langsung dibawa ke dokter saja. Disinilah letak penyesalan ibu, andai saja sang bidan memberi rujukan untuk langsung ke UGD mungkin saja Syafiq masih bisa tertolong, namun bidan hanya memberi rujukan ke dokter anak, dan tidak bilang bahwa kondisi Syafiq kritis. Akhirnya Syafiq dibawa ke dokter umum. Dokter hanya berkata Syafiq masuk angin dan mungkin ibu salah posisi ketika menyusui. Lalu ibu menebus resep dokter dan membawa Syafiq pulang dan ibu memberi parutan bawang merah dan kencur ke badan Syafiq. Malam harinya, Syafiq masih rewel dan tidak ada perubahan. Hari Seninnya, sang ibu membawa Syafiq ke dokter spesialis anak. Dokter berkata pencernaan Syafiq bermasalah. Ibu memastikan kembali benarkah kondisi anaknya tidak ada yang serius, namun dokter menjawab tidak ada yang serius. Dokter bilang tidak ada, hanya pencernaan Syafiq yang belum sempurna, karena itu sering muntah. Ibu menyetop obat dari dokter umum, lanjut ke probiotik dari dokter anak. Masih tidak terlihat perubahan. Syafiq masih mengeluarkan keringat dingin tetapi muntah berkurang. Akan tetapi sang ibu memperhatikan frekuensi buang air kecil Syafiq sudah berkurang, terbukti dari popoknya kering mulai dari tengah malam sampai besok paginya. Ibu memangku Syafiq di pagi harinya dan membuka popoknya sambil masih terus disusui. Syafiq masih bisa tersenyum melihat wajah mamanya. Hati ibu bahagia namun menangis ketika melihat senyumnya. Akhirnya Syafiq buang air kecil di pangkuan sang ibu, ibu mengira Syafiq tidak ingin dipakaikan popok. Ibu lalu menidurkan Syafiq namun masih tetap gelisah. Lalu ibu meninggalkan Syafiq untuk sholat subuh. Setelah sholat, ibu memangkunya kembali. Ibu menaruhnya dengan posisi tengkurap, karena ibu mengira Syafiq kecapaian. Akan tetapi begitu Syafiq dibalikkan tubuhnya, wajahnya pucat dan seperti kesusahan menangis. Seketika itu, ibu langsung membawa Syafiq ke ugd. Sesampainya di UGD, Syafiq menangis kencang dan bidan yang mengecek berkata "bu anak ibu gak kenapa-kenapa, nangisnya kencang begini..anak ibu sehat. Coba ibu bawa pulang dan dedeknya dijemur". Lalu ibu membawa Syafiq ke rumah sakit lain. Di tengah jalan nafasnya sudah sesak. Sang ibu tak berhenti menangis. Sampailah di depan UGD, namun masih harus daftar dan antri, belum diperbolehkan masuk. Setelah suami daftar, Syafiq dicek jantung, baru dibolehin masuk. Sampai masuk ruang UGD, masih harus menunggu perawat datang. Setelah perawat datang, Syafiq dipasang oksigen dan infus. Ibu sambil terus berdoa semoga Syafiq diberi kesembuhan. Sambil di rontgen dan diambil darah, hasilnya dokter belum diberitahu. Kamar pasien penuh, sehingga Syafiq masih di UGD. Dokter bilang kondisi Syafiq tergolong berat harus dimasukan kamar kusus yg ada dokter khusus. Sementara cari rumah sakit rujukan, dokter berkata akan observasi disini dulu. Di 'iya'kan oleh ibu. Syafiq diuap dan diberi antibiotik. Menjelang ashar suami pergi cari rs rujukan. Tiba-tiba Syafiq drop dan kejang. Monitor nya bergaris lurus. Ibu langsung teriak-teriak panggil dokter. Namun nyawa nya sudah tidak dapat tertolong. Badan sang ibu lemas sekali, tetapi masih sempat telpon suami. Tgl 24 oktober jam 15.30, Syafiq meninggal. Habis magrib jam 07.00 malam, jenazah Syafiq dibawa pulang ke Jawa Tengah.

Sumber berita : Tina adja (ibu, di FB).

27. Muhammad Sauqi Bex. 7 bulan. Kraksaan Probolinggo, Jawa Timur.

Kronologis : Kira-kira pertengahan Oktober anak menerima vaksin difteri di dokter spesialis anak. Selama hidupnya, anak selalu divaksin di dokter spesialis. Setelah divaksin, anak demam lalu masuk RS seminggu. Di RS telapak tangan menggelembung ada airnya, dipecahin oleh susternya kemudian diperban. Lalu anak dipulangkan karena tidak ada gejala yang berarti. Sesampainya di rumah, anak demam kembali, lalu dibawa lagi ke RS yang sama. Namun dokter spesialis anak yang menyuntiknya sekaligus memeriksanya berkata tidak ada sakit apa-apa, hanya ibunya saja yang ketakutan karena pernah pengalaman ditinggal oleh anak pertamanya (anak pertama meninggal di umur 1 tahun akibat meningitis, kejang tanpa demam, meninggal selang sebulan sejak adiknya lahir). Akhirnya sang anak dibawa pulang kembali ke rumah. Selang sehari, anak kembali demam dan dibawa kembali ke RS dan mengalami koma dan hanya 3 jam di RS lalu meninggal pada tanggal 5 November 2017 (selang 2 minggu pasca vaksin 3 x masuk RS). Semua biaya RS ditanggung sendiri.

Sumber berita : Dia Aditya (tante, ayahnya sang anak adalah adik dari Dia Aditya) melalui inbox FB.

28. Najwa Khaira Wilda. Umur 2 bulan. Lahir tgl. 4 Agustus 2017. Kandangan, Banjarmasin, Kalsel.



Najwa saat kritis
Kronologis : Ketika umur 2 bulan, anak mendapat vaksin DPT di Puskesmas oleh bidan tepat di paha kiri. Setelah vaksin anak mengalami demam selama 3 hari, padahal sebelum vaksin sehat. Selama 3 hari hanya diberi parasetamol. Seminggu kemudian, muncul gejala wajahnya membiru dan badan kaku selama beberapa menit. Ibu segera membawa anak ke RS sambil diceritakan kronologis anak mulai dari vaksin sampai seperti itu. Selama di RS, dokter bingung menentukan diagnosa karena anak tidak demam tapi kejang. Seminggu lamanya diopname akhirnya pulang ke rumah, namun tidak ada perubahan lalu anak dibawa ke RS dan diopname lagi selama 2 minggu. Ibu sempat kembali ke Puskesmas tempat anak disuntik untuk meminta rujukan agar anak dapat dibawa berobat ke RS besar di Banjarmasin, namun tidak diijinkan. Ketika ditanya keterkaitan sakitnya anak dengan vaksin, tenaga kesehatan di puskesmas hanya mengatakan tubuh anak tidak kuat menerima vaksin sehingga menjadi kejang. Setelah di rumah, lama2 ada satu malam dimana kejang anak semakin sering, akhirnya anak dibawa kembali ke RS, dimasukkan ke ruang PICU. Selama seminggu di PICU kondisi anak bukannya membaik, melainkan semakin terlihat lemas. Dari sinilah, dokter menyimpulkan bahwa anak kena gejala epilepsi. Ibu melihat anak selalu drop nadinya, bahkan dokter sudah terlihat putus asa. Selama di RS tersebut, anak hanya terlihat tenang jika diberi obat diazepam, selebihnya masih sering kejang. Sering terdengar suara sesak "grok grok" dari anak. Suster menyarankan ke ibu untuk meneteskan air putih hangat ke mulut anak supaya menyamankan tenggorokannya yang seperti berlendir. Namun ternyata malah semakin sesak, ibu panik dan panggil suster dan akhirnya minta rujuk ke RS besar di Banjarmasin, dokternya menolak dengan alasan anak sudah drop sehingga riskan sekali jika mau dipindah ke RS lain. Dokter berkata, bahwa kemungkinan hidupnya tinggal 10%. Ibu tetap bersikeras dan berjanji tidak akan menuntut kalaupun ada kejadian yang tidak diinginkan, akhirnya dituruti oleh dokternya. Anak akhirnya boleh dibawa ke RS di Banjarmasin dengan perjalanan dari Kandangan ke Banjarmasin sekitar 3 jam. Anak dibawa beserta infus dan tabung oksigen pakai ambulan menuju ke RS terbaik di Banjarmasin. Sesampainya di RS sore hari, kondisi anak ketika itu sudah tidak bergerak dan pucat langsung dinyatakan koma dan dimasukkan ke ruang ICU. Melalui malam tiada henti ibu dan ayah memanjatkan doa, akhirnya, esok pagi jam 10 tiba-tiba anak bergerak dan mengeluarkan tangisan. Nadinya beranjak naik dan normal. Di RS tsb anak langsung ditangani oleh prof dokter spesialis syaraf anak. Melihat ada perbaikan, dokter memindahkan anak ke ruang bangsal. Selama di ruang bangsal selama 15 hari, memang belum sembuh total, masih ada 5 sampai 6 x kejang, akhirnya anak boleh pulang. Anak diberi obat kejang rutin setiap bulannya ditebus dan harus diminum dua kali sehari. Dokter meminta untuk tidak putus minum obatnya selama 2 tahun. Namun, ibu tidak tega anak harus diminumin obat terus menerus. Akhirnya ibu memutuskan untuk membawa anak ke dokter spesialis terapi anak. Dokter terapi mengatakan bahwa obat2an itu nantinya justru dapat melemahkan otot anak, sehingga ibu memutuskan untuk mengurangi dosisnya perlahan-lahan hingga stop sama sekali. Lama-lama kejang berhenti total di umur 7 bulan, ibu sangat bersyukur akan perbaikan kondisi Najwa walau memang ada keterlambatan di motoriknya pasca kejadian ini. Sampai saat ini, anak masih menjalankan terapi 1x seminggu.


Najwa yang masih menjalankan terapi hingga sekarang 
Sumber berita : Lisa (FB dan WA melalui saya, Lisa adalah ibu dari Najwa).

29. M. Cahril Akbar Attalah diganti namanya pas sakit jadi M.Atho'illah (AKBAR). Lahir tanggal 24 Juni 2017. Nganjuk, Jawa Timur.

Kronologis : Tanggal 25 Juli 2017 anak menerima vaksin BCG. Sehabis vaksin Akbar mengalami demam ringan dan rewel. Sabtu, 29 juli 2017 jam 8 pagi saya pergi ke bidan buat periksain Akbar karena rewel 2 hari dan demam ringan. Di sini Akbar sudah terlihat agak pucat, bidan lalu bertanya apakah dia kejang? saya jawab tidak karena kemarin Akbar baru umur selapan kalau kata orang sini biasa sumer karena pas "Tirone". Setelah dari bidan dan minum obat sumernya mulai adem tapi terus rewel dan minta gendong terus. Akbar masih mau minum tapi gak kayak biasanya, cuma sedikit dan sebentar-sebentar nyusunya. Saya tidak tahu kalau kejangnya bayi ada yang cuma seperti kaget, saya benar-benar tidak tahu dia kejang atau tidak. Setahu saya, step itu panas tinggi tapi kalau cuma sumer itu yang lebih bahaya karena panasnya gak bisa keluar. Lalu jam 19.30 saya membawa anak ke RSUD setempat karena dari jam 4 sore sudah gak mau menyusu. Sesampainya di RS, perawat dan dokter nanya kenapa? Saya bilang gak mau minum dari jam 4 sore. Setelah diperiksa dokter jaga menyatakan anak saya dehidrasi berat. Dokter bilang, bu ini anaknya sudah dehidrasi berat dan sekarang kondisinya kritis, mungkin ada masalah diperutnya juga karena gak mau minum, ini anaknya butuh ruang ICU karena disini gak ada ruang ICU ibu minta langsung dirujuk ke RS yang ada ruang ICUnya atau dipulihkan dehidrasinya dulu? Karena dalam keadaan panik dan bingung, saya jawab : saya minta yang terbaik aja dok buat anak saya. Dokter itu pun langsung bilang, ya 2 itu pilihannya bu..ibu harus milih! Lalu saya tanya lagi, dok seandainya langsung dirujuk bahaya gak buat anak saya? Dokter itupun bilang dia gak menjamin keamananya. Akhirnya karena disuruh milih, saya milih mending dipulihkan dehidrasinya dulu nanti kalau tidak ada perkembangan baru saya minta dirujuk ke RS yg ada ruang ICUnya. Setelah itu baru anak saya ditangani, diinfus dan dikasih oksigen. Setelah itu sampai jam 22.30 anak saya mulai membaik. Dokter bilang anak saya sudah tidak perlu ruang ICU. Perawat mendatangi saya dan nanya:
Perawat : Bu ini pake BPJS atau umum ?
Saya : umum
Perawat : kalau umum jangan di VIP ya bu? 
Saya : Memang kenapa ? 
Perawat : nanti susah pemantauannya bu,jadi pilih kamar no 2/3 aja. 
Dalam hati saya berkata kok aneh ? Dimana-mana yang VIP yang diutamain dan dapat pelayanan terbaik😕
Saya : yaudah saya minta yang kamar no 2.
Setelah nunggu sejam tepatnya jam 23.30 akhirnya anak saya dipindah diruang kamar kelas no 2. Dikamar itu ada 2 anak yang dirawat bertiga bareng anak saya.
Setelah dikamar sudah agak tenang, anak saya bisa nangis dan kata perawat itu bagus.
Jam 6 pagi suster kontrol ke kamar, setelah dicek katanya udah mulai membaik. Hati mulai tenang. Pagi jam 7 bapak saya datang ke RS buat mengantar keperluan kami karena pas ke RS tidak bawa apa-apa karena panik. Bapak saya tanya, gimana keadaan Akbar, saya jawab udah membaik. Namun, tiba-tiba kira-kira jam 07.30 anak saya hilang nafas, saya panik dan suami langsung lari panggil suster. Karena hari itu pas hari minggu jadi tidak ada dokter. Saya pun panik, nangis dan saya gerak2in tubuhnya akhirnya dia bisa batuk dan keluar lendir dari mulutnya, pas itu suster datang. Saya bilang ini anak saya gimana nafasnya sempat hilang dan dengan entengnya perawat itu bilang tidak apa-apa bu ini anaknya cuma batuk, dipukul aja punggungnya pelan-pelan. Dalam hati rasanya ingin marah sama suster itu😢. Saya langsung minta rujuk aja. Suster bilang anak saya kritis butuh ruang ICU.
Perawat nanya : bu ini minta dirujuk dimana, sambil kasih tau RS yang ada ruang ICUnya. Saya bilang udah terserah yang penting cepat dapat ruang ICU. Saya pun nunggu lama, keluarga saya pun udah kumpul. Saya cuma bisa menangis sambil bilang ke anak saya,yang kuat ya dek, adek pasti sembuh. Nanti kalau sembuh kita bisa jalan-jalan, beli baju, beli sepatu, beli topi, nanti potong rambutnya adek. Yang kuat dek. Adek pasti sembuh. Ibu sama bapak bakal nemenin adek sampai sembuh😢
Setelah sekian lama, kata suster ruang ICU pada penuh semua, sampai ibu dan sodara saya marah sama susternya kenapa cari ruang ICU aj lma bgt, sedangkan anak saya kondisinya udah kritis. 
Suster menjawab : ini masih kita usahain bu yang sabar.
Gimana bisa sabar ini masalah nyawa kenapa serasa disepelein. Dari jam 07.30 sampai jam 11.00 baru dapat ruang di RS gambiran KEDIRI. Stlah ngurus biaya ini itu br jam 11.30 naik ambulan mnju RS gambiran. Jam 12.00 pas sampai. Setelah itu langsung dibawa ke IGD (di ruangan khusus) 
Alhamdulillah di RS itu pelayanan sangat baik. Dokter jaga dan para perawat langsung datang dan mmriksa.krn keadaan sudah sangat kritis. Dokter pun sudah nyiapin buat CT scan dan ruang ICU. Karena anak saya butuh CT scan biar tau pasti sakitnya apa.
Stlah ditaruh dikasur dokter pun langsung siapin alat-alat dan salah satu perawat bilang : bu anaknya ditungguin dulu didampingi sambil berdoa. Mungkin disitu baru 10 menit, anak sempat menangis dan merintih sampai akhirnya dia kejang dan hilang nafas. Saya pun langsung teriak sama goyang2in badan anak saya : dek kenapa !!? Bangun dek! ðŸ˜¢dokter dan perawat pun langsung melakukan tindakan buat anak saya.
Perawat bilang ibu duduk dulu aja sambil berdoa ya, biar kami yang menangani. Setelah dokter berjuang anak saya pun ada detak jantungnya lagi. Saya pun agak tenang.
Setelah itu dokter panggil perawat yang dari RS seblumnya yang mendampingi saya di ambulan ada 2 perawat, masih muda dan sepertinya baru lulus sekolahnya. Setelah dipanggil ke ruangan anak, dokter itu pun bilang kalau anak saya kekurangan oksigen waktu di ambulan. Perawat menjawab dengab alasan jalan berlubang dan rusak jadi goyang oksigennya. 
Dokter itu pun bilang, kalau itu ga bisa dipake alasan, ini pun yang dipasang bukan oksigen buat bayi, tapi buat anak-anak. Alat yang dijepit ke jari kaki pun salah. Itupun bukan buat bayi tapi buat orang dewasa. 
Ya Allah ternyata alat yang dipasang ke anak saya salah semua😢😢
Saya pun dengar dokter memberi beberapa pertanyaan kepada perawat yang mengantar saya, tetapi perawat itupun menjawab dengan geleng-geleng kepala yang artinya 2 perawat itu tidak tahu. Sampai dokter itu pun bilang, kamu tu sekolah dimana? Mending kamu sekolah lagi aja.
Setelah sejam dokter bilang ke perawat yang menangani alat yang ada di mulut anak saya. 
Sus ini bisa dibawa ke ruang CT scan gak? Suster bilang kalau tidak memungkinan karena kalau alat itu dilepas udah pasti anak saya bisa meninggal. Akhirnya dokter anak pun datang padahal lagi libur, hari minggu. Karena keadaanya udah semakin memburuk, anak saya pun dikasih suntikan, dimasukin selang ke dalam mulutnya, dipasangin alat-alat yang seperti di sinetron2 ðŸ˜¢
Duh rasanya hati hancur lihat kondisi anak. Saya pun selalu disampingnya sambil berdoa dan kasih semangat buat si adek. Adek pasti sembuh, adek kuat, ayo berjuang dek. Selalu itu yang saya ucapkan di dekat dia.
Jam 13.30 dokter pun bentar2 datang buat kontrol keadaan anak saya sambil bilang ini bisa di CT scan gak sus? Suster pun bilang ini gak memungkinkan dok karena detak jantungnya sudah mulai menurun. Suster bilang, dok karena kondisinya udah seperti ini kayaknya juga udah gak memungkinkan ditaruh di ruang ICU, ini harus ditaruh diruang NICU. Saya pun mengiyakan yang penting anak saya selamat. Suami pun mengurus administrasi di kasir buat pendaftaran buat ruangan NICU, setelah kamar dapat dan nanti akan di CT scan klo sudah agak membaik. Setelah selesai, udah dapat kamar dan kartu buat anak saya suami mendatangi saya di ruang IGD.
Jam 14.30 dokter tanya ke saya, 
Dokter : bu ini awalnya gimana kok bisa sampai kayak begini ? 
Saya pun menceritakan dari awal seperti yang di atas dan saya bilang kalau anak saya udah sempat hilang nafas jam 07.30 tadi. Dokter pun kaget dan bilang : loh bu anakny tadi udah sempat hilang nafas ? Saya pun bilang iya. Terus dokter bilang kalau 2 perawat tadi gak bilang kondisi anak saya, cuma bilang kalau ada pasien kritis butuh ruang ICU dan CT scan. Lalu dokter langsung keluar dan menemui 2 perawat yang mengantar saya dari RS sebelumnya. 
Dokter : Sus kenapa tadi kamu gak bilang kalau anak tadi sudah sempat hilang nafas ? Kamu jangan macam2, ini tu soal nyawa jangan buat main2, sambil marah2 dokternya. 2 perawat tersebut terus mengelak dan dokter bilang kalau yang bilang semua itu saya. Entah mungkin gak terima dimarahin dokter atau apa, 2 perawat itu mendatangi saya sambil ngomong dengan nada tinggi dan matanya melotot nanya sama saya apa benar anak saya sempat hilang nafas tadi pagi ? Saya pun jawab iya. Kapan ? 2 perawat itu terus mencecar pertanyaan dengan nada tinggi. Rasanya saya ingin banget nyolok matanya dan menampar mulutnya yang tidak sopan bertanyanya. Apa gak mikir saya lagi gak karuan malah diajakin debat. Intinya kedua perawat itu gak mau disalahin padahal udah jelas kalau mereka salah. Akhirnya perawat itu keluar dan pulang atau entah kemana.
Dokter kembali nanya sama saya, bu apa anaknya pernah jatuh/terbentur ? Saya jawab ga pernah dok. 
Dokter bilang lagi, ini mbun2nya udah gak ada kemungkinan ini udah pendrahan otak bu. Tapi karena belum di CT Scan jadi belum pasti, tapi kemungkinan besar pendarahan otak karena tanda2 seperti ini. 
Saya terus nanya apa anak saya bisa selamat ? Dokter dan perawat cuma bilang ibu berdoa aja semoga ada keajaiban buat anak ibu😢😢
Sampai akhirnya jam 15.30 suami saya bilang, dia gak tega liat kondisi anaknya, kasihan katanya. 
Dan saya pun berkata di telinga anak saya : Dek, seandainya kamu udah gak kuat gak apa-apa dek, ibu ikhlas. Ibu sudah gak tega lihat keadaan adek. Suami pun bilang seperti itu di telinganya. Setelah saya membisikan kata-kata itu dan saat itu kondisi anak saya perlahan menurun. Detak jantungnya melemah. Sampai saat jam 16.00 kondisi anak saya sudah sangat buruk, saya pun suruh terus berdoa. Jam 16.05 setelah diperiksa secara otak anak saya sudah dinyatakan meninggal tapi karena tadi disuntik obat pemacu jantung, jantung masih berdetak. Suami pun mengadzani adek dan sampai jam 16.25 alat itu sudah di garis lurus dan anak saya dinyatakan sudah meninggal tanggal 30 Juli 2017. Hati hancur berkeping-keping, saya dan suami menangis sampai lemas sekali rasanya tulang ini. Saya pun berfikir untuk minta foto bareng adek karena selama hidupnya ga pernah foto sama adek. Suster mengizinkan saya foto sama adek😢😢
Saat itu saya peluk badannya yang sudah lemas berharap masih ada keajaiban dia bisa hidup lagi, kenapa harus dia yang diambil ya Allah. Saya berharap ini mimpi, tapi ini kenyataan. Sampai akhirnya kami disuruh keluar karena jenazah adek mau diurus. Sampai di luar ruangan pun masih belum terima kenyataan kalau adek udah meninggal. Setelah topi adek yang saya pegangi diminta bapak. Saya dan suami akhirnya wudhu dan serasa diberi kekuatan kembali setelah wudhu. Setelah menunggu dokter memanggil dan kami masuk ke ruangan tadi, adek di atas kasur udah dibungkus kain. Saya pun serasa masih gak percaya sampai akhirnya dia dibawa ke ruang jenazah sambil nunggu ambulans. Setelah semua beres akhirnya kami bawa pulang adek. Saya pangku sendiri jenazah adek di ambulans, sebentar2 saya pegang dadanya untuk mencari nafasnya, seperti masih bernafas kamu dek...tapi setelah saya pegang lagi nafas itu udah gak ada. 
Iya, adek emang benar2 sudah meninggal. Saya bergantian mangku sama suami. Sesampainya di rumah, sudah banyak orang dan semua sudah siap. Sampai di rumah jam 18.30 udah banyak orang, tangisan saya pun pecah lagi, dibuka kain itu. Badannya gemuk dan tampan sekali, bedanya cuma terlihat lemas. Setelah itu langsung dimandikan, saya dan suami pun ikut memandikannya. Setelah dikafani dan disholati saya udah lemas, padahal ingin sekali ikut ke makamnya tapi karena saya takut nanti gak kuat saya akhirnya gak ikut. Suami gendong jenazah adek sampai ke makam.
Sekarang dia sudah tenang di surga.. 
Tunggu kami di pintu surga ya nak.. 
Mudah2an ibu akan benar-benar bisa mengikhlaskan kepergianmu..

Akbar ketika dirawat
Sumber berita : Nuriel Hidananti (FB via inbox ke mba Seli).
24 juni 2017-30 juli 2017

30. Muhammad Dhika Alfarizi. Lahir tanggal 10 Juli 2017. Purworejo, Jawa Tengah.

Dhika saat sehat
Kronologis : Dulu Dhika sehat normal seperti anak-anak lain tapi setelah imunisasi polio dan DPT1 sempat demam lalu sembuh, namun selang beberapa hari demam lagi tapi langsung tinggi 42 drajat langsung rawat inap di puskesmas 2 hari tidak ada perubahan dirujuk RS islam 7 hari belum sembuh rujuk lagi ke RS lebih besar 7 hari tapi semakin parah sampai ke RSUP Sarjito tetapi karena ngantri kami sempat di penginapan beberapa hari baru setelah kejang baru bisa masuk IGD sempat hampir 1 minggu tidak sadar. Kami mengira Dhika tidak bisa bertahan karena setelah sadar, Dhika menangis terus menerus hampir 24 jam setiap harinya baru bisa diam kalau diberi obat penenang di bangsal melati 50 hari baru boleh pulang tapi belum dinyatakan sembuh.. sampai sekarang (Agustus 2018) masih rutin kontrol baru hari kamis kemarin kami kontrol yang ke sekian kali dan dokternya ngomong kalau sakitnya dhika bukan bawaan dari lahir, masih diteliti sama evaluasi sampai waktu yang belum ditentuakan dan masih kontrol lagi 2 minggu lagi CT screen 3 bulan lagi itu yg ke 6.. sebenarnya saya capai kalau 1 minggu sekali terapi per 2 minggu sekali kontrol dengan 2 jam perjalanan dan biaya yang tidak sedikit. Sampai sekarang kami tidak tahu apa itu sebab imunisasi atau yang lain tapi dokternya tidak menyarankan imunisasi lanjutan untuk Dhika sehingga jadi ada tanda tanya tersendiri. Tetapi ini semua sudah takdir jadi tidak ada yang perlu disesali hanya kami tidak ingin anak-anak kami selanjutnya nanti mengikuti imunisasi. 

Dhika saat menjalani serangkaian pengobatan
Keadaan sekarang (per Agustus 2018) : Fisioterapi dan pijat saraf akan tetapi untuk fisioterapi (biasanya dilakukan di RS Sarjito Jogja) masih berhenti sementara karena terkendala biaya, jadi cuma pijat saraf aja dulu. Organ sebelah kanan dulu lemah namun sekarang sudah mulai gerak. Namun untuk tangan belum bisa pegang masih menggenggam. Untuk tumbuh kembangnya masih lambat di usia 13 bulan belum bisa tengkurap sendiri dan belum bisa duduk tegak. 

Sumber berita : Mudrikah Putri Nathania (Ibu anak di FB pada komentar status penulis). 

31. Shafiya Ramadhani Qoriroh. Lahir tanggal 3 Juli 2016. Lokasi vaksin di Paciran, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. 
Kronologis : Sekitar Januari 2017 anak divaksin difteri di umur 1,8 tahun. Biasanya vaksinnya di posyandu balai desa, namun karena ada halangan akhirnya ikut vaksin di sekolah kakaknya. Awalnya sehat, namun setelah divaksin demam dan saya beri parasetamol, lalu demamnya reda, namun selang 3 hari perut sebelah kirinya mengeras.  Saya bilang ke ayahnya katanya efek menangis karena habis vaksin. Selang 1 minggu tetap keras perutnya, akhirnya saya ga sabar untuk memeriksakan anaknya. Oleh dokternya diminta untuk tes darah dan usg. Singkat cerita dan setelah tahu hasil labnya pihak puskesmas tidak berani ambil tindakn karena ada yang melampaui batas normal akhirnya harus dirujuk ke RS Muhammadyah Lamongan, setelah itu baru ke RS yang di provinsi namun apalah daya semua ketentuan Allah, putri kecil kami menghembuskan nafas terahirnya di ICU bulan Februari 2018, dengan diagnosa ALL (aqut limphoblastik leukemia), dan sejak saat itu saya trauma dengan vaksin. Selama di ICU, ada dokter jaga yang kasihtau bahwa anak saya tidak perlu dilanjutkan vaksinnya. Selama sakit, biaya pengobatan ditanggung BPJS. 

Sumber berita : Nurul Adhimah (Ibu dari anak melalui inbox FB penulis).


PERIODE NOVEMBER 2017 - 24 AGUSTUS 2018

1. Jumiarni. 8 tahun. Kelas 2 Madrasah Itibaiyah Yayasan Al Hikmah Gg Duren 7 Ulu Palembang.

Korban terduga KIPI Jumiarni (sumber : Palembang Tribunnews) 

Kronologis : Jumiarni mendapat vaksin TT oleh puskesmas 7 Ulu tgl 10 Nov 2017. Pasca disuntik Jumiarni langsung mengalami kelumpuhan sehari setelahnya dan dirujuk ke RS Muhammadyah (RSMP). 3 hari dirawat, Jumiarni meninggal dunia. Menurut Meisyah (ibu Jumiarni), anaknya semangat sekali bangun jam 5 subuh untuk mengikuti vaksinasi di sekolah. Pulang sekolah pun masih ceria dan tidak ada yang aneh. Namun saat sore menjelang malam, tiba-tiba kaki kiri tidak bisa digerakkan, hingga berbaring saja. Tgl 11 belum berubah kondisinya, bahkan kaki kanan ikut2an tidak bisa digerakkan. Sang ibu buru-buru melapor ke sekolah. Wakasek kesiswaan, Sukardi, menyarankan untuk segera melapor ke Puskesmas 7 Ulu yang menyelenggarakan vaksinasi. Puskesmas cepat tanggap, lalu mendatangi siswa ke rumah. Karena kondisi belum membaik, akhirnya Puskesmas merujuk Jumiarni ke RSMP. Tgl 13 Nov Jumiarni belum juga membaik, bahkan mengalami demam. Dari sejak sakit, belum bisa buang air besar. Kencing pun tidak terasa oleh Juminarti, tau-tau kasur sudah basah. Tgl 14 nov 2017, kondisi semakin parah dan mengalami sesak napas. Jumiarni harus dibantu oksigen untuk bernapas. Sekitar jam 9.00 nyawanya tak tertolong dan meninggal dunia.

Sumber berita : Sriwijaya Post.

2. Thalita Alamanda Az Zahra. Perempuan. Umur 4 bulan. Lahir 20 Juli 2017, wafat 24 November 2017. Garut, Jawa Barat.
Thalita dan ayahnya

Kronologis : Imunisasi yang musti dilakukan harusnya tanggal 21 November 2017. Berhubung satu dan lain hal, tanggal tersebut batal. Esoknya saya datang ke bidan yang bersangkutan, sayangnya, bidannya tidak ada di tempat. Assistennya menyuruh saya datang lagi, esoknya tanggal 23. Itu artinya sudah dua hari telat dari tanggal yang seharusnya. Aku tanyakan kepada asisten bidan itu, imunisasinya sudah telat, apa itu tidak apa-apa? Kata bidan melalui asistennya, katanya tidak apa-apa. Thalita divaksin polio, IPV, dan DPT. Siang hingga malam tidak ada reaksi apa-apa, anak saya baik-baik saja, kecuali berkeringat. Tidak ada demam apalagi kejang. Hanya saja, kata istri saya, anak saya belum BAB dan kencing, juga tidak mau nyusu. Anak saya mulai merintih-rintih pas pukul 11 malam (sebelumnya tidur pulas). Tubuhnya dingin dengan wajah yang pucat. Saya segera ambil tindakan, mendatangi kembali bidan yang mengimunisasi anak saya. Bidan itu menerima kami (itu sekitar pukul 2 dinihari), bidan itu melakukan observasi selama satu jam; memasang oksigen; mengecek denyut jantung, hasilnya semuanya normal. Anak saya terus merintih. Saya pikir anak saya mungkin 'ticengklak' aku berinisiatif untuk memijitnya, dengan tentu saja, menanyakan hal ini kepada bidan yang bersangkutan, katanya, silakan boleh dicoba. Bidan mengatakan: bawa saja ke dokter, kalau mau coba dipijit dulu boleh. Katanya lagi: kalau sudah dipijat anak saya mau nyusu, itu tandanya aman. Saya ikutin saran bidan. Saya manggil dulu paraji untuk mijit anak saya. Alhamdulillah, anak saya langsung mau nyusu. Saya pikir ini berhasil, sayangnya, anak saya terus merintih, perutnya jadi keras. Saya langsung berniat membawanya ke dokter. Tetapi, di tengah jalan, anak saya muntah, air susunya keluar dari mulut juga hidung. Saya tetap membawanya ke dokter, anak saya sudah tidak bergerak, bibirnya biru. Kata dokter, meninggalnya sudah dari tadi. Anak saya meninggal sekitar setengah tujuh pagi hari Jumat. Dokter yang menulis surat kematian anak saya menerakan sebab kematiannya adalah gagal napas.

Sumber berita : Oetep Sutiana (ayah).

3. Naufal Alestya Alfarizqi. Umur 4 Bulan. Yogyakarta.
Naufal saat sehat

Kronologis : Naufal menerima vaksin DPT 2 tgl 12 Desember 2017 malam. Setelah di vaksin tubuhnya lemas dan suhu tubuhya hanya sekitar 38 derajat. Saya beri parasetamol panasnya turun tapi si anak tetap lemas tubuhnya saya pikir biasa karena baru vaksin. Siang tgl 13 anak masih mau menyusu. Tapi setelah bangun anak saya mengeluarkan banyak keringat tidak seperti biasanya. Suhu tubuh hangat dan perutnya bunyi terus menerus setelah itu BAB. Sore hari masih bisa senyum tapi tetap lemas. Saya mandikan dan setelah itu anak tidur. Pukul 11 malam tgl 13 si anak terbangun saya pikir mau menyusu tapi tidak mau. Napasnya kencang seperti habis berlari. Suhu tubuhny sekitar 38 derajat. Saya beri parasetamol lagi panasnya turun. Dan mau menyusu sebentar. Tapi anak sudah tidak mau tidur. Pkl 02.00 tgl 14 dini hari anak tambah lemas. Dan napasnya tetap kencang seperti habis berlari. Setelah itu BAB lagi. Matanya hanya melotot memandang saya dan sesekali juling, bibirnya pucat. Sampai jam 03.00 pagi anak masih mau menyusu. Saya tidak pernah berfikir sedikitpun kalo hal trsebut ternyata pertanda kalo itu kejang karena badannya tidak kaku (kata dokter yang mengimunisasi). Dan sedikitpun saya dan suami tidak pernah memiliki fikiran kalo vaksin bs merenggut nyawa. Selama ini selalu digembor gemborkan aman. Jadi anak setelah vaksin panas atau lemas hanya dianggap biasa. Pkl 05.30. Saya bawa ke dokter yg memberi vaksin. Tapi langsung dirujuk ke Rumah Sakit dan tidak tertolong. Pihak rumah sakit mengatakan kalo naufal gagal nafas. Air susunya masuk ke paru paru. Karena katanya pas kejang disusui. Yang paling saya sayangkan kenapa selama ini tidak diinformasikan kalau habis vaksin bisa terjadi KIPI. Sehingga orang tua selalu menganggap biasa kalau anak demam dan lemas setelah imunisasi.

Sumber berita : Seliawati Rahardjo (Ibu).

4. Ade Risma. Umur 10 tahun. Kelas 4 SD. Kp. Elo, Sukatanah, Sukatani, Kab. Bekasi.

Kronologis : Sebelum di suntik sangat sehat. Alm. Risma datang sendiri ke posyandu yang tidak jauh dari rumahnya untuk menawarkan diri di vaksin, berhubung teman-temannya juga ikut disuntik. Alm. Risma anak yang taat pada jadwal vaksin. Setelah di suntik, demam tinggi, lemas lalu mengalami lumpuh, hingga tidak bisa berbicara. Hari Minggu , 17 Desember 2017 sempat di bawa ke puskesmas, tapi tidak dilayani dengan baik, disuruh menunggu dokter hari senin. Sebelum ke dokter, nyawa sudah tak tertolong, Tgl 17 Desember 2017 Risma menghembuskan napas terakhir. Pihak sekolah datang ke rumah ibu alm. Risma sehari setelah pemakaman. Sebelumnya jenazah akan diperiksa, namun tidak sempat karena keburu dimakamkan. Alm. Risma sendiri adalah anak yatim yang sangat disayang oleh tetangga-tetangganya, tinggal bersama ibunya, ayahnya sudah meninggal sejak alm. Risma masih bayi. Anak dari Neng Widhi (tetangga sekaligus tante angkat Risma) sendiri bareng vaksin di sekolah bersama dengan Risma, namun anak dari Neng Widhi hanya mengalami demam tinggi, sedangkan Risma selain demam, berlanjut sampai wafat. Kasus ini sedang diselidiki oleh pihak terkait. Camat Sukatani juga sudah menyoroti hal ini.

Sumber berita : Nhatasya (tante).

5. Anas Abdul Rahman. Umur 2 bulan, jalan 3 bulan. Grand Permata, Bekasi Timur.

Kronologis : Sebelum di vaksin difteri anak sehat, setelah vaksin ada demam lalu diberi obat, kemudian sembuh dan sehat kembali, bisa menyusu seperti biasa. Namun ada gejala pilek susah nafas kemudian meninggal dunia pada tanggal 20 Desember 2017, jam 4 pagi. Diagnosa dokter : Anas meninggal di perjalanan akibat gagal nafas dan bukan karena vaksinnya.

Sumber berita : Tetangga.

6. Hairunisa. Perempuan. 20-an tahun. Kuliah di Jakarta.

Kronologis : Suntik di Kampus Yarsi, Cempaka Putih. Tgl. 4 jan 2018 dapat vaksin pagi di kampus, kejang sebentar pingsan, cerita temannya. Dibawa ke klinik kampus. Disitu sadar, lalu dibawa oleh supirnya pulang ke rumah siang harinya.

Sumber berita : Pak Darsim (supir keluarga).

7. Dr. Lula Adilia SpOG. Wanita. 41 tahun. Bandung.

Satu keluarga dr. Lula disuntik di RS. Limijati dengan batch yang sama, namun yang memiliki keluhan hanya dr. Lula. 1 hari kemudian tidak enak badan, panas badan, dan sesak nafas lalu dirawat di ruang biasa di RS Melinda, tambah sesak. Dipindah ke RS HS cardiac arrest, di rjp, bisa membaik, sudah di ruangan malahan ada rencana pulang. Habis subuh, suaminya habis sholat menemukan istrinya apneu, di RJP langsung sama suaminya selama 1,5 jam. Sempat dirawat di ICU sampai pasang ventilator juga. Ada perbaikan, lalu dipindahkan ke ruang biasa. Ketika mau pulang, ngedrop lagi, sampai maksimal resusitasi akhirnya meregang nyawa 2 minggu setelah vaksin, tepatnya Sabtu, 6 Januari 2018 pukul 07.43 WIB. dr. Lula sebelumnya adalah orang yang sangat sehat, tidak pernah punya penyakit bawaan seumur hidupnya. Seluruh keluarga (diantaranya banyak dokter2 ternama) mengungkapkan bahwa kematian dr. Lula tidak ada hubungannya dengan vaksin. Dugaan sementara karena miokarditis. Investigasi sedang berlangsung.

Sumber berita : berbagai sumber di FB (saya tidak wawancara langsung ke keluarganya).

8. Arsy. Perempuan. 3 bulan. Pontianak, Kalimantan.

Arsy menerima vaksin pagi tgl. 3 Desember 2018. sepulang vaksin demam, tapi berhubung termometer tidak ada, jadi tak terukur. Gejalanya demam dan ada reaksi kejut, dan sering menangis, serta bengkak kemerahan di lokasi suntikan. Kalau lagi enak tenang Arsy diam tapi kalau ada gerakan sedikit atau suara batuk langsung tekejut, ketika lagi menyusu kalau bangun sebentar gerak sebentar langsung nangis. Pada riwayat vaksinasi sebelumnya (vaksin BCG) Arsy juga pernah demam sehabis vaksinasi, karena itu sempat urung tidak lanjut vaksin lagi namun karena desakan keluarga lalu akhirnya vaksin difteri. Akhirnya di opname di RS, esok sore harinya sudah bisa pulang dan sehat kembali.

Sumber berita : Dea Dominikus (ibu).

9. Tearsya Khariztiani. 11 tahun. Kelas 4 SDN Kedawung 1. Kampung Lampeyan, Desa Kedawung, Kecamatan Lemah Abang, Kabupaten Karawang.
Tearsya dan Ibu

Kronologi : Vaksin difteri hari Sabtu, 6 Januari 2018 di sekolah pagi harinya lalu malam harinya mulai merasa lemah bahkan sampai mengalami pendarahan (seperti menstruasi) dan nafas sesak seperti terecekik dan demam tinggi lalu dilarikan ke Klinik Wadas Medika, klinik angkat tangan lalu dirujuk ke RSUD Karawang pada Selasa (9 Januari 2018) lalu sang anak menghembuskan napas terakhirnya.
Keluarga sudah dikunjungi oleh pihak Dinkes dan Reskrim Polres Karawang, hasil investigasi masih berlangsung. Kata keluarga Icha (panggilan akrabnya) tidak pernah disuntik sebelumnya, belum jelas apakah punya riwayat penyakit sebelumnya atau tidak.
Dari sumber lain :
Ayah Tearysa, Sardi, mengatakan pada Sabtu (6/1/2018), putrinya mendapat imunisasi yang dilakukan petugas Puskesmas Lemahabang di sekolahnya, SDN Kedawung 1. Karena Tearysa mengalami demam tinggi, Sardi kemudian membawanya ke Puskesmas Lemahabang. Akan tetapi, kata dia, pihak Puskesmas Lemahabang mengaku tidak sanggup. Saat dia hendak membawa Tearysa ke Klinik Medika, petugas puskesmas menyarankan Tearysa dirujuk ke RSUD Karawang. "Pada Senin pagi saya membawa anak saya ke RSUD Karawang. Setelah mendapat perawatan selama 24 jam, nyawa anak saya tidak tertolong dan meninggal dunia pada Selasa (9/1/2018) siang," ungkap Sardi. Setelah mengetahui putrinya meninggal, kata dia, Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang kemudian memberikan santunan sebesar Rp 600.000. Baca juga: Begini Cara Iluni UI dan FKUI Melawan Hoaks tentang Difteri Kepala Bidang Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Karawang Sri Sugihartati mengatakan, saat Tearysa dibawa ke rumah sakit, waktu itu sudah panas 39 derajat, kesadarannya dan tensinya turun, serta turgor-nya tidak bagus. "Di situ sementara didiagnosis sebagai sepsis, diare akut, dan dehidrasi," jelasnya. Dia membantah panas dan diare yang diderita Tearysa karena efek samping vaksin difteri. Menurut Sri, panas tersebut bisa saja disebabkan oleh diare. "Jadi untuk saat ini kami tidak bisa memberikan diagnosis bahwa meninggalnya Tearysa karena vaksin difteri, sebab hari Minggunya sudah diare dan panas," kata dia. Meski demikian, kata Sri, semua laporan medis sudah dikirim ke Bandung untuk kemudian diteliti lebih lanjut. Terlebih lagi, Sri mengaku mendapat informasi bahwa Tearysa sebelumnya memakan seblak. " Vaksin dan seblak tidak ada hubungannya. Kalau seblak ada hubungannya dengan diare. Kalau vaksin yang diberikan tetes itu ada efek samping berak-berak. Jadi karena vaksin diberikan dengan cara suntik maka enggak ada efek samping," ungkapnya. Sementara itu, Kapolres Karawang AKBP Hendy Febrianto Kurniawan mengatakan, pihaknya melalui Polsek Lemahabang sudah menawarkan otopsi kepada keluarga Tearysa. Namun, pihak keluarga menolak jasad Tearysa diotopsi. "Untuk mengetahui penyebab kematian, seharusnya keluarga setuju diotopsi.Tetapi, pihak keluarga menolak dan menerima kematian Tearysa," kata Hendy.

Sumber berita : Moch Imron Zain, Endang Lestari (sahabat-sahabat dari Pak Sardi (ayah)), Noura (Ibu dari anak), Radar KarawangRegional KompasKlikbalikpapan.

10. 86 siswa di sekolah Sabilul Muhtadin, Desa Pakisrejo Kecamatan Rejotangan, Tulungagung, Jawa Timur.

Kronologis :

Hari Jumat (5 Januari 2018) diadakan vaksinasi Difteri bagi sekitar 150 siswa. 40 siswa diantaranya sakit. Selain 40 siswa MI, 46 siswa Raudlatul Athfal atau TK juga satu persatu jatuh sakit.
Jumlah siswa di yayasan pendidikan itu menurut keterangan sekolah berjumlah sekitar 700 an siswa, 150 diantaranya telah divaksin Difteri tanggal 5 Januari. Gelombang berikutnya rencana akan di lakukan vaksin lagi tanggal 16 Januari yang akan datang.
Gejala yang dirasakan siswa diantaranya mencret, diare, pusing dan panas hingga akhirnya harus dilarikan ke puskesmas.
Kepala Puskesmas Rejotangan, Suliasih mengaku telah menerima laporan kejadian itu. Namun, hingga kini dirinya belum dapat menyimpulkan apakah puluhan siswa yang sakit pasca vaksinasi tersebut dampak dari vaksin Difteri atau penyakit lain.
“Kalau dari gejalanya sepertinya bukan, namun kami masih akan terus melakukan investigasi untuk memastikan penyebab sakit pasca vaksinasi, petugas kami masih dilapangan untuk lakukan pendataan,” paparnya.
Pihak sekolah mengatakan bahwa kejadian ini terjadi akibat cuaca. Orangtua siswa banyak yang kecewa terhadap jawaban sekolah.
Komisioner bidang kesehatan KPAI Sitti Hikmawaty mengatakan pihaknya telah berkoordinasi dengan IDAI dan aparat yang menangani di lokasi bahwa tidak benar akibat vaksin. Hasil penelusuran dengan pihak Kemenkes, didapat informasi bahwa hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien menunjukkan positif salmonella typhi yang diduga dari makanan. Selama murid vaksin, mereka mendapatkan makanan yang sama dari pihak sekolah.

Sumber berita : jatimtimesswamediumantaranews,

11. Sekitar 90 siswi dan santriwati dari 3 sekolah di Kecamatan Kadur, Kabupaten Pamekasan, Minggu (11 Februari 2018) mengalami pusing dan sesak nafas setelah mendapatkan suntikan vaksin difteri. Tiga lembaga pendidikan itu adalah MTs Al Falah dan SMA Al Falah di Desa Sumber Gayam, kecamatan Kadur, Kabupaten Pamekasan, Madura, serta MTs Hidayatul Mubtabiin, Desa Pancoran Barat, Kecamatan Kadur, Pamekasan.

Seorang siswi digotong ke mobil ambulans untuk dipindah ke puskesmas lain karena Puskesmas Kadur tidak mampu menampung korban yang terus berjatuhan. Sumber gambar : detiknews.

Kronologis : Sehari sebelumnya (Sabtu pagi, 10 Februari 2018), para santriwati itu menjalani imunisasi difteri yang dilakukan petugas puskesmas Kadur. Imunisasi itu digelar di sekolah sekitar pukul 08.30 WIB. Namun keluhan mual, sesak nafas dan pusing baru dirasakan malamnya. Beberapa bahkan dirawat di Puskesmas Kadur.
Namun karena jumlah siswi mengalami keluhan serupa membludak, sementara Puskemas Kadur tidak mampu menampung mereka yang terus berdatangan, petugas terpaksa membawa korban ke Puskesmas Lararangan, Puskesmas Talang, Puskesmas Bulai Galis dan sebagian dirujuk ke RSUD Slamet Martodirjo, Pamekasan.
Sampai siang, sekitar pukul 13.30, jumlah korban tertus berdatangan.
Sebagian dari mereka bahkan sampai dibawa ke musala yang terletak di halaman rumah Moh Syaiful, anggota DPRD Pamekasan dan ditidurkan di lantai dengan beralaskan karpet.
Sedang untuk penyanggah botol infus, menggunakan tali rafia yang dibentangkan di dalam musalla. Begitu juga penanganan korban di Puskesmas Larangan. Lantaran ruang rawat dan tempat tidur yang tidak memadai itu, maka terpaksa beberapa korban ditidurkan di lantai di sejumlah ruangan dengan hanya beralaskan tikar.
Suasana kegaduhan orang tua dan keluarga yang datang ke Puskesmas Kadur dan Puskesmas Larangan tidak terhindarkan. Beberapa ibu terlihat histeris dan hilir mudik, sembari memanggil-manggil perawat supaya segera memberi penanganan kepada anak-anaknya.
Namun karena jumlah petugas di puskesmas terbatas, sementara korban terus bertambah, maka kondisi ini membuat panik orang tua.
Tidak hanya petugas medis yang dibuat kebingungan dengan membludaknya korban ini, sejumlah aparat TNI berpakaian dinas dan preman, termasuk aparat Polres Pamekasan ikut membantu menggotong tubuh korban dari ambulan menuju ruangan puskesmas.
Begitu juga Camat Kadur, Amirussaleh, yang meninjau ke Puskesmas Kadur, terlihat tegang. Beberapa kali dia menemui keluarga korban menanyakan kondisi anaknya. Kemudian koordinasi dengan aparat kepolisian dan koramil. Sebanyak lima unit mobil ambulan dikerahkan untuk mengangkut korban, untuk dirawat ke beberapa puskesmas dan rumah sakit. Ketika ambulan datang ke puskesmas dengan suara sirene yang meraung-raung menurunkan korban dan sebaliknya, sejumlah warga berebut mendekat untuk menggotong.
Kepala SMA Al Falah, Ponpes Sumber Gayam, Mohammad Jazuli ikut mengantar siswanya ke Puskesmas Kadur.
Namun esok harinya, Minggu (11/2/2018), sebagian dari mereka pulang, sebagian sudah dipulangkan. Sehingga siswi lain yang tidak apa-apa tetap masuk sekolah seperti biasa. Hanya saja beberapa siswa kembali mengalami hal serupa yang disusul siswa lainnya.
“Sebetulnya jadwal untuk pemberian vaksin difteri ini akan dilakukan Senin (12/2/2018), besok. Tapi kenapa tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada kami, jadwalnya dimajukan pada Sabtu kemarin. Dan sebagian besar dari siswi yang mendapat suntikan ini belum sarapan,” ungkap Jazuli.



Sakit massal yang semula hanya terjadi di Pondok Pesantren Al-Falah, Sumber Gayam, pada Minggu sore meluas dan terjadi hal yang sama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin, Dusun Pancoran.

"Tapi di Pesantren Hidayatul Mubtadiin lebih sedikit, hanya lima orang saja," ujar Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Pamekasan Ismail Bey, Minggu (11/2/2018) malam.

Ismail Bey menjelaskan, kasus sakit massal pasca imunisasi difteri di Pamekasan itu merupakan kali pertama terjadi. "Sebelumnya, tidak pernah terjadi terjadi seperti ini," ujar Ismail.

Kasus santri sakit massal setelah mengikuti Outbreak Response Immunization (ORI) Difteri oleh petugas medis dari Puskesmas Kadur tersebut, kini membuat para orangtua murid resah.

Sebagian orangtua santri meminta agar pemerintah provinsi dan pusat hendaknya turun tangan, menyelidiki vaksin yang disuntikkan kepada santri di Pesantren Al-Falah itu.

"Jadi, ini murni faktor psikologis saja. Ada satu santri yang pingsan, kemudian santri lainnya juga ikutan pingsan," ucap Bey. 

Pada Minggu sore, Sekretaris Dinkes Sampang Ali Maksum menyatakan, jumlah santri yang mengalami sakit massal sebanyak 46 orang, namun hingga malam, meningkat menjadi 80 orang, termasuk lima santri dari Pesantren Hidayatul Mubtadiin.

Para santri yang mengalami sakit massal itu umumnya merupakan santri putri dengan gejala yang sama, yakni demam tinggi, mual dan muntah-muntah, bahkan ada diantara mereka yang sempat pingsan. Demikian dilansir Antara. (red)

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes RI, Oscar Primadi, menegaskan sakit yang diderita para santri madrasah tsanawiyah (MTs) dan madrasah aliyah (MA) di ponpes itu adalah reaksi dari ketakutan mereka. Kondisi mereka yang belum sarapan juga diduga mempengaruhi.

"Kejadian yang terjadi adalah reaksi ketakutan dari para santriwati setelah divaksinasi dan kondisi santriwati yang belum makan pagi maupun setelah diimunisasi. Tidak ada hubungannya dengan vaksin," ujar Oscar dalam keterangan tertulisnya, Kamis (15/2). "Berdasarkan pemantauan Dinkes Provinsi Jawa Timur, kondisi vaksin tidak ada yang kedaluwarsa. Dan suhu lemari es sesuai standar yaitu 2 sampai 8 derajat celcius," ucap Oscar.

Sumber berita : tribunnews, kumparan .

12. Siswa/i Labschool Kebayoran Jl. KH. Ahmad Dahlan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Diantaranya, Disya dan Kamal (15 tahun).


Siswa yang pusing dan sesak usai suntik difteri (gambar dari detik.com) 

Kronologis : Suntik vaksin difteri dilakukan kepada siswa-siswi Labschool Kebayoran. Pantauan detikcom di Labschool Kebayoran, , Kamis (21 Desember 2017), beberapa siswa yang telah suntik difteri kembali ke dalam ruang kelas tempat dilakukannya penyuntikan. Namun, usai penyuntikan, beberapa siswa mengeluhkan pusing dan sesak nafas. Dokter langsung mengecek tensi darah dan mengukur kadar oksigen dalam tubuh Disya. Setelah diperiksa, dokter mengatakan Disya dalam kondisi baik.
dr Anastasia dari RS Brawijaya mengatakan terdapat efek samping dari suntik vaksin. Di antaranya adalah pegal, pusing, hingga sesak nafas. Ada beberapa reaksi alergi yang perlu diperhatikan salah satunya adalah gatal-gatal, muncul kemerahan, ada rasa sesak nafas, ada rasa pusing mau pingsan sampai keringat dingin.

Sumber berita : detiknews

13. Maulana. 6 tahun. TK B.

Habis vaksin tanggal 13 Februari 2018, jam 11, 10 menit kemudian lemes, tetapi tidak langsung pulang karena menunggui adiknya yang masih bermain. Lalu Maulana dibonceng budenya bersama dengan ibu dan adiknya naik motor. Maulana duduk tepat dibelakang bude namun di perjalanan semakin lemas mengeluh mau muntah dan pusing. Lalu sang ibu memutuskan untuk kembali ke sekolah, untungnya masih ada nakesnya. Maulana minta buang air besar di sekolah. Lalu dikasih teh hangat dan roti. Bibir mulai merah. Tapi kuku tangan kaki masih putih, dan dingin. Suhu naik ke 37.6. Lalu ditunggu sampe jam 11.30 tidak ada perbaikan. Lalu diajak ke Puskesmas naik ambulans, diobservasi disana sampe jam 13.00 berikut denyut nadi dan tekanan darah. Suhu tubuh naik menjadi 38.6. Dokter yang menangani terdengar konsul dengan 'atasan'nya (Dinkes Kota Malang atau dokter spesialis, agak lupa) melalui telepon. Jam 13.00 diputuskan diinfus, dirujuk ke RS, sang ibu minta untuk dirujuk ke RS Hermina, sebelumnya ditawari ke RSUD karena yang paham pihak RSUD tetapi ibu tidak bersedia. Lalu ke sana naik ambulans, diantar 2 petugas puskesmas. Biaya kebetulan ada dari BPJS. 
Sebagai tambahan informasi, Sebelumnya, Maulana juga telah mengalami KIPI pasca vaksin MR, gejala yang dialami berupa otitis media dan bolak balik ke dokter, namun tidak ada satupun yang berkata vaksinlah penyebabnya. Di kejadian KIPI kali ini, awal-awal pun dibilang dokternya karena mungkin anaknya kecapean bermain atau lapar namun semua disangkal oleh ibu. Sebelum vaksin Maulana dalam kondisi yang sehat, tidak sedang batuk dan pilek. Akhirnya dokter mau mengakui bahwa sang anak alergi dari vaksinnya sehingga dokter memutuskan untuk menulis diagnosa "alergi vaksin" di kartu vaksinnya supaya Maulana tidak divaksin kembali untuk selanjutnya.

Sumber berita : Rakhmawati Dewi (Ibu di Wa dan FB).

14. Abizar (1,8) dan Ahmad Iyas (1,8), asal Dusun Karumba, Desa Nupabomba, Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala.

Kronologis : Menurut informasi dari ayah Abizar di media, Albizar dan Ahmad Ilyas adalah saudara sepupu satu rumah disuntik vaksin pada tanggal 10 Januari 2018.
Abeng menjelaskan, pada malam hari usai disuntik vaksin, Abizar mengalami deman tinggi dan sebagian badan Abizar juga mengalami lebam, sementara Iyas mengalami kejang dan kaku.
Namun, kata dia, informasi yang disampaikan petugas kesehatan, kalau anak mengalami sakit, maka itu merupakan reaksi dari obat dan bisa berkonsultasi dengan Puskesmas terdekat.
"Setelah itu, kami mengunjungi Puskesmas Tawaili dan jawaban dari petugas juga sama, yaitu gejala obat," ungkapnya.
Menurut Abeng, setiap hari, kondisi tubuh dari Abizar semakin lemah, sampai tidak bisa berjalan. Demikian pula saudaranya Iyas, sehingga dirinya bersama keluarga, langsung membawa ke rumah sakit.
"Saya bawa Abizar ke RS Anutapura dan Iyas di RS Madani," kata pria denga profesi supir itu.
Abizar merupakan anak kedua dari pasangan Abeng dan Yustina.
Abeng menuturkan, saat itu sang istri yang membawa Abizar untuk dilakukan imunisasi, dan berdasarkan pengakuan istri, kalau yang menyuntik bukanlah dokter tetapi petugas kesehatan yang juga tinggal di desa setempat.
Saat melakukan penyuntikan, petugas itu kata Abeng hanya meminta arahan dengan pihak Puskesmas melalui sambungan telepon seluler.
"Kalau umur sekian pak, pakai obat apa," kata Abeng yang mengutip perkataan istrinya.
Abeng sangat menyayangkan kejadian itu, karena yang diketahuinya, bahwa imunisasi selesai saat anak berumur sembilan bulan. 
"Ini ada lagi suntikan yang namanya Boster atau apalah bentuknya itu, kami hanya mengikuti saja," imbuhnya.
Lebih parahnya lagi kata Abeng, sejak kejadian itu hingga saat ini, belum ada konfirmasi atau penjelasan atau pun kunjungan dari Dinas Kesehatan, atas kejadian yang menimpa anaknya itu.
"Kami masuk di rumah sakit sejak tanggal 6 Februari 2018 lalu, hanya ada tiga orang datang, katanya dari Ombudsman,: ungkap Abeng.
Abeng berharap adanyanya tanggungjawab dari Dinas Kesehatan setempat, karena kejadian ini muncul setelah dilakukan suntik vaksin.
"Alhamdulillah pelayanan RS Anutapura sudah baik, sudah dua kali difoto rontgen, walaupun kami hanya menggunakan jaminan surat keterangan tidak mampu (SKTM)," tutup Abeng.
Sementara Kepala Dinas Kesehatan Donggala, Muzakir Ladoali yang dikonfirmasi dari Palu mengatakan pihaknya belum mendapatkan informasi tentang kasus tersebut.
"Saya belum tahu kasusnya, nanti saya konfirmasi dulu bidang terkait itu," tutup Muzakir.

Sumber berita : Sulteng Antaranews.

15. M Lutfi Akmal Al Azzam. 1 tahun. Banyuwangi, Jawa Timur.

Kronologis : Hari Selasa 13 Februari 2018, Lutfi diikutsertakan imunisasi gratis di posyandu desa oleh sang Ibu. Ibu mengimunisasikan anaknya dikarenakan banyak orang di desa yang berkata bahwa sudah ada yang kena wabah difteri dan tidak ada obatnya dan juga kondisi Lutfi saat itu sehat aktif dan tidak batuk pilek. Lutfi diimunisasi jam 10 pagi, pulangnya sang ibu langsung memberikan paracetamol kepada Lutfi, kemudian sang anak tertidur. Sore harinya, Lutfi mulai demam dan diminumkan paracetamol untuk kedua kalinya namun demam tak kunjung turun. Lalu sore itu (magrib) sang ibu membawa Lutfi ke bidan dan dari bidan dikasi obat penurun panas tetapi yang sudah ditumbuk halus. Sepulangnya ke rumah sang ibu meminumkan obat suhu demam kemudian turun namun mulai malam sampai dengan pagi harinya demam berlangsung terus menerus tapi setelah minum obat suhu demam kembali turun, begitu terus. Hari Kamis subuh, Lutfi demam disertai kejang hingga 2 kali. Dikarenakan khawatir, sang ibu membawanya ke dokter spesialis anak. Kata dokter, ini harus dirujuk ke RS. Sang ibu sedih luar biasa melihat anak terbaring lemas di RS dengan demam terus menerus disertai radang tenggorokan karena 3 hari 2 malam menangis terus menerus. Sang ibu tidak melaporkan kejadian tersebut kepada puskesmas tempat menyuntik. DI RS pun Ibu menceritakan anaknya sakit setelah divaksin, namun dokter tidak menjawab apakah itu KIPI atau tidak. Di RS tempat Lutfi dirawat, ada 3 balita lain yang mengalami hal serupa, kejang setelah vaksin difteri, diantaranya tidak demam langsung kejang, yang lain didahului demam lalu kejang.

Sumber berita : Fiqoh (Ibu di FB).

16. Azkha. 2,5 tahun. Banyuwangi, Jawa Timur.
Azkha ketika sehat

Kronologi : Sehabis vaksin tanggal 10 Februari 2018 di posyandu pagi hari, malam harinya Azkha demam tinggi, muntah-muntah, dan diare. Azkha tidak mau makan selama seminggu dan tanggal 16 Februari 2018 Azkha dilarikan ke RS Blambangan namun akhirnya meninggal dunia. Menurut informasi dari sang ibu, Azkha sebelum vaksin sangat sehat akan tetapi divaksin ketika dalam keadaan belum makan sama sekali tetapi ibu menyayangkan bidan tidak cek kondisi anak terlebih dahulu sebelum divaksin. Sayangnya sang ibu tidak melaporkan kasus ini ke nakes yang menyuntik. Akan tetapi selama berobat disampaikan bahwa anak habis vaksin namun tenaga kesehatan tidak ada yang mengakui ada kesalahan dalam kasus KIPI yang menimpa anaknya. Namun dikarenakan kasus Azkha tercium oleh wartawan dan diangkat ke media massa, akhirnya tanggal 22 Februari 2018, pihak Dinkes termasuk bidan yang menyuntik datang mengunjungi keluarga korban untuk meminta maaf dan juga memberi santunan sekitar 1 juta rupiah.
Azkha ketika sakit

Sumber berita : Mhimi Athalla Azkha (ibu Azkha, FB). Nama asli : Wiwik Suciati.

17. Aleesha Queena Aurora. Lahir tanggal 17 Agustus 2017. Umur 5 bulan. Serang, Banten.
Aleesha saat sehat
Kronologis : Ibu punya 3 anak, yang 2 masih balita (berumur 2 tahun dan 5 bulan). Tanggal 16 Januari 2018 di daerah tempat tinggal ada pemberian vaksin ulang atau yang ke dua kali untuk anak ke-3 ada jadwal imunisasi DPT 3. Sebelum disuntik, kedua balita sehat tidak ada keluhan apa pun.
Setelah divaksin kedua balita demam. Badan mereka lemas dan itu terjadi sampai berhari-hari. Bencana datang setelah beberapa hari tepatnya tanggal 21 Januari 2018, sang anak rewel, demam 39 C, menangis terus sampai berjam-jam dikasih asi tidak mau, digendong nangis ditidurin 
nangis. Sang ibu panik sampai ibu membuat status di FB bagimana cara mengatasi anak yang rewel. Ada teman ibu menyarankan untuk dibalur bawang merah. Setelah dibalur bawang perut putrinya akhirnya anak bisa tidur dan mau menyusu walau tidak lama. Selang beberapa waktu anak mulai diare sampai berkali-kali. Ada yang bilang itu wajar pada bayi. Akhirnya ibu membawa putrinya berobat. Obat langsung diminumkan oleh sang ibu namun tidak berpengaruh. Anak tetap diare. Esoknya (tanggal 22 Januari 2018) anak dibawa ke puskesmas lalu oleh dokter dirujuk ke RS. Sampai di RS, anak langsung diinfus, tidak diberi obat apa pun. Badannya demam, perutnya kembung, dan diare tidak berhenti. 
Aleesha saat koma
Pagi hari jam 5 pagi, anak dipindah ke ruang rawat. Saat masih di UGD sebelumnya anak masih dalam keadaan sadar, masih menangis dan menyusu, bahkan menyusunya lebih kuat dari biasanya. Namun saat masuk ruang rawat di situ tubuh anak sudah lemah, sudah tidak menangis, hanya nafasnya saja yg tersengal-sengal. Selang 1 jam di ruang rawat, anak mengalami kejang, ibu panik dan berpikir itu bukan kejang anak-anak karena sebelumnya tidak punya riwayat kejang. Dokter bilang paru-parunya penuh riak, tapi selama hidupnya sang anak tidak pernah batuk. Sakit pun baru 1 x selama hidup nya itu pun panas dikasih paracetamol sembuh. Jam 7.15 anak kejang untuk yang pertama kalinya, selama 60 detik. Kejang yang kedua jam 08.30 tidak lama seperti yang pertama. Kejang ke-3 jam 9.55 ini lebih lama dari yang pertama. Sudah masuk semua selang di hidung dan mulutnya. Tepat pukul 10.20 tgl 23 Januari Aleesha pergi meninggalkan sang ibu untuk selama-lamanya dengan tubuh penuh memar warna biru. Ayah Aleesha sempat menduga apa ini gara-gara vaksin. Tetapi sang ibu berusaha meyakinkan diri bahwa semua ini ketentuan Allah dan tidak melakukan pelaporan ke petugas yang menyuntik.

Sumber berita : Elly (ibu di fb dan wa)

18. Ratusan santri pondok pesantren Madinatul Ulum, Jenggawah, Jember, Jawa Timur mendadak pingsan massal.

Kronologis : Tanggal 27 Februari 2018, diadakan vaksinasi massal difteri kepada ratusan santri di pondok pesantren Madinatul Ulum oleh Puskesmas Jenggawah. Setelah vaksin, mendadak ratusan santri pingsan masal. Sesudah siuman, bukannya sehat malah para santri menjalani kejadian lanjutan berupa buang-buang air besar, mual, pusing dan panas tinggi. Menyaksikan ratusan santri kesakitan, pengurus pondok pesantren Madinatul Ulum, Karim, menghubungi orangtua para santri untuk lekas datang.
“Waktu Maghrib barusan langsung sudah ada yang panas, kejang-kejang, bergantian itu terus hingga malam ini malah barusan barusan sudah ada 2 santri lagi menjadi korban. Yang divaksin itu, murid Tsanawiyah dan Aliyah”, kata Karim.
Sementara Siti Maryam, salah 1 orangtua santri menyampaikan bahwa keadaan anaknya tambah terus melemah sesudah disuntik vaksin difteri. Pengurus pondok pesantren juga membawa lekas anaknya ke Puskesmas Telumbangan untuk mendapatkan perawatan medis.
“Aku dibel sama pak Ustadz pengurus pondok pesantren Madinatul Ulum yang memberitahukan anak ibu sakit, langsung aku berangkat. Begitu hingga disini anak aku mau semaput, tidak dapat telan panas gini”, ujar Siti Maryam dengan nada khawatir.
Polisi waktu menyelidiki dengan melihat keadaan para santri Ponpes Madinatul Ulum.
Buat santri-santri yang kondisinya tak parah, dirawat oleh tim medis Puskesmas Jenggawah di salah 1 ruangan yang sudah ada pondok pesantren Madinatul Ulum.
Saat dikonfirmasi perihal kejadian pasca penyuntikan massal vaksin difteri, Kepala Puskesmas Jenggawah, Dokter Nuri, menolak untuk menjelaskannya kepada jurnalis antv newsplus. Peristiwa itu, sekarang ditangani oleh petugas Polsek Jenggawah dengan meminta keterangan dari beberapa saksi mata.

Berikut rekamannya di video Youtube :


Sumber berita : terbaru.

19. Nazwa Fahira Andrean. 10 tahun. Kelas 4 SDN 01 Rawa Buntu, Serpong.

Kronologis : Usai menjalani suntik difteri awal Februari 2018, Nazwa tidak mengalami efek samping apapun. Kejadian bermula pada Jumat 23 Februari 2018 sekira pukul 07.00 WIB. Seperti biasa, Nazwa berangkat sekolah ke SDN 01 Rawa Buntu. Kebetulan, di sekolahnya tengah digelar lomba tari. Mengetahui Nazwa memiliki riwayat sakit Asma, beberapa guru lantas menanyakan kesanggupan Nazwa untuk mengikuti lomba tersebut. Walau akhirnya diputuskan, jika Nazwa memilih tak bergabung bersama teman-temanya dalam kegiatan itu karena kondisi fisiknya terasa lemah. Sekira pukul 13. 00 WIB, Nazwa pulang sekolah dan beristirahat di rumah. Dia kembali melanjutkan kegiatan pada sore hari dengan pergi mengaji sekira pukul 17.00 WIB, di TPA yang tidak jauh dari SDN 01 Rawa Buntu. Seusai mengaji itulah, Nazwa mengeluh sesak nafas semakin menjadi, bahkan disertai batuk dan pilek. Karena khawatir dengan kondisi anaknya, lalu sekira pukul 18.00 WIB pihak keluarga membawa korban ke klinik Alhakim, sayangnya tak ada dokter ahli disana. Kemudian orangtua memindahkan Nazwa ke Puskesmas Rawa Buntu. namun tak lama kemudian, pasien menjerit sakit dan wajahnya membiru serta pupil matanya membesar. “Dikira kesurupan, lalu dibawa ke klinik Al-Hakim. Karena tidak ada dokter, dibawa ke Puskesmas Rawa Buntu pukul 18.20 WIB,” ungkap ayah Nazwa, Ririn kemarin.
Sementara itu, Kepala Puskesmas Rawabuntu, Hartono mengatakan, pasien datang sekitar 18.20 WIB dalam keadaan pucat dan nadi tidak teraba, tubuh juga sudah dingin. Kemudian dibantu dengan bantuan hidup dasar atau bantuan pernapasan dan dinyatakan meninggal pukul 19.05 WIB tanggal 24 Februari 2018. “Menurut keterangan keluarga, penyakit asma Almarhumah sering kambuh,” imbuhnya.
Polres Tangsel sendiri mengaku telah melakukan penyelidikan terhadap meninggalnya Nazwa usai suntik difteri. “Kami sudah melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi yakni Guru di SDN 01 Rawabuntu” ujar Kasat Reskrim Polres Tangsel AKP Alexander Yurikho.
Alexander menambahkan, Nazwa mempunyai riwayat penyakit Asma dan Sinus. Menurutnya, informasi yang menyebut Naswa meninggal karena suntik Difteri tidak akurat. “Menurut keluarga korban, pasien awalnya mengeluh sakit karena asma dan telah diuap dengan nebulizer di rumah, Jadi belum pasti karena suntik difteri,” pungkasnya.

Sumber berita : bisnisjakartamerdekaokezone 

20. Muhammad Hasby Jalu Palestin, 2,5 tahun asal Dusun Cibenda RT 11/03 Desa Makmurjaya, Kecamatan Jayakerta.

Kronologis : Berniat ingin terhindar dari virus difteri, namun berselang sehari setelah divaksin malah mengalami kelumpuhan. Anak kelima dari pasangan Edi (42) dan Masni (35), pada Kamis (15/2) lalu, mengikuti imunisasi difteri di Posyandu Durian IV yang dilaksanakan Puskesmas Jayakerta. Namun balita yang lahir bertepatan dengan meletusnya perang Palestina-Israel tersebut keesokan harinya mengalami demam tinggi, dan terjadi perubahan pada fisiknya yang menyebabkan tidak dapat berdiri pada Jumat (16/2) malam.
Masni mengatakan, sebelum disuntik difteri anaknya dalam kondisi sehat dan lincah seperti balita pada umumnya. Namun setelah diimunisasi, kondisi anaknya sungguh mengkhawatirkan dan diduga mengalami kelumpuhan. "Sebelumnya anak saya sehat, namun setelah disuntik difteri di posyandu sekitar 09.00, reaksinya terasa ketika pukul 12.00. Kondisinya panas dan lemas tidak bisa berjalan seperti biasa," ujar Masni kepada Radar Karawang di kediamannya, Selasa (27/2).
Ia melanjutkan, seminggu sebelum diimunisasi, anaknya itu mengalami batuk dan pilek. "Waktu itu kami kasih obat parasetamol," tuturnya.
Karena khawatir melihat kondisi anaknya, Edi membawa anaknya ke Rumah Sakit (RS) Proklamasi Rengasdengklok, Rabu (21/2) sore, sekitar pukul 17.00. Namun tak banyak perubahan, hingga saat ini balita tersebut tidak bisa menggerakan kaki dan tangannya. Bahkan hampir tidak bisa menopang kepalanya sendiri karena lemas pada bagian leher. "Karena demamnya semakin tinggi, saya bawa ke RS Proklamasi. Mau dibawa ke puskesmas sudah tutup. Dan pihak rumah sakit menyarankan untuk dirujuk ke RSUD Karawang atau RS Hasan Sadikin Bandung, tapi kan perlu biaya banyak. Sedangkan kondisi ekonomi kami lemah, karena seminggu sebelumnya, kakaknya juga baru pulang dari rumah sakit," keluhnya.
Edi berharap anaknya bisa sembuh seperti sedia kala. Karena dia tidak tega melihat penderitaan yang dialami Hasby yang tidak bisa bermain seperti biasanya. "Saya tidak tega, sepanjang hari dan malam anak kami nangis terus. Tak tahu rasa sakit apa yang dirasakannya," harapnya.
Sementara itu, Case Manager RS Proklamasi Rengasdengklok Nurdiana membenarkan menerima pasien balita bernama Muhamad Hasby dengan keluhan mengalami kelumpuhan, Rabu (21/2). Dia juga mengatakan jika keluarga bayi malang itu memberi keterangan kelumpuhan terjadi setelah disuntik difteri. "Memang dari keluarga mengatakan penyebab penyakitnya setelah disuntik difteri, tetapi kami belum bisa memastikan penyebab sebenarnya. Karena diperlukan pemeriksaan lebih lanjut," ungkapnya.
Selain itu, keterbatasan alat yang dimiliki RS Proklamasi, kata Nurdiana, pihaknya menyarankan keluarga Hasby membawanya ke RSUD Karawang atau RS Hasan Sadikin Bandung. "Kami rujuk namun keluarga memilih pulang atas permintaan sendiri," ungkapnya.
Hingga berita ini ditulis, pihak Puskesmas Jayakerta belum memberikan keterangan resmi. Pasalnya saat berusaha dikonfirmasi, petugas yang menangani imunisasi balita tersebut tidak berada di tempat, bahkan telepon genggamnya pun tidak aktif saat dihubungi. "Yang menanganinya ini kan mantri Ahmadi, sekarang gak ada, teleponnya juga gak aktif," ujar Bidan Koordinator Kesehatan Ibu dan Anak Leni Predica.
Saat ini kejadian tersebut ditangani Polsek Rengasdengklok. Ditemui di kediaman keluarga Hasby, terlihat Kapolsek Rengasdengklok Kompol Suparman beserta jajarannya melihat kondisi balita yang diduga menjadi korban imunisasi difteri. 





KARAWANG, KOMPAS.com - Muhamad Hasby (2,6) diduga mengalami lumpuh layu setelah divaksin difteri pada 15 Februari 2018 lalu. Setelah diperiksa lebih lanjut, dokter menduga Hasby terjangkit virus DBS. Hasby, anak kelima dari pasangan Edi dan Masni, warga Dusun Cibenda, RT 011 RW 003, Desa Makmurjaya, Kecamatan Jayakerta, itu sebelum divaksin masih sehat. "Sebelumnya sehat walafiat," kata Edi. Selang sehari setelah divaksin di Posyandu Durian VI, Desa Makmurjaya, Hasby mengalami panas. Selama tiga hari, Hasby juga mengalami demam dan lemas. "Ia tidak bisa berjalan seperti biasanya," kata Edi. Hasby kemudian dibawa ke Rumah Sakit (RS) Proklamasi. Pihak rumah sakit kemudian menganjurkan Hasby dirujuk ke RSUD Karawang atau RSHS Bandung. Namun pihak keluarga membawa pulang Hasby karena keterbatasan biaya. "Mungkin karena pertimbangan biaya," kata Camat Jayakerta, Budiman, ditemui di RSUD Karawang, Kamis (1/3/2018). Baca juga : Ada Enam Kasus Difteri, Dinkes Banda Aceh Berikan Vaksin kepada Siswa Awalnya, kata Budiman, pihaknya membujuk orangtua Hasby agar balita tersebut dirujuk ke RSUD Karawang. Meskipun awalnya menolak, akhirnya orangtua Hasby bersedia. Dokter Spesialis Anak RSUD Karawang, Didi Sukandi mengatakan, setelah diperiksa, lumpuh layu yang diderita Hasby tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Pihaknya menduga kuat Hasby terjangkit Guillain Barre Syndrome (GBS). Penyakit langka tersebut menjangkiti satu dari 40.000 orang setiap tahun. Didi menyebut, pengobatan GBS terbilang sulit, yakni harus dilakukan lima kali berturut-turut. Apalagi ketersedian obat di RSUD Karawang. Karena persediaan obat gamaras dan immunoglobulin terbatas, Hasby baru diberi obat tersebut satu kali. Harga obat tersebut cukup mahal, sekitar Rp 3,5 juta per botol "Kepalanya sudah bisa geleng-geleng, tetapi tungkal dan lengan masih lemas," terangnya. Oleh karenanya, ia menyarankan Hasby segera dirujuk ke RSHS Bandung untuk penanganan lebih lanjut. "Jika pengobatan tidak tuntas, dikhawatirkan virus tersebut menyerang saraf pernafasan dada," katanya. Baca juga : Dinas Kesehatan Jatim Bantah Santri Keracunan Vaksin Difteri Bupati Karawang Cellica Nurrchadiana meminta masyarakat bijak menyikapi dugaan Hasby mengalami lumpuh layu setelah divaksin difteri. Ia khawatir masyarakat menjadi resah. Sebab, setelah diperiksa, Hasby menderita GBS. Cellica bahkan mengaku siap membantu biaya pengobatan Hasby beserta biaya keluarga yang menunggui. "Keluarga tidak perlu khawatir," kata dia. Bahkan, pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan Tahun Anggaran (TA) 2018, pihaknya akan menganggarkan sekitar Rp 300 juta untuk pembuatan rumah singgah di sekitar RSHS Bandung.
Sumber berita : Radar Karawangkompas

21. Alhaz Celsia Rua. 7 tahun. Kelas 1 SDN 2 Desa Tawun, Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi.

Kronologis : tanggal 27 Februari 2018, Alhaz mendapatkan vaksin difteri di sekolahnya, lalu langsung mengeluh pusing dan mual serta demam tinggi yang akhirnya dibawa pulang. Pagi harinya baru dibawa ke Puskesmas Kasreman. Dan disuruh dibawa ke Rumah Sakit Widodo. Hingga akhirnya meninggal.
“Anak saya tidak punya riwayat sakit. Sebelum berangkat sekolah juga makan banyak, setelah diimunisasi malah sakit dan kemudian meninggal,” ungkapnya sembari meneteskan air mata.
Kepala SDN 2 Tawun saat dikonfirmasi membenarkan, bahwa salah satu siswinya diduga meninggal pasca disuntik vaksin difteri. “Setahu kami awalnya sehat. Pihak sekolah tahu kalau korban meninggal dari orang tuannya,” tuturnya.
Sementara, Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Ngawi Yudhono yang saat itu mendatangi rumah duka tak mau disalahkan. Dia berkilah meninggalnya Alhaz Celsia Rua diduga akibat terserang radang otak. “Banyak anak yang divaksin juga biasa saja,” kilah Plt Kadinkes Ngawi Yudhono.
Hingga jenazah dimakamkan, belum ada keterangan resmi apakah kasus tersebut akan diusut secara hukum atau tidak. Kendati di beberapa daerah sudah banyak balita/anak diduga meninggal dunia pasca divaksin difteri, seperti dilansir sejumlah media.

Sumber berita : koranmemofaktualnews.

22. Arga. 3 bulan. Pati.

Kronologis : Awalnya anak sehat dan ceria tanpa ada tanda-tanda sakit seperti lesu atau lemas. Hari Senin pagi tanggal 12 Februari 2017 mendapatkan imunisasi, siang mulai demam tapi dikasih obat sembuh. Dia demam 2 hari tetapi setelah diminumi obat sembuh. Kamis, dia mulai batuk ringan. Jumat fajar batuknya disertai sesak dan tidak mau menyusu. Ibu membawa ke rumah sakit didiagnosa radang paru dengan kondisi yang lumayan parah padahal sebelumnya tidak pernah batuk-batuk parah.
Setengah hari di ruang perawatan dirujuk ke ICU dan dirawat selama 14 hari tanpa ada perbaikan dan akhirnya tidak tertolong.

Sumber berita : Septi (ibu) melalui mbak Fitri Thinker Parents.

23. Moreno Bilqist Althof Khanayanto. 10 tahun. Lahir 24 Maret 2008. Kelas 4 SD Al-Hikmah SDMT Ponorogo.

Kronologis : Anak ikut imunisasi masal di sekolah bulan Oktober 2017. Naasnya, anak divaksin diam2 oleh pihak sekolah tanpa persetujuan ibu. Dari lahir ibu tidak pernah vaksin anak2nya termasuk Moreno. Tidak punya riwayat penyakit tertentu sebelumnya dan sangat sehat sebelum divaksin. 3 hari setelah divaksin anak mimisan sedikit, namun sejak itu sering mimisan lama2 tidak berhenti-henti. Dibawa ke RS, lalu dokter bilang bahwa ini anak tidak kuat kena imunisasi dan kena saraf tepinya...sudah terapi sampai 9x drop terus hingga dirujuk ke RS Malang. Namun, dalam perjalanan ananda meninggal dunia tanggal 8 Maret 2018. Diagnosa dari dokternya ananda kemungkinan sudah punya bibit ITP dari lahir dan sel ITP atau Idiopathic thrombocytopenic purpura bangun dikarenakan vaksin MR. Pihak sekolah memberikan komoensasi bed rest bagi sang anak, dan tetap dinaikkan ke kelas 5 walau tidak bisa sekolah dikarenakan sering opname. Pihak dinkes sendiri tidak pernah menjenguk dan meminta maaf.


Moreno ketika sehat dan saat terbaring di RS 

Sumber berita : Pippid Sugiarto (Ibu dari anak, via inbox FB ke penulis).

24. Muhammad Mazzidan Al Mahdi. 5 bulan. Desa Bango, Demak.

Kronologi : Hari Senin, jam 7 pagi tanggal 5 Maret 2018 anak divaksin DPT 3 dan polio di rumah bidan dekat rumah. Kebetulan sebelum vaksin, di jempol anak ada semacam luka melenting (gelembung berisi air) di jempolnya. Orang tua anak sudah memberitahu ke bidan apakah masih bisa divaksin, bidan bilang tidak apa-apa tetap divaksin, namun bidan meresepkan antibiotik Etamox (amoxicilin), alkohol (untuk dioles ke luka) dan parasetamol yang harus diminumkan setelah vaksin. Lalu, setelah vaksin obat tersebut diminumkan ke anak sekitar jam 11 lalu kulit anak mulai kemerahan mulai dari bagian mulut. Ibu mengira anak kena sakit herpes, lalu membawa anak sekitar jam 1 siang ke bidan penyuntik namun bidan tidak ada di rumahnya. Jam 3 sore, anak tidak dimandikan karena agak demam, kulit anak mengelupas dan terus menangis. Jam 5 sore Ibu membawa anak ke dokter umum. Dokter meresepkan obat puyer. Sesampainya di rumah diminumkan puyer namun kulit memerah dan anak tidak berhenti menangis semalaman. Esok paginya, jam 5 pagi anak dibawa kembali ke dokter umum tersebut. Dokter meminta untuk menghentikan obat darinya. Lalu sang dokter memberi rujukan ke dokter kulit. Di dokter kulit, dokter belum tahu penyebabnya. Lalu anak dibawa pulang dan diminumkan obat dari dokter kulit (termasuk diberi krim dan sabun), obat dari dokter umum dihentikan. Sesampainya di rumah diminumkan obat dari dokter kulit kira-kira 2 kali. Sorenya, keadaan anak semakin parah karena setiap kulit tergesek dengan kain pasti mengelupas. Sementara kakek dari anak menelepon bidan untuk menanyakan penyebab anaknya sakit ke bidan. Bidan lalu datang ke rumah. Lalu anak segera dibawa ke RS NU Demak (Selasa sore, 6 Maret 2018) ditemani bidan, di RS tersebut dokter bilang bahwa ada dua kemungkinan yaitu alergi obat atau memang ada kuman di tubuh anak. Anak diminta oleh dokter untuk terus melanjutkan minum obat dari dokter kulit yang sebelumnya sambil diinfus. Hari Rabu sore (7 Maret 2018), orang tua memindahkan anak ke RS Mardirahayu di Kudus. Anak selalu menangis, dan hanya diam jika tertidur. Orang tua tidak memakai bpjs dikarenakan pelayanannya kurang maksimal, jadi biaya ditanggung semua sendiri. Hari Jumat, tanggal 9 Maret 2018 pihak Dinas Kesehatan bersama bidan dan petugas puskesmas Demak datang menjenguk ke RS, sekedar untuk menanyakan perihal kondisi anak. Dinkes menyampaikan pesan kepada sang ibu agar ayahnya tidak emosi dan bersabar karena penyebabnya belum diketahui dan masih diselidiki. Menurut informasi dari sang ibu, di vaksin yang sebelumnya (setiap vaksin selalu ke bidan desa tersebut), anak tidak pernah mengalami efek samping. Menurut ibu, anak tidak pernah punya penyakit riwayat alergi sebelumnya ataupun penyakit lain. Tanggal 10 Maret 2018 luka mulai mengering dan anak mulai mau menyusu setelah sebelumnya tidak mau menyusu. Pihak dinkes dan bidan yang menyuntik sempat mengunjungi korban di RS namun tidak mengatakan akan mengganti biaya perawatan. Didesak terus oleh keluarga korban, akhirnya tgl 12 Maret 2018 bidan datang kembali dan bidan berjanji akan menanggung 50% biaya RS.

Sumber berita : Hargono (ayah korban) melalui FB a.n al Mahdi.


Al Mahdi saat di RS 

25. Nizam. 1 tahun. Sempang, Riau.

Kronologis : 2 hari setelah anak divaksin di posyandu 14 Maret 2018, di bagian pantat pas bekas suntikan ada benjolan, tanya ke bidan katanya suruh kompres air hangat, sudah dikompres sudah di kasih tomat, malah makin besar, lalu mampir ke klinik di periksa dokter, anak di operasi kecil, di bagian benjolan, nanah banyak banget ada setengah gelas. Dokternya juga bingung, kenapa suntik imunisasi di pantat, karna setau nya suntik itu di paha dan lengan. Anak adalah pasien ke 3 di klinik itu yang mengalami hal seperti ini. Update 11 April 2018, Nizam sudah membaik walau masih harus kontrol.

Sumber berita : Erlis Naiya Pinem (Ibu korban melalui FBnya).

26. Rafis. 6 bulan. Daerah Bruno, Purworejo.

Kronologis : Bayi lahir di puskesmas tgl 16-10-2017 BB 3400 gr PB 49cm.. sebelum pulang bayi diimunisasi Hepatitis B ke 0. Tgl 16-11-2017 imunisasi BCG Polio 1.. tgl 15-2-2018 mendapat imunisasi DPTHib1 Polio 2 , tenaga kesehatan menjelaskan efek imunisasi 1-2hari panas, anak panas 2 harian. Tgl 15-3-2018 mendapat imunisasi DPTHib 2 Polio 1. Tenaga kesehatan menjelaskan efek imunisasi 1 -2 hari akan panas. Rafis mengalami panas 2 harian. 3 hari berikutnya anak panas dan diperiksakan ke tenaga kesehatan anak sudah tidak panas. Tgl 25-3-2018 pagi anak panas dan kejang ( saat pengajian Rejeban ) terus anak dibawa pulang ke rumah oleh orang tua. Malam harinya anak kejang lagi. Tgl 26-3-2018 pagi anak kejang lagi. Sekitar siang jam 12an anak dibawa orang tua ke puskesmas. Anak dirawat di Puskesmas 3 hari dan boleh pulang karena sudah tidak panas dan tidak kejang. Beberapa hari setelah pulang anak kejang lagi. Orang tua memanggil pak kyai/ orang pintar/ dukun untuk mengobati anaknya yang kejang. Pak kyai / orang pintar / dukun memberi jamu ke orang tua untuk diminumkan ke anaknya. Orang tua memberikan jamu tersebut ke anak. Tgl 2-3-2018 sejak sebelum subuh / malam anak tidak mau minum ASI. Tgl 2-3-2018 jam 16.00 Orangtua telfon tenaga kesehatan kenapa anaknya masih lemas. Oleh tenaga kesehatan anaknya disuruh segera dibawa ke pkd untuk di periksa.. beberapa menit kemudian anak dan orang tua sampai di PKD..saat sampai di pkd anak sudah dalam keadaan lemas dan tidak sadar dan langsung dirujuk ke puskesmas.. sampai di puskesmas anak langsung di rujuk ke RS Tjitro. Rafis menghembuskan nafas terakhirnya tanggal 21 April 2018.

Sumber berita : Sofie, teman komunitas yang tinggal sekota dengan ibu korban, melalu mba Seliawati.

27. Muhammad Aliando Putra Lutfi. 5 bulan. Kraksaan, Jawa Timur.

Kronologis : Awalnya bayi mendapat vaksin HIB 2, hepatitis B, DPT 2, polio 2. Total ada dua suntikan, paha kiri dan paha kanan. Hari pertama, bayi demam. Hari ke 2 mulai sesak napas. Opname 3 hari namun masih sesak akhirnya dirujuk ke Mitra Keluarga. Sekarang dirawat di rumah sakit, harus disedot cairan yang ada di paru-parunya.

Sumber berita : Suwandi.

28. M. Azka Rafasya. 14 bulan. Gedangan, Jawa Timur.

Kronologis : Sebelum menerima vaksin difteri di posyandu oleh bidan tanggal 19 Februari 2018, anak sehat-sehat saja. Sepulang vaksin, anak masih terlihat sehat-sehat saja, malamnya masih bermain seperti biasa dan tidurnya juga nyenyak. Pagi harinya, anak menangis , biasanya disusui tidak nangis lagi, namun anak terus menangis. Lalu sang ibu menggendongnya dan ajak jalan-jalan dan anak terdiam, namun ibu mendengar napasnya sesak sekali, dikira ibu tersedak air ludah. Anak tidak demam. Lalu oleh Ibu dibawa ke bidan penyuntik, namun bidan tidak ada di tempat karena lagi tugas ke puskesmas. Lalu ibu membawa anak ke puskesmas, lalu cerita apa yang terjadi dan oleh dokter anak diuap dan diberi obat dan diminta untuk pulang. Keesokan harinya ada orang yang bilang mungkin anaknya sawan, disuruh pijet di tukang urut, karena keadaan ibu saat itu bingung lalu apa kata orang dituruti saja demi kesembuhan anak. Setelah diurut keadaan anak tidak berubah. Keesokan harinya, ibu menelepon bidan penyuntik memberitahu keadaan anak yang tidak ada perubahan walau sudah diuap dan diberi obat dokter, ibu memberitahu sang bidan nanti mau dibawa lagi anak ke bidan. Namun bidan berkata, tidak apa-apa itu hanya efek imunisasi, diminumkan saja terus obatnya dan air putih hangat. Namun ibu sudah tidak sabar karena anak sudah semakin lemas, akhirnya ditengah hujan deras ibu membawa anak naik motor dengan jas hujan sampai di RS anak diopname, dipasang infus dan oksigen. Dalam 1 hari anak diambil darah 9 suntikan. 2 hari anak diopname, lalu akhirnya menghembuskan napas terakhirnya tanggal 26 Februari 2018. Dokter bilang meninggalnya karena infeksi pernapasan karena ada dahak yang ga bisa keluar. Azka adalah anak dan cucu pertama dari keluarga besarnya.


Azka ketika dirawat di RS 

Sumber berita : Zanty Azkha (FB, ibu dari M Azka).

29. Nisywa Syazania Ariethadifa (5 bulan). Tanggal lahir 5 Februari 2018. Duren Sawit, Jakarta Timur.

Kronologis :
"Awalnya saya habis pulang mudik Lebaran dari kampung suami, di daerah Bojonegoro. Berhubung saat itu tidak dapat tiket pulang ke Jakarta, akhirnya telat sebulan dari waktu yang diinginkan sehingga jadwal vaksinasi anak saya molor hingga sebulan. Saya sampai di Jakarta tanggal 9 Juli 2018. Berhubung sudah hampir masuk sekolah (saya ngajar sebagai Guru PAUD), jadi saya pikir baiknya Nisywa diimunisasi saja sekarang DPT 2 dan Polio tetes, berhubung kondisi anak sedang sehat saat itu. Karena takut molor lagi dari jadwal imunisasi (karena ini pun sudah telat sebulan), akhirnya hari Kamis, tanggal 12 Juli 2018 pagi-pagi, saya membawa Nisywa ke Puskesmas untuk diimunisasi. Di puskesmas tidak ada bidan yang biasanya melayani, namun ada perawat dibantu bidan pengganti. 



Nisywa sebelum vaksin, sehat.
Setelah disuntik di paha sebelah kanannya dan diberi vaksin tetes, Nisywa biasa saja. Lalu kami pun pulang ke rumah sambil membawa obat penurun panas dari bidan. Sepulang ke rumah, Nisywa langsung saya beri obat penurun panas, sesuai anjuran bidannya. Kala itu kondisi dia masih stabil, tidak ada demam. Namun, malam harinya Nisywa mulai anget, lalu diminumkan obat penurun demam kembali. Pagi harinya, Nisywa mulai muntah-muntah, walau malamnya tidur nyenyak walau demam ringan. Lima kali dia muntah asi, lalu saya ganti bajunya dan saya balur bawang merah dan minyak kayu putih. Nisywa tetap muntah meski dalam posisi tidur. Saya tidak terlalu khawatir namun demam berlanjut naik turun. Hari Jumat muntah sudah berhenti. Sampai akhirnya Sabtu, demam masih berlanjut. Namun Nisywa masih aktif mau bermain. Sampai akhirnya saya harus membedongnya supaya ia bisa beristirahat, saya bilang ke dia "Ya Allah dek, kamu itu lagi sakit, istirahat dulu dek" namun dia tetap tidak mau dibedong dan keluar dari kasur. Barulah saya ngobrol sama suami, "ini bagaimana demamnya Nisywa masih naik turun pak..bagaimana ini?" suami bilang mungkin karena kecapaian habis mudik dari Lebaran, bagaimana kalau diajak ke tukang pijat. Akhirnya saya membawanya ke tukang pijat. Namun saat dipijat, tiba-tiba Nisywa diare. Oh saya pikir bagus nih, keluar racunnya, pasti lebih enak badannya. Setelah itu, kami pulang. Nisywa masih kuat dan aktif bermain seperti biasa. Saya masih bertahan dengan obat penurun panas. Bapaknya bilang "yaudah sudah agak mendingan kan itu kondisinya", namun saya berpikir "bagaimana kalau Nisywa diperiksakan saja" namun bapaknya tidak kuat karena juga kebetulan lagi sakit. Seisi rumah sedang sakit semua ketika itu. Akhirnya, saya pikir tidak apa-apa nanti sore saja beli obat penurun panas yang baru ditambah Lacto-b untuk menetralisir racunnya. Akhirnya saya beli dan memberikan obat tersebut pada Nisywa malam minggu itu. Malam itu Nisywa lebih anteng dari sebelumnya. Ayah Nisywa bilang "ya mungkin karena ada efek obat tidur dari obatnya itu".
Akhirnya tiba hari Selasa, Nisywa masih demam. Namun saya harus mengantarkan kakak Nisywa untuk sekolah. Di sekolah saya ceritakan ke teman-teman bahwa Nisywa sakit setelah imunisasi dan teman-teman menasihati saya untuk ke bidannya lagi untuk melapor supaya bidan bisa tanggung jawab. Sepulang dari sekolah, saya minta ke suami lagi untuk mengantarkan berobat namun waktu sangat mepet dengan jadwal kerja suami, jadi mendingan nunggu suami pulang kerja baru berobat. Siang harinya, saya tidur nyenyak berdua dengan Nisywa, ia masih menyusu walau tidak begitu banyak seperti biasanya. Namun saya merasa ada yang berbeda dari anak saya, dia lebih diam dari biasanya sampai akhirnya saya tanya, "kamu kenapa dek? kok diam saja?" perasaan takut mulai menggerayangi hati saya. Langsung saya telpon suami saya, namun tidak diangkat, akhirnya suami pulang ke rumah sebelum maghrib. Mungkin suami saya juga punya perasaan ga enak jadi pulang lebih cepat dari biasanya. Habis maghrib saya bilang ke Nisywa,
"Dek sebentar ya dek nanti ibu gendong, habis ini kita periksa ya dek",
"sabar ya dek..."
Lalu saya sholat maghrib. Kakaknya Nisywa minta makan, lalu saya goreng sosis dulu untuknya. Habis kakaknya makan, Bapaknya gendong Nisywa, dan tiba-tiba dia kejang tanpa demam. Kami semua panik dan langsung meninggalkan pekerjaan rumah dan pergi ke Rumah Sakit. Bidan yang menangani saat itu bilang "bu ini kejang bu! Cepat bu, langsung dibawa ke RS yang alatnya lengkap saja", akhirnya kami langsung naik motor cepat ke RS yang dimaksud. Kejangnya dia itu diam saja, tidak terlihat kejang namun kaku saja. Dan ternyata sesampainya di RS tersebut alat pun juga tidak lengkap. Perawat RS tersebut memberitahu "ibu lebih baik ke RS lain yang lebih lengkap", akhirnya kami membawa kembali Nisywa mencari RS yang dimaksud. Sesampainya di RS tersebut, saya memohon2 pertolongan pada suster di sana. Nisywa langsung ditimbang dan dipasangin alat. Dan Nisywa masuk ke ruang PICU. Di situlah mulai anak saya tidak bereaksi apa-apa.
Selama perawatan di PICU, hari demi hari Nisywa bukannya membaik, kondisinya justru semakin banyak mengalami kemunduran dan saya hampir selalu menerima berita buruk dari dokternya. Dokter menjelaskan bahwa mau tidak mau Nisywa harus cuci darah, supaya dibersihkan dulu saluran kencingnya. Dokter juga bilang paru-paru yang kena akibat diarenya...dan yang akhirnya, Nisywa divonis gagal ginjal oleh Dokter. Mau ga mau, Nisywa harus cuci darah. Saya tidak bisa membayangkan seorang bayi mungil dicuci darahnya. Hancur hati ini...namun saya pesan ke dokter,
"Dok, apapun caranya lakukan saja dok yang penting anak saya sembuh dok",
"Ya bu, saya usahakan namun kalau mau cuci darah harus ke RSCM bu, namun antrinya bisa berbulan-bulan" kata dokter.
Saya kaget.
"Lalu bagaimana dengan anak saya dok, kondisinya kayak begini??",
"udah sementara di sini saja diberi cairan saja supaya bisa keluar air seninya" jawab dokter.
Sampai anak saya bengkak, hanya cairan dan cairan dimasukkan ke tubuh mungilnya.
Setiap hari saya melihatnya tanpa respon sedikitpun..
Ya Allah..Kapan anak saya bisa sembuh?
..kapan ada perkembangan kamu deek...
Masa anak saya begini terus ya Gusti...
Dek..kamu bangun dek..bangun nak...
Saya tidak bisa apa-apa lagi...
Seminggu sudah tidak ada perubahan...



Nisywa ketika di ICU
Ya Allah dek..teman-temanmu sudah banyak yang pulang ke rumah semua, kamu sendirian yang belum bangun dek, kamu kabarnya mana dek? Bangun dek...
Hari Senin pagi Dokter bilang bahwa Nisywa sudah tidak bisa keluar saluran pembuangannya, baik BAB maupun BAKnya, sudah sangat membengkak tubuhnya.
Saya berusaha tidak menyerah dan berpikir terus bagaimana caranya supaya anak saya ditangani lebih baik, akhirnya saya lari ke puskesmas,
"Bu tolong anak saya kritis bu..saya mau ga mau harus dipindah ke RS yang lebih bagus. Saya mau anak saya diselamatkan bu".
Akhirnya bidan membantu mengeluarkan dari RS itu saja, namun tidak membantu proses pemindahan ke RS lain. Saya diminta mengurus administrasi, saya dan suami bingung, hanya meninggalkan uang Rp. 500.000 dan KTP kami berdua.
Perawat bilang "Bu yang sabar ya buu.." sambil menguatkan saya.
Bidan penyuntik juga sempat mengunjungi dan menanyakan siapa yang dulu menyuntik Nisywa, saya bilang kayaknya anda yang ikut memegang kakinya ketika Nisywa disuntik...
Dari pihak dinkes juga pernah datang menawarkan bantuan mau membantu pengurusan BPJS selain membantu ngomong ke RSnya untuk pindah ke RS lain. Dinkes berulang kali menanyakan kronologis. Saat itu, Dinkes ijin pulang dulu tapi nanti janji mau datang lagi untuk membantu kepindahan saya ke RS rujukan.
Namun ternyata anak saya dirujuk ke RS yang lain (diluar yang dijanjikan), pihak Dinkes tidak ada satu pun yang menemani. Sampai RS tersebut ternyata banyak sekali orang-orang sakit sedang mengantri. Anak saya yang sebelumnya dari Ruang PICU dipindah ke UGD tentu membuat kondisinya menjadi tidak stabil kembali, sekuat tenaga saya memohon-mohon kepada dokter di sana untuk segera memindahkannya ke ruang PICU di RS tersebut.
"Dokter tolong anak saya dok..tolong anak saya.." hanya itu yang terucap dari mulutku sambil terus menangis.
Nisywa masih bertahan sampai ashar. Namun kami menunggu di UGD sampai maghrib tiba, kami masih belum dilayani karena masih harus urus administrasi. Akhirnya tiba waktu Isya, supaya menenangkan diri saya sholat dulu, bapaknya yang menunggu Nisywa. Namun detak jantungnya menurun drastis, hanya 24, bagaimana ini...
Namun akhirnya anak saya dinyatakan sudah meninggal dunia tanggal 23 Juli 2018 ini....
Dinkes pernah berjanji mau bantu melobi pihak Rumah Sakit untuk keringanan biaya 50% tapi ditunggu-tunggu tidak datang juga kabarnya. Akhirnya suami yang ke Dinkes namun rumusnya jadi dibalik oleh Dinkesnya bahwa saya diminta untuk cari bantuan biaya di tempat lain terlebih dahulu seperti Dompet Dhuafa dan bantuan lain, baru sisanya Dinkes mau coba melobikan ke RS. Tidak ada permintaan maaf juga dari Dinkesnya. Cukuplah ini menjadi pelajaran bagi kami untuk lebih waspada terhadap vaksin.

30. Qira. 8 bulan. Nusa Tenggara Barat.

Kronologis : Paginya disuntik vaksin MR, malamnya badan deman. Demamnya hilang tapi 5 hari setelah itu demamnya datang kembali disertai kejang-kejangdan abses di bekas suntikannya. Badan juga membiru. Dulu, sebelum suntik Qira gemuk semejak di suntik mulai mengurus dan kulitnya kekuningan. Qira meninggal Bulan Juni 2018. Bidan penyuntik tahu akan hal ini, namun dinkes lepas tangan. Dinkes setempat bilang ke keluarga Qira bahwa Qira sakit setelah vaksin MR karena tubuh Qira yang tidak kuat menerima obatnya. Sang ibu berkata bahwa Qira adalah anak yang sehat tidak punya penyakit apapun sebelumnya.

Sumber berita : Ayuk Risky Ryan Nizar (tetangga korban, via FB ke penulis). Tetangga mendapat informasi langsung dari ibunda korban.

31. 
33 anak (13 siswa SD dan 20 siswa SMP) di KSB Kecamatan Seteluk, Kabupaten Sumbawa Barat.
Siswa yang sakit (Sumber : Suarantb)
Kronologis : 
Puluhan siswa dari sejumlah sekolah di kecamatan Seteluk terpaksa dilarikan ke Puskesmas setempat, Rabu, 1 Agustus 2018. Mereka mengeluh sakit setelah sebelumnya mengikuti imunisasi rubella yang dilaksanakan di sekolahnya.
Informasi yang diperoleh Suara NTB, para siswa tidak langsung merasakan keluhan sakit sesaat setelah menjalani imunisasi. Mereka baru ada yang merasakan gejalanya saat sekolah usai dan pulang ke rumah masing-masing. Di rumah mereka baru mulai merasakan pusing, mual, hingga ada muntah-muntah.
Para orang tua mereka pun langsung panik dan melarikan anak-anaknya ke Puskesmas Seteluk. Di Puskemas anak-anak yang terdiri dari siswa SD dan SMP ini kemudian mendapatkan perawatan dengan cara diinfus agar kondisinya kembali normal.
Pihak Dinas Kesehatan (Dikes) Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) yang dikonfirmasi mengenai kejadian itu tidak menampiknya. Kabid Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P), H. M. Yusfi Khalid yang dikonfirmasi wartawan, mengatakan, pihaknya telah menerima laporan tersebut dan melalui Puskesmas Seteluk telah diberikan penanganan langsung. “Sudah ditangani dan informasinya sebagian anak sudah bisa pulang karena kondisinya sudah stabil,” terangnya.
Menurut dia, kondisi yang dialami anak-anak tersebut secara klinis tidak disebabkan karena vaksin rubella yang baru dimasukkan ke tubuh mereka. Hal itu lebih disebakan, kondisi fisik anak yang kemungkinan tidak siap menjalani proses vaksinasi.
“Kalau memang vaksinnya yang bermasalah pasti ada laporan dari kecamatan Sekongkang dan Brang Ene yang juga hari ini jadwalnya. Tapi sampai sekarang tidak ada kasus seperti itu dari dua kecamatan itu ke kami sampai sekarang,” timpalnya.
Ia menjelaskan, gejala yang dirasakan para siswa terhitung normal dan bersifat kasuistik. Biasanya anak-anak yang tidak siap divaksin cenderung mengalami stres sehingga menurunkan stamina mereka. Terlebih kemungkinan anak-anak yang mendapatkan perawatan tersebut saat akan divaksin tidak terlebih dahulu mendapat asupan yang cukup.
“Makanya ada rasa mual. Dan rasa stres pada anak saat akan diimunisasi itu pasti ada karena prosedurnya kan pakai suntikan,” paparnya.
Yusfi pun menegaskan, kegiatan vaksin rubella bagi anak-anak sangat aman. Selain dijalankan melalui program khusus secara nasional, petugas-petugasnya pun terlebih dahulu telah mendapatkan pelatihan khusus. “Lagian kalau bermasalah vaksin ini tentu sejak tahun lalu sudah dihentikan. Kan tahun 2017 program ini sudah dilaksanakan di pulau Jawa dan tahun ini untuk luar Jawa termasuk kita di NTB ini,” cetusnya.
Karenanya ia berharap, kasus yang terjadi di kecamatan Seteluk tidak membuat para orang tua menolak agar anaknya divaksin rubella. Sebab program vaksin tersebut tujuannya untuk meningkatkan imunitas anak pada serangan penyakit campak. “Program ini sengaja secara nasional untuk memastikan anak-anak Indonesia umur 9 sampai 15 tahun benar-benar kebal dari penyakit campak,” sebutnya.

Selanjutnya ia juga mengimbau, kepada para orang tuan agar menyiapkan anak-anaknya ketika akan dilaksanakan kegiatan vaksinasi di sekolahnya. Terutama memberikan sarapan cukup sebelum ke sekolah serta memberikan pengertian, jika pemebrian vaksin rubella itu untuk kesehatan mereka. “Jadi kami sampaikan lagi, bahwa kegiatan imunisasi ini sepenuhnya aman,” imbuhnya.

Sumber berita : Suarantb

32. 
Muhammad Afif Elkhairi Samosir. 11 September 2005. Kabupaten Batubara, Kecamatan Limapuluh, Medan.



Kronologis : Rabu, 4 Agustus 2018 diadakan vaksin MR di sekolah. Pihak sekolah tidak memberitahukan wali murid terlebih dahulu akan diadakan vaksinasi MR. Puskesmas baru memberitahukan sekolah ketika anak-anak sudah pulang sekolah pada hari Selasa. Paginya (hari Rabu) baru diumumkan bahwa hari itu akan diadakan vaksinasi, tidak sempat memberitahu wali murid. Akhirnya anak ikut disuntik. Memang anak memiliki riwayat penyakit ISPA sebelumnya. Sebelum suntik, anak dalam keadaan sehat. Setelah suntik, m
alamnya demam dan mengeluh tiba-tiba perutnya sakit, sampai muntah-muntah. Muntahnya sudah kuning, kaki dingin, pucat, kepala pusing.

Orangtua bingung siapa yang bertanggung jawab dari kejadian ini. Pihak puskesmas hanya minta data pasca imunisasi dan ambil foto, sedangkan pihak sekolah juga cuma datang sebelum dibawa ke puskesmas. Biaya pengobatan hanya pakai askes yang dimiliki orangtua. Bapak dari anak berpendapat, semoga ini dapat menjadi pelajaran untuk kita semua, kesalahan prosedur vaksinasi dapat merugikan pihak orng lain.
Diagnosa dokter, anak sakit tipus. Gejala tipus ada yang sama ada juga yang tidak sesuai kondisi, hanya reaksinya pasca vaksin. Diagnosa ini membuat bapak anak menjadi bingung. Tipus itu sendiri pada umumnya punya gejala awal, namun pasca vaksin lalu drop mengapa bisa langsung didiagnosa kena tipus.

Sumber berita : Bang Asril Simpado (ayah dari anak via FB inbox ke penulis).
Terakhir, saya mohon maaf jika ada kesalahan dan banyak kekurangan dalam menyusun data ini.

33. Elyssa Cahaya Putry. Lahir tanggal 28 April 2011 jam 9.30. Kelas 1 SDN Dadap 2 Juntinyuat, Indramayu, Jawa Barat.

Elyssa
Kronologis : Elyssa menerima vaksin di sekolah, kurang ingat vaksin apa. Lalu Elyssa mengalami lumpuh selama seminggu kemudian kejang, tanpa demam. Akhirnya dilarikan ke RS namun sehari di sana nyawa anak sudah tidak tertolong. Elyssa menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 9 Desember 2017 pukul 9.30. 

Sumber berita : Benny Runtah band ( ayah dari Elyssa via inbox FB dengan penulis).

34. Laudia Lavega (13 tahun di tahun 2018, ketika kejadian kipi). Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. 

Kronologis : Tanggal 2 Agustus 2018 Laudia divaksin MR di sekolahnya di SD Negeri 01 Situjuh Ladang Laweh, sorenya mengeluh sakit kepala sebelah kanan. Keadaannya makin parah di tanggal 8 Agustus. Tantenya meng-upload foto-foto Vega di Facebooknya.
Dinkes membantah keterkaitan sakitnya Vega dengan vaksin MR. Begitu juga Bupati Kabupaten Limapuluh membenarkan pernyataan Dinkes.
"Tidak ada hubungan sakit Vega ini dengan imunisasi. Jika berefek samping, pasti seluruh badannya yang kena. Bukan syaraf dekat mata kanan saja," kata Bupati.
Sebaliknya wakil bupati, Ferizal Ridwan meradang mengapa masih diadakan vaksinasi MR dikala MUI mengeluarkan pernyataan menunda vaksin MR sampai jelas kehalalannya. Akhirnya Bupati dan wakil Bupati sepakat untuk menunda vaksin MR sampai keluarnya fatwa halal dari MUI.

Vega ketika mengalami KIPI
"Dinas kesehatan sudah saya suruh evaluasi total dalam imunisasi ini. Agar lebih aman dan tidak ada lagi persoalan maupun isu yang berkembang nanti," kata Bupati.Sedangkan Dinas Pendidikan langsung meninjau kondisi para siswa yang sudah mendapatkan imunisasi. Pasalnya, ada laporan kepada Wakil Bupati, Ferizal Ridwan yang menyebutkan korban imunisasi berjumlah lima siswa. Masing-masing di sekolah daerah Taeh, Kecamamatan Payakumbuh dan Lareh Sago Halaban."Semua koordinator UPT Pendidikan di masing-masing kecamatan kami kerahkan untuk meninjau kondisi para siswa pasca imunisasi," kata Plt Kadis Pendidikan Limapuluh Kota, Indrawati.

Sumber berita : covesia



35. Rizki Wahyu Purnomo (12 tahun). Lahir tahun 2006. Lokasi Pontianak Utara, Kalimantan Barat.

Kronologis : Mendung duka menyelimuti keluarga Purwanto (39). Anak sulungnya, Rizki Wahyu Purnomo (12) meninggal dunia setelah dua hari dirawat di RSUD Soedarso. Murid kelas VI SD 17 Pontianak Utara itu mengembuskan napas terakhir pada Minggu (12/8) dini hari. Kondisi kesehatan Wahyu mulai menurun sejak Jumat (3/8) lalu. Dia mengalami flu. “Anak saya mengalami pilek waktu itu,” kata Purwanto mengenang anaknya. Satu hari berselang Wahyu mengikuti Vaksin Measles Rubella di sekolahnya. Vaksin dilakukan bersama dengan murid lainnya. “Setelah itu anak saya merasa pusing. Sebelumya kondisi kesehatan sempat dicek suhu tubuh normal meskipun dia (Wahyu) dalam keadaan pilek,” kata pria berusia 39 tahun ini. Dua hari setelah itu, pusing yang dialami Wahyu juga tak hilang. Meski sempat dilarang, Wahyu tetap nekat masuk sekolah di hari Senin (6/8). “Sempat dilarang tapi masih tetap mau sekolah. Saat di sekolah itu, Wahyu bermain dan kemudian terjatuh,” cerita Purwanto saat ditemui di kediamannya Jalan 28 Oktober Gang Bimasakti 3 Jalur 2. Kemudian Selasa (7/8) malam Purwanto berinisiatif membawa Wahyu ke dokter praktik karena pusing masih terasa. Wahyu bahkan merasa sakit di bagian dada. “Kemudian Kamis malam anak saya muntah dan demam,” jelas Purwanto. Wahyu sempat menjalani perawatan di rumah sebelum dirujuk ke rumah sakit. Saat itu Purwanto juga sempat bertanya ke Puskesmas di Parit Pangeran mengenai kondisi anaknya. “Jawaban kepala puskesmas efek suntikan itu memang demam dan kepala pusing,” ungkap Purwanto. Masih dihantui kekhawatiran, pada Jumat (10/8) pagi, Purwanto membawa anaknya ke Puskesmas Telaga Biru. Di hari yang sama, dari puskesmas ini, Wahyu kemudian dirujuk ke Yarsi dan dan berlanjut dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah Soedarso Pontianak. “Kami masuk ke Soedarso itu sekitar pukul dua siang,” kata dia.
Di RS plat merah itu, Wahyu langsung mendapat penanganan medis di IGD. Awal ketika di IGD asam darah dan gula darah Wahyu tinggi. “Diagnosa gula darah tinggi sampai 400,” ucap Purwanto.
Kondisi dianggap belum membaik, Wahyu kemudian masuk ICU Soedarso. “Wahyu masuk ICU pas Maghrib,” kata Purwanto. Diagnosa pun bertambah ketika masuk ke ICU, yaitu radang otak, infeksi lambung dan leukosit tinggi. Ketika di ICU Wahyu sempat mengalami muntah darah hitam. 
Perubahan ke arah yang lebih baik juga belum terlihat. Wahyu kembali masuk ke ruangan ICCU RSUD Soedarso. “Ketika di ICCU, dokter saraf bilang terjadi pembengkakan di otak dan itu yang menyebabkan pusing. Kami diminta menunggu dokter anak pada hari Senin untuk mendapatkan penjelasan,” cerita Purwanto. Dua hari koma di rumah sakit, Wahyu pun mengembuskan napas terakhir Minggu (11/8) dini hari. 
Saat ini pihak keluarga kebingungan dengan banyak penyakit itu yang dialami Wahyu. Pihak keluarga meyakini Wahyu tidak mengalami penyakit apapun. Apalagi anak sulung dari empat bersaudara itu merupakan anak yang aktif berolahraga dan jarang jajan diluar. 
“Dari rentetan kejadian, gejala-gejala itu timbul setelah vaksin karena Wahyu tidak ada riwayat penyakit sebelumnya. Keluarga ikhlas dengan kejadian tentu ini menjadi pelajaran bersama,” ungkap Purwanto.
Terkait kasus yang dialami RWP anak berusia 12 tahun, yang diduga meninggal dunia akibat setelah melaksanakan Imunisasi MR. Komite Daerah Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KOMDA KIPI) Kalbar, selaku lembaga independen yang dipercaya menangani kasus tersebut serta Dinas Kesehatan Kalbar menegaskan jika korban meninggal dunia bukan disebabkan oleh vaksin Measles Rubella (MR), Senin (13/08/2018).
Pernyataan tersebut disampaikan langsung oleh KOMDA KIPI bersama Diskes Provinsi dan Diskes Kota Pontianak pada Press Conference di Ruang Sekretaris Dinas Kesehatan Kalbar.
Press Conference tersebut digelar untuk memberi penjelasan hasil investigasi KOMDA KIPI atas kasus yang terkait meninggalnya RWP, bocah kelas 6 SD yang diduga diakibatkan oleh vaksin MR.
Ketua KOMDA KIPI Provinsi Kalbar dr. James Alvin Sinaga SpA menjelaskan, jika kasus tersebut dari hasil investigasi tim ahli menyatakan, sebab meninggalnya RWP diakibatkan oleh pembengkakan pada otaknya (radang otak).
Menurut Alvin hal tersebut mungkin berhubungan dengan pasca korban diberikan vaksin MR di sekolahnya.
"Kesimpulan yang didapatkan penyebab kematian ini diduga ensefalitis berdasarkan hasil CT Scan, dan vaksin campak Rubella tidak menyebabakan terjadinya infeksi otak, sehingga kejadian ini merupakan koonsiden atau kebetulan memang anak ini meninggal akibat ensefalitis dan kebetulan sepekan lalu anak ini mendapat vaksinasi MR. Dan tidak ada hubungannya antara imunisasi campak Rubella dengan kematiannya, jadi ini adalah hubungan kebetulan," jelas Alvin.
Dengan hasil investigasi yang dilakukan oleh tim ahli dari KOMDA KIPI, selaku perwakilan dari Dinkes Provinsi Kalbar drg Harry Agung T menyatakan, akan terus melanjutkan program Imunisasi Measles Rubella dan meminta kepada masyarakat untuk lebih dapat memperhatikan informasi yang telah didapat.
Dijelaskannya, jika Imunisasi MR adalah upaya dari pemerintah dalam mengeliminasi penyakit menular campak Rubella.
"Program imunisasi MR ini adalah upaya untuk mencegah kejadian-kejadian dari penyakit-penyakit menular, sehingga program ini akan terus kita lakukan, dan mudah-mudahan masyarakat dapat memilah dan memilih informasi terkait imunisasi campak Rubella ini," ujarnya.
Hasil penelusuran tim investigasi KIPI
“Wahyu diimunisasi MR dalam keadaan sehat. Ini sesuai dengan screening yang diisi sebelum diimunisasi dan ditandatangani orangtua,” kata Ketua Komda KIPI Kalbar, James Alvin didampingi Kepala Dinas Kesehatan Kota Pontianak, Sidiq Handanu, Sekretaris Dinas Kesehatan Kalbar, Hary Agung Tjahyadi dan Dokter Anak dr Nevita di Ruang Kepala Dinas Kesehatan Kalbar, Senin (13/8) sore.
Dari hasil penelusuran, menurutnya Wahyu divaksin MR pada 2 Agustus 2018. Penelusuran dilanjutkan pada tempat Wahyu berobat. Yakni dokter praktik swasta di Siantan. Wahyu dibawa berobat karena mengeluhkan sesak napas dan sakit di bagian dada.
“Penyebabnya karena terjatuh. Keterangan ini kami dapatkan dari dokter,” kata Alvin. Kendati demikian, pada 4 hingga 9 Agustus, murid kelas IV SD 17, Siantan Hulu Pontianak Utara ini tetap bersekolah seperti biasa.
Kemudian tanggal 10 Agustus, Wahyu kembali dibawa ke Puskesmas Telaga Biru masih dengan keluhan sama. Anak sulung dari empat bersaudara itu merasa sesak dan nyeri di dada sebelah kiri. Dari Puskesmas Telaga Biru ini, Wahyu kemudian dirujuk ke RS Yarsi.
“Di perjalanan pasien ini sempat pingsan dan kondisi fisik terus menurun. Pemeriksaan di RS Yarsi gula darahnya 414. Ini mirip dengan orang yang menderita kencing manis,” jelas Alvin.
Karena keterbatasan fasilitas, Wahyu dirujuk kembali ke RSUD Soedarso Pontianak. Dari hasil pemeriksaan medis di rumah sakit ini, gula darah Wahyu masih tinggi. “Gula darah masih 414. Leukosit juga tinggi sebesar 23.379,” sebutnya.
Saat di RSUD Soedarso, kondisi kesehatan Wahyu terus menurun. Dokter yang menangani kemudian meminta pemeriksaan CT Scan. “Kesimpulan radiologi menyatakan terjadi pembengkakan otak, ensapilitis atau radang otak,” jelas Alvin.
Dari pemeriksaan itu Komda KIPI menyimpulkan penyebab kematian diduga ensapilitis (radang otak) yang berdasarkan CT Scan. “Kenapa disebut diduga, karena tidak sempat dilakukan pemeriksaan khusus virologi. Specimen yang harus diambil cairan dari sumsum tulang, maka istilah medisnya diduga,” jelas Alvin.
Alvin pun menegaskan dengan penelusuran itu maka meninggalnya Wahyu tidak ada hubungan selama sekali dengan pemberian vaksin imunisasi MR. Ia juga menegaskan bahwa vaksin MR tidak menyebabkan radang otak. “Jadi tidak ada hubungan. Kejadian ini hanya kebetulan. Pasien meninggal karena radang otak dan kebetulan minggu lalu mendapat vaksin MR,” jelas Alvin.
Dokter Spesialis Anak di Rumah Sakit Sudarso Nevita mengatakan vaksin MR tidak bisa diberikan jika anak mengalami sakit berat, termasuk yang menjalani kemoterapi karena itu akan membuat daya tahan tubuhnya turun.
“Jika selama anak itu dalam kondisi sehat, dan tidak ada kontraindikasi maka bisa diberikan vaksin MR,” kata dia. Oleh karena itu tenaga kesehatan dibekali petunjuk teknis dan mencermati riwayat kesehatan anak yang akan diiimunisasi.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Pontianak Sidiq Handanu memastikan tahapan imunisasi yang dilakukan terhadap Wahyu sudah sesuai prosedur. Seperti pemeriksaan suhu tubuh anak sebelum imunisasi. “Pemeriksaan suhu anak ini sebelum imunisasi 36,7. Suhu ini tidak termasuk kategori demam,” kata Sidiq.
Kemudian, orang tua juga mengisi formulir yang berisi pertanyaan soal kondisi anak sebelum imunisasi. Imunisasi baru dapat dilakukan jika disetujui orang tua. Dinas Kesehatan melengkapi formulir ini di tingkat puskesmas. “Form ini ditandatangani orangtua,” pungkas Sidiq.

Sumber berita : Pontianakpost , pontianak tribun news


36. Evillzha Faiqah. Murid kelas 1 SDN 79 Pagar Dewa Kota Bengkulu.



Kronologi : Evillzha masih terbaring lemas di Ruang VIP C5 RSMY tanggal 12 Agustus 2018. Ia terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena mengalami demam tinggi usai suntik vaksin MR di sekolahnya pada hari Sabtu (4 Agustus 2018).
Ibu Evillzha, Kashatimenuturkan, 14 jam setelah disuntik vaksin MR anaknya mengalami demam tinggi. Ia sempat memberi obatpenurun panas. Sempat turun, namun selang beberapa jam naik kembali.
"Hari Senin anak saya masih sempat sekolah. Sorenya kami membawanya ke IGD RS Ummi dan demamnya sampai 39 derajat" kata Kashati yang juga merupakan guru di SDN 79 Kota Bengkulu.
Setelah diberi obat, kondisi Evillzha membaik. Saat dicek di lab, menurutnya tidak ditemukan penyakit lain. Hingga dokter menyarankan untuk rawat jalan. Keluarga pun mengikuti saran tersebut. "Saya bangun subuh anak saya panas tinggi hingga saya membawanya ke IGD M. Yunus. Setelah diobservasi, demamnya kembali turun.
Tidak hanya Evillzha, menurutnya ada juga temannya yang sempat mengalami demam usai disuntik. Tetapi setelah dikasih obat, suhunya kembali turun. "Mungkin juga sebelum disuntik anak saya belum sempat makan. Makanya tubuhnya lemah", tambahnya.
Imunisasi MR dimulai serentak pada 1 Agustus - September 2018 ditujukan untuk bayi usia 9 bulan sampai anak usia 15 tahun.
Sementara itu kemarin, Kepala Dinkes Kota Bengkulu, Susilawaty mengatakan dia sudah mengunjungi Evillzha yang tengah dirawat di RS M. Yunus Bengkulu. Dia memastikan demam tinggi bukan disebabkan oleh pemberian vaksin. Sebab, menurutnya efek vaksin MR ini baru dirasakan oleh tubuh 12 hari untuk rubella dan 4 hari untuk campak. Sedangkan pasien tersebut, baru 12 jam setelah pemberian vaksin langsung mengalami demam tinggi.
"Pengakuan dari orang tuanya, saat pemberian vaksin ini, pagi harinya anaknya belum sarapan. Mungkin sebelumnya dia ini mau demam. Tapi saat disuntik vaksin MR ini, suhu tubuhnya belum panas. Mungkin ada kompilasi penyakit lain", terang Susilawaty.
Dia menegaskan pemberian vaksin ini hampir tidak ada efek samping. Pemberian vaksin ini juga diawasi dokter berpengalaman untuk mengawasi kejadian usai pemberian vaksin. Dia menghimbau pada masyarakat untuk tidak takut anaknya divaksin MR. karena ini bentuk ikhtiar bersama dalam memerangi penyakit campak dan rubella. Di Kota Bengkulu memang belum ditemukan kasus anak menderita penyakit ini. Namun di kabupaten dalam Provinsi Bengkulu sudah ada yang ditemukan.
"Jadi kalau yang mau menunggu fatwa halal haram MUI silahkan. Pemberian vaksin ini juga sampai September. Jadi masih ada waktu kita akan melakukan imunisasi ini. Bahkan kami akan jemput bola. Ada anak yang belum imunisasi akan buat pos di mall-mall untuk mereka bisa vaksin", terangnya.
Ditambahkan Kadis Kesehatan Provinsi Bengkulu Herwan Antoni, bahwa tidak ada efek samping yang berat akibat pemberian vaksin MR "efeknya hanya ringan demam, ruam kulit, nyeri di bagian kulit bekas suntikan. Kami juga akan mengecek dan mengunjungi anak yang demam ini. Mohon informasi lebih lanjut supaya petugas bisa mengecek", katanya.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPRD Kota Bengkulu Bahyudin Basrah mengatakan, selaku mitra kerja Dinkes, Komisi I akan segera akan memanggil Dinkes untuk membahas masalah pemberian vaksin MR ini. Terutama menyikapi adanya murid SD yang dirawat di RS setelah pemberian vaksin MR akan dibahas di tingkat komisi. "Nanti akan saya bawa ke Komisi I untuk supaya kita agendakan memanggil Dinkes untuk membahas masalah vaksin ini", katanya.
Dia mengatakan pemanggilan Dinkes ini harus dilakukan dengan cepat, sebab pemberian vaksin ini tengah berlanjut. Dengan penjelasan yang diberikan oleh Dinkes nantinya masyarakat bisa mengetahui aman atau tidaknya pemberian vaksin itu kepada anak-anak. "Inikan sudah mulai di Kota Bengkulu pemberian vaksinnya. Jadi memang perlu cepat kita hearing dengan Dinkes supaya bisa menjelaskan apa saja dampak dalam pemberian vaksin ini. Supaya masyarakat bisa tahu", tutupnya.


Sumber berita : harianrakyatbengkulu


37. M. Helmi Sultansyah (7,8 tahun). Murid kelas 2 SD N 1 Pasie Rawa, Kota Sigli, Pidie, Aceh.

Kronologis :
Murid kelas dua SDN 1 Pasi Rawa, Kota Sigli tersebut harus menjalani perawatan di rumah sakit plat merah itu sejak Senin (06/8/2018), karena tidak bisa menggerakkan kedua kakinya. Menurut keterangan Dewi Rani (32) ibu kandung M Helmi, anak sulungnya mengalamai hal itu usai disuntik vaksin measless rubella (MR) di sekolah.
“Kakinya tidak bisa digerakkan dan berdiripun tidak bisa lagi, ketika berdiri jatuh,” kata Dewi, kepada beritakini Sabtu (11/8/2018).
Beberapa hari sebelum launching kampanye imunisasi MR digagas, kata Dewi, Helmi mengalami sakit demam dan sudah mendapat penenanganan medis.
Pada tanggal 1 Agustus 2018, anaknya kembali bersekolah seperti biasa. Di sekolah tempat M Helmi menimba ilmu yaitu SDN 1 Pasi Rawa, dilaksanakan launching vaksin Imunisasi Measles Rubella (MR) kepada anak-anak.
Sebelum ke sekolah, Dewi sudah mewanti-wanti agar anaknya menolak untuk disuntik. Namun, tiba-tiba anaknya tetap disuntik dan itu dilakukan tanpa diketahui Dewi serta suaminya.
“Saya tanya ke gurunya, apa anak saya ada disuntik dan gurunya saja tidak tau, tapi tiba-tiba sudah disuntik,” kata Dewi.
Sejak disuntik MR, menjelang malam Helmi mengalami kejang-kejang dan demam. Dewi akhirnya membawa buah hatinya berobat ke rumah sakit. “Setelah itu, anak saya tidak bisa lagi bergerak,” kata Dewi.
Masih dengan nada terbata-bata, Dewi berharap anaknya bisa disembuhkan seperti sedia kala. “Kami berharap anak saya bisa berjalan lagi, itu saja,” katanya.
Pantaun di ruang M Helmi dirawat, dia harus digendong oleh orang tuanya untuk ke kamar mandi.
Petugas medis yang menjaga pasien enggan berkomentar terkait rekam medis M Helmi. Mereka mengarahkan agar dikonfirmasi ke Manajemen RSUD Tgk Chik DI Tiro Sigli.
M Nur, Wakil Direktur RSUD Tgk Chik DI Tiro Sigli dikonfirmasi Beritakini. via selularnya juga tidak bisa menjawab mengenai diagnosa pasien bernama M Helmi tersebut.
“Itu ranahnya pelayanan, jadi ke Bidang Pelananan saja di telpon,” ujar M Nur.
Dr Dwi Wijaya Kabid Pelayanan RSUD Tgk Chik Di Tiro Sigli dikonfirmasi mengatakan tidak mengatahui persis diagnosa pasien tersebut. Dia meminta awak media menunggu hingga Senin (138/2018), agar bisa mendapatkan data detail diagnosa dari dokter yang menangani.
“Karena sedang ditangani dokter, jadi kami konfirmasi dulu. Jadi jangan berkembang pula nanti diagnosa aneh-aneh, jadi kami minta waktu sampai Senin,” ujar Dwi.
“Kami minta waktu hingga Senin (13/8), karena sedang ditangani dokter, jadi tunggu hasil dulu. Jangan nanti berkembang informasi yang aneh-aneh, sehingga menimbulkan opini baru di masyarakat,” kata Dwi.
Sementara itu, anggota Komite Daerah Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komda KIPI) Aceh, dr Herlina Sp.A menjelaskan sebelum menentukan seseorang anak itu KIPI ada SPO-nya.
"Kita harus mengevaluasi secara paripurna, kalau pemeriksaannya belum selesai menyeluruh, bagaimana kita menyatakan bahwa klinis anak tersebut saat ini disebabkan imunisasi MR. Dan yang menyatakan apa itu KIPI adalah KomDa KIPI," tegasnya.

Sumber berita : balikpapan prokalmercinews



38. M. Arfah (13 tahun). Siswa SMPN 5 Takalar di Lingkungan Batu Maccing, Kelurahan Bulukunyi, Kecamatan Polongbangkeng Selatan.
Muh. Arfah semasa hidupnya

Kronologis : Seorang siswa SMPN 5 Takalar di Lingkungan Batu Maccing, Kelurahan Bulukunyi, Kecamatan Polongbangkeng Selatan bernama Arfah (13) meninggal dunia, Senin (13/8/2018) dini hari tadi. Korban meninggal hanya selang beberapa hari sejak diberi vaksin Measles Rubella (MR). Dari informasi yang dihimpun, Irfan diberi vaksi MR di sekolahnya pada Senin (6/9/2018). Sehari pasca divaksin, korban mengalami demam tinggi. Hingga hari ketiga pasca diberi vaksin suhu tubuh korban kian tinggi. Ia pun terpaksa dilarikan ke Puskesmas Bulukunyi, Polongbangkeng Selatan untuk mendapatkan perawatan. “Korban ini sehat sebelum diimunisasi di sekolahnya. Setelah diimunisasi dia demam tinggi selama dua hari di rumahnya,” ujar salah satu keluarga korban, Daeng Sibali. Keluarga korban yang lain bernama Herniyati Yusuf mengungkapkan bahwa usai divaksin, korban mengalami pembengkakan pada bagian lengan dan demam tinggi. Hingga dua hari di rumah sakit, kondisi korban tak kunjung membaik. Sehingga pihak keluarga memutuskan untuk membawa pulang korban. Kondisi korban kritis pada Minggu (12/8/2018) malam, sehingga pihak keluarga memutuskan membawa korban ke RSUD Padjonga Dg Ngalle. Namun, nahas belum tiba dirumah sakit, korban yang sedang dalam perjalanan meninggal dunia pada Senin (13/8/2018) sekitar pukul 03.00 Wita. “Setelah korban meninggal baru dokter datang untuk melakukan pengecekan darah, karena menurutnya dokter dari Puskesmas korban ini mengalami demam berdarah. Tapi kami langsung tidak menerima penawaran dokter itu. Buat apalagi dilakukan pemeriksaan darah kalau korban sudah meninggal,” kata Daeng Sibali. Saat ini jenazah korban telah dimakamkan pemakaman keluarga di lingkungan Batu Maccing, Kecamatan Polonbangkeng
Selatan, Kabupaten Takalar.
Irfan saat hendak dikuburkan
Meninggalnya siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) 5 Takalar yang diduga karena vaksin Rubella (MR) ditepis Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Sulsel dr Bachtiar Baso. Bachtiar mengatakan berdasarkan laporan anggota Komite Daerah Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KOMDA KIPI), kematian Muh. Arfah (13) dikategorikan bukan karena Vaksin Rubella yang suntikan.
"Informasi yang kami dapat dari dokter spesialis anak anggota dari KOMDA KIPI menjelaskan kematian itu bukan karena vaksin, untuk sementara akibat dugaan yang bersangkutan menderita demam berdarah sehingga terjadi pendarahan," ucap Bachtiar saat ditemui KABAR.NEWS usai bertemu Penjabat (Pj) Gurbernur Sulsel Soni Sumarsono bersama perwakilan WHO dan Unicef di Rujab Gubernur, Selasa (14/8/2018)."Pendarahan itu tidak ada kaitannya dengan vaksin, demam berdarah ketika trombosit-nya turun, demamnya turun biasanya terjadi pendarahan. Vaksin tidak ada kaitannya dengan itu," tegasnya.

Sumber berita : sulselsatu , kabar news
39. Fahri (12). Pelajar SMP di Pangkalpinang, Bangka Belitung. 


Fahri ketika dikunjungi tim surveillance dari Dinkes

Kronologis : Fahri sempat dilarikan ke rumah sakit lantaran suhu tubuhnya yang meningkat disertai muntah paska diberi vaksin Measles Rubella (MR), mendapati kabar tersebut, Tim Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan dinkes kota Pangkalpinang, Puskesmas Pangkalbalam langsung mendatangi RSUD Depati Hamzah untuk melihat keadaan Fahri. Tiba di ruangan Asoka, tim mengumpulkan informasi dari perawat dan dokter ruangan di ruangan kepala ruangan. Hampir 40 menit mereka mengumpulkan informasi terkait kondisi medis yang dialami Fahri. Pihaknya juga menggali informasi dari orangtua Fahri terkait kondisi anaknya bisa berada di rumah sakit. Usai mengumpulkan informasi, pihaknya langsung menyambangi Fahri ke ruang rawat yang masih terbaring dengan infus ditangannya.
Menurut, perawat jaga kondisi Fahri sudah mulai membaik dan sudah bisa berjalan dengan kondisi suhu tubuh sudah normal yakni 36.
Kasi Surveilans dan Imunisasi Dinkes Babel, M Rais Haru mengunkapkan beberapa pemeriksaan seperti tes urine dan tes fisik paska suntikan imunisasi sudah dilakukan pengecekan.
"Menurut petugas Puskesmas Pangkalbalam yang imunisasi satu jam lebih setelah imunisasi tidak ada reaksi apa, bekas suntikan tidak ada merah. Kita menunggu kesimpulan dari Komdak KIPI nanti," katanya.
Ketua Komisi Kejadian Ikutan Pascaimunisasi (KIPI) Bangka Belitung (Babel) dr Helfiani mengatakan sudah melihat hasil laboratorium terhadap urin Fahri, pasien RSUD Depati Hamzah yang dirawat setelah panas tinggi dan selalu muntah tiap sesudah makan--yang sebelumnya.
Awalnya diduga kondisi Fahri ini akibat efek samping vaksin Measles Rubella (MR).
Hasilnya, KIPI Babel menyatakan demam panas yang dialami Fahri tak terkait dengan efek samping imunisasi MR. Fahri, kata Helfiani, mengalami panas tinggi karena infeksi saluran kemih.
"Jadi panasnya itu karena infeksi saluran kencing. Kebetulan pas disuntik MR. Bukan karena MR. Saya sudah konfirmasi kepada dokter dan bidan yang merawatnya, saya lihat hasil lab-nya, rupanya ada peningkatan sel darah putih di urinnya, jadi dia panas karena infeksi saluran kencing," ucap Helfiani kepada Bangka Pos, Jumat (3/8/2018) sore.
Kemudian, Helfiani menjelaskan, efek samping suntik vaksin MR biasanya tidak langsung terjadi setelah disuntik. Efek baru dirasakan pada lima hingga tujuh hari setelah disuntik. Hasil ini juga telah disampaikan kepada orangtua Fahri.
"Kalau efeknya baru terjadi pada lima sampai tujuh hari setelah disuntik, baru kemungkinan KIPI-nya ini karena MR ini. Kasus ini, setelah diperiksa ada infeksi saluran kencing rupanya, ini yang menyebabkan panas. Sudah kami sampaikan ke keluarganya, mereka sudah mengerti. Mungkin karena panik karena sebelumnya tidak tahu," ucap Helfiani.

Sumber berita : Bangka Tribun news
40. Tiga anak di Polewali Mandar, Sulawesi Barat, Dua orang berasal dari Kecamatan Wonomulyo dan satu orang berasal dari Kecamatan Campalagian, Kabupaten Polman.

Kronologis : Tiga anak tersebut dilarikan ke rumah sakit karena mengalami demam tinggi berhari-hari usai disuntik vaksin Measles Rubella (MR) oleh petugas puskesmas setempat. Seluruh korban kini menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Polewali Mandar. Ketiga anak tersebut berasal dari Kecamatan Wonomulyo. Menurut perawat, dua anak telah diperbolehkan pulang karena kondisinya telah membaik setelah menjalani perawatan beberapa hari. Sementara satu orang anak kini masih menjalani perawatan. Dikonfirmasi terpisah, Kepala Dinas Kesehatan Polewali Mandar Suaib Nawawi membantah anak tersebut sakit akibat vaksin rubella. Menurut Suaib, dari hasil rekam medik, ketiga anak tersebut memang memiliki riwayat penyakit yang berbeda. “Memang ada tiga anak dilaporkan dilarikan ke rumah sakit, tapi belum pasti itu karena vaksin Rubella,” kata Suaib.
"Jadi bukan karena vaksin MR, cuman kebetulan aja bersamaan. Yang sempat dirawat inap mememiliki riwayat penyakit faringitis, tapi juga sudah pulang karena sudah seha. Tiga hari yang lalu sebelum pulang saya sempat jenguk di RSUD," jelasnya.
Suaib mengimbau masyarakat untuk tidak khawatir dan tetap membiarkan anak menjalani vaksin MR sebab sudah melalui riset atau sertifikasi dari kementerian kesehatan sebelum digunakan.
"Jadi sangat kecil sangat kecil kemungkinan akan terjadi, meskipun kami tidak menjamin, sampai sekarang kami tetap jalankan. Tapi masyarakat yang persoalkan halal dan haram, tunggu saja keputusan MUI," tuturnya.
Sementara Penanggung Jawab Imuninasi Kabupaten Polman, Jamaluddin saat dikonfirmasi via telepon mengatakan, dua anak dari Wonomulyo memang disebabkan reaksi normal vaksin.
"Dari Desa Kebung Sari, dia juga anak petugas. Kemudian satu orang dari Campalagian namanya Ardiansyah, memang dari awal punya riwayat penyakit, kalau demam langsung kejang-kejang, kemudian kesimpulan akhir dokter dia Faringitis," tuturnya
Dinkes Luwu Tetap Lakukan Vaksinasi Ia mengimbau masyarakat agar tidak resah dengan maraknya berita tentang anak yang sakit setelah divaksin Rubella. Dinkes Polewali Mandar sendiri tetap memberikan vaksian MR secara massal di sekolah-sekolah meski masih polemik soal status halal. Sejumlah petugas kesehatan yang mengelar vaksin menyatakan, vaksin MR terancam rusak jika tidak digunakan. Alasannya, tempat penyimpanan vaksin di puskesmas tidak memenuhi standar dan tidak aman untuk jangka waktu lama. “Ada sekitar 6 miliar vaksin bisa rusak kalau ditunda karena tidak bisa disimpan dalam waktu lama di puskesmas,” kata petugas kesehatan saat sibuk melayani vaksin massal di salah satu sekolah di Polewali Mandar.

Sumber berita : Makassar Tribunnews , Regional Kompas

41. M. Alfatih (2 bulan). Tanggal lahir 29 mei 2018. lahir prematur. 2,4 kg. Sempat inkubator 2 minggu. Selama hidupnya menerima asi dibantu sufor. Anak pertama. Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.

Al Fatih ketika masih sehat
Kronologis : Tanggal 3 Agustus 2018 anak menerima vaksin polio tetes dan suntik n tetes. dalam keadaan sehat. Anak vaksin di posyandu jam 10 pagi disuntik, besoknya jumat sore demam tinggi n kejang, mata ke atas. Lalu keluarga langsung melarikan anak ke UGD RS terdekat, disana dilayani perawat dan langsung disuruh rawat inap, sempat 2 jam menunggu sampai diopname.. mrk rawat. Ayah korban tidak lapor ke posyandu karena tidak terpikir efek samping vaksinnya, yang dikira wajar saja demam setelah imunisasi. Anak diinfus. Berhubung Jumat Sabtu minggu di RS tersebut tidak ada dokter, jadi yang melayani hanya perawat. Selama dirawat infus tidak masuk ke tubuh anak, jadi 2x anak ditemukan dalam keadaan basah sekelilingnya dan infus sudah kosong, ternyata tidak masuk ke tubuh anak. Sadarnya ketika mau pindahin anak. Kejadian seperti itu 2x selama dirawat di ruang rawat biasa. Satu hari di kamar biasa. Namun malamnya anak kejang lagi, disertai demam tinggi. Esok paginya anak dipindah ke ICU. Ayah sempat cerita ke suster anak sakitnya habis vaksin. Di ICU, anak dipasang oksigen dan dimasukkan cairan. Lama-lama dari hidung anak keluar darah yang sangat banyak. Saat itu,tubuh termasuk tangannya membiru dan dingin. Dokter mulai memberitahu orangtua anak untuk selalu dekat dengan anak. Dokter berkata akan diberikan tindakan terakhir berupa suntikan. Suntikan pertama jika tidak ada reaksi, maka akan dimasukkan suntikan ke 2, namun tidak juga bereaksi..hingga akhirnya suntikan ke 3 sebagai suntikan terakhir anak tidak juga ada reaksi dan akhirnya dinyatakan wafat hari Senin (6 Agustus 2018). Dokter menyebutnya sebagai pendarahan di lambung.
Al Fatih ketika masuk RS
Sumber berita : Bapak Furqan (orang tua dari anak) via WA ke penulis. 





42. Agustina Logo (9). Perempuan. Murid SD kelas IV Inpres Umpakalo, Wamena, Papua.





AL ketika meninggal
Kronologis : Seorang bocah perempuan yang tercatat sebagai murid SD kelas IV Inpres Umpakalo, Distrik Kurulu, Kabupaten Jayawijaya dikabarkan meninggal dunia setelah diberikan imunisasi Campak (Measles) dan Rubella (MR) di sekolahnya, Selasa (14/8/2018).
Dari keterangan sejumlah keluarga, korban meninggal setelah dilarikan ke Rumah Sakit Wamena usai mendapatkan imunisasi MR.
Wali kelas IV di sekolah tersebut, Herman menceritakan , petugas kesehatan dari Puskesmas Kurulu tiba di sekolah untuk melakukan imunisasi, setelah jam istirahat. Sekitar pukul 11.00 WP.
“Setelah itu seluruh murid disuruh masuk ke dalam kelas, lalu didata untuk diberi imunisasi. Sebelum imunisasi, korban tampak ceria, namun setelah diimunisasi langsung pingsan,” katanya.
Usai pingsan, korban langsung dilarikan ke rumah sakit Wamena didampingi empat guru dan juga petugas kesehatan setempat.
Agustinus Okama Kosay, keluarga korban mengakui pemberitahuan ke pihak sekolah dilakukan mendadak pada Senin (13/8/2018) malam.
Bahkan menurutnya, pihak sekolah pun sempat menolak adanya imunisasi karena dianggap mendadak, namun imunisasi tetap dilakukan.
“Undangan atau pemberitahuan ke sekolah disampaikan mendadak, sehingga bagaimana pemberitahuan itu bisa tersampaikan ke seluruh orang tua, sekolah sempat ingin membatalkan, karena setiap anak harus didampingi orang tua sebelum imunisasi,” ujar Kosay.
Disampaikan, memang sebelum imunisasi, sudah ada sosialisasinya. Namun itu hanya difasilitasi oleh Yayasan Berkat Lestari. Tanpa didampingi petugas kesehatan setempat.
Setahunya, AL ini dalam kondisi sehat. Namun dari keterangan orang tua korban bahwa memang yang bersangkutan kondisi fisiknya sedikit kurang fit.
“Seharusnya dengan kondisi fisik seperti ini harus dijelaskan orang tua sebelum diimunisasi. Tetapi dengan kondisi seperti ini, petugas kesehatan juga tidak menanyakan ke orang tua terlebih dahulu dan langsung imunisasi,” katanya.
“Tanpa ditanyakan ke orang tua anak ini sebelumnya pernah sakit atau tidak, kondisi kesehatan seperti apa harus ditanyakan, ada apa sebenarnya,” sambungnya.
Dirinya juga menyesalkan terlambatnya informasi yang diberikan Puskesmas setempat, soal akan dilakukan imunisasi.
“Keluarga baru tahu informasi pagi hari, jika pemberitahuan masuk satu dua hari sebelumnya, setidaknya orang tua akan dampingi, sekaligus bisa menjelaskan soal kesehatan anaknya. Dan saat kejadian, bapak ibunya sedang di kebun dan sekitar jam 12 siang baru mendapat kabar,” ujar Kosay.
Kapolres Jayawijaya, AKBP Yan Pieter Reba mengatakan pihaknya akan meminta keterangan dari para petugas kesehatan di Puskesmas Kurulu, yang melakukan imunisasi.


Jasad Agustina Logo
“Kami akan meminta keterangan dari semua pihak, baik sekolah maupun petugas 
Puskesmas untuk melakukan penyelidikan awal,” kata Yan Reba.
Berdasarkan informasi sementara, Agustina merupakan siswa ke enam yang disuntik vaksin campak dan rubella di sekolahnya.
Sesaat setelah disuntik, Agustina langsung pingsan sehingga dilarikan ke RSUD Wamena, namun dalam perjalanan anak itu sudah meninggal dunia.
Seorang dari beberapa guru yang mengantar Agustina ke RSUD mengatakan bahwa anak tersebut memang pernah pingsan saat di sekolah.
"Sering pingsan. Itu sudah lama," kata seorang guru di RSUD.
Lima siswa lainnya yang sebelumnya disuntik vaksin campak dan rubella bersama-sama dengan Agustina, dilaporkan dalam keadaan baik, atau tidak mengalami masalah seperti Agustina.

Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Provinsi Papua Aloysius Giay menyatakan penyebab kematian AL (9) bukan oleh vaksin measles rubella (MR) yang disuntikkan ke tubuh anak itu. Pasalnya, enam anak lainnya yang divaksin MR dalam keadaan sehat. Aloysius menjelaskan, banyak hal yang bisa memengaruhi keadaan fisik seseorang, misalnya imunitas tubuh. "Berdasarkan hasil pertemuan dengan Dinas Kesehatan Jayawijaya dan Puskesmas Kurulu, diketahui bahwa tujuh anak lainnya, yang mendapatkan imunisasi dari vial atau botol yang sama dengan Agustina, berada dalam kondisi baik. Oleh karena itu, 
saya mengajak kita semua untuk tetap tenang," katanya, Kamis (16/8/2018).
Pemerintah Kabupaten Jayawijaya akhirnya menyelesaikan permasalahan kasus meninggalnya seorang murid SD Inpers Umpagalo Disstrik Kurulu setelah pihak keluarga dari almarhuma Agustina Logo menerima penawaran kompensasi dari pemerintah daerah sebesar Rp. 500 juta.
Dalam pembayaran kompensasi yang dilakukan di ruangan Asisten 1 Setda Jayawijaya, Wakil Bupati Jayawijaya Jhon R Banua mengakui jika pihaknya telah menyelesaikan masalah ini setelah melalui diskusi yang panjang dengan pihak keluarga yang sebelumnya tetap bersikukuh dengan meminta uang sebesar Rp 1 miliar dan 100 ekor wam (babi).
“Setelah kita melakukan negosiasi dan menjelaskan jika tak ada unsur kesengajaan yang dilakukan hingga merenggut nyawa anak tersebut maka mereka sudah sepakat untuk dibayar Rp 500 juta,”ungkapnya usai membayar kompensasi, Selasa (21/8).
Menurutnya, uang kompensasi Rp 500 juta ini ditujukan untuk semua. Artinya sudah semua permintaan dipenuhi oleh pemerintah daerah sehingga pihak keluarga sudah mempersilakan Puskesmas Kurulu untuk kembali melakukan aktivitas imunisasi dan aktivtas pelayanan kesehatan lainnya seperti biasa.
“Pembayaran ini sesuai dengan petunjuk Bupati Jayawijaya yang kita jalankan, dimana pemda tak pernah membayar kompensasi hingga miliaran dan hanya Rp 500 juta yang ditawarkan seperti penyelesaian kasus yang lain,”jelas Jhon Banua.
Ia juga menyatakan jika saat ini permasalahan ini telah selesai sehingga tak ada halangan lagi untuk melaksanakan imunisasi di Kabupaten Jayawijaya. Pihak keluarga juga telah menandatangani beberapa dokumen yang disiapkan dari pemerintah daerah sebagai tanda terima dan penyelesaian masalah ini.

Sumber berita : teras , okezone , seputarpapuaregional kompasceposonline, liputan6

43. Ramdhan Rafael Algensya (7 tahun). Lahir Agustus 2011 kelas 1 SD. Anak pertama (baru 1 anak dari orang tuanya). Jururejo Ngawi, Jawa Timur.


Ramdhan saat sehat
Kronologis : Kira-kira tanggal 13 Juli 2018 Algensya disuntik vaksin difteri di sekolah. Dari keterangan Mbah sang anak, sebelumnya anak memang  ada keluhan sesak napas dan gampang 'ngos2an kalau lari, ada gatal-gatal di kaki, umur 2 tahun lebih baru bisa jalan, bicara juga kurang jelas. Saat vaksin batuk pilek. Keluarga kemungkinan kurang memperhatikan karena ibu harus bekerja jam 9 pagi - 9 malam, sedangkan bapaknya bekerja dari jam 6 pagi sampai 5 sore. Setelah divaksin Al sempat sesak nafas, lalu kejang dan dimasukkan sendok sehingga 5 giginya patah, darah juga mengalir ke paru-paru. Beberapa hari sempat ramai rumah Al didatangi polisi, kades, dinkes ,dokter spesialis anak. Mereka datang karena kasus ini sempat viral dis ebuah grup WA. Mereka menjelaskan bahwa Al sakit karena ada gejala meningitis, bukan karena vaksinnya. Namun jika keluarga tidak terima, maka makam akan dibuka dan diotopsi. Akhirnya, keluarga memilih menerima dari pada berujung panjang.
Kasus Al via WA
Sumber berita : Siti Guaisyah (Bude Al) lewat WA penulis. 

44. Zika Ramadani G Pole (Usia 2 bulan). Lahir tanggal 13 Juni 2018. Desa Bangkagi, Kecamatan Togean, Kabupaten Tojo Una-UnaSulawesi TengahIndonesia.

Cika ketika masih sehat
Kronologis : Cika (panggilan Zika) disuntik (ibu kurang mengerti suntiknya apa, mungkin suntik campak) di rumahnya. Cika disuntik oleh bidan (baru magang, menurut keterangan dari Ibu Cika) dalam keadaan tidur. Malamnya, Cika muntah dengan tidak wajar karena banyak dan sampai keluar dari hidung. Berhubung keluarga tinggal di pulau yang jauh dari mana-mana, rencana mau naik speed boat tapi tidak dapat, namun mau naik perahu (untuk ke dokter) ombaknya lagi besar. Akhirnya nyawa Cika tak tertolong.

Jenazah Cika

Sumber berita : Mymy Syifa (Ibu anak, melalui FB ke penulis).

45. Selvia Az Zahra (6,5 tahun). Lahir tanggal 19 Februari 2012. Kelas 1 SDN 019 Gn. Samarinda, Balikpapan. Muara Rapak, Balikpapan Utara, Kalimantan Timur.

Selvia yang meringis kesakitan
Kronologis : Selvia menerima vaksin di sekolah SD 019 GN. Samarinda pada tanggal 6 Agustus 2018. Anak divaksin dalam kondisi sehat. Selvi disuntik di sekolahnya oleh petugas Puskesmas Gunung Samarinda. Hanya ditanya batuk atau tidak, demam atau tidak. Lalu dienjus. Sang ibu tidak tahu jika anaknya disuntik. Di hari sama, siang hari, Selvi duduk sendirian di lapangan dekat rumahnya. Para tetangga, Ibu Risma dan Ami, mendengar Selvi menangis keras. Ibu korban masih kerja. 
Ibu Risma bertanya pada Selvi, "Kenapa nangis, lapar? Jatuh atau dipukul?" Ternyata tidak. Selvi menjawab habis disuntik di sekolahnya. Beberapa temannya ada yang gatel. Tapi Selvi ngilu di paha kanan. 
Malam hari, Selvi demam, pusing. Ibu Selvi Bu Marliani bilang, "Nangis teriak-teriak kesakitan kayak orang gila. Saya gak tahu kenapa." 
Esoknya, masih disuruh sekolah tapi Selvi mulai sulit jalan. Pincang dan membungkuk. Ibunya melapor ke sekolah. Pihak sekolah hanya menyarankan ke Puskesmas. 
Di Puskesmas, menurut Marliani, dokternya ngomong bahasa Inggris yang ia tidak mengerti. Lalu bilang, 
"Tidak ada hubungannya dengan vaksin. Ibu jangan bilang siapa-siapa kalau anaknya habis diimunisasi MR. Ini penyakitnya berbarengan dengan pas divaksin jadi tidak ada kaitannya." 

Marliani meneruskan, "Diperiksa saja tidak kok bisa langsung dibilang tak ada kaitan dengan vaksin. Lalu gimana dengan korban di media, internet. Kata dokternya itu bohong, isu. Mana orangnya yang bilang begitu, suruh hadap ke saya." 

Marliani tidak terima dengan penjelasan itu. Jelas-jelas anaknya sehat, disuntik tanpa izin, lalu lepas tangan. 

"Kenapa pakai bahasa Inggris. Berkode gitu. Saya gak ngerti. Kok ada yang ditutupi. Setelah itu, dokter itu menelpon ke luar," kisah Marliani. 

Akhirnya pihak Puskesmas merujuk ke RSUD Gunung Malang Balikpapan. Di sana tidak diperiksa. Selvi hanya diminta meluruskan kakinya. Lalu diberi obat anti nyeri dan vitamin. 

Tapi tetap dibilang tidak ada kaitan dengan vaksin. Ia diminta agar anaknya ikut terapi dengan biaya sendiri atau ikut BPJS. 

"Tapi BPJS kan bayar. Uang dari mana saya. Ini saja terpaksa saya berhenti kerja untuk merawat anak saya." Marliani pun tak keberatan bila dilakukan penggalangan dana. 

"Saya hanya ingin anak saya kembali normal. Bisa jalan lagi, sehat lagi seperti semula. Tapi saya tak tahu biaya dari mana." 

Selvi hanya diam saja. Sesekali menahan rasa ngilu. "Sakit, Ma..."

Setelah viral kasusnya, baru walikota turun tangan untuk memberi rawat inap pada Selvia. 



dari klik balikpapan :



"Sampai sekarang tidak bisa berjalan normal. Anak saya cacat, Mas. Dimana tanggung jawab petugasnya," tutur Marliani, ibu korban ditemui di rumahnya, Minggu, 19/8/2018.

Marliani juga merasa kesal lantaran Walikota Balikpapan Rizal Effendi telah menghentikan program ini.

"Tapi kenapa anak saya masih disuntik di sekolahnya. Itu pun tanpa izin saya, kan saya yang tahu kondisi anak. Kenapa dipaksa. Ini kan melanggar UU. Melanggar perintah pak Walikota juga. Pak Wali harus memarahi anak buahnya. Setelah anak sakit pun tidak ada yang tanggung jawab. Saya hanya ingin anak saya normal," tutur Marliani.

Selvi, jelas Marliani, disuntik di sekolahnya tanpa izin darinya. Selvi disuntik petugas Puskesmas Gunung Samarinda tanggal 6 Agustus 2018 di sekolahnya, setelah Walikota Rizal meminta penundaan.

"Kenapa Puskesmas dan sekolah mau mengambil hak saya sebagai orangtunya. Izin dulu dong harusnya. Jangan main suntik saja," geram Marliani.

Ia mengetuk hati penguasa agar bisa membantunya. "Pak Walikota Rizal tolong bantuin anak saya. Saya tak minta apa-apa, hanya minta anak saya bisa normal lagi," pinta Marliani, diamini para tetangganya.

"Betul Mas. Tetangga semua tahu Selvi ini sehat dan ceria. Tapi habis disuntik vaksin MR malah gak bisa jalan," sambung Anita, tetangga korban.

Saat KLIK menyambangi rumah korban, para tetangga berduyun-duyun ikut mendampingi keluarga korban. Selvi yang tinggal di rumah ibunya berukuran 3x4 meter, hanya bisa menahan rasa ngilu.

"Sakit, Ma," keluh Selvi, yang sedari tadi mengelus paha kanannya. Ia tidak bisa lagi berjalan normal. Bahkan sekadar meluruskan kaki kanannya juga tidak mampu. Saat diminta berjalan, ia tak kuat menopang badannya. Jalannya terseok-seok.

"Tuh, lihat sendiri kan, Mas. Siapa yang tega melihat anak sehat ceria tau-tau bisa begini. Apalagi perempuan. Semua tetangga di sini tahu Selvi itu lincah," tutur Ami, yang juga tetangga korban.

Apa tanggapan sekolah dan pihak Puskesmas? Ani bercerita, tidak ada tanggung jawab apapun dari pihak terkait. Dari sekolah hanya disarankan ke Puskesmas.

Setelah ke Puskesmas Gunung Samarinda dan menemui dokter yang menyuntiknya, lanjut Marliani, hanya dibilang bukan terkait vaksin.

"Ada tiga orang dokter tapi ngomongnya bahasa Inggris. Berkode gitu. Saya gak ngerti. Cuma bilang, 'ibu jangan bilang siapa-siapa kalau anaknya habis diimunisasi MR'. Kok menutupi gitu sih," kesalnya.

Marliani melanjutkan, jelas-jelas anaknya sehat sebelum divaksin. Usai divaksin merintih, demam, pusing, lalu tak bisa jalan.

"Kok dokternya bilang mungkin penyakitnya datang bersamaan saat disuntik. Kan aneh Mas. Saya gak terima lah jawabannya aneh," kesalnya. Anaknya pun dirujuk ke RSUD Gunung Malang.

Di sana diberi obat anti nyeri gratis. "Lalu dibilang anak saya ikut terapi saja dengan biaya sendiri. Katanya bukan karena vaksin. Tapi kok tidak diperiksa hanya diminta kakinya diluruskan," sesalnya.

Ani pun bingung dokter hanya menyarankan agar anaknya ikut terapi dengan biaya sendiri. Ia juga diminta membuat BPJS. "Kan BPJS bayar juga. Saya uang dari mana?" tuturnya. Marliani mengaku tidak memiliki biaya untuk menyembuhkan anaknya.

Terlebih ia sendiri terpaksa berhenti bekerja untuk mengurus anaknya. "Mau kerja gimana, anak saya cacat begini. Suami sudah misah," ujarnya.

Ia hanya berharap pihak terkait membantu anaknya untuk kembali normal.

Anita, tetangga korban pun berinisiatif melakukan penggalangan dana untuk menyembuhkan Selvi.

Selvi yang beralamat di Jalan Payau Gang Merpati RT 33 No.14 Muara Rapak, Balikpapan Utara, hanya bisa meringis kesakitan. Sudah sepekan ia tidak bisa sekolah.

"Gimana mau sekolah, Mas. Tiap malam teriak-teriak kesakitan kayak orang gila. Jalan saja susah," jelas Marliani. 



Sumber berita : Saksi: para tetangga (Ibu Anita, Ibu Ami, Ibu Risma, dan lima ibu-ibu lain plus satu anak kecil).



Sumber berita dari FB : Adhenitha (melalui FB dan WA ke penulis), klikbalikpapan


46. Syahril Abawi. Siswa kelas 3 di SDN 013829 Ledong Timur. Warga lingkungan XII Kuala Kel. Aekkanopan Timur, Kecamatan Kualuh Hulu, Kabupaten Labura.

Sekolah di SDN 013829 Ledong Timur Kecamatan Aek Ledong Kabupaten Asahan, Sumatera Utara.
Syahril Abawi


Kronologis :


Seorang siswa kelas tiga di SDN 013829 Ledong Timur Kecamatan Aek Ledong Kabupaten Asahan meninggal pasca disuntik imunisasi Measless Rubella (MR). Siswa tersebut bernama Syahril Abawi warga Lingkungan XII Kuala, Aek Kanopan Timur Kabupaten Labura.
Ade Aprianti wali kelas Syahril Abawi didampingi Kepsek Marianto, rabu (15/8) di Ledong Timur membenarkan bahwa sebelumnya siswa kelas tiga tersebut di suntik Measless Rubella oleh pihak puekesmas sepuluh hari yang lalu.
"Petugas datang kesekolah menyuntik pada Rabu (1/8) lalu. Memang sebelum disuntik badan siswa tersebut berkeringat, bajunya basah," kata Ade Aprianti
Kepsek mengatakan, sebelumnya pihaknya belum ada memberikan surat untuk suntik imunisasi MR, karena tahun tahun sebelumnya tak pernah memakai surat pemberitahuan orang tua.
Pihak Puskesmas Aek Ledong menerangkan bahwa pihaknya telah memberikan imunisasi MR sesuai prosedur. Sebelumnya, pihak puskesmas juga memberi informasi kepada sekolah untuk memberitahukan kepada pihak orang tua siswa.
"Sudah sesuai prosedur, dan sebelum disuntik dilakukan siswa juga diberitahukan untuk sarapan terlebih dahilu, bawa teh manis, cuci tangan dan punya kartu posyandu, dalam catatan kami tidak ada kontra indikasi saat mau disuntik," ujar Maharani kasubbag TU Puskesmas Aek Ledong.
Dinas Kesehatan Sumatera Utara belum dapat memastikan meninggalnya seorang siswa sekolah dasar di Kabupaten Asahan yang diduga akibat pemberian vaksin MR. Jawatan ini masih mengkaji kasus tersebut dengan mengumpulkan data dan melibatkan saksi ahli, KOMDA KIPI.
“Mengenai kasus ini masih dikaji oleh dokter spesialis penyakit dalam dan Komisi Daerah Pemanduan dan Penanganan Kasus Ikutan Pasca Imunisasi (Komda Kipi) dan akan diberikan klarifikasi secara resmi jika kasus sudah terungkap,” kata Suhadi, Kepala Seksi Surveilans dan Imunisasi Dinkes Sumut, Rabu (15/8/2018).
Komda Kipi akan terus berupaya untuk mengungkap kasus ini, apakah Syahril Abawi, siswa SDN 013829 Ledong Timur, Asahan ini, meninggal akibat insiden pemberian vaksin MR (measles rubella). Hasil klarifikasi ini akan diperoleh secara resmi antara Sabtu dan Senin bulan ini.
“Pihak yang berwenang untuk mengklarifikasikan kasus ini adalah Komda Kipi, dan bekerja sama dengan dokter spesialis penyakit dalam. Saat ini masih dilakukan pengkajian,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Syahril Abawi siswa SDN 013829 Ledong Timur, Asahan. diduga meninggal setelah disuntik imunisasi vaksin campak-Rubella, Rabu (15/8). Dia diberikan vaksin campak – rubella oleh pihak puskemas sepuluh hari yang lalu.
Menurut keterangan kepala sekolah, Marianto, badan siswa tersebut sebelum disuntik sudah berkeringat dan bajunya basah. Pihak sekolah tidak memberikan surat untuk pengajuan pemberian imunisasi vaksin campak-rubella kepada orang tua.

Sementara, informasi yang diperoleh dari puskemas Aek Ledong meneyebutkan, pemberian imunisasi sesuai dengan prosedur, dan di dalam catatan mereka tidak ada kontra indikasi pada saat disuntik.
Ketua IDAI Sumut, Prof. Munar Lubis, SpA (K), menyebutkan belum pernah ada laporan kasus anak yang meninggal pasca imunisasi. Sebab reaksi suntikan imunisasi itu biasanya 4 hari setelah suntikan, baru demam.
Bukan begitu suntik, langsung demam. Ketua IDAI itu mengatakan kepada Waspada Rabu (15/8), terkait dengan pemberitaan meninggalnya anak ini. Menurutnya, "dalam kasus di Labura itu, mungkin si anak memang sakit, dan yang menyuntiknya tidak tahu bahwa anak sedang sakit", kata Munar. Dia mengakui memang ada KIPI. KIPI itu bermacam-macam mulai dari bekas suntikan memerah, bengkak, hingga demam. "Namun belum pernah ada laporan si anak meninggal akibat divaksin. Saya belum mendapat laporan di Labura itu", ungkapnya.
Dia menegaskan anak yang sakit tidak boleh diimunisasi. Dirinya menyarankan, anak boleh divaksin 2 minggu setelah sembuh dari sakitnya. "kalau saya biasanya tunggu 2 minggu setelah sembuh baru divaksin, karena kita tidak tahu penyakitnya kan. Apalagi saat ini yang melakukan vaksin ke anak adalah juru imunisasi. Dia tidak tahu itu, sakit apa anak itu", tegasnya.
Dia menduga, jurim hanya diajari cara menyuntik saja, sedangkan ilmu penyakitnya mungkin tidak diajari. Jurim itu dibina oleh puskesmas. Dia menyarankan, jika para jurim ini ragu ketika mau menyuntik, karena si anak sedang sakit atau baru sakit, maka sebaiknya dikonsultasikan dulu ke dokter. "Jangan hanya mengejar target, disuntik aja, padahal anak sedang sakit atau baru sembuh dari sakit", tambahnya.
Sedangkan Kepala seksi (Kasi) Imunisasi Dinkes Sumut, Suhadi mengaku sudah mendapatkan laporan kasus anak meninggal di Asahan. "Masih info lisan dari kabupaten", katanya.
Begitupun, kata Suhadi, pihaknya belum bisa memastikan penyebab anak itu meninggal. "Nanti akan ada klarifikasi setelah ada hasil dari tim ahli (Komda KIPI). Prosedurnya dari Pokja KIPI Labura, atau diserahkan ke Komda KIPI, tergantung hasil kesepakatan setelah dilakukan penyelidikan dan analis tim", tambahnya.



Sumber berita : orbitdigitaldailyrmolsumuttaslabnewswaspadamedan.


47. Aidil Fickrizal. 11 tahun. Lahir tanggal 12 Oktober 2007. Sekolah di SDN 005 Bontang Utara. Kelurahan Guntung, Bontang, kaltim. 

Kronologis : Lilik Purwanti, warga Jalan Gong 04 RT 16 Kelurahan Guntung menceritakan awal mulai anaknya mengalami KIPI. Memang KIPI yang terjadi bukan pasca imunisasi Measless dan Rubella (MR) yang sedang ramai saat ini. Namun KIPI terjadi pasca imunisasi difteri yang sempat meresahkan masyarakat Bontang, dengan ditemukannya 6 kasus difteri di Bontang.
“Jadi waktu imunisasi difteri tahap pertama itu, sepulang sekolah tiba-tiba anak pertama saya langsung demam, ruam atau biduran di semua badannya, jantung sakit, sesak nafas, bengkak-bengkak hingga di kemaluan,” jelas Lilik saat ditemui di kediamannya, Jumat (24/8) kemarin.
Merasa kejadian itu baru pertama kali dialami anaknya, Lilik pun memberi pertolongan pertama dengan meminumkan anaknya paracetamol sebagai obat penurun demam. Namun demikian, hari berikutnya, demamnya tak kunjung turun. Karena merasa anaknya masih bisa menahan rasa sakit di jantungnya, Lilik pun belum membawanya ke dokter.
“Saya pikir mungkin itu reaksi dari vaksin difteri, tetapi sampai kemaluannya bengkak. Saya ajak dia ke dokter, tetapi anaknya bilang masih kuat, akhirnya saya biarkan dan sembuh sendiri,” terang dia.
Dua minggu kemudian, anak pertamanya itu kembali mengalami demam lagi. Lilik mengira demam itu karena anaknya kehujanan usai pulang dari pengajian. Dengan inisiatif, diberikannya obat paracetamol lagi. Tetapi malah muncul bengkak lagi, gatal-gatal, dada sesak, jantung sakit, hingga membuatnya panik.
“Saya tunggu sampai besok dan dibawa ke Puskesmas, di sana dikasih obat demam dan batuk. Tetapi reaksinya sama bengkak dan gatal,” ujar Lilik.
Karena tak ada perubahan, sorenya, Lilik kembali membawa anaknya ke Puskesmas Bontang Utara II dan dia menceritakan awal mula anaknya menderita demam, ruam, bengkak, serta sakit di dada dan jantungnya. Dokter pun menyarankan untuk tes laboratorium dengan mengecek darah dan air seni Aidil. Hasilnya gula bersih, ginjalnya juga bersih dan negatif dari gagal ginjal.
Tetapi karena obat dari puskesmas tidak bereaksi, saya pun diberi rujukan ke RS PKT dan ditangani dokter anak Naomi,” ungkapnya.
Hasil pemeriksaan dokter anak, Lilik diminta agar tidak menyalahkan vaksin dan mencoba food challenge. Sehingga, Aidil diminta untuk memakan dari protein nabati seperti tahu tempe. Setelah itu dicoba protein dari telur, dan ayam. Hasilnya Aidil tetap baik-baik saja. Selama sebulan, anaknya demam lagi, dan langsung dirujuk ke dokter anak rujukannya tertulis drugs alergy (z, 88).”Saya sampaikan dari makanan tidak masalah, tetapi minum obat atau vitamin sedikit saja langsung bengkak, demam, kemaluannya bengkak sampai gede banget,” ujarnya.Memang dari kecil, diakui Lilik, Aidil terbiasa meminum obat. Tetapi, sekeras apapun obat yang diberikan tidak menimbulkan efek alergi separah itu. Bahkan dokter menyatakan sampai gagal jantung karena ketika demam, jantungnya sakit seperti ditusuk-tusuk.“Kalau gagal ginjal negatif, tetapi kalau gagal jantung dokter juga menyatakan hal itu,” terang dia.Atas pengalamannya itu, Lilik mengimbau kepada para orang tua agar lebih peka terhadap kondisi anaknya. Jangan melakukan imunisasi sekedar ikut-ikutan saja. Tetapi kondisi kesehatan anak dan riwayat kesehatannya harus benar-benar dikenali agar tidak terjadi hal serupa. “Saya ini bukan mendoktrin siapapun, hanya mengingatkan, jika mau imunisasi dicek dulu kondisi kesehatan anaknya. Ini karena saya mungkin masih kurang peka, sampai akhirnya anak saya mengalami alergi tingkat berat dan tak bisa sembarang meminum obat,” bebernya.Jadi kalau dia demam, ada obatnya yang diberikan dengan cara injeksi, paracetamol sudah tidak bisa dikonsumsi lagi,” imbuhnya.Penjelasan dari dokter Naomi juga dikatakan Lilik, bahwa sebenarnya vaksin difteri itu menyuntikkan bakteri ke tubuh anak supaya dia kebal jika virus itu mencoba menyasarnya. Tetapi saat divaksin difteri tahap pertama itu, sistem imun Aidil seperti kondisi memerangi bakteri difteri itu. Entah menolak atau apa, tetapi sistem imunnya yang justru gagal. “Makanya mengalami alergi tingkat berat, sampai ke gagal jantung. Jadi saya kerja sama sama guru, teman-temannya agar menjaga Aidil untuk tidak minum sembarang obat,” pungkasnya.Kejadian yang dialami Lilik dan Aidil ini mengingatkan, agar para orang tua lebih waspada ketika hendak mengizinkan anaknya untuk divaksin di sekolah. Jika anak dalam kondisi kurang sehat, sebaiknya vaksin ditunda. 


Sumber berita : Yulinya Hamid (teman FB yang sama-sama tinggal di Bontang yang sudah menghubungi langsung ibunda Aidil via WA dan inbox ke penulis), bontangpost


48. Anggi Rahmadania. Lahir di Tanah Bumbu tanggal 23 September 2007. Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.

Kronologis : Suntik di sekolah SDN 2 Kersikputih Kab. Tanah Bumbu. Pada tanggal 8 Agustus 2018 sekitar jam 11.00 dilakukan suntik vaksin MR, setelah disuntik kurang lebih 1/2 jam langsung kejang. Orang tua langsung membawa anak pulang ke rumah. Sampai di rumah, kurang lebih 10 menit di rumah langsung dilarikan ke RSUD, dari saran si pemberi/petugas imunisasi vaksin MR. Setelah di rumah sakit langsung ditangani dan hasil diagnosa dari dokter dan hasil citiscan dan hasil lab darah dan kencing, hasilnya tidak ada penyakit dan bukan dari vaksin MR. Kasus ini sudah dimediasi dipertemukan antara lain kapolsek, orang tua korban, kepala dinkes, dan dirut RSUD dan datanya disembunyikan tidak diberikan sebagai bekal untuk si korban.dirumah sakit selama 1 minggu.
Orang tua sudah lapor petugas suntik dan ibu korban kipi tidak tau apa tanggapan dari laporan itu, karena yang melapor kakek dan ayah korban. Kondisi sehat walafiat tanpa ada riwayat sakit bawaan.
Sebelum kejadian ini, setiap kali vaksin tidak ada reaksi apa-apa. Anak tidak memiliki penyakit genetis. Tidak ada santunan berupa materi dari dinkes atau instasi terkait dan cuma santunan pengobatan secara kontrol rutin di RSUD. Orang tua tidak mau lagi vaksin anak, apa pun bentuknya.

Sumber berita : Orangtua korban melalui pak Ahmad Saleh (anggota Komunitas Thinker Parents).

49. Asella Novianti. 9 tahun. Bengkulu.
Pekerjaan Ayah/Ibu : jualan sosis 
Alamat : Flamboyan 17, Skip, Bengkulu




Kronologis :

Pada tanggal 13 Agustus 2018 Sella disuntik vaksin MR di sekolah SD 36 Bengkulu, tanpa pemberitahuan kepada pihak orangtua terlebih dahulu. Setelah itu Sella mengalami panas tinggi disertai batuk pilek selama 3 hari. 2 hari panas turun. Di hari ke 6 Pasca vaksin Sella mulai susah bergerak. Saat ini Sella dirawat di RS M Yunus Bengkulu. Kata Dokter, Sella nyaris lumpuh, mirisnya dokter menyatakan ini disebabkan karena batuk dan kecapekan gendong tas. Pihak RS merujuk ke RS Palembang, tapi orang tua Sella yang sehari-hari jualan sosis mengalami kendala biaya.

Sumber berita : Ngadiman dan Darsih (orang tua) melalui Fitri (Tim Komunitas Thinker Parents).
50. Alkhalifi Virendra Shafwan. Lahir tanggal 5 Mei 2017. Saat sakit umur 1 tahun 3 bulan yang saat itu menjalani perawatan intensif di PICU salah satu Rumah sakit Fatmawati, Jakarta selatan.
Kronologis :
Pada tanggal 30 Mei 2018 siang jam 11.00 anak saya vaksin MR di Puskesmas. Jam 8 malam kaki sebelah kirinya lemas dan sulit di gerakkan hari esoknya kembali ke Puskesmas, dokter puskesmas bilang tidak apa-apa dan ingin di observasi. Tanggal 5-8 Juni dirawat di RS terdekat dan kemudian dirujuk ke RS yang lebih besar untuk menjalani pengecekan dan rawat jalan di RS tersebut sampai tanggal 29 Juni 2018.
Kelumpuhan Alkhalifi sudah menjalar sampai ke tangan kanan dan tatapan mata kosong seperti stroke. pada tanggal 02 juni dini hari Alkhalifi tidak bisa menghisap asi ibunya dan juga sesak nafas dan saya langsung membawanya ke RS Rujukan dan masuk IGD. Tanggal 3 Juni 2018 masuk ruang PICU lalu dokter mendiagnosis Alkhalifi menderita GBS, meningitis, TB otak, paru-paru dan sepsis. Mendengar diagnosis tersebut hati saya hancur karena tidak bisa membayangkan bayi kecil saya harus bertarung dengan banyak monster di tubuhnya.
Satu minggu di ruang PICU terjadi penurunan kesadaran dan harus menggunakan ventilator utk pernafasan . Setelah CT Scan ulang terdapat cairan di kepala (hidrocephalus) Alkhalifi juga sudah melakukan operasi pasang VP shunt (selang kepala) untuk mengeluarkan cairan di kepalanya. selama 7 minggu dirawat baru sempat 2 hari diruang perawatan tetapi demam tidak turun juga kejang dan akhirnya sekarang kembali lagi ke ICU. Sampai sekarang Alkhalifi masih di rawat di ICU salah satu RSU Jakarta Selatan.
Untuk pengobatan Alkhalifi di cover BPJS namun saya memang masih membutuhkan bantuan dana untuk biaya akomodasi selama di RS dan keperluan lainnya seperti Pampers ataupun susu high protein khusus untuk bayi saya. Ada beberapa biaya yang tida cover BPJS seperti beberapa obat dan lab yang harsu dilakukan di luar RS. Selain itu dokter juga tidak tahu kapan Alkhalifi akan terus dirawat. Namun saya akan tetap berusaha untuk kesembuhan bayi saya.
Suami saya juga terus berjuang dengan bekerja siang dan malam sebagai driver ojek online dan saya sebagai Ibu rumah tangga. Alkhalifi merupakan anak ketiga kami dan saya berharap dia akan sembuh seperti kakak kakaknya di rumah. Saya berharap saudara saudara berkenan hati membantu saya demi kesembuhan bayi saya.

Sumber berita : Andini (Ibu dari anak) melalui WA penulis.

51. Fayza Shaqueena. Lahir tanggal 17 Agustus 2017. Saat berita ditulis 13 bulan. Suntik di
PKM Cilawu Garut.

Kronologis : T
gl 25.01.18 pagi imunisasi DPT 3. Siangnya anak kejang tanpa gerak hanya mata yang terlihat putihnya saja. Langsung ke dokter umum dikasih obat dan kembali sehat. Selang 1 minggu anak diare selama 7 hari baru dibawa ke igd karena kondisi si anak sudah lemas sekali (dehidrasi). Akhirnya dirawat +-5 hari baru boleh pulang. Waktu hari ke 5 diare, saya bawa anak perjalanan jauh dari Garut-Bandung pulang pergi untuk konsultasi dengan dokter sp.BA karena persiapan mau operasi labio (anak saya labio palato). Saya fikir anak kecapekan karena perjalanan jauh, jadi drop.
Saya tidak melapor karena merasa ini kelalaian saya sebagai ibu, masih belum terfikir kalau ini akibat dari vaksin DPT3. Anak saya sehat sebelum vaksin. Di vaksin yang sebelumnya pernah ada reaksi juga, ketika vaksin DPT1 dan DPT2 reaksi hanya demam 2 harian, lalu dikasih obat penurun demam, sembuh. Satu bulan terakhir anak kejang tanpa demam. Indikasi dokter anak saya epilepsi gen dari ayahnya. Tetapi hasil EEg blm keluar jadi epilepsi atau tidaknya belum tahu. Saya sekarang berobat jalan kalau tiba-tiba terjadi kejang lagi. Ke depannya, saya masih galau antara vaksin atau tidak.
Sumber berita : A
zta Frizta (Ibu dari anak) melalui WA ke penulis.



52. Indriyani (11), asal Kampung Cipetir, RT 04/03, Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Siswi kelas 6 Sekolah Dasar Negeri (SDN) Cipetir 01.




Kronologis : Menurut sang ibu, Omah (40), anaknya itu, meninggal dunia pada Senin (20/8/2018) lalu, seminggu setelah menjalani imunisasi.

Selain itu, ia menuturkan bahwa saat hendak disuntik vaksin DPT, anak satu-satunya itu sedang menderita sakit panas dingin.

"(Pemberitahuan imunisasi) ada, anaknya juga bilang gini, biarin ini mah biar sehat katanya. Lagi panas dingin itu," kata Omah sembari berlinang air mata, di hadapan wartawan, Kamis (23/8/2018).

Padahal, kata dia, anaknya itu sudah memberitahukan kepada petugas kesehatan bahwa dia memang sedang sakit saat hendak disuntik.

Usai jalani imunisasi di sekolah, kata dia, sakit panas yang dialami Indriyani tak kunjung sembuh bahkan keluarga berinisiatif membawanya ke dokter.

Namun, ia tidak menjelaskan rinci ketika Indri diperiksa dokter, seakan-akan seperti menutupi sesuatu.

"Ini mah gak apa-apa udah nasib aja gitu. Ini mah gak banyak bicara lah, gak mau, kalau sodara bilang juga, jangan, jangan didenger katanya," ungkap Omah.

Pihak Puskesmas meragukan kematian siswi SDN Cipetir 01, Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Indriyani (11), berhubungan dengan imunisasi DPT (Difteri, Pertusis dan Tetanus).

Kepala Puskesmas Cigombong, Sonny Budiman, mengatakan bahwa jika ada kekeliruan dalam imunisasi DPT pasti akan berdampak pada banyak siswa tidak hanya satu siswa.

"Kan ada sekitar 500-an yang disuntik, misalkan 50 persen lah kena dampak yang sama, itu baru bisa dipertanyakan vaksinnya," kata Sonny kepada TribunnewsBogor.com, Sabtu (25/8/2018).

Ia mengatakan bahwa Indriyani sebelum mengikuti imunisasi memang sakit, namun kemudian saat dilakukan imunisasi dia sudah sembuh dan masuk sekolah.

Usai divaksin Indriyani mengalami panas dan itu kata dia memang dampak sementara imunisasi.

"Setelah panas itu, dia masuk lagi kok sekolah biasa seminggu," kata Sonny.

Ia mengaku sudah menjalankan SOP sepenuhnya seperti siswa yang sakit tidak boleh menjalani imunisasi.

Bahkan imunisasi program pemerintah itu dilakukan tanpa adanya paksaan.

"Kita sudah sesuai dengan prosedur. Saya agak ragu kalau itu dikaitkan dengan vaksin. Tapi saya belum bisa beri keterangan lebih lanjut karena ini sedang ditangani oleh dinas kesehatan," kata Sonny.

Diberitakan sebelumnya, Seorang siswi kelas 6 Sekolah Dasar Negeri (SDN) Cipetir 01, Indriyani (11), asal Kampung Cipetir, RT 04/03, Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, meninggal usai menjalani imunisasi DPT.
Menurut sang ibu, Omah (40), anaknya itu, meninggal seminggu setelah menjalani imunisasi.
Selain itu, ia menuturkan bahwa saat hendak disuntik vaksin DPT, anaknya itu sedang menderita sakit panas dingin.
Namun ia menerima kematian anak satu-satunya itu dengan ikhlas.
"Ini mah gak apa-apa udah nasib aja gitu. Ini mah gak banyak bicara lah, gak mau, kalau sodara bilang juga, jangan, jangan didenger katanya," ungkap Omah.

Sumber berita : TribunnewsBogor

52. Nazwa Nur Azizah. Umur 12 tahun saat November 2018. warga Rw. 10 Rt. 07 ,Kelurahan Binong - Kecamatan Batununggal.
Kronologis : Nazwa merupakan anak dari pasangan Bpk. Yadi dan Ibu Suryamah, yang mana 10 bulan kebelakang mengalami Tyfus dan Dbd. Setelah sebelumnya menjalani suntik rubella di sekolah bulan Januari 2018, namun seusainya sering demam dan sesak nafas, selanjutnya pihak keluarga membawa anak ke IGD Rs. Pindad lalu dinyatakan Tyfus dan DBD mendapatkan perawatan 8 hari dan pulih, namun setelah 3 bulan di rumah dan sudah beraktifitas kembali kondisi nazwa menurun dan mengalami kejang serta sesak nafas, penanganan pertama dari keluarga membawa ke RS. Al-Islam setelah test lab dinyatakan menderita TB Paru lalu mendapatkan perawatan di ruang isolasi Rs. Al-Islam selama 8 hari.
Kondisi semakin berangsur baik obat tidak pernah telat, yang di berikan oleh Rs. Al islam adalah obat dengan capsul berwarna merah di peruntukan untuk Tb paru.
Berangsur pulih dan sudah bisa beraktifitas, 3 bulan kemudian kondisi Nazwa kembali drop dengan gejala kejang-kejang dan sesak nafas lalu di larikan kembali ke IGD Rs. Al-Islam dan di nyatakan Liver penanganan di berikan dengan pemberian Antibiotik namun anak Kembali Kejang kemudian Nazwa di rujuk ke Rs. Hasan Sadikin - di Rs. Hasan Sadikin Pasien belum di tangani secara intens dan dokter mempersilahkan pulang lalu menganjurkan kembali check up di Hari Selasa,30 Oktober 2018. Namun keluarga tidak yakin karena keadaan anak sudah sangat kesakitan, tidak bisa masuk makanan,keluarga mengambil tindakan pengobatan alternatif di Tasik dan di beri Obat Herbal - Setelahnya kondisi Nazwa kembali membaik dan bisa bersekolah seminggu lamanya, Tepat 4 November kondisi Nazwa kembali menurun demam dan Kejang lalu perut Nazwa mulai membuncit, hingga detik ini keluarga masih kebingungan untuk menempuh jalur pengobatan yang akan di jalani, sementara ada beberapa obat²an yang di konsumsi, sebelum menuju ke perawatan selanjutnya.
Gejala yang sekarang sering terasa sakit kepala, perut membengkak, kaki membengkak, kehilangan nafsu makan, kembung dan sakit, juga jika bagian tubuh tertekan akan menjadi bengkak.
Pengobatan yang sedang berjalan :
Pengobatan Alternatif - di Tasik.
Jaminan Kesehatan : BPJS - Kelas 3
*Kebutuhan* : 1. Perawatan Kesehatan
2. Vitamin
3. Bpjs yang belum di bayarkan selama 3 bulan karena kendala Finansial.
Dokter bilang penyakit Nazwa tidak ada hubungannya dengan vaksin.
Namun, Nazwa menghembuskan nafas terakhirnya tanggal 26 November 2018.

Sumber : tim penggalang dana Nazwa di kitabisa.com

53. Ilham Nur Ahmad. 4 tahun. Dusun Bancang RT 03 RW11, Desa Tahulu, Kecamatan Merak Urak, Kabupaten Tuban.

Kronologis :
 "Anak saya pun pernah jadi korban imunisasi difteri 2 yang ada di puskesmas Dusun Bancang, pagi anak aktif dan sehat, namun sesudah vaksin jam 10an, sekitar jam 5 sore anak saya kelihatan lemas dan merasa kedinginan padahal paracetamolnya sudah diminumkan sesuai petunjuk bidan, lalu sekitar jam 10 malam merasa kedinginan makin parah tapi badannya panas, anaknya juga kaget-kaget begitu, sampai jam 12 malam anak saya kejang kaku seperti kayu. Langsung saya bawa ke RS nu tuban yang jaraknya sekitar 12 km, alhamdulillah dirawat beberapa hari akhirnya sembuh tapi saya selalu tanya kenapa dengan anak saya setelah kena vaksin kok begini, jawaban yang saya terima selalu gak nyambung dengan perasaan saya, yang disayangkan tidak ada kepedulian sama sekali dari bidan desa, menjenguk pun tidak. Semoga musibah saya beberapa bulan lalu jadi pelajaran bagi ortu yang lain. Kalau saya pribadi tidak akan berikan vaksin apapun pada anak saya dari hari itu dan sampai kapanpun, sudah gak percaya lagi."

Sumber : Pakcik (Ayah dari anak lewat WA penulis).
PERIODE 25 AGUSTUS 2018 - AKHIR

1. Rifky (4 tahun). Murid TK Pertiwi. Pulau Balang Lompo, Kelurahan Mattiro Sompe, Kecamatan Liukang Tupabiring, Kabupaten Pangkep, Sulsel.





Kronologis : Awalnya anak pernah sempat demam sebelum disuntik MR, setelah beberapa hari kemudian anak ini sudah sembuh dan kembali bersekolah lagi, lalu disuntik MR tanpa ada pemberitahuan dari pihak sekolah kepada orang tua tanggal 3 Agustus 2018. Beberapa hari kemudian, dia kembali demam lalu si anak dibawa ke puskesmas tanggal 17 Agustus 2018, dengan keluhan demam sejak 3 hari di rumahnya. Beberapa hari kemudian tumbuh cacar hitam di pahanya sampai bocor, dirujuk ke RSUD Pangkep tanggal 20 Agustus 2018 karena demamnya tidak turun-turun dan sudah tampak bintik hitam di sekujur tubuhnya dan luka melebar pada daerah hidung, dirujuk dengan diagnosa suspek DBD. Demam tidak mau turun-turun sampai-sampai si anak tidak bisa makan selama di rumah sakit. Status imunisasi anak lengkap. Rifki meninggal Jumat (24/8/2018), usai mendapat perawatan selama empat hari di RSUD Pangkep.
Rifky (baju putih) saat sehat bersama keluarga

---------------------------------------------------------------------------
Dikarenakan kasusnya sempat viral, instansi terkait pun angkat bicara perihal kasus tersebut. Terlebih lagi, ramainya pemberitaan di media sosial. Wakil Bupati beserta isteri juga sempat melayat ke rumah Rifky. Berita itu menuding penyebab kondisi Rifky memburuk hingga meninggal dunia karena dampak vaksin rubella. Kepala Dinas Kesehatan Pangkep, Dr Indriaty Latif, saat ditemui di ruang kerjanya, Sabtu, 25 Agustus menyampaikan, penyebab sakit yang diderita Rifky hingga meninggal dunia, bukan karena vaksin rubella.
"Penyebab kematian Rifky ini bukan karena dia sudah divaksin. Tetapi karena penyakit pemfigus vulgaris. Karena rentang waktu antara anak ini divaksin cukup lama. Dia divaksin pada 3 Agustus bersama dengan 65 anak lainnya. Sementara nanti pada 15 Agustus ke puskesmas berobat karena demam. Begitu juga tanda-tandanya berbeda apabila dia terkena campak," bebernya. 
Menurut Indriani, reaksi imunisasi vaksin biasanya dapat dilihat 24 jam pasca diberi vaksin dan paling lama 7 hari setelahnya. Sedangkan Rifki, yang sebelumnya diisukan meninggal karena Vaksin MR, didiagnosa mengidap penyakit kulit langka, Vemfigus Vulgaris.
"Kita akan luruskan, sekaitan dengan adanya pasien yg meninggal, kita sudah lacak. Kalau dikatakan meninggal karena vaksin MR itu salah. Biasanya kalau ada reaksi vaksin itu pada waktu itu, ini setelah 13 hari baru muncul ruam," ujar Indriani, Sabtu (25/8/2018).
Dikatakan Indri, Rifki mengidap penyakit auto imun, yang belum diketahui penyebabnya. Ia mengimbau masyarakat untuk tidak ragu mendorong dan meminta anaknya untuk melakukan vaksinasi MR, apalagi statusnya juga sudah di halalkan MUI.
Di tempat lain Direktur RSUD Pangkep angkat bicara "Yang dialami anak ini tidak sama dengan MR. Hanya saja munculnya setelah imunisasi vaksin MR. Jadi diagnosis venfigus vulgaris, penyebabnya tidak diketahui, dan siapa saja bisa kena. Ini tidak ada hubungannya dengan vaksin MR," ujar Direktur RSUD Pangkep dr Annas Ahmad. "Kita minta dukungan media untuk meluruskan ini, bahwa anak ini meninggal bukan karena vaksin. Apalagi MUI sudah membolehkan, dan mengeluarkan status halal. Dan ini merupakan program pemerintah yang harus kita sukseskan," ungkap Annas lagi.
Sementara itu, dokter spesialis anak RSUD Pangkep, Erlin Djamaluddin, mengatakan bahwa gejala yang ada di tubuh Rifki berbeda dengan kasus rubela maupun campak.
"Jadi waktu dia datang, dengan gejala yang tidak sama dengan campak ataupun rubela. Waktu pertama datang hanya ruam besar di hidungnya, lalu terus bertambah. Lalu kita konsul ke dokter kulit. Bahwa ruam yang timbul di tubuh Rifki tidak sama dengan rubela," ungkap Erlin.
Kapolres sudah turun tangan memeriksa kasus ini, kemungkinan ada unsur kelalaian dari bidan dan sekolah karena anak masih belum fit disuntik.
Sumber berita : FajaronlineNewsrakyatku.


2. Nurfauziah Larasati (9), kelas III Sekolah Dasar Negeri 37, Kampung Opas, Kota Pangkalpinang, Pulau Bangka.

Kronologis : Laras hanya bisa terbaring lemas di atas tempat tidurnya sembari menahan sakit. Laras tidak bisa berjalan sejak dua hari lalu setelah disuntik vaksin MR di sekolahnya.
Abdul Halim, ayah Laras, menjelaskan awalnya Laras dalam kondisi sehat dan tidak sedang sakit. Kondisi Laras yang tak bisa berjalan itu berawal saat putrinya itu disuntik imunisasi MR di sekolah pada Sabtu (25/8/2018).
"Mulai tidak bisa jalan sejak kemarin. Parahnya hari ini. (Ini terjadi) setelah disuntik imunisasi MR di sekolahnya," jelas Abdul saat ditemui detikcom, Rabu (29/8/2018) malam di rumahnya di Kampung Opas, Pangkalpinang.
Pantauan detikcom di rumah korban, Laras hanya terbaring lemas sembari merintih sakit (ngilu) di sekujur tubuh. Laras pun tidak bisa berjalan karena kakinya bengkak dengan bentol-bentol merah.
Abdul menceritakan kronologi putrinya hingga terbaring lemas dan tidak bisa berjalan. Berawal dari Laras meminta izin terhadap dirinya untuk suntik MR di sekolahnya.
"Saat anak saya minta izin suntik MR di sekolah, saya tanya, 'Kalau disuntik sehat nggak laras? Demam tidak?' Kalau tidak ada gejala, tidak apa-apa, karena suntik imunisasi kan program pemerintah, pasti bagus, dan saya beri izin," jelasnya sambil mendampingi putrinya terbaring di tempat tidur.Pada Sabtu (25/8) pagi, anaknya bercerita bahwa ternyata yang mengikuti suntik MR hanya orang tujuh. Siswa yang lain tidak diberi izin orang tuanya. "Dari 32 siswa-siswi, yang suntik hanya tujuh orang, termasuk Laras," ceritanya"Itu kan program pemerintah, pasti bagus, apalagi sebelumnya Wakil Gubernur Babel Abdul Fatah sudah memberi izin. Jadi izin suntik saya berikan," ujarnya."Setelah disuntik, anak saya terus saya pantau, dan saya tanyakan keadaan anak saya setiap hari. Sebab, saya lihat di Facebook, setelah disuntik MR, ada yang lumpuh," cerita Abdul.
"Bintik merah (kayak keringat malam) mulai timbul sejak Senin kemarin. Di leher dan perut sudah mulai tumbuh, hingga hari ini anak saya tidak bisa berjalan dan hanya bisa berbaring di tempat tidur," katanya.Meskipun sudah mulai timbul bintik-bintik, Laras masih bersekolah. Tapi ia tidak berani melaporkan kepada guru perihal bintik merah itu.
"Karena Laras mengeluh sakit, saya suruh istri bawa laras ke puskesmas. Cuma dikasih resep oleh dokter. Pas sampai rumah, tidak bisa jalan hingga saat ini. Bintik merah ini keluar di sekujur badan," tegasnya.Ia berharap ada penjelasan dari pihak sekolah kenapa anaknya bisa seperti itu setelah disuntik imunisasi MR.
"Dari tujuh anak, cuma anak saya yang mengalami hal seperti ini. Saya minta doanya agar anak saya cepat sembuh dan bisa kembali beraktivitas seperti biasa," tambahnya. Belum jelas betul apakah Laras tidak bisa berjalan karena suntik imunisasi MR atau bukan.


BANGKAPOS.COM, BANGKA - Nur Fauziah Larasati (9) siswa kelas 3 SDN 37 Pangkalpinang terbaring lemas di kamar kontrakan Gang Mawar V Jalan Depati Bahrin kelurahan Opas kecamatan Taman Sari, Pangkalpinang, Rabu (29/8/2018).
Sesekali bocah itu menangis menahan rasa ngilu pada betis kiri dan kanannya paska di Vaksin Measles Rubella(MR) di sekolah Sabtu (25/8/2018) di tangannya.
Dengan perlahan ia menunjukkan ruam merah tak beraturan yang bermunculan pada sekujur kaki yang menjalar hingga ke badan. Bahkan ruam merah itu juga mulai bermunculan di bagian tangannya.
"Pusing, ngilu kakinya kaku," kata Laras lirih sambil sesekali menangis menahan sakitnya, saat ditemui Bangka Pos, Rabu (29/8/2018) malam.
Laras mulai merasakan pusing dan munculnya ruam pada hari senin, namun ia masih bersekolah. Ketika pulang sekolah tubuhnya memang tidak panas, namun kemunculan ruamnya semakin banyak dan besar.
"Di kelas 7 orang yang suntik, banyak yang enggak masuk. Terus yang masuk enggak suntik karena bawa surat orang tua enggak boleh suntik. Habis suntik enggak sakit, cuma ngilu. Dak nangis juga," ceritanya.
Tubuhnya makin melemas dan kakinya terasa semakin berat pada saat hari selasa, namun masih dipaksakan untuk sekolah. Setelah pulang sekolah ia mulai tidak bisa berdiri bahkan untuk bangun pun mulai susah.
"Sehat sebelum disuntik, makan juga nafsu. Cuma hanya lemas, sakit kaki ini, dak panas badannya," ujarnya.
Abdul Halim (43) ayah dari Laras, menceritakan dirinya mulai khawatir paska melihat ruam yang timbul pada putri pertamanya semakin membesar. Ia tidak langsung membawa ke dokter lantaran berpikir itu merupakan reaksi dari suntikan itu.
"Anaknya sehat sebelum disuntik, dia kan nanya yah jadi dak suntik, ku bilang suntik lah, karena liat iklannya kan ada TV, ini progam pemerintah jadi ku kasih. Tapi ku tanya dia sehat dak, kata dia sehat suntik lah kata ku," katanya.
"Ku pikir itu reaksi suntik, kalau kata orang Bangka itu kayak campak keluar. Tetangga banyak juga lihat katanya bagus campak keluar, belum saya bawa ke dokter," ujarnya.
Ia mulai menyadari anaknya semakin parah pada Selasa pagi. Dirinya mulai panik dan meminta istrinya untuk membawa buah hatinya ke Puskemas pada Rabu (29/8/2018).
"Senin tu baru bintik dikit, tapi pas selasa bercaknya mulai banyak besar dan kakinya mulai susah jalan ngilu dan kaku, mulai dipapah bangunnya, dia bilang pusing juga. tapi masih sekolah juga selasa itu, sekarang kalau mau bangun harus digendong," ujarnya.
Menurutnya, puncak penurunan kondisi kesehatan anak pertama dari tiga saudaranya itu terjadi pada Rabu (29/8/2018).
"Hari inilah mulai puncaknya, lemes sekali. Muncul bercak ini sedikit-sedikit, telapak kaki susah napakanya, kepalanya terasa seperti luka, tapi enggak ada luka. Saya enggak tau kalau suntik itu belum halal, saya cuma lihat iklan di TV itu bagus semua," katanya.
Sandra (29) ibu Laras mengatakan ia membawa putrinya ke Puskesmas Taman Sari Rabu (29/8) pagi sekitar pukul 08.00 WIB dengan menggunakan motor dan dipapahnya.
Setibanya di Puskesmas, ia menyebutkan anaknya hanya mendapatkan penanganan dokter tanpa disentuh.
"Cuma dilihat aja sama dokter, enggak dipegang, terus dikasih resep. Resepnya obat minum sirup sama salep. Saya bilang ke dokter anak saya jadi gini setelah suntik Rubella di sekolah, dokternya cuma bilang iya. Ke Puskesmas saya bawa sampai dipapah dipegangin karena kakinya sulit berdiri," katanya.
Abdul Halim meminta pertanggungjawaban Pemerintah atas kondisi yang menimpa anaknya itu. Ia berencana akan mendatangi sekolah untuk menanyakan langsung kejadian ini.
"Tolong kalau berbahaya jangan diberikan kepada anak. Saya minta pemerintah bertanggungjawab dari sekolah juga, karena ini program pemerintah. Dibantu ini cara pengobatannya jangan sampai lumpuh atau apa," katanya.
Terpisah Kepala Dinas Kesehatan Babel, Mulyono Susanto mengatakan pihaknya akan menindaklanjuti hal ini dan berkoordinasi dengan dinas kesehatan kota.
"Saya akan segera menghubungi puskesmas terkait dan dinkes kota. Ini kan masuk wilayah Pangkalpinang, besok sudah harus ada jawabnya. Besok kami akan berikan jawaban karena harus kroscek dulu," ujarnya.
Disinggung soal reaksi akibat dari Vaksin MR, Mulyono mengatakan ini hal ini merupakan kewenangan dari Komite Ikutan Paska Imunisasi (KIPI).
"Apakah ini dampak dari vaksin MR, ini punya kewenangan untuk menjawab itu KIPI, nanti saya juga akan kontak KIPI," ujarnya.(*)
Nurfauziah Larasati (9), bocah di pangkalpinang, Bangka Belitung (Babel) tak bisa berjalan usai imunisasi Measles and Rubella (MR) di sekolahnya kini mulai membaik. Dokter mengklaim penyakit yang diderita bukan akibat vaksin Measles and Rubella (MR)
dr Helfiani Ketua Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) wilayah Babel, menjelaskan, bahwa penyakit atau gejala yang diderita pasien bukan karena imunisasi MR melainkan karena adanya infeksi virus atau bakteri sebelum terjadinya penyuntikan imunisasi. 
"Setelah kami investigasi sejak kemarin, dari hasil pemeriksaan, sudah kami simpulkan bahwa anak ini menderita penyakit Henoch-Schonlein Purpura, kasus ini juga sudah disampaikan di komnas dan sudah dibahas," jelas Helfiani di RSUD Depati Hamzah Pangkalpinang, Bangka, Jumat (31/8/2018). 
HSP Ini penyakit seperti penyakit penyakit autoimun, yang bisa di cetuskan oleh infeksi virus atau bakteri sebelum terjadinya penyuntikan vaksin MR (satu minggu sebelum). 
"Jadi sebelum imunisasi, mungkin kuman ini sudah masuk. Kemudian setelah tiga empat hari imunisasi baru keluar," tegasnya. 
Ia menceritakan, kalau misalnya sakit tersebut timbul melalui suntik imunisasi MR, bisanya 7 hari setelah disuntik baru kelihatan gejala. Sedangkan ini kan anak ini sudah dari awal tiga empat hari ada gejalanya udah mulai timbul setelah imunisasi. 
"Jadi ini karena inveksi sebelum dia disuntik sudah masuk kumannya. Jadi tidak ada kaitannya," kata Dia. 
Saat disinggung kemungkinan penyakit itu timbul atau memicu keluar setelah di vaksin MR, Helfi mengatakan, hal tersebut bisa saja terjadi. 
"Bisa, cuma kalau berdasarkan kasus ini bukan dari imunisasinya, kalau dari hasil imunisasi seharusnya gejalanya timbul seminggu kemudian. Tapi ini tiga hingga empat hari setelah imunisasi. 
Pantauan detikcom di ruang Asoka RSUD Pangkalpinang, saat ini kondisi pasien sudah beransur membaik, nyeri sudah tak ada lagi, bintikan di kaki sudah berkurang dan sudah tidak demam lagi dan pasien sudah bisa menggerakkan kakinya. 
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bangka Belitung (Babel), Mulyono Susanto juga mengatakan tak ada pengaruh vaksin MR yang bikin Larasati tak bisa jalan. "Awalnya kita sempat khawatir mendengar kabar seperti itu, oleh karena itu kita putuskan harus di rawat di rumah sakit, untuk itu kita serahkan kepada komda KIPI dengan hal inidr Helfiani yang menangani," jelas Mul. 
Ia menambahkan, Vaksin ini sudah digunakan oleh 35 juta anak di Pulau Jawa. Jadi vaksin ini aman digunakan, tidak perlu dipertanyakan kembali dan sudah dilaksanakan di Indonesia. 
"Jika di jawa ada 135 juta anak sudah mendapatkan imunisasi itu, masa saya sendiri masih meragukan tentang vaksin ini. Sedangkan di Jawa sendiri tidak jadi masalah," tambahnya. 
Provinsi Babel sendiri memiliki target 95 persen anak menerima vaksin tersebut. Pihak Dinas Kesehatan sendiri tetap optimis dengan target tersebut. Meskipun waktunya tinggal satu bulan lagi, 60 persen pun belum tercapai. 


Sumber berita : DetikcomDetikcom2


3. Delapan Siswa SMP Negeri 3 Palopo, Sulawesi Selatan dilarikan ke Rumah Sakit St Madyang dan RS At-Medika Palopo diduga akibat Vaksin Measleas Rubella (MR), Rabu (29/08/2018) Pagi.
Kedelapan siswa tersebut mengalami demam tinggi, lemas serta sesak nafas sehingga harus mendapatkan bantuan alat pernafasan oksigen dan infus.
Menurut dokter Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit St Madyang, Amrullah, mengatakan bahwa 5 orang siswa yang dia tangani mengalami gejala awal sesak nafas, lemas dan demam.
“Memang efek samping dari vaksin MR adalah demam, itu muncul setelah divaksin,” kata Amrullah kepada sejumlah awak media.
“Kami sudah melakukan penanganan awal lebih dahulu yakni sesaknya dan demamnya, nanti ditindaklanjuti perkembangannya,” lanjut Amrullah.
Hingga saat ini, kondisi siswi tersebut sudah mulai membaik meskipun masih ada sebagian dari mereka masih lemas dan masih diberikan bantuan pernafasan oksigen.
Sementara itu, Kepala Sekolah SMP negeri 3 kota Palopo, Kartini Alwi, yang dikonfirmasi mengatakan bahwa 8 orang siswanya sedang menjalani perawatan.
“Korban dirawat di 2 rumah sakit yakni di rumah sakit ST Madyang sebanyak 5 orang dan di rumah sakit At-Medika sebanyak 3 orang. Mereka dilarikan ke rumah sakit setelah satu jam divaksin dan mengalami demam tinggi, lemas dan sesak,” jelas Kartini, saat menjenguk siswinya di Rs St Madyang Palopo.
Kepsek SMPN 3 Palopo ini mengaku jika dirinya tidak menolak dan tidak mendukung kegiatan vaksin MR ini, sehingga pihaknya mengembalikan ke orang tua siswa.
“Sebenarnya saya tidak bilang mendukung atau menolak vaksin MR ini, makanya saya serahkan kepada orang tua siswa dan memberikan surat pernyataan menolak atau menerima imunisasi tersebut,” katanya.
Selain itu, dia juga mengatakan jika pada saat petugas mendatangi sekolahnya, dirinya menghimbau agar tidak melakukan vaksi bagi siswa yang tidak sarapan dan memiliki riwayat penyakit lainnya, namun para siswa ini tidak jujur sehingga petugas memberikannya vaksin MR.

Sumber berita : Spotsatu
4. M Iqbal. Siswa di Sekolah Menengah Pertama (SMP) 20 Padang, Sumatera Barat.

Kronologis : Pada berita 1 September 2018 :
Pasca mendapatkan Imunisasi Measles Rubella (MR). Seorang orang anak Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar) terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) M Djamil Padang, untuk mendapatkan perwatan intensif dari pihak rumah sakit. Sebab, usai di vaksin anak tersebut diduga mengalami kelumpuhan pada tangan sebelah kiri.
M Iqbal, Siswa di Sekolah Menengah Pertama (SMP) 20 Padang, Sumatera Barat. M Iqbal saat ini mendapatkan perawatan di HCU anak, RSUP M Djamil Padang.
Hafendi 45 tahun ayah dari M Iqbal menceritakan, sebelum di rawat ke RSUP M Djamil Padang, anaknya di suntuk vaksin, Senin 27 Agustus 2018 yang lalu di sekolahnya. Usai di suntik vaksin, Hafendi menyampaikan anaknya mengeluh kesakitan,
Usai di suntik vaksin di sekolah, anak saya mengeluh ada merasakan sakit di bagian kepala. Kemudian tangannya melemah dan jadi mati rasa. Lalu saya bawa anak saya ke tukang urut di dekat rumah, kemudian tidak jadi di urut,” papar Hafendi kepada awak media di ruangan HCU anak M Djamil Padang.
Lanjut Hafendi, tukang urut dekat rumahnya tersebut menyampaikan kepadanya bahwa anaknya tersebut sakit bukan karena terkilir. Kemudian, Hafendi lansung membawa anaknya tersebut ke Pukesmas, disana pihak Pukesmas menyarankan kepadanya untuk merujuk anaknya ke M Djamil Padang.
“Usai dari tukang urut, saya bawa anak saya ke Pukesmas, lalu disana mereka menyarankan agar anak saya dirujuk ke RSUP M Djamil Padang. Anak saya mulai di rawat di sini (RSUP) sejak tanggal 31 Agustus 2018 kemarin,” terang Hafendi.
Hafendi mengatakan, sejak di rawat di RSUP M Djamil Padang. Kondisi kesehatan anaknya sudah mulai perkembangan. Akan tetapi, anaknya saat ini masih merasakan sakit dibagian kepala belakang. “Tadi pagi sudah ada perkembangan. Tapi anak saya masih merasakan sakit di bagian kepala belakang,” katanya.
Kepala Dinas Kesehatan Sumbar, Merry Yuliesday menuturkan belum tentu penyebab kelumpuhan yang dialami Iqbal disebabkan vaksin MR. "Belum tentu, karena vaksin MR yang dijalaninya. Mungkin karena imunisasi MR ini sedang ramai diperbincangkan, orang menghubungkan semuanya ke situ. Perlu dilihat dulu hasil medisnya," ucap Merry.
Merry meminta masyarakat agar jangan terpengaruh dan terpancing isu tak bertanggung jawab terkait efek samping dari pemberian vaksin MR. Merry menyebutkan, rentang waktu pemberian vaksin dan penyakit yang dialami Iqbal cukup lama. "Kejadiannya berawal dari Iqbal menjalani suntik MR pada Senin (27/8). Habis vaksin tak ada persoalan. Selasa –Kamis kondisinya seperti biasa. Pada Jumat pagi, setelah diguyur air mandi, barulah kondisinya memburuk, hingga harus dilarikan ke rumah sakit," ungkap Kadinkes.
Sedangkan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sumbar dr Pom Harry menerangkan, secara medis, efek vaksin tidak separah itu. "Efek sampingnya ada, namun hanya demam ringan. Demam yang lebih berat bisa terjadi ketika terjadi infeksi lain yang ada pada tubuh anak tersebut," ucapnya.
Dalam posisi sebagai dokter, Pom Harry mengatakan di dunia medis, vaksin bertujuan sangat baik memberi kekebalan pada tubuh sebagai bentuk dari pencegahan ketika virus tersebut muncul nantinya. Ketika muncul virus yang beresiko seperti virus Rubella, tubuh 
sudah kebal dan punya daya tahan.(h/mg-yes).
Dokter spesialis anak Iskandar Syarif yang menangani M.Iqbal (12) siswa SMPN 20 Padang di RSUP M Djamil Padang yang diduga mengalami kelumpuhan pasca mendapat suntik vaksin Measles dan Rubella (MR) pada Jumat, 31 Agustus 2018 memberikan keterangan penyebab kelumpuhan Iqbal.
Di ruang kerja Kepala Dinas Kesehatan Sumbar Merry Yuliesday, Iskandar menerangkan kelumpuhan Iqbal akibat dari radang di Medulla Spinalis.
"Kondisi kesehatan Iqbal kini sudah sangat membaik. Tangannya sudah bisa digerakkan dan sudah bisa diajak bicara," katanya saat memperlihatkan video kondisi Iqbal di ruang rawat, Selasa, 4 September 2018.
Kemudian dijelaskannya, kemungkinan sebelumnya telah ada infeksi virus-virus lain yang menyerang Iqbal.
"Apakah berhubungan dengan vaksin? Jika gejala dan waktunya sama, baru cocok disebabkan oleh vaksin," ungkapnya.
Iskandar menerangkan manfaat vaksin adalah untuk memberi kekebalan khusus. Vaksin MR satu-satunya cara spesifik untuk memberi ketahanan tubuh. Dengan standar anak yang akan diimunisasi, harus disuntik dalam keadaan sehat sebelumnya dan sesudahnya ia tetap sehat.
"Kemungkinan besar kasus Iqbal adalah co-insiden, atau kejadiaannya bersamaan atau kebetulan saat Iqbal sedang imunisasi," ulasnya.
Kepala Dinas Kesehatan Sumbar Merry Yuliesday menghimbau masyarakat agar tidak terpengaruh isu miring soal dampak dari Imunisasi Measles dan Rubella (MR) di Sumbar. Belakang memang ada beberapa kasus anak mengalami gejala tertentu setelah mendapatkan suntik MR di daerah tersebut.
Ada dua kasus di Sumbar yakni seorang siswi Kelas VI SD Negeri 01 Situjuah Ladang Loweh, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Limapuluh Kota, Vega (13) terserang virus Herpes usai mendapatkan Imunisasi Measles Rubella (MR) pada Kamis (2/8/2018). Kemudian baru ini Iqbal (12) siswa SMP 20 Padang yang diduga terdampak akibat imunisasi

Sumber berita : Kabarnagariharianhaluanklikpositif

5. Palkis Kire Sakira. 4 bulan anak pasangan Zulkifli (25) dan Lusiana (26) warga RT 5 RW 2 Desa Bonosari, Kecamatan Sempor, Kebumen, Jateng.

Kronologis : Sakira mengalami demam tinggi usai mendapatkan Imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, dan Tetanus). Meski sempat dirawat di rumah sakit, Sakira akhirnya meninggal dunia, Selasa (28/8/2018).
Duka mendalam pun masih dirasakan pasangan suami istri Zulkifli -Lusiana saat ditemui di rumah mereka, Minggu (3/9/2018). Keduanya lantas menceritakan kronologi kejadian tersebut.
Sakira, kata Lusiana, tidak tinggal bersama mereka. Melainkan dirawat keluarga Sario (61) yang merupakan kakek Sakira. Ini dilakukan karena Zulkifli dan Lusiana masih punya anak lain yang berusia 2 tahun.
Namun sebelumnya, kondisi Sakira baik-baik saja. Hingga kemudian pada Minggu malam (26/8/2018), Sakira mengalami demam.
Sampai saat itu, mereka masih menganggap wajar demam ini mengingat beberapa jam sebelumnya, Sakira habis mendapat imunisasi DPT yang diberikan Bidan Sri Murtini yang membuka praktek di Desa Bejiruyung, Kecamatan Sempor.
Kegelisahan mulai dirasakan saat demam Sakira tak kunjung turun bahkan meningkat pada Senin siang. "Pada malam Senin, anak saya mengalami demam sampai Senin (27/8) siang. Tapi masih wajar. Hanya kemudian menjelang (Senin) sore, demam terus meningkat," tutur Lusiana diamini Zulkifli.
Khawatir dengan kondisi itu, Sario (61) mendatangi tempat praktek bidan dan pulang membawa obat bagi cucunya. “Saat itu bidan hanya menyampaikan, demam setelah imunisasi DPT adalah hal yang umum. Demam dapat terjadi hingga 3 hari,” tutur Lusiana. Kendati sudah diberi obat, kondisi Sakira tak membaik. Malah demamnya semakin tinggi. Puncak demam dialami Sakira pada Senin malam sekitar pukul 22.30 WIB. Seiring dengan itu, kekhawatiran orang tua Sakira memuncak. Akhirnya, mereka memutuskan membawa Sakira ke RS PKU Muhammadiyah Gombong malam itu juga.
Sempat mendapat perawatan, nyawa Sakira tak tertolong. Dia menghembuskan nafas terakhir Selasa (28/8) dini hari, sekitar pukul 01.15 WIB. Jenazah sampai di rumah duka sekitar pukul 02.30 WIB dan dimakamkan keesokan harinya, sekitar pukul 10.00 WIB.
Meski mengaku ikhlas dengan kepergian buah hatinya, Zulkifli dan Lusiana mengaku menyesalkan sikap bidan yang tidak mengunjungi pasien saat Sario datang ke rumah sang Bidan. Namun demikian, mereka tidak menyalahkan siapapun atas musibah yang mereka alami.
“Kami sangat merasa kehilangan. Tapi kami ikhlas dan tidak akan menuntut apapun, biarlah Sakira tenang di alam sana. Yang diimunisasi bukan hanya Sakira saja, dan bayi lain juga sehat. Mungkin kondisi tubuh Sakira tidak sekebal bayi lainnya,” jelas Lusi dengan mata berkaca-kaca.
Terpisah saat ditemui di rumahnya, Bidan Sri Murtini menyampaikan, proses imunisasi telah dilaksanakan dengan benar. Setelah kejadian tersebut, pihaknya juga mencari informasi dari RS PKU Muhammadiyah Gombong.
Dari data yang diterima, saat dibawa ke PKU Gombong, kondisi pasien mengalami dehidrasi tinggi. Selain itu paru-paru Sakira juga dipenuhi cairan.
Hal itu bisa disebabkan karena pasien tersedak saat minum. Sehingga cairan dapat masuk ke paru-paru. “Data yang saya terima dari PKU, paru-paru Sakira dipenuhi cairan. Itu bisa terjadi karena tersedak," ucapnya, sembari menambahkan, saat itu Sario juga tidak membawa Sakira dan tidak pula meminta pihaknya untuk memeriksanya. (mam/cah)
Kronologi Meninggalnya Sakira:
1. Minggu (27/8) Palkis Kire Sakira mendapatkan Imunisasi DPT 3 dan Polio 4.
2. Malamnya hingga Senin siang (28/8) Sakira alami demam yang terus terus meningkat.
3. Senin sekitar pukul 18.00 WIB simbah Sakira yakni Sario mendatang bidan dan diberi obat.
4. Pukul 22.30 WIB, Sakira dibawa ke RS PKU Muhammadiyah Gombong di ruang IGD.
5. Selasa Pukul 01.15 WIB nyawa Sakira tidak tertolong.
6. Pukul 02.30 WIB jenazah dibawa ke rumah duka.
7. Pukul 10.00 WIB jenazah Sakira dikebumikan.
8. Keterangan Bidan dari PKU menyatakan, paru-paru Sakira dipenuhi air yang mungkin disebabkan karena tersedak.

Sumber berita : kebumenexpres


6. Hafidz Khoirul Azam. 6 tahun. Desa Palas Jaya, Lampung Selatan.
Kronologis : Imunisasi vaksin Measless Rubella (MR) dituding menjadi penyebab meninggalnya seorang pelajar kelas 1 SD di wilayah Palas, Lampung Selatan.
Adalah Hafidz Khoirul Azam bin Jumadi (6). Ia mendapatkan imunisasi MR oleh petugas Puskesmas Palas di Balai Desa Palas Jaya, Selasa (4/9).
Informasinya seperti dikutip Kantor Berita RMOLLampung, setelah diimunisasi MR, bocah tersebut demam disertai dengan muntah darah selama tiga hari. Sabtu (8/9), keluarganya membawa Hafidz ke RS Bob Bazar Kalianda.
Ternyata, sampai di RS, pukul 19.30 WIB, Hafidz diketahui dokter sudah meninggal dunia. Orang tuanya kemudian membawa kembali anaknya pulang.
Minggu (9/9), jenazah Hafidz Khoirul Azam dimakamkan desanya. Keluarga korban menerima dengan lapang dada musibah yang dialami keluarganya.
Redaksi melakukan konfirmasi kepada para pihak yang disebutkan dalam berita ini dan akan menampilkannya pada berita yang berbeda selanjutnya. [sri] 
Setelah diimunisasi MR, sang bocah demam yang disertai muntah darah selama tiga hari. Sabtu (8/9), keluarganya membawa Hafidz ke RS Bob Bazar Kalianda.
Ternyata, sampai di RS, pukul 19.30 WIB, sang anak sudah meninggal dunia. Orangtuanya kemudian membawa kembali anaknya pulang. 
Minggu (9/9), jenazah Hafidz Khoirul Azam dimakamkan desanya. Keluarga korban menerima dengan lapang dada musibah yang dialami keluarganya.
Hadir dalam pemakaman almarhum Camat Palas Rikawati, Kepala Desa Palas Jaya Sutaji, Babinkamtibmas Brigadir Zaki, dan Babinsa Koramil 421-08 Palas Serda Aprizal.

KALIANDA (Lampost.co) -- HKA (6) seorang balita di Desa Palasjaya, Kecamatan Palas Lampung Selatan, diduga tewas setelah divaksin imunisasi Measless rubella (MR), Sabtu (8/9/2018). Saat ini kasus itu masih dalam penyelidikan kepolisian. 
Menurut keterangan Kepala Desa Palasjaya, Sutaji mengatakan berdasarkan keterangan orang HKA itu mendapatkan imunisasi MR oleh petugas Puskesmas Palas di Balai Desa Palas Jaya, Selasa (4/9) lalu. Namun setelah diimunisasi MR, sang bocah alami demam disertai muntah darah selama tiga hari.
"Mengetahui tidak sembuh, pada Sabtu (8/9) lalu keluarganya membawa HKA ke Rumah Sakit Bob Bazar Kalianda. Namun, sampai di RS sekitar pukul 19.30 WIB, sang anak sudah meninggal dunia. Orangtuanya kemudian membawa kembali anaknya pulang," ujarnya saat dihubungi Lampost.co, Selasa (11/9/2018).
Menurutnya, hingga kini kasus tersebut masih dalam penyelidikan pihak Kepolisian Polsek Palas dan Polres Lamsel. Kemudian, pihak Dinas Kesehatan pun sudah turun kerumah korban.
"HKA sudah dimakamkan, Minggu (9/9/2018) lalu. Sejauh ini keluarga korban telah menerima dengan lapang dada musibah yang dialami," katanya. 
Sementara itu, Kapolsek Palas Iptu Budi Purnomo mengatakan kasus itu sudah ditangani pihak Polsek Palas bersama Reskrim Polres Lamsel. Bahkan, Senin (10/9/2018) telah turun untuk menyelidiki dugaan tersebut. 
"Pihak Petugas kesehatan dan kedua orang tunya sudah dimintai keterangan. Saat ini masih dalam penyelidikan pihak kepolisian," ujarnya. 
Dia mengatakan untuk memastikan kebenaran apakah korban meninggal akibat suntikan vaksin imunisasi MR, harus dibuktikan dengan autopsi. Namun, sejauh ini pihak keluarga belum menyetujui untuk dilakukan autopsi. 
"Yang jelas, hingga saat ini belum tau apa penyebabnya. Untuk membuktikan itu hanya dilakukan autopsi. Namun, pihak keluarga belum menyetujuinya," ujarnya.


Sumber berita : rmollampungrmolsumsel|

7. La Ode Riski Barakati (6). Siswa Sekolah Dasar (SD) Negeri 30 Kota Ternate, Kelurahan Kayu Merah Kecamatan Ternate Selatan



Kronologis : KBRN, Ternate: Satu siswa Sekolah Dasar (SD) Negeri 30 Kota Ternate, Kelurahan Kayu Merah Kecamatan Ternate Selatan atas nama La Ode Riski Barakati (6) akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Hasan Busorry Ternate, Minggu (16/9/2018).

Ode yang masih duduk dibangku kelas 1 SDN Ternate ini diduga meninggal karena disuntik vaksinasi Measles-Rubella (MR) yang dilakukan dinas kesehatan (Dinkes) Kota Ternate pada 4 September 2018 lalu saat melakukan program imunisasi di sekolah tersebut.

Ayah almarhum, La Ode Imam Bahri mengaku sangat sedih atas meninggalnya putra sulungnya itu karena diduga vaksin yang disuntikan itu merupakan salah satu penyebab. 

Ia mengaku, program imunisasi yang dicanangkan pihak Dinkes Ternate melalui Puskemas Kalumata yang melibatkan siswa sekolah SDN 30 Ternate tersebut tanpa sosialisakan kepada orang tua wali. 

Menurut dia, anaknya setelah disuntik vaksinasi MR pada tanggal 4 itu terhitung tanggal 5 sampai 7 September mengelami perubahan prilaku ketika diamati saat berada dirumah. 

Sebab kesehatan anaknya itu menurun drastis karena panas badan, sering murung-murung, tidak sadarkan diri, gangguan penglihatan, kurang mendengar, kurang makan, muntah-muntah, hingga kejang-kejang. 

Dia menambahkan setelah anaknya disuntik itu masih berkesempatan pergi ke sekolah, tetapi perilaku tidak lagi seperti biasanya sehingga membuat kaget sejumlah guru sekolahnya.

"Setelah anak saya suntik vaksin rubella dan pulang ke rumah, mulai tanggal 5 keatas itu kadang anak saya berdiam diri dan badannya panas, tapi dia sempat pergi ke sekolah bebarapa hari dengan kondisi matanya sudah terganggu, karena waktu itu dia mengeluh kepada saya dan sempat dibelikan kacamata dari mamanya, namun makin hari kesehatanya makin parah" ungkap La Ode Imam kepada sejumlah wartawan, Selasa (18/9/2018).

La Ode Imam yang berpofesi sebagai petani sayur ini juga mengatakan, anaknya sempat dibawah ke puskemas Kalumata untuk diperiksa, namun kesehatanya semakin kritis sehingga meminta rujukan ke RSUD Hasan Boesori. Setelah dirawat dirumah sakit selama 4 hari diruang ICU, namun nyawanya tidak lagi tertolong dan meninggal dengan kondisi seluruh tubuhnya terasa kaku dan keras seperti batu.

"Saya kaget tubuh anak bungsu saya itu keras sekali waktu meninggal" katanya.

Dengan adanya peristiwa tersebut, dirinya meminta kepada Dinas Kesehatan harus bertanggungjawab untuk memberi penjelasan secara detail penyebab kematian anaknya tersebut, karena jika tidak, masalah ini bakal dilaporkan ke pihak kepolisian untuk mengusut kejanggalan vaksin campak dari program imunasasi di SD Negeri 30 Ternate itu.

"Peristiwa yang menimpah anak saya ini jangan sampai memakan korban lain. maka itu Dinkes tidak boleh lepas tanggungjawab untuk menjelaskan kepada kami" tegasnya.

Penesehat Hukum orang tua korban dari YLBH Malut Sarman Saroden, menegaskan kejadian dugaan suntik vaksinisasi campak rubella tanggal 4 September yang menyebabkan kematian anak dari Kliennya tersebut tetap diusut. 

Dia juga mengatakan atas kejadian itu pihaknya meminta sekolah SDN 29 Ternate yang bersebelahan dengan SDN 30 Ternate agar menunda sementara program imunasasi campak rubella sampai ada Kepstian penjelesan dari Dinkes kota Ternate

"Kematian salah satu siswa SDN 30 Kayu Merah itu, kami akan lakukan Advokasi agar mendapatkan kepastian terhadap penyebab meninggalnya korban" tegas Sarman.

Sementara itu, Kadinkes Kota Ternate dr. Fatiyah Suma menuturkan, terkait dengan kasus yang terjadi di Kota Ternate POKJA Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang di SK-kan oleh Walikota, tugasnya pengawasan terhadap Kejadian KIPI dan ini ranahnya POKJA KIPI dengan Komda KIPI Maluku Utara untuk mengaudit kasus tersebut.

"Setelah di audit kasus dengan Komnas KIPI pusat maka Rabu besok baru ada pernyataan pers sekaligus untuk kasus yang ada karena Dinkes Ternate dan Dinkes Provinsin Malut selaku (Komda KIPI daerah) diundang audit kasus langsung didepan Komnas KIPI pusat,” ucapnya.

Ia menyebutkan sesuai surat yang diterima Nomor: 70/Adm/KIPI/IX/2018 14 September 2018 dalam perihal Undangan Audit Kasus KIPI. 

Dijelaskan Fatiyah, sehubungan pelaksanaan program Kampanye Imunisasi Measles Rubella (MR) di 28 Provinsi pada bulan Agustus–September 2018, maka menghadiri Pertemuan Audit Kasus KIPI yang akan diselenggarakan hari ini pukul 09.00 – 13.00 WIB di Ruang Rapat D1, Gedung D, Lantau 4 Ditjen P2P jalan Percetakan Negara No.29, Jakarta Pusat. Kata dia, KIPI serius MR di tiga daerah Bengkulu, Lampung dan Maluku Utara.

Untuk itu didepan Komnas PP-KIPI akan disampaikan hasil audit kasus tersebut, maka itu dirinya menghimbau agar pada saat kegiatan imunisasi para bayi/balita dan anak usia sekolah (sasaran usia 9 bulan hingga 15 tahun) agar dapat didampingi oleh orang tua serta pastikan saat skrening sebelum imunisasi keadaan anak dalam kondisi sehat dan tidak ada gejala yang menjadi kontra indikasi pemberian imunisasi.

Selain Itu dirinya juga meminta untuk masyarakat khususnya orang tua agar jangan ragu meminta informasi dari tenaga kesehatan yang ada dilapangan terkait informasi tentang imunisasi dan penyakit lainnya.

“Kunci sukses program imunisasi adalah terbangunnya komunikasi yang baik dan harmonis antara komponen masyarakat, tenaga kesehatan selaku pelaksana kegiatan di lapangan, pemerintah daerah dalam hal ini lintas sektor terkait,” pungkasnya.


RN, Ternate: Teka-teki kematian siswa SD Negeri 30 Ternate, Kelurahan Kayu Marah M, Kecamatan Kota Ternate Selatan, La Ode Riski Barakati, yang diduga meninggal pasca vaksinasi Measles-Rubella (MR) disekolah dihantah oleh tim Komite Daerah Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komda PP-KIPI) Provinsi Malut.
Bantahan tersebut, disampaikan tim Komda KIPI, di aula Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Ternate, Kamis (20/9/2018) yang dihadiri langsung oleh tim dokter dari Rumas Sakit Umum Daerah (RSUD) Chasan Busoery, kepala puskesmas Kelurahan Kalumata dan perwakilan UNICEF Malut serta kedua orang tua korban.
Dimana menurut ketua tim dokter KIPI Malut, Nani Hermaini SPa yang juga dokter spesialis anak menyebutkan, dari hasil investigasi tim dokter KIPI dapat disimpulkan bahwa, korban La Ode Riski Barakati meninggal bukan karena vaksi rubella, pasalnya dari hasil pemeriksaan, korban mengidap penyakit Radang Otak yang disebabkan inveksi virus.
“Yang pasti bukan karena vaksin MR tapi korban sudah terdeteksi virus,” tegasnya.
Karena lanjut dia, pada saat dilakukan suntik MR dilingkungan sekolah, Riski dikelompokan dalam satu file anak yang berjumlah 8 orang, dan pasca imunisasi ke 7 teman Riski tidak mengalami gangguan kesehatan dan mereka sehat-sehat saja.
Bahkan dia juga menambahkan, program nasional yang difokuskan diluar Jawa mulai Agustus hingga September 2018 ini, untuk wilayah Provinsi Malut, tercatat dua orang yang mengalami nasib yang sama salah satunya arisku yang ada di Kota Ternate.
“Selain Riski, memang kami juga terima laporan ada di Halteng dan setelah kami lakukan pendalaman memang bukan karena vaksin melainkan penyakit yang diderita dua koran itu, itu sebelum pemberian vaksim MR,” ucap Nani. Ketua Tim dokter Komda KIPI Provinsi Malut. 
Sementara itu, Husen Assagaf selaku dokter RSUD Chasan Bosoire Ternate yang menangani pasien La Ode Riski Barakati, mengaku. Dari hasil pemeriksaan LAB Apusan Darah Tepi, atau pemeriksaan sel-sel darah menggunakan mikroskop, ternyata korban Riski dari kedaan rawat hingga meninggal dunia, korban juga mengalami regulasi Toksin, atau sebuah zat beracun yang diproduksi di dalam sel atau organisme.
“Dari kejadian itulah korban gampang terkena virus yang menyebabkan kematian" katanya. 
Ditambahkan, korban Riski sesuai dari hasil pemeriksaan Glasgow Coma Scale (GCS) atau menilai skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien, apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak. Ternyata GCS nya korban berada pada tingkat 10 karbon.
“Saya sudah banyak berbicara dengan ibu korban mulai dari masih dirawat hingga hari terakhir, yang pasti insiden ini tidak ada kaitan dengan MR,” tuturnya.
Orang tua korban Imam Bahri dalam kesempatan tersebut mengungkapkan, dirinya merasa tidak etis dalam kasus ini. Sebab berbagai penjelasan dari Kopda KIPI tentu, sebagai orang tua dirinya sangat menyesali pihak Sekolah SD 30 dan Dinas Kesehatan. Pasalnya pada saat anaknya Riski Barakati di suntik vaksin Rubella, dirinya tidak diberitahu pihak sekolah dan dinas kesehatan dalam hal ini petugas dari puskesmas Kalumata.
“Secara pribadi saya sangat kecewa. Karena sebagai orang tua saya tidak diberitahu bahwa anak saya di vaksin MR. Tentu kematian itu takdirnya Allah, namun penyebab dari vaksin ini anak saya jadi korban,” tuturnya dengan eajah sedih.
Untuk itu dirinya berharap kasus ini cukup sampai disini dan jangan lagi dialami oleh anak-anak lain.
“Cukup saya saja yang alami jangan pada korban lain,” sesal Imam sembari mengatakan, jika sudah begini siapa yang bertanggungjawab atas kematian anak saya

KBRN, Ternate : Komite Daerah Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komda PP-KIPI) Provinsi Maluku Utara (Malut) Nani Hermani mengaku, selama melakukan program imunisasi campak Measles-Rubella (MR) di wilayah Malut sejak Agustus-September 2018 ini, Komda KIPI dan Komnas KIPI telah menangani dua laporan yang terjadi di masyarakat pasca imunisasi.
Kejadian yang terjadi di wilayah Malut pasca imunisasi itu, yang pertama terjadi di Kecamatan Weda, Kabupten Halmahera Tengah (Halteng) dengan korban atas nama Eka Safitri (10), sementara korban kedua terjadi di Kota Ternate atas nama La Ode Riski Barakati (6).
Dengan adanya kejadian tersebut, Dr. Nani Armaini yang juga spesalis anak menegaskan, imunisasi campak MR yang dilakukan diluar pulau Jawa ini tidak ada kaitan dengan insiden kematian dua korban baik Eka Safitri maupun La Ode Riski Barakati.
Pasalnya, setelah mendapat laporan pasca imunisasi tersebut, pihaknya bersama dengan 3 provinsi lainya dipanggil ke Jakarta untuk mengkaji laporan tersebut, bahkan dari hasil pemeriksaan LAB dua korban itu bukan karena suntik MR melainkan penyakit yang diderita masing-masing korban.
Dimana lanjut dia, untuk korban Eka yang mengikuti program MR di sekolah tersebut, mengikuti imunisasi pada tanggal 20 Agustus, dan pada saat yang sama dan botol yang sama pada korban itu, juga dilakukan suntik pada beberapa anak lainya dan ternyata anak lain itu yang berjumlah 7 orang tidak mengalami masalah.
“Mereka tidak apa-ap dan yang mengalami masalah ini hanya eka saja, kalaupun vaksin yang diberikan itu bermasalah maka 7 anak lainya juga akan mengalami masalah yang sama,” ucapnya, Kamis (20/9/2018).
Lebih lanjut, Dr. Nani mengemukakan, Eka Safitri ini tepatnya pada Selasa 11 September, korban dikonsultasi ke RS Tentara selama satu hari, karena di RS tersebut tidak memiliki dokter anak maka korban langsung dirujuk ke RSUD Ternate namun selama di RS Tentara Ternate korban terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan yang rutin-rutin terutama pemeriksaan urine atau air seni.
“Dari hasil pemeriksaan urine itu sebenarnya kami sudah bisa simpulkan karena dari hasil pemeriksaannya didapatkan sel dara merah lebih dari 20 dan sel dara putih banyak, dan bahkan di RSU yang bersangkutan di diagnosa kejadian troposit turun yang belum diketahui penyebabnya,” ucapnya lagi.
Maka itu dirinya juga menambahkan, korban langsung ditangani oleh dokter jaga pada saat itu dan dilakukan pemeriksaan lengkap termasuk pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan urine kembali dan bahkan ada pemeriksaan yang tidak bisa dilakukan di RSU tersebut kita lakukan pemeriksaan di LAB swasta.
“Sebelum dilakukan pengkajian oleh Komnas, kami dari Komda bersama dengan beberapa dokter kita sudah bisa menyimpulkan bahwa anak ini ternyata penyebab sakitnya itu terjadi infeksi pada ginjal yang penyebabnya terjadi setelah infeksi streptococcus, dan streptococcusini merupakan kuman yang biasanya terjadi pada saluran pernapasan,” tuturnya lagi sembari menyampaikan bahwa bisa menarik kesimpulan bahwa penyebab kematian anak ini karena radang ginjal karena adanya streptococcus.
Sementara untuk korban La Ode Riski Barakati menurut Dr. Nani, penyebab kematiannya karena korban mengidap penyakit Radang Otak yang disebabkan inveksi virus.
“Jadi korban Riski ini tidak meninggal karena suntik MR, dan ini juga sama dengan korban pertama,” cetusnya.
Menanggapi pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat terkait dengan program vaksin Rubella yang di prioritaskan di sejumlah SD di Kota Ternate, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) perwakilan Kota Ternate, Ibrahim Muhammad pada kesempatan itu menegaskan. Sesuai keputusan MUI nomor 33 tahun 2018 tentang penggunaan vaksi Rubella untuk imunisasi, pada dasarnya vaksin yang di impor dari Serum Institute of India itu haram.
Namun dengan keadan terpaksa MUI kemudia memutuskan penggunaan vaksi Rubella diperbolehkan dengan tiga alasan diantaranya, adanya kondisi keterpaksaan (darurat syar'iyyah). Kedua, belum ditemukan vaksim MR yang halal dan suci. Ketiga, ada keterangan dari ahli yang kompeten dan dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi vaksi MR.
“Selain itu jika berdasarkan syariat islam. Sesuatu yang masih diragukan jika dalam kedan terpaksa, bisa saja di vaksin dan bisa saja tidak di vaksin. Terkecuali keadan terpaksa, dan itu harus ada persetujuan orang tua," tuturnya.
Sementara itu, untuk menyukseskan program vaksin MR secara nasional di tingkat sekolah, khususnya di Kota Ternate, Kepala Dinas pendidikan dan kebudayaan (Kadikbud) Kota Ternate, Ibrahim Muhammad, pada kesempatan tersebut menerangkan, Intinya program ini pihaknya hanya menjalankan sebagaimana perintah Walikota untuk mengsukseskan program vaksim MR di tingkat sekolah SD di Kota Ternate, namun harus sesuai mekanisme, dimana segala sesuatu harus dikembalikan kepada orang tua siswa.
“Jika orang tua siswa tidak mau anaknya tidak di suntik vaksin MR maka pihak sekolah maupun dinas kesehatan harus mematuhi keinginan mereka. Hanya saja Dinas pendidikan pada prinsipnya tetap mendukung program ini,” pungkasnya.

Sumber berita : rri, rri2


8. Afifah nur Sholehah (7thn). Siswi kelas 1 sekolah dasar (SD) 163 desa Bukit Suban Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi.

Kronologis : SAROLANGUN – Seorang siswi kelas 1 sekolah dasar (SD) 163 desa Bukit Suban Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi, berjenis kelamin perempuan bernama Afifah nur Sholehah (7thn) terkena penyakit aneh semacam cacar air disekujur tubuhnya.
Berdasarkan pengakuan pihak keluarga hal itu terjadi, setelah anak tersebut mengikuti vaksin rubella di sekolahnya.
“Betul itu keponakan saya, tapi soal alergi itu belum ada keterangan dari Dokter karena kami juga awam,” kata paman korban Mujito, yang juga kepala desa Bukit Suban, dihubungi minggu malam.
Ia mengatakan soal dugaan adanya kejadian itu pasca diberikannya vaksin rubella ia tidak berani memastikan, namun anak tersebut mengalami penyakit seperti itu setelah dua hari usai mengikuti kegiatan vaksin tersebut.
“Itu dua hari setelah ada penyuntikan itu (Vaksin Rubella) ada gatal di mata, dan dikira kakak saya itu cuman penyakit cacar biasa tapi kok tambah terus seperti itu, tapi kami sudah konsultasi ke dokter dan sekarang sudah di rumah sakit raden mataher jambi,” katanya.
“Tapi tinggal nunggu hasil labor dulu bang sudah di tangani dokter spesialis bang,” katanya menambahkan.
Sebelumnya keponakanya itu sempat dilarikan ke RS Chatib Quzwain, karena tak ada dokter lantas dibawak ke rumah sakit di Bangko dan semalam dirawat inap. Namun karena keterbatasan teknis, bocah kelas 1 SD itu dirujuklah ke rumah sakit Jambi.
Menaggapi hal itu, pihak puskesmas pematang kabau Kecamatan Air Hitam yang menjadi tempat pelaksana kegiatan pemberian vaksin rubella tersebut mengatakan bahwa pihaknya sudah melakukan investigasi ke lapangan terkait kejadian yang menimpa siswi sekolah dasar itu.
“Kami sudah melaksanakan investigasi di lapangan kemaren, bahwa anak tersebut kami berikan imunisasi pada tgl 7 Agustus 2018,” kata kepala Puskesmas Pematang Kabau, Usman, Minggu Malam.
Ia mengatakan menurut pengakuan ibu nya korban sakit tersebut baru terjadi sekitar 2 minggu.
“Dan dulu beberapa tahun yang lalu anak tersebut pernah mengalami penyakit yang sama, tapi tidak separah saat ini.
Berdasarkan juknis pemberian dan dampak imunisasi MR dari Kemenkes RI, tidak ada seperti penyakit yang tersebut diatas,” kata Usman.
Informasi ini beredar dibeberapa group Whatshaap (WA) dalam lingkungan masyarakat kecamatan air hitam, malam ini.
Dengan berbagai cuitan disertai foto saat menyampaikan postingan. Salah satunya dengan kata-kata “siswi SD 163 bukit suban, hati-hati dengan suntik vaksin Rubela.
Di group K3S Air Hitam langsung tanya ke kepsek SD tersebut, apa benar beritanya apa Hoax.
Cuma saya tidak termasuk d dalam group tersebut, cuma tadi ada temen yang dari diknas kabupaten yang bertanya dan kirim photo itu. Demikian beberapa cuitan yang didapat dalam group tersebut.
Hingga berita ini diterbitkan belum ada tanggapan dari pihak dinas kesehatan Kabupaten Sarolangun terkait persoalan tersebut.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Sarolangun, Adnan mengatakan, pihaknya belum bisa memastikan apakah penyakit yang diderita Afifah akibat vaksin MR atau penyakit lain. Saat ini pihak Dinkes Sarolangun masih menunggu hasil laboratorium.

"Petugas kami sekarang mendampingi petugas laboratirium," katanya.

Jika nanti terbukti benar penyakit Afifah disebabkan dari vaksin MR, ia menduga akan ada 7 anak lainnya yang akan mengalami hal yang sama seperti Afifah. Sabab dalam satu botol vaksin MR untuk 8 anak.

"Yang pasti kita nunggu hasil laboratorium lah," katanya.

Berdasarkan instruksi pak Bupati ka Dinkes & Ka Diknas utk sementara pemberian vaksim Rubella pada anak sekolah di stop dulu dan laporkan ke Dinkes propinsi jambi atas kejadian yg menimpa anak SD Bukit suban an. Afipah Nur

Sumber berita : penajambikajanglakotribunews


9. Naira Cantia Fitrianingrum. Lahir tanggal 7 juli 2017. Saat kena KIPI umur 14 bulan. Posyandu Taman ciruas permai blok i2 Desa Pelawad, Kec. Ciruas, Kab. Serang
Kronologis : Tanggal 13 September 2018 (Kamis) imunisasi difteri di posyandu pada pagi hari. Siangnya, anak demam, lalu dikasih obat tetapi muntah, lalu dikasih obat kembali, namun anak muntah lagi. Jam 9 malam demamnya masih tinggi, lalu ibu memutuskan untuk memberikan obat penurun panas lewat anus. Sekitar 2 menit setelahnya, anak langsung kejang, berlangsung lumayan lama karena perjalanan dari rumah ke rumah sakit anak masih kejang. Sesampainya rumah sakit, anak langsung sadar. Dokter memeriksa dan mengatakan anak tidak apa-apa, lalu disuruh pulang. Sesampainya di rumah, badan anak memang sudah adem, namun jam 4 pagi (Jumat) demam kembali lalu ibu kembali memberi obat penurun panas lagi lewat anus. Lalu, badan anak kembali adem. Namun siangnya, jam 1 anak kembali mengalami kejang langsung dibawa ke RS, diopname, demamnya naik turun. Diagnosa dokternya, memang karena efek imunisasi. Dokter bertanya kepada sang ibu, apakah pernah ada riwayat kejang sebelumnya, lalu Ibu menceritakan bahwa sebulan sebelumnya anak memang pernah kejang tetapi tidak sampai dirawat. Ibu menceritakan sekarang anaknya kejang setelah sebelumnya divaksin. Dokternya berpesan, bahwa anak jangan lagi diimunisasi untuk ke depannya. Ibu pernah bertanya lagi untuk memastikan, apakah anak punya kemungkinan penyakit lain, namun dokter memastikan bukan karena panyakit lain namun efek imunisasi, biasanya memang sekitar 48 jam. Saat kejadian, Ibu tidak sempat melapor. Pengobatan dengan BPJS. Tanggal 17 September 2018 sudah pulang dari RS.

Sumber berita : Darmini (Ibu dari anak) melalui Elly, tim pengumpul data KIPI Komunitas Thinker Parents.

10. Wildan (12 tahun). Santri dari Pondok Lirboyo Kota Kediri.
Add caption
Kronologis :
Mengharukan, bapak ini memperjuangkan nasib anaknya yang saat ini tengah dalam keadaan lumpuh total terbaring lemas di RSUD dr Saiful Anwar Malang. Diketahui bapak ini adalah Suyanto (58) asal Desa Sumberjo Kulon Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung.
Dengan berjalan kaki sembari tubuhnya dikalungi selebaran kertas yang bertuliskan "Anakku Korban Suntik Rubella, Menuntut Keadilan Untuk Anakku Wildan". Kurang lebihnya tulisan tersebut berbunyi seperti itu dan ia berjalan kaki dari Gedung GNI Kota Kediri hingga menuju Dinas Kesehatan Kota Kediri tepatnya di Jalan RA. Kartini No 7.
Lantas yang menjadi pertanyaan besar, apa yang menjadi latar belakang serta masalah yang dialami oleh bapak ini.
Suyanto (ayah korban) mengaku bahwa anaknya yang bernama Wildan (12) Santri dari Pondok Lirboyo Kota Kediri, mengalami kelumpuhan pada organ tubuh bagian kedua kaki dan kedua belah tangannya setelah dilakukannya suntik imunisasi pada saat itu.
"Kejadiannya adalah pada hari Jum'at (24/10/2018). Dimana anak laki-laki saya ini bernama Wildan pada saat itu tengah dilakukan suntik imunisasi yang berlokasi di Pondok Lirboyo Kota Kediri (Wildan adalah santri dari Pondok Lirboyo Kota Kediri, Red). Nah, setelah dilakukannya suntik imunisasi, anak saya malam harinya mengeluhkan kedua kaki dan tangannya sulit untuk digerakkan. Dan selang waktu 2 hari setelah mendapat kabar tersebut saya berkunjung ke Pondok dan langsung membawa anak saya ke Puskesmas Campurejo. "Saat itu anak saya telah dalam keadaan lumpuh tak dapat bergerak sama sekali," kata Suyanto saat ditemui di Kantor Dinas Kesehatan Kota Kediri.
Masih kata Suyanto menjelaskan kembali kronologi cerita kepada tim liputan Tabloid Demonstran, Setelah dibawa ke Puskesmas Campurejo, ternyata pihak Puskesmas tidak mampu untuk menangani dan merujuk ke rumah sakit.
"Pihak puskesmas tidak mampu untuk menangani anak saya, dan saat itu juga langsung saya bawa ke RSUD Tulungagung. Singkat cerita pihak rumah sakit Tulungagung juga menyuruh kami untuk merujuk ke rumah sakit lain karena terkait dengan fasilitas yang kurang memadai. Sehingga pada Senin (29/10/2018) anak saya kembali dirujuk di RSUD dr Saiful Anwar Malang hingga saat ini. Sementara kondisi anak saya juga masih lumpuh total," ungkap Suyanto dengan menangis.
Sementara itu tujuan Suyanto mendatangi Dinas Kesehatan Kota Kediri menuntut terkait pertanggung jawaban Dinas Kesehatan dan meminta bantuan terhadap biaya-biaya pengobatan hingga anaknya sembuh.
"Kedatangan saya kemari menuntut serta meminta bantuan kepada Dinas Kesehatan untuk membiayai biaya pengobatan anak kami yang saat ini tengah di rawat di RSUD dr Saiful Anwar. Karena diketahui biaya pengobatan sejauh ini sudah mencapai 127 juta rupiah. Sementara pihak BPJS hanya mampu membiayai sebesar 17 juta rupiah saja. Jika kami disuruh membayar biaya sebesar itu, kami merasa bingung. Uang dari mana untuk mencari sabanyak itu," beber Suyanto.
Sementara itu Suyanto berhasil ditemui oleh Dr. H. Rizal Amin perwakilan dari Dinas Kesehatan Kota Kediri.
Dalam pertemuan tersebut Rizal Amin mengaku menerima dengan baik terkait aspirasi dan juga keluhan yang disampaikan oleh Suyanto.
"Kami menerima aspirasi serta menjadi keluhan dari saudara bapak Suyanto. Namun saya sendiri tidak bisa serta merta untuk memutuskan terkait kebijakan dalam perihal ini. Akan tetapi berdasarkan arahan dari Kepala Dinas Kota Kediri melalui telfon (Kepala Dinas tidak ada ditempat, Red), bahwa beliau ingin bertemu secara langsung dengan Suyanto. Dijadwalkan besok Selasa (6/11/2018), akan dilakukan koordinasi serta pembahasan lebih mendalam terhadap korban," terangnya.
Diketahui berdasarkan pengakuan dari ayah korban. Anaknya tersebut tak pernah mempunyai penyakit kronis. Namun satu hari sebelum korban ini disuntik, anak ini memang baru saja sembuh dari sakit panas dan juga masalah pencernaan (diare).
Anak saya tak pernah memiliki riwayat penyakit kronis. Namun satu hari sebelum dilakukan suntik imunisasi, anak saya memang dalam keadaan baru sembuh penyakit panas dan gangguan pencernaan," jelas Suyanto.

REPUBLIKA.CO.ID, KEDIRI -- Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Kediri, Fauzan Adima memberikan klarifikasi terhadap kasus lumpuhnya salah santri MTs Lirboyo. Dia memastikan kelumpuhan santri bukan akibat dari vaksin Measless Rubella (MR).
"Jadi yang pertama yang perlu diklarifikasi dulu bahwa yang bersangkutan ini bukan akibat imunisasi MR tapi difteri. Vaksin MR sudah dilakukan setahun lalu," ujar Fauzan saat dihubungi Republika, Kamis (8/11).
Lebih detail, Fauzan menerangkan, santri asal Tulungagung ini sebenarnya telah mendapatkan imunisasi difteri sebanyak tiga kali. Putaran pertama berlangsung sekitar Februari lalu sesi kedua dilaksanakan pada Agustus 2018. Dari kedua tahapan ini, Fauzan memastikan, santri tidak mengalami masalah apa pun pada kesehatannya.
Sementara, vaksinasi difteri putaran ketiga dilaksanakan sekitar 24 Oktober lalu di MTs Lirboyo, Kota Kediri. Dua hari setelah kegiatan ini, santri bernama Wildan (12) dilaporkan mengeluh kakinya sulit digerakkan. Kemudian santri langsung dibawa ke puskesmas terdekat oleh keluarga.
Karena perlu pengananan lebih lanjut, puskesmas merujuk pasien ke Rumah Sakit (RS). "Dan RS yang diminta keluarganya itu di Tulungagung karena rumahnya di sana. Jadinya dirawat di RSUD Tulungagung," jelas Fauzan.
Berdasarkan informasi yang didapat Dinkes Kota Kediri, santri Wildan ternyata dirawat di RSUD Tulungagung selama tiga hari. Karena tidak ada perubahan, santri langsung dirujuk ke Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Kota Malang. Dari diagnosis RS, santri dinyatakan mengidap penyakit Guillan Barre Syndrome (GBS).
"Nah, kalau lihat dari penyakit ini, GBS itu enggak ada hubungannya dengan imunisasi difetri. Logikanya kan yang disuntik itu lengan kiri tapi lumpuhnya kaki, harusnya di tangan dulu. Itu logika awamnya tapi dari medis memang tidak ada hubungannya," ujar dia.
Karena kondisi tersebut, hal yang dialami Wildan pun dimasukkan ke dalam kejadian khusus. Dalam hal ini masuk pada kategori Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Kelumpuhan individu terkait terjadi dua hari setelah pelaksanaan vaksinasi difteri.
Sebelumnya, warga Desa Sumberejo Kulon, Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, Wildan (12) dilaporkan lumpuh setelah divaksin Measless Rubella (MR). Setelah mengikuti imunisasi massal di MTs Lirboyo, Kota Kediri, sepasang kaki Wildan tiba-tiba tidak bisa digerakkan. Menurut sang ayah, Suyanto (58), anaknya menderita Guillan Barre Syndrome.
Kondisi terakhir : setelah debat yang panjang, akhirnya Wildan dapat penanggungan biaya 100%.

Sumber berita : Republika, News harian jogja, Pekanbaru Tribunnews, Radartulungagung

12. Keysha Medina Amala, lahir 22 September 2016. Umur 2,5 tahun. Anak pertama (masih anak satu-satunya). Malang. 
Kronologis : Keysha vaksin di salah satu posyandu di malang tanggal 10 November 2018. Ketika hendak disuntik, sang bidan hanya menanyakan apakah anak dalam kondisi sehat kepada sang ibu, ibu memastikan anaknya sehat, lalu bidan menyuntiknya. Setelah disuntik, Keysha masih aktif sekali berlari-lari lincah. Begitu malam tiba, tiba-tiba Keysha mulai lemas dan demam selama 3 hari, di rumah hanya diberikan parasetamol. Lalu akhirnya ibu memutuskan untuk membawa Keysha ke bidan yang menyuntik, lalu diberi obat yang dimasukin ke anus. Malamnya demam langsung turun, tetapi tengah malam Keysha demam kembali, demam ini berlangsung selama 10 hari meskipun sudah diberikan obat. Akhirnya ibu membawa Keysha ke RS, dokter meminta opname. Dokter bilang Keysha kurang darah ahirnya ditransfusi. Dokternya bilang trombosit kurang, padahal sudah ditransfusi darah. Lima hari lamanya Keysha di RS tetapi anak tetap lemas dan demam terus menerus. Lalu ibu membawa Keysha pulang mengingat biaya RS yang tinggi, dalam 5 hari biaya sudah mencapai 8,5 juta. Kebetulan ibu tidak memiliki BPJS, sehingga biaya perawatan ditanggung sendiri. Dokter mengetahui perihal Keysha sakit begitu pasca divaksin, namun dokter berkata bahwa sakitnya Keysha tidak ada hubungannya dengan vaksin. Dokter bilang justru malah bagus divaksin jadi penyakitnya ketahuan. Keysha sempat sembuh sebentar, namun tak lama, lutut bengkak padahal tidak pernah jatuh. Lambat laun, Keysha menjadi tidak bisa jalan seperti biasanya. Ada bintik-bintik di kakinya. Kalau diberdiriin, ia selalu menunduk seperti sakit di bagian pinggang. Sepulangnya Keysha dari RS, Ibu membawa Keysha ke Lombok untuk pengobatan alternatif. Begitu terkejutnya ibu, sesampainya di tempat praktek alternatif di Lombok, terapi langsung bilang bahwa Keysha tidak bisa jalan karena efek vaksin, padahal ibu belum menjelaskan sama sekali bahwa Keysha pernah divaksin sebelum sakit. Setelah itu gantian perut Keysha mulai membengkak. Gak lama perut mulai mengecil, berat badan Keysha mulai menyusut, ia terlihat sangat kurus, seperti hanya tulang yang tersisa pada tubuh mungilnya. Trombosit drop kembali. Keysha menghembuskan nafas terakhirnya 12 Februari 2019.

Sumber berita : Orang tua Keysha (identitas ada pada penulis).
13. Yudhatul Hikmah demikian nama lengkapnya. Sehari-hari biasa di panggil Yudha. Kelahiran 2011 di Sumpur Kudus Sijunjung Sumatra Barat. Anak pertama dari dua bersaudara. Putra dari pasangan pak Eki dan bu Dona.




Kronologis :
Seharusnya Yudha sedang menikmati masa-masa indahnya sekolah dan bermain bersama-sama teman sebayanya. Namun sejak 4 bulan terakhir ini Yudha hanya bisa terbaring lemah dan merintih kesakitan di tempat tidur.
Tadi malam pak Afrinaldi Sumpur menghubungi saya via WA . Dari percakapan via WA inilah akhirnya berlanjut dengan video call bersama kedua orang tua Yudha melalui hp saudara mereka.
Menurut pak Eki, ayah dari ananda Yudha, kondisi Yudha ini berawal dari pasca vaksin yang di lakukan beberapa waktu yang lalu di sekolah
"Ada kesalah data pada pihak2 terkait bu, sehingga vaksin terhadap Yudha 2 kali dalam rentang waktu yang hanya 1 bulan. Sejak saat itu kondisi Yudha ibarat bunga yang langsung layu karna panas yang begitu terik. Berat badannya turun drastis. Setiap kali makan Yudha selalu muntah, sehingga Yudha trauma untuk makan. Berat badannya yang awalnya berkisar 25 kg saat ini hanya tersisa 15 kg saja" kisah ayah Yudha dengan nada sendu.
"Apakah saat itu Yudha tidak di bawa ke rumah sakit pak" saya bertanya kepada ayah Yudha.
"Keterbatasan dana membuat kami tidak bisa berbuat apa-apa bu. Kami sudah mencoba meminta bantuan dinkes dan dinsos hanya saja sampai saat ini belum ada kepastian dan bpjs juga belum selesai karna semua ada prosedur. Demikian bu jawaban yang kami terima" lanjut ayah Yudha.
Sahabat,
Saat ini posisi Yudha sudah berada di kota Padang. Sebab ketika di bawa ke puskemas beberapa waktu yang lalu, Yudha di rujuk ke RSUD Sijunjung. Ternyata dari RSUD Sijunjung di rujuk lagi ke RS M.Djamil Padang.
Meski pun sudah sampai di Padang,Yudha belum bisa di bawa ke RS karna bpjsnya masih dalam proses pengurusan dan belum selesai. Sehingga kepastian diagnosa belum ada. Namun saat saya video call tadi saya menyaksikan dan mendengar rintihan kesakitan dari Yudha. Yudha mengeluh tulang-tulangnya terasa sakit semua.
Di Padang Yudha dan kedua orang tuanya untuk sementara menumpang di rumah saudara mereka di daerah Lubuk Begalung Padang.
Sahabat,
Yudha, bukanlah berasal dari keluarga berada. Ayahnya hanyalah seorang tenaga honor sebagai petugas kebersihan di sekolah dasar tempat Yudha sekolah. Dengan gaji yang jauh dari kata cukup. Bahkan amat sangat jauh dari cukup.
Rp.300.000 (tiga ratus ribu rupiah) saja / bulan.
Saat ini Yudha dan keluarga butuh support dari kita.
Perjuangan Yudha baru di mulai. Walau pun nanti bpjs Yudha selesai, tetap saja ada banyak hal yang harus mengeluarkan dana pribadi. Yudha juga butuh susu untuk support gizinya karna berat badan Yudha sangat jauh di bawah yang seharusnya.

Sumber berita : Adelaila Fajri (penggalang donasi untuk keluarga Yudha melalui status Facebook).


14. Andara Humairah Zidni. Usia 5 bulan. Mandalajati, Bandung.



Kronologis : Bayi berusia lima bulan bernama Andara Humairah Zidni, didiagnosa mengalami penyakit TBC meningitis. Menurut sang ibu, Ananda (17 tahun) putrinya tersebut mengalami demam setelah di imunisasi pada tanggal 8 Maret 2019. Imunisasi yang diterima adalah vaksin DPT/HB 3 dan Polio 4, ketika divaksin Andara dalam keadaan sehat dan yang membawa bayi divaksin adalah neneknya, karena ibu saat itu sedang bekerja. Menurut penuturan sang Ibu, setelah di imunisasi, bayi mengalami demam selama 2 hari, lalu demam reda tapi nafasnya sesak dibawa kembali ke bidan, bidan meminta segera dibawa ke RS. Lalu bayi dibawa ke rumah sakit RSUD Ujungberung. Tanggal 13 Maret 2019, masuk IGD, trombosit 65.000 dan terus turun
 dalam sehari itu sampai 20.000. Jadi diagnosa masuk RS DSS- dengue syok syndrom (demam berdarah grade 3). Akhirnya masuk PICU. Dioperasi paha kanan karena infus tidak bisa masuk, namun setelah operasi, Andara sering mengalami kejang berulang, dan kepala sempat membesar selama di PICU. Terderteksi dari hasil rongent bronchopneumoni.  Setelah 7 hari koma di PICU keluarlah diagnosa TB meningitis karena sudah ada cairan diselaput otaknya.

Menurut Ananda, putrinya telah dirawat dirumah sakit selama 21 hari, selain itu pihak keluarga terus melanjutkan perawatan. Setelah diperbolehkan pulang, bayi tersebut diberi cairan mata, dikarenakan ada kerusakan pada matanya. Hasil lab ada pada ibu.
Saat ini sudah diperbolehkan pulang, karena katanya sudah membaik. Sebelum pulang diberi cairan, kemungkinan ada kerusakan dimatanya dan kemungkinan tidak bisa melihat.
Ananda mengatakan, saat ini pihak keluarga terus melakukan berobat jalan. Saat ini bayi menangis terus setiap harinya, setiap dua minggu sekali bayi harus dibawa ke rumah sakit untuk melakukan berobat jalan.

Walau pengobatan masih ditanggung BPJS, namun pihak keluarga masih sangat membutuhkan bantuan moril dan materi untuk merawat bayi Andara, karena kondisi saat ini sang ibu tidak bekerja dikarenakan harus merawat sang bayi, suami pergi meninggalkannya, dan saat ini bayi hanya dijaga oleh sang ibu dan neneknya.

Pihak bidan dikabarkan bertanggung jawab dengan berkunjung ke rumah dan mengantarkan bayi ke RS sampai biaya pertama di igd pun ditanggung oleh bidan seperti obat-obatan dan yang lainnya. Bidan sudah kenal dekat dengan keluarga Ananda. 

Saat ini bayi Andara sudah periksa ke RS Cicendo memang belum ada respon sama sekali tapi dokter dari RS Cicendo bilang belum bisa memberikan diagnosa karena Andara masih bayi, namun jika sudah berumur 1 tahun baru bisa dipasang gelombang di kepala untuk melihat ada atau tidaknya cahaya yang masuk ke mata Andara. 

Rencana ke depan, donasi akan digunakan untuk keperluan cek up ke RSUD untuk dibuka jaitan bekas operasi tapi Ibu merasa dipersulit oleh pihak rsud yang katanya harus ada rujukan dari rumah sakit lain dan jika ingin sekarang juga ditangani, maka harus lewat umum (tidak lewat BPJS) sedangkan kondisi keuangan sedang kritis. Saat ini, ibu memberikan susu formula kepada bayi Andara karena asi sedikit.

Pihak keluarga mengharapkan ada bantuan dari relawan serta pihak dermawan. Ananda pun telah memposting donasi bagi anaknya untuk membantu agar penyakit anaknya bisa sembuh, di 
kitabisa
Sumber berita : 
prfmnews.

15. Celine Safeea Ashabiya. Lahir 1 Agustus 2016. Umur 1 tahun 2 bulan. Balikpapan, Kalimantan Timur.

Kronologis : 

Tanggal 3 Oktober 2018 ibu membawa Celine ke puskesmas Balikpapan Utara untuk imunisasi campak lanjutan untuk anak setahun, memang sudah mundur 2 bulan dari jadwal seharusnya karena ibu dilanda dilema dengan vaksin ini terkait resiko efek sampingnya yang sering diberitakan di sosial media. Sampai di puskesmas, sang ibu menunjukkan ke bidan kalau mau campak lanjutan, namun bidan malah memberi vaksin MR yang katanya sama saja, cuma beda nama. Ibu sempat mengurungkan niat untuk vaksin tetapi bidan meyakinkan suaminya dan tepat saat itu ada seorang bapak bawa 2 orang anaknya untuk vaksin MR, akhirnya suami mengiyakan.
Tanggal 30 Oktober 2018 anak mengeluh kaki kanannya sakit, selalu kesakitan saat mau berdiri, rewel luar biasa. Ibu melihat ada lebam biru di lututnya. Semalaman Celine rewel tidak bisa tidur. Lalu siangnya ibu membawa Celine ke RS dironsen hasilnya bagus tidak ada masalah dengan tulangnya. Dua hari lamanya Celine tidak mau jalan. Namun setelah itu, dia berusaha jalan walau agak kurang lincah dari biasanya, hingga ibu berpikir mungkin ia kecapean saja kan dia lagi aktif-aktifnya. Bulan November, ibu merasa ada yang berbeda dengan perut Celine, Akhirnya ibu memutuskan untuk membawanya kembali RS untuk dironsen lagi, karena selama bulan Oktober BABnya seperti kotoran kambing. Dan setiap BAB dia menangis, namun kadang ditahan karena takut sakit. Hasil ronsennya bagus, kata dokter. Selang waktu 2/3 hari Celine mulai demam, gusinya berdarah. Telapak kaki, tangan, bibirnya putih pucat. Lalu, ibu membawanya lagi ke RS untuk cek darah, hasilnya trombosit 1000 hb 5. Ibu berpikir mungkin Celine kena demam berdarah. Tapi dokter bilang bukan, namun kalau memang DB Celine diminta untuk dirawat, dokter bilang mau observasi lebih lanjut. Tanggal 2 Desember 2018 hasil suspec mengarah ke leukemia. Ibu sampai meluapkan emosinya ke dokter karena ibu tidak terima dengan hasil diagnosanya. Mulai dari lahir Celine jarang sakit, asi eksklusif selama 6 bulan, mpasinya juga tepat di usia 6 bulan, dan ibu selalu memberikan home made mpasi untuknya. Ibu mengeluhkan hal ini kepada perawat namun mereka hanya bisa diam. Tiba-tiba suami dipanggil ke ruangan diberi penjelasan oleh dokter bahwa celine harus transfusi untuk persiapan rujuk ke RS yang bisa memastikan sakitnya. Akhirnya Celine dirujuk ke RS di Surabaya untuk dicek sum-sum tulang belakang. Ibu sempat bicara ke suaminya mengenai kecurigaannya bahwa vaksin turut andil dalam sakitnya Celine, namun sang ayah tidak begitu percaya sampai akhirnya tiba di RS Soetomo dan menemukan beberapa anak-anak yang dirawat pasca vaksin MR barulah suami menyadari kemungkinan ini.
Hasil tes sum-sum tulang belakang mengatakan bahwa Celine kena leukimia akut. Lalu, Celine menjalani pengobatan kemoterapi. Namun, 14 Februari 2019, Celine menghembuskan nafasnya yang terakhir di pelukan sang ibu.

Sumber berita : Indah (Ibu dari anak) melalui WA dan FB ke penulis.
16. Akash Pratama. Umur 4 bulan 23 hari (per tanggal 5 Mei 2019). Desa Tanjung Anom Tanjung Putus, Kota kab. Langkat, Sumatera Utara.

Kronologis :


Jum'at, 3 Mei 2019 imunisasi DPT-HB-HIB 2 polio 3.
Sebelum di imunisasi anak dalam keadaan sehat bahkan sering ketawa dan loncat-loncat, Akash yang paling semangat.
Sebelum di imunisasi memang dia menangis tidak mau disuntik, setelah diimunisasi sampai rumah dia tidur, bangun tidur badannya panas namun orangtua menganggap hal ini wajar karena reaksi imun dan ayah memberikan obat dari posyandu lalu dikompres.
Sabtu, 4 Mei 2019 jam 8 Akash makan, jam 9 makin demam, namun panasnya cuma di kepala sedangkan badannya dingin jadi ayah kembali memberi obat paracetamol.
Akash rewel dan terus menangis, ia hanya mau digendong saja lalu dia menyusu sambil tertidur, bangun tidur dikasih obat lagi. Lalu kakak sang ayah bilang bahwa pipi Akash ada bengkak, ayah tidak menyadarinya.
Sorenya dia makan lahap, setengah jam kemudian dikasih obat dia muntah.
Lalu ayah menyeka seluruh tubuhnya karena hari itu Akash tidak dimandikan karena demam, betapa terkejutnya sang ayah begitu membuka popoknya air seninya seperti ada bercak darah.
Semakin malam keadaannya kian mengkhawatirkan karena semakin sering muntah, mencret, dan menyusu pun jadi tidak mau, tetapi lidahnya melet-melet seperti meminta susu, dan akhirnya sampai dia lemas. Jam 11 malam, ayah memberi Akash makan, abis makan langsung pucat, bibirnya biru.
Dikarenakan panik orangtua membawa Akash ke RS Putri Bidadari.
Di RS tersebut, Akash di cek darah, di infus, dan dipasang oksigen, kata dokter ada infeksi di dalam tubuhnya.
Sekitar jam 1 atau setengah 2 dia kejang, sehingga harus diganti infus 3x, infus yang terakhir yang botol kaca. Setelahnya, dia tidur, namun tidak lama kemudian kembali kejang, jadi diberi obat anti kejang yang dimasukkan ke anusnya.
Sekitar jam 3, Akash diberi antibiotik sampai setengah jam, tidak lama badannya membiru, nafasnya cepat. Orangtua menanyakan hal ini kepada perawat namun katanya tidak apa-apa, memang reaksi obatnya. Sekitar jam setengah 5 pagi dia kejang lagi, mulut nya ngeluarkan buih, lalu engap 3x sampai akhirnya nafasnya tidak ada.
Yang orangtua heran mengapa lidah dan bibirnya biru kehitaman, padahal baru meninggal, seperti orang keracunan. Minggunya abis di mandikan seharus nya badan mayat itu pucat biasa, ini tidak. Badannya kuning.

Sumber berita : Bang keroks (ayah Akash di FB).


17. Muhammad Raehan Bramanto. Umur 3,5 bulan. Lahir tanggal 2 Januari 2019.

Kronologis :
Ketika lahir 
ada cairan tertinggal di saluran nafas anak namun kata dokter nanti hilang sendiri. Waktu berlalu, hingga akhirnya cairan itu hilang dengan sendirinya. Lalu usia 3.5 bulan diminta dokter vaksin pneumonia tanggal 19 April 2019. Sebelum imunisasi pneumonia keadaan anak sehat, dokter pun yang meyakinkan bahwa anak dalam kondisi sehat ketika divaksin. 1 hari abis vaksin, matanya belekan. Lalu 2 hari setelah vaksin kiri kanan belekan disertai demam 39 derajat. Lalu nafas sesak. Setelah itu, dibawa ke dokter hanya dikasih penurun panas. Lalu dilarikan ke ugd. Sampai di ugd RS Hermina Serpong, dibawa ke icu. Lalu diinfus dikasih bantuan pernafasan. Akhirnya anak menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tanggal 26 April 2019. Dokter tidak mengatakan ada kaitan antara vaksin dan kematian anak.

Sumber berita WS (tante anak)

18. Hafidz Al Mubarok Avicenna. Umur 12 hari. Lahir tanggal 4 Oktober 2019.

Kronologi:
Trauma atas kematian Talitha, putri pertama Oetep dan Susi pasca imun kombo (DPT 3, IPV, dan polio tetes) pada bulan November 2017 yang lalu, membuat keluarga Oetep Sutiana bersepakat kehamilan kedua ini akan dilakukan dengan proses kelahiran normal tanpa bantuan bidan.
Sesuai harapan, bayi akhirnya lahir di rumah dibantu paraji. Kebahagiaan begitu menyelimuti pasangan ini dengan kelahiran bayi laki-laki yang sehat dan kondisi ibu yang sehat pula.
Namun tak lama semua berubah dikarenakan kehadiran bidan keesokan harinya. Paraji yang membantu kelahiran istri Oetep sedikit ketakutan terjadi apa-apa pada bayi karena dirinya yang membantu persalinan bukan bidan.
Atas rasa takut itu, paraji meminta nenek dari sang bayi untuk melapor ke bidan setempat. Mertua Oetep yang sama takutnya segera mendatangi bidan untuk melapor.
Kebetulan Oetep, sebagai ayah dari sang anak tidak berada di rumah (baru Jum’at sore Oetep pulang setelah mendapat kabar kelahiran istrinya).
Jauh-jauh hari Oetep dan istri sudah sepakat agar bayi tidak disuntik apapun pasca lahir. Dan semua keluarga menyepakati.
Bidan tersebut datang atas laporan ibu mertua Oetep hari Jumat pagi tanggal 4 Oktober 2019. Ibu mertua menekankan kepada bidan bahwa sang bayi jangan disuntik, biar ibunya saja. Ibu mertua Oetep menegaskan bahwa ayahnya tidak mengizinkan, dan ibu mertuanya pun trauma atas kematian cucunya yang pertama yaitu Talitha pasca imun.
Istri Oetep diberikan suntikan, sementara untuk sang bayi, istri Oetep menolak. Pada waktu itu sang bidan mengiyakan, tetapi, ketika istri Oetep memasuki kamar karena diminta sang bidan mengambil tissue, bidan tersebut mengambil kesempatan menyuntik sang bayi dengan tergesa-gesa dan tanpa meminta ijin kepada ibunya.
Kenapa dikatakan tergesa-gesa, karena setelah Oetep tiba di rumah, bekas botol suntikan itu (vit. k) tercecer di rumah, bahkan Oetep sendiri menginjaknya lalu mengambil dan membacanya dengan penasaran.
Seperti memiliki perasaan sesuatu akan terjadi, botol itu Oetep simpan. Ketika Oetep melihat anaknya Hafidz, dia merasa sedikit cemas karena terlihat ada yang salah dengan bibir anaknya, biru, seperti lebam. Jumat malam, Sabtu, tidak terjadi apa-apa, tetapi pada hari Minggu malam Hafidz mulai menangis terus menerus, tidak biasanya.
Bibirnya mulai terlihat biru, lidah dan mulut kaku. Tidak mau menyusu. Dan di sini Oetep mulai panik karena Hafidz panas, kejang. Belajar dari kesalahan yang lalu, Oetep segera bergegas ke rumah bidan yang menyuntik dengan tidak lupa membawa bekas botol vit K nya.
Di rumah bidan, ketika Oetep menanyakan perihal botol tersebut, sang bidan tampak panik. Ia segera bergegas ke rumah Oetep. Malam itu bidan menunjukkan pertanggungjawabannya ia segera menghubungi rekannya yang memiliki mobil untuk mengantar Hafidz ke puskesmas. Di puskesmas, mereka pindah mobil digantikan ambulans.
Hafidz dibawa ke rumah sakit daerah untuk diselamatkan sesegera mungkin. Hafidz masuk ruang UGD sementara waktu. Sayangnya, tidak ada ruang perawatan. Alhamdulillah bidan masih mau membantu mencarikan kamar sampai pontang-panting.
Senin, 7 Oktober 2019 Hafidz dipindah ke rumah sakit G masuk UGD terlebih dahulu setelahnya dirawat di NICU.
Lagi-lagi di sini meng-up kronologi kejadian. Hafidz mulai dirawat dan diperiksa dokter. Dokter yang memeriksa mengatakan bahwa sakitnya Hafidz tidak ada hubungannya dengan vit. k.
Mereka menekankan bahwa Hafidz sakit karena dehidrasi dan infeksi tali pusar. Bahkan dokter mengatakan bahwa kinerja paru-paru Hafidz jauh lebih cepat dibanding kinerja jantung yang katanya mengindikasikan ada kelainan di otak. Jika itu terjadi, dokter menekankan untuk merujuk hafidz ke rumah sakit yang jauh lebih besar.
Hafidz diinfus dan dipasang oksigen karena napasnya yang memburu. Cek lab sebanyak tiga kali selama delapan hari di Rumah Sakit. Hasil lab pertama menunjukkan kekurangan elektrolit. Namun untuk hasil lab kedua dan ketiga , keluarga belum mendapatkan hasilnya. Hanya infus dan obat kimia yang masuk.
Berhari-hari Hafidz tergeletak lemas dengan susu formula lewat selang NGT. Kenapa susu formula? Karena ASIP ditolak untuk diberikan oleh perawat jaga. Melihat kenyataan bayinya tak diperbolehkan mendapatkan ASIP.
Keluarga Oetep akhirnya memutuskan untuk membawa Hafidz pulang. Dengan kondisi tubuh agak kuning dan menangis lemah. Setelah melobi dokter, akhirnya Hafidz diijinkan untuk dibawa pulang dan semua alat dilepas. Ketika sang ibu menyentuh Hafidz dan sedikit merespon, sang ibu merasa yakin bahwa Hafidz akan pulih di rumah dengan asupan ASI dan belaian ibunya.
Alhamdulillah Hafidz dapat pulang pada hari Selasa, 15 Oktober 2019 siang. Ketika sampai rumah, diberikan sari kurma di langit-langit mulutnya. Karena Hafidz terlihat sangat lemas. Awalnya setelah diberi sari kurma hanya dijilat saja dan belum mau menyusu. Namun setelah ditunggu beberapa saat, akhirnya sang bayi mau menyusu kepada ibunya.
Ini hanyalah salah satu pengalaman bagi kita semua bahwa:
1. Tindakan apapun yang dilakukan pada seorang anak, haruslah dengan seizing orang tuanya.
2. Edukasi efek samping obat apapun harus dilakukan kepada tenaga kesehatan dan juga orang tua.

19. Ayudiya Zahrani. Umur 2 tahun.
Nama ortu: Sugiatmi/Suwandi
Pekerjaan: Wiraswasta
Kronologi:
Tanggal 12 Oktober 2019 Ayudiya mendapatkan suntikan MR di Puskesmas Haurpagung. Setelah diimunisasi Ayudiya terlihat lemas dan banyak tidur.
Tanggal 13 Oktober anak hangat dan mencret. Orang tua korban membelikan obat. Setelah itu anak selalu minta minum seperti kehausan dan kelaparan. Padahal sudah diberi makan dan minum. Tak berapa lama perut ayudiya kembung dan tiba-tiba muntah. Pkl 02.00 pagi kejang dan orang tuanya langsung membawa ayudiya ke klinik Baiturrohman. Disana Ayudiya langsung ditangani oleh pihak dokter. Setelah diberi pengobatan Ayudiya dipindah ke ruang perawatan. Di ruang perawatan Ayudiya bisa tertidur tapi tidak nyenyak. Entah mengapa selama di ruang perawatan napas Ayudiya tersengal-sengal seperti habis berlari. Pukul 07.00 tiba-tiba Ayudiya muntah dan kejang sampai akhirnya meninggal pukul 08.00.
Pihak Dinkes setempat mendatangi keluarga korban pasca media memberitakan meninggalnya Ayudiya ini terjadi pasca imunisasi. Pihak Dinkes berjanji kepada keluarga korban akan segera melakukan sidang terkait kasus ini.
Sumber: Orang tua korban kepada relawan kipi YPAF.

20. Nur Aqifah, usia 11 hari. Dusun Klobur, Desa Sawah Tengah, Kecamatan Robatal, Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur.

Kronologi :
Putri pertama pasangan Zainal Arifin (31) dan Novita Sari (21) itu menghembuskan nafas terakhir empat jam setelah disuntik vaksin. Pasca menjalani imunisasi, Nur Aqifah mengalami demam tinggi dan sempat kejang.
Menurut keterangan keluarga, kondisi korban terus mengalami penurunan usai imunisasi pada Selasa pagi pukul 10.00 WIB.
Zainal Arifin, orangtua korban mengatakan, putri pertamanya tersebut dalam kondisi sehat sebelum melakukan imunisasi BCG di Polindes Desa Sawah Tengah.
Namun, sore hari tepat pukul 16.00 WIB, takdir berbicara lain. Nur Aqifah dinyatakan meninggal dunia saat dibawa berobat untuk mendapatkan pertolongan medis ke Polindes, tempat ia diimunisasi.
“Awalnya tidak sakit dan kondisinya sehat bugar sebelum divaksin, selang disuntik kondisi tubuh anak saya mulai berubah, tubuhnya panas diare dan menangis terus sempat kayak molet-molet semacam kejang, dibawalah ke Ibu Bidan Maya tadi, pas sampai disana bilang sudah meninggal,” ujarnya ditemui di rumah duka di Dusun Klobur, Desa Sawah Tengah, Rabu (12/2/2020) siang.
Hosiyeh (37), nenek korban mengaku kehilangan atas meninggalnya cucu pertamanya itu. Sebab, tak disangka, korban dalam kondisi sehat sebelum vaksin BCG dilakukan.
Tak hanya itu, dirinya sempat disalahkan oleh bidan desa yang mengimunisasi karena dibilang terlambat membawa korban ke Polindes.
“Iya bilangnya bidan kenapa kok terlambat, padahal selang waktu 3,5 jam atau sekitar 4 jam pasca imunisasi, saya ngomong kalau tadi masih tidur siang cuman sebentar, tapi waktu tidur itu agaknya terganggu karena selalu kaget-kaget,” kata Hosiyeh.
Keluarga korban juga menceritakan kondisi bayi saat meninggal dunia. Bayi yang lahir cesar pada 31 Januari 2020 itu ada kelainan fisik pasca imunisasi. Terdapat wajah membiru dibagian pipi dan hidung bayi diduga akibat vaksin.
“Memang ada bekas biru kayak lebam itu, tahu kalau ada kelainan saat hendak dimakamkan,” ucap Zainal Arifin.
Sementara saat dikonfirmasi Mariyatul Kiptiyah yang disebut bidan Maya di Polindes Desa Sawah Tengah, enggan memberikan keterangan kepada wartawan terkait kematian bayi diduga akibat imunisasi. Ia mempersilahkan media mengkonfirmasi ke Dinas Kesehatan Sampang.
“Mohon maaf bukannya saya…. memang seharusnya seperti itu jadi sampean silahkan langsung ke Dinkes Sampang,” singkat Bidan Maya ditemui di Polindes.
Menyikapi hal itu, Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sampang Agus Mulyadi, menegaskan bahwa tidak ada hubungannya antara kematian bayi tersebut dengan vaksin yang dilakukan petugas medis.
“Sampai saat ini berdasarkan teori dan penelitian tidak pernah ada imunisasi menyebabkan kematian, kemungkinannya kematian bayi karena tersendak dan sebagainya karena bayi itu berusia 15 hari kan,” ungkap Agus.
Sayangnya keterangan yang disampaikan Agus bertolak belakang dengan keterangan pihak keluarga. Terutama mengenai durasi waktu pasca menjalani imunisasi bayi.
“Hanya kebetulan saja kematiannya pasca imunisasi, tapi agak jauh juga sih (waktunya-Red) imunisasinya pagi dan sore meninggal, informasi dari petugas bayi meninggal jam 3 sore setelah jam 9 datang ke Posyandu disuntik vaksin,” tuturnya.
Agus tak ingin dikaitkan kondisi bayi mengalami penurunan usai imunisasi. Dirinya juga mengaku sudah melakukan pemeriksaan dan klarifikasi atas kejadian tersebut.
“Tidak ada itu bukan panas tapi memang nangis terus, kurang tau sama keluarga dikasih apa, lebih jelasnya silahkan konfirmasi ke Kepala Puskesmas Robatal,” terangnya.
“Hasil pengamatan Dinkes tidak ditemukan ini kesalahan bidan desa, dan semua sudah damai kok, rencananya mau diotopsi tapi pihak keluarga damai,” pungkasnya.

Sumber berita : mediamadura

21. Muhammad Atharrazka Ashauqi. Usia 2 bulan. Sukabumi.

Kronologi :

Muhammad Atharrazka Ashauqi bayi berusia 2 bulan ini sehat pintar dan tidak pernah rewel dan selalu ceria.

Saat dia berusia 2 bulan lebih 1 hari tanggal 15 Januari 2020, pagi itu jam 07.30 ayah, ibu dan kakak Atthar (nama panggilan anak) membawa Atthar ke bidan untuk melakukan imunisasi polio dan DPT 1. Sampai di sana, Atthar ditimbang dengan berat badan 6,8 kg dan ditidurkanlah dia dikasur untuk diberi vaksin.

Seharusnya sebelum dilakukan imunisasi, biasanya anak dicek dulu suhu tubuh dan detak jantungnya namun ini tidak, vaksin langsung disuntikan ke kaki kanan anak.

Sepulangnya ke rumah, Athar tidak demam dan hanya menangis karena kakinya bengkak.

Keesokan harinya (Kamis, 16 Januari 2020) saat Ibu memandikannya, muncul bintik merah di perut anak. Ibu pikir itu hanya biang keringat dan ibu pun tak menghiraukannya.

Siang harinya saat nenek dan kakaknya ibu dari anak datang, mereka bertanya "kok bintik merahnya makin banyak" dan akhirnya keluarga berniat membawa anak ke bidan sore nanti jam 03.15. Namun, saat Ibu mau melepas popoknya di kaki muncul lebam merah dan biru-biru. Ibu mulai panik langsung menelpon ayahnya yang sedang bekerja dan ayah langsung pulang.

Lalu mereka membawa Athar ke bidan. Bidan menelpon bidan lain dan menyatakan anak kena alergi.

Bidan bilang "mungkin anak ini alergi dari susu formula atau bisa jadi dari makanan yang ibu makan".
Selama ini, anak diberi asi diselingi pemberian susu formula hanya saat ketika ibu sedang pergi keluar saja, selebihnya hanya asi.

Bidan menyarankan untuk membawa anak konsul ke dr spesialis anak saat itu juga jika orang tua penasaran dengan diagnosanya, namun jika kemalaman (karena saat itu sudah kesorean) disarankan besok saja. Jika besok mau ke puskesmas janjian dulu sama bidan, namun kalau mau ke spesialis anak ada Dr. D di klinik daerah cibadak.
Ayah bertanya ke bidan apakah kondisi anaknya masih oke, bidan menjawab anak tidak apa-apa.
Akhirnya keluarga membawa pulang anak ke rumah.

Pada hari Jumat, 17 Januari 2020,
Pagi itu bintik-bintik semakin menjalar sampai ke muka dan keluarga memutuskan membawa Athar ke RS Sekarwangi untuk ke spesialis anak. Di situ keluarga mendaftar dan menunggu sampai jam 11.30.

Setibanya antrian anak, masuklah Ibu ke ruangan periksa menemui Dr.D dan ibu menjelaskan kronologinya seperti apa ke Dr. D. Dokter mengecek hasil labnya.
Ibu bilang ke dokter "Tapi ini bukan alergi dari sufor atau makanan yang saya makan kan dok?"
Dr. D berkata "bukan. Itu bukan alergi. Kalau alergi gak bakal sampe kayak itu. Kalau alergi susu dari pertama diberikan langsung dia memberi reaksi" dan disitulah lah ibu mulai cemas dan berangkat untuk cek laboratorium.

Sesampainya disana, Athar yang selalu tersenyum disuntik untuk diambil darahnya, kali itu ia menangis. Dan setelah diambil darah keluarlah hasil lab dan orangtua membawanya ke dr. D kembali. Dokter membaca hasil lab dengan raut wajah yang kurang menyenangkan. Dokter meminta rawat inap karena Athar terkena ITP (Immun Trombositophenic purpura) yang menyebabkan trombositnya rendah, seharusnya normalnya 400.000 sedangkan ini 13000. Dokter bilang, ini harus didonor dan dokter meminta ibu untuk kembali ke lab untuk tau golongan darahnya apa, dan ini pun tramsfusi diusulkan 2 kantong dulu dengan harapan trombositnya naik.
Ibu menegaskan ke dokter bahwa Athar sakit karena imunisasi. Dokter bilang, sakitnya anak bisa karena efek imunisasi, kejadiannya jarang namun memang ada.

Sekali lagi, dokter menegaskan bahwa itu dari imunisasi.
Ibu mendaftar ke rawat inap dan kembali mengambil kartu sampel darah dan anak bergolongan darah A+. Bergegaslah ibu memdaftar rawat inap dan menuju keruangan di lantai 2 kamar 7.

Ibu memberi kabar pada bidan mengenai kabar anak dirawat dan butuh donor. Bidan mengelak, ia bilang bukan karena imunisasi, namun dari kualitas asinya yang rendah sehingga membuat trombositnya turun. Bidan terus menyalahkan orangtua. Sang ayah lalu tegas meminta bidan untuk membantu mereka mencarikan donor darah buat Athar.

Sampailah di RS dan perawat menanyakan apakah donornya sudah ada, karena anak harus segera di donor.

Keluarga pun bergegas mencari informasi relawan yang bersedia mendonorkan darah buat Athar, karena stok di PMI kab. dan kota Sukabumi kosong jadi harus mencari pendonor. Athar pun dapat donor darah.
Lalu ayah yang membawa trombosit tersebut dari PMI kota baru sampai jam 19.30 di rumah sakit.

Sementara memunggu darah datang, Athar dicoba untuk di infus bberapa kali, namun selalu gagal karena ia terlalu kecil dan gemuk sehingga susah untuk dicari urat nadinya, menangislah dia dengan sangat kesakitan.

Setelah lebih dari 9 tusukan jarum dan pecah lagi pecah lagi.
sehingga perawat mengambil alat laser untuk mencari uratnya dan saat dilaser perawat bilang uratnya sudah gak karuan. Akhirnya berhasilah Athar diinfus di kaki kanan dan saat itu keadaannya semakin memburuk, tubuh semakin melebam dan Athar terlihat lemas .

Jam 8 akhirnya Athar mendapatkan donor. Keluarga senang melihat dia dapat donor berharap dia sembuh sehat dan kembali dengan ceria ke rumah

Kantong pertama dia terlihat baik dan sempat tertidur pulas. Begitu habis kantong pertama dan dipasangkan kantong ke 2 setelah setengahnya masuk ke tubuh tiba-tiba Athar merintih sangat kesakitan menangis sejadi-jadinya, ibu pun belum pernah melihat tangisan seperti itu seperti yang tersendak dan ibu pun terus menggendong Athar yang terus menangis dan menangis.

Ibu merintih "naak sembuh naak maafin mbu dek. Dedek kuat, dedek sehat " itu yang terus ibu bisikan ke telinganya dan membaca shalawat sambil menggendongnya. Tiba-tiba Athar menjerit seperti kejang dan keluar darah dari hidung dan mulutnya. Keluarga sangat cemas hingga menangis bersama. Athar dibaringkan untuk mendapatkan oksigen.

Melihat Athar diberi oksigen sambil menangis dari jam 10 sampai jam 1 malam, total 3 jam anak bayi merasakan sesak sambil menagis sangat membuat hancur hati siapapun yang melihatnya. Saat jam 1 nafas anak tidak terlalu sesak dan terlihat baik sehingga membuat keluarga berfikir nafasnya sudah stabil dan kami melihat jarak nafasnya semakin pendek dan saat 2 nafas terakhir dia menghela nafas dan saat nafas terakhir Athar mengeluarkan darah dari hidung dan mulut dan jantungnya berhenti berdetak. Ibu bergegas memanggil semua perawat, dokter pun datang dan memberi dia oksigen khusus dan saat di oksigen yang keluar darah darah dan darah.

Dokter menyerah dan berkata Athar telah tiada.
Dengan hati yang hancur, keluarga membawa Athar pulang
dan saat ayah mengurus semua administrasi, perawat dan dokter bilang bahwa dari awal anak kemungkinan kecil untuk bertahan dan mereka sudah berusaha semaksimal mungkin melakukan yang terbaik buat anak.

Seandainya anak selamat pun mungkin kedepannya dia harus terus menerus mendapatkan donor darah dan seandainya dia tumbuh besar tidak boleh capek, tidak boleh terbentur terutama kepala, sekali terbentur pecahlah pendarahan di otaknya.

Kejadian ini pun membuat Ibu trauma untuk memberi anak imunisasi.

Sumber berita : Imam khoerul umam, Rani sopariah (Orangtua korban)

22. Risin Suryani Sipa (5 bulan). Dusun 4 Desa Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang.

Kronologi :

Marteda Sipa Anone (38) hanya terpaku sambil menangis melihat bayinya Risin Suryani Sipa terbujur kaku, Rabu (4/3/2020).
Warga RT 17 RW 007 Dusun 4 Desa Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang ini hanya terdiam saat para pelayat berkunjung dan menyatakan turut berbelasungkawa atas kematian bayinya yang baru berumur 5 bulan.
Risin Suryani Sipa meninggal usai mengikuti posyandu di RT 19 RW 007 Dusun 4 Desa Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang pada Selasa (3/3/2020).
Ditemani sang suami, Marten Sipa (48) di rumah duka Marteda mengungkapkan, kejadian berawal saat ia beserta sang suami menuju Posyandu untuk melakukan imunisasi terhadap dua anaknya yang masih balita.
"Kami pergi posyandu pukul 10.00 Wita anak saya sehat-sehat, suami saya bawa anak saya yang baru 2 tahun dan anak saya yang meninggal ini," katanya.
Risin Suryani Sipa (5 bulan) merupakan anak keenam
Saat tiba di Posyandu yang terletak tidak jauh dari rumahnya, kata Marteda, pihak bidan yang datang dari Puskesmas Tarus melakukan vaksin Polio 4.
"Bidan itu suntik (vaksin) di kaki kanan. Anak saya juga sempat menangis," katanya.
Berdasarkan pengakuan kader kesehatan Desa Oebelo, Sefriana Messakh-Anin (44) yang juga berada di Posyandu menyebutkan bidan bidang vaksin yang menyuntikan vaksin ke tubuh Risin Suryani Sipa berinisial WD dan didampingi ahli gizi yang datang dari Puskesmas Tarus.
Posyandu tersebut dibuka pukul 08.00 Wita hingga selesai dan selalu dilakukan pada tanggal 3 setiap bulannya serta diikuti puluhan balita beserta orangtuanya.
Lebih lanjut, karena menangis, Marteda memilih segera pulang ke rumah beserta suami.
"Anak saya yang bungsu ini menangis, jadi anak saya yang satu tidak jadi imunisasi dan kami pulang ke rumah," paparnya.
Saat berada di rumah sekitar pukul 11.00 Wita, Marteda membaringkan anaknya di dalam kamar dan suaminya yang bertugas menjaga korban.
Saat korban telah tertidur, ayah korban memilih untuk membersikan rumput liar di halaman belakang rumah.
"Saya tidurkan anak di dalam kamar dan siapkan makan siang, karena kami belum masak," jelasnya.
Marteda sempat menengok anaknya di dalam kamar dan melihat putri kecilnya yang semula menangis ternyata tertidur lelap.
Marteda pun segera memasak dan juga memanaskan air untuk mengompres luka bekas vaksin.
Hingga pukul 14.00 Wita, Marteda merasa aneh karena sang bayi tidak bangun dari tidurnya.
Marteda pun berusaha membangunkan bayinya untuk menyusui anaknya.
Namun ia sangat terkejut karena mendapati tubuh anaknya telah kaku.
Bak disambar petir di siang bolong, Marteda mengaku sangat terkejut atas kejadian tersebut.
Ia pun langsung menghubungi warga sekitar dan RT setempat terkait kejadian tersebut.
Sementara itu, lanjut Marteda, tidak berselang lama setelah ditemukan meninggal, terdapat busa berwarna putih yang keluar dari mulut korban.
"Saya juga kaget, ada busa warna putih yang keluar dari mulut anak saya," katanya menahan tangis.
Sementaara itu, Ketua RT 17 RW 007 Dusun 4 Desa Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Stefanus Faot (54) mengaku kaget mendapati kejadian tersebut.
Saat diberitahu, ia langsung memegang jenazah korban untuk memastikan apakah korban masih hidup atau tidak.
"Saya lihat bayi ini sudah kaku, saya pegang tangannya tapi sudah kaku, saya bilang ini sudah meninggal," ungkapnya.
Tidak hanya busa berwarna putih yang keluar dari mulut korban setelah beberapa jam ditemukan meninggal, Stefanus juga menemukan jari tangan dan kaki korban juga menghitam.
Stefanus juga langsung menghubungi Sekertaris Desa Oebelo, Izak Z. Tode untuk memberitahukan kejadian tersebut.
Tidak lama berselang, hadir Kapospol Desa Oebelo, Bhabinkamtibmas, Plt Kepala Desa Oebelo dan bidan yang saat itu melayani di posyandu.
Bidan yang hadir yakni bidan bernam Ruth Pasaribu dan bidan Sasia Oliveira dari Desa Oebelo yang saat itu berada di Posyandu.
Saat ditanya kepada, lanjut Stefanus, bidan desa Ruth Pasaribu mengatakan saat kejadian tengah memeriksa ibu hamil sehingga tidak mengetahui secara jelas.

Lebih lanjut, pihak keluarga yakni ayah kandung korban, Marten Sipa dan paman korban langsung menuju Polres Kupang untuk melaporkan kejadian tersebut.
Namun, saat berada di Polres Kupang, pihak keluarga diinformasikan bahwa untuk melakukan penyelidikan harus dilakukan visum dan jika belum menemukan penyebab kematian korban maka akan dilakukan autopsi terhadap jenazah bayi.
Hal tersebut, lanjut Stefanus, perlu dibicarakan dan didiskusikan oleh pihak keluarga.
Sehingga, pada Senin malam pihak keluarga setelah kedatangan paman kandung korban menyepakati untuk tidak melanjutkan persoalan ke ranah hukum.
"Pihak keluarga menerima kejadian ini sebagai musibah," katanya.
Selanjutnya, pihak keluarga menandatangani surat pernyataan tidak melanjutkan kasus tersebut dan menolak melakukan autopsi dengan pertimbangan bersama dan adat istiadat.
Namun demikian, pihak keluarga berharap kejadian tersebut dapat diusut dan diselidiki oleh pihak terkait sehingga para orangtua tidak takut untuk ke posyandu dan melakukan imunisasi.
Di lain sisi, kejadian tersebut, kata Stefanus, menjadi pembelajaran bagi para petugas medis untuk lebih profesional dalam menjalankan tugasnya melayani masyarakat.
"Khususnya untuk petugas medis benar-benar menjalankan tugas lebih baik," katanya.(Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Gecio Viana)

Sumber berita : kupang tribunews
DATA YANG BELUM TERIDENTIFIKASI

1. Belum ada nama. Siswi SDN Demangan Yogyakarta kelas 2.

Kronologis : Pasca imunisasi, dirawat di RS Bethesda Gedung Galelia lt. 3 ruang 304 sudah 4 hari (tgl 25 nov 2017) dirawat. Ayah masih tugas di Sumatra. Sudah disampaikan ke pihak sekolah namun sudah 3 hari belum ada tanggapan. Keluarga korban rencana mau menempuh jalur hukum karena pihak Dinkes hanya besuk, tidak ada ganti-rugi (Saya sedang menunggu kronologis lengkap, nanti kalau sudah direspon saya edit lg)

Sumber berita : Mahujud Shosita Hadi (FB).
2. No name (tidak bersedia diwawancara). 3 tahun. Tangerang.

Kronologis : Anak kebetulan baru banget sembuh dari sakit langsung ikutan vaksin, setelah kurang lebih 15 sampe 20 menit awalnya biasa aaja tiba-tiba anak tiduran diam saja tidak gerak sama sekali badan membiru badan dingin semua, lalu oleh tetangga ditaruh di tanah digoyang-goyangkan tetap tidak respon. Selang beberapa puluh menit anak sadar tapi kondisi lemas pucat disertai demam kemudian kejang. Tapi akhirnya sembuh dan sudah keluar dari rumah sakit. ada yang sama-sama suntik dengan anak tersebut umur 2 tahun juga baru sembuh dari sakit, namun tidak mengalami kipi.



Sumber berita : No Name (tidak bersedia diekspos).
3. Belum ada nama. 3 bulan. Cirebon.

Kronologis : Menurut pengakuan ibunya, bayi dalam kondisi bapil sebelum divaksin DPT 1. Sebelumnya, sang ibu sudah bilang ke bidan bahwa anaknya sedang bapil, kata nakes tidak apa-apa. Setelah vaksin, bapilnya bukanya reda malah tambah parah, bahkan sesak nafas, sempat pindah dari beberapa rumah sakit, sampai akhirnya ke RS Mitra Plumbon Cirebon, masuk ruang PICU, sempat dirawat sampai 9 hari, karena keterbatasan biaya (keluarga memakai biaya sendiri, karena belum memiliki bpjs) tidak pakai bpjs akhirnya pulang paksa. 2 hari di rumah balik lagi masuk RS sampai kira-kira 5 hari diopname, ibunya pasrah dan yakin karena imunisasi. Bahkan ketika tanya jawab dengan dokter yang menangani, keluarga bayi sempat bertanya apakah ini KIPI? Dokter tidak menjawab KIPI atau bukan, dokter mendiagnosis bahwa ada bakteri sudah menyerang otak, kemungkinan mengarah ke meningistis atau epilepsi. Selama dirawat bayi pernah dingin (jika tidak salah 35 derajat) namun mengalami kejang. Keluarga sempat ingin dirujuk ke RS Hasan Sadikin Bandung cuma disarankan dokter ke RS Hermina Bandung alatnya juga komplit dan penangananya bisa cepat dan bisa pakai BPJS. Bayi sempat dicek ke lab darahnya dan menunjukkan hasil yang baik, sehingga sempat tidak jadi dirujuk ke Bandung. Namun hari minggu pagi (21 Januari 2018) bayi mengalami kejang kembali. Lalu dirujuk ke RS Imannuel Bandung.



Sumber berita : Supriyanto (kebetulan anak pak Supri dirawat di kamar yang sama dengan bayi tersebut).

4. 
No name. Umur 2 tahunan. Sidoarjo, Jawa Timur.


Kronologis : Menurut sumber berita, ketika satu kampung Sidoarjo ikut imunisasi ini memang rata-rata anak disini banyak yang mengalami demam tinggi. Begitu juga anak tersebut, setelah imunisasi sang anak masih sempat bermain-main seperti biasa. Anak juga tidak mengeluh apa-apa dan memang agak demam. Malamnya sang anak mengalami demam tinggi sampai kejang-kejang menjelang pagi di bawa ke klinik ternyata tidak ketolong. Sang anak menghembuskan nafas terakhirnya di klinik.

Sumber berita : Kholifatun Hasanah di FB dan WA (tetangga korban, tapi karena tidak begitu mengenal ibu korban jadi beritanya dengar dari tetangga lain).
5. No name. SMP N Gending. Probolinggo, Jawa Timur.

Kronologis : pasca suntik difteri anak demam semalaman, paginya kejang, sempat dilarikan ke puskesmas Gending. Dari puskesmas bilang bahwa kadar gula anak sangat tinggi dan dirujuk ke Graha Sehat Kraksaan, akan tetapi nyawa tak tertolong, meninggal tanggal 17 Februari 2018.



Sumber berita : Lidya Stockist Msi Probolinggo (FB, mba Lidya mendapat infi dari saudara bibiknya, tetangga jauh mba Lidya).


6. No name. Siswi SMP Sukaresmi 1.
Kronologis : Pagi itu seperti biasanya anak-anak SMP SUKARESMI 1 berangkat sekolah. Kira-kira jam 08.30 nakes datang ke sekolah. Anak-anak dikurung di kelas masing-masing dan dijaga ketat oleh guru. Semua murid disuntik MR RUBELLA CAMPAK,kecuali anak yang kabur pulang. Selesai vaksinasi,anak-anak tidak menunjukan gejala apa-apa. Sampai di rumah, si anak vaksin muntah, keringetan, ruam, gatal dan jatuh pingsan. Hari itu juga si anak dibwa ke puskesmas kata nakes disana kerena meningtinitis. Penyakit ini sudah ada sebelum vaksin kata nakes. Akhirnya si anak dirujuk ke Alinda Husada Klinik. Tapi si anak menghembuskan nafasnya yang terakhir. Masyarakat yang vaksin percaya kalau itu bukan kerena vaksin.
Sumber berita : seorang ibu di grup TAFTP7. No name. Ciledug, Haji Mencong, Jakarta.
Kronologis : "tetangga saya setelah vaksin MR padahal tidak pernahmenderita sakit apapun. Sebelum disuntik MR pun sehat walafiat. Tetapi setelah vaksin, anak tsb pingsan, setelah sadar dia mengeluh dadanya sakit, badan pada kaku, muntah. mohon dibantu share @asianparent_id bagaimana kami tidak cukup resah dgn adanya berbagai macam keluhan vaksin MR untungnya pihak WHO (mungkin maksudnya pihak dinkes) langsung bertandang ke rumah alm. kami sekeluarga syok banget dengar kabar tetangga kami tersebut meninggal, pihak pemerintahan mau janji datang lagi, di tunggu phk almh tdk dtng jg smpi detik ini, gimana kami mau percaya sm vaksin sprti ini, maaf sy bcra begini karna kita tau ank2 kita sebenarnya sehat2 saja, mana tau ada menigitis, atw penyakit yg di luar dugaan kita bun, ttpi stlh si almh di vaksin hr itu jg dia pingsan, mengeluhkan dadanya skt, badan kaku semua..semoga almh tenang berada di Surga Aamin Yaa Rabbal Al'aamin "
Sumber berita : Komentar seseorang di ig asianparent_id

6. Adik dari salah seorang pemilik account di FB sehabis suntik MR, kulit melepuh. bukti SS masih kami simpan, karena sesudah beliau uplot foto keadaan adiknya, postingan gak lama menghilang dikarenakan desakan publik.


8. Anak tetangga mbak alicia (facebook). desa grinting kec tulangan sidoarjo.
Kronologis : anak lelaki 1,5 tahun. masuk icu rs siti fatimah tulangan sidoarjo , Rabu tgl 6 di vaksin di posyandu, kamis pagi panas, siang step langsung di bawa ke icu, isya baru sadar. Sebelum vaksin ada batuk ringan.
Sumber berita : mbah anak tsb melalui mbak alicia di komentar trit grup tanya asi.
9. Seorang anak laki2.
Kronologis : Setelah vaksin MR di puskesmas Klaten Selatan, muntah2 di puskesmasnya, lalu sesak dilarikan oleh petugas puskesmasnya ke RSUD bagas Waras Klaten (opname). Tidak ada riwayat asma dan penyakit lainnya, anak dalam keadaan sehat ketika disuntik.


Sumber berita : Sabrina Putri (ibu kandung korban) di FB.


10. No name. Perempuan. 7 tahun kurang 2 bulan. Kampung Songgom, Desa Bojongkasih, Kecamatan Kadupandak - Cianjur.

Kronologis : Pasca vaksin MR Koma 10 hari. Meninggal dunia. Menurut paman korban, dari hari ke 10 sejak korban dirawat, pihak sekolah (kepala sekolah) baru mau datang menjenguk ke RS, itupun setelah paman korban membuat status di FB.
Sumber berita : Paman korban (tidak bersedia diekspos).

Kejadian efek samping Vitamin K :

1. Muhammad Ibrahim Al Fatih (Baim), lahir 16 Okt 2015 hari Jumat. Lahir sehat berat 4 kg panjang 51 cm

Kronologis : Waktu lahiran di bidan sangat terganggu dengan anak-anak PKL kebidanan . Istri saya stress lihat seliweran mereka di ruang bersalin . Tanya ini tanya itu, bikin sebal.
Kontraksi 6 jam dari subuh sampai duhur dan bada Jum'atan lahir . Nah pas udah lahir saya sebenernya sudah bilang jangan di vaksin apapun. Tapi kecolongan, asisten bidannya ngasih Vitamin K. Seperti yang kita tahu, vitamin K mengandung aluminium tinggi. 1 - 2 bulan, bayi sering demam, gerakan kurang. Tidak seperti bayi seharusnya yang banyak menendang. Bulan ke- 3 - 4 leher bayi masih lemah yang harusnya leher tegak, ini tetap lemah tidak bisa tegak, juga sering muntah. Tubuh secara umum lemah meskipun tidak kurus karena ASI terus.
Pada saat itu terjadi dua kubu, keluarga pihak istri orientasi Rumah Sakit melulu, sementara saya cenderung diobati alami. Sampai akhirnya saya sama keluarga besar istri musuhan. Terutama sama saudarasaudara isteri yang menganggap saya dukun herbal karena mengharamkan vaksin pada anak saya sendiri.
Suatu hari bayi muntah-muntah terus sehingga istri diantar keponakannya ke dokter spesialis anak. Saya sudah mewanti-wanti nanti di dokter cuman periksa aja kenapa muntah-muntah terus. tidak perlu minum obat-obatannya. Isteri saya setuju.
Tapi pas saya ke luar kota, rupanya istri memberi obat2an dokter spA itu sampai habis. Saya datang heran kok ada obat2an yang masuk kategori obat keras ?
Akhirnya kami ribut. Dan seminggu kemudian kulitnya memerah, demam, dan nangis berulang2 dengan nada dan suara sama. Terus menerus tidak berhenti tetapi tidak mengeluarkan air mata. Saya sudah curiga ada syaraf yang terganggu. Sebab seperti kaset yang diulang-ulang.
Akhirnya masuk UGD RS Hermina. Malah dimarahi sama dokter jaga, kenapa baru sekarang ke UGD? Kemarahan saya tahan. Saya tidak bilang bahwa saya juga tahu medis, untuk menghormati kerja mereka.
Setelah baby tenang . Mereka dengan sedikit menakut2-nakuti akan terjadi lagi anfal maka bayi harus masuk ruang PICU. Padahal menurut feeling saya, bayi sudah bisa dibawa pulang.
Masuk ruang PICU malah diinfus, dipasang berbagai alat seolah2 parah banget ..
Pas jantungnya melemah disuntik, pernapasan lemah disuntik dan seterusnya. Terus-terusan hingga tubuhnya bengkak karena cairan kimia suntikan yang terlalu banyak .
Hari kedua membaik namun tiba-tiba drop dan hampir gagal napas dan dipasang ventilator. Jika ventilator dalam 12 jam tidak mampu menaikan daya napasnya maka dicabut.Sementara dokter spesialisnya cuma 1 kali nengok selama 5 menit saja . Bilangnya bayi ini pneumonia tanpa penjelasan lagi langsung pulang.
Perasaan saya sudah lain. Akhirnya saya bilang sama istri bahwa Baim (panggilan Ibrahim) itu yg punya adalah Alloh. Kalau mau diambil sama Yang Punya, kita ikhlas kan saja .. toh yang kasih pinjem juga Alloh...
Akhirnya istri sy yg awalnya ngotot pengen Baim sembuh , luluh hatinya dan membisikan di telinga Baim bahwa Umi sudah ikhlas.. kalo Baim mau pulang tidak apa-apa ... Umi ikhlas..
Akhirnya bada duhur itu Pas juga Setelah sy jumatan kembali ke ruang PICU langsung minta dokter jaga untuk melepas ventilator... dan semua selang yg menempel serta tusukan2 jarum yg membuat dia tambah menderita Supaya Baim lega untuk kembali ke Allah .. dia sudah cukup berjuang untuk Umi Abi nya..
Pihak dokter tetap mempertahankan ventilator dan semua peralatan menempel meskipun saya sudah bilang untuk cepat melepaskan itu semua.
1 jam kemudian Baim drop banget, semua dokter diminta datang ke ruang itu dan dilakukan kejut jantung terus menerus akhirnya baru mereka menyerah..
Baim sudah pulang..

Sumber berita : Mas Sugi (melalui Seliawati).


Comments

Marsya said…
This comment has been removed by the author.
novitaliang said…
Numpang komentar ya gan,
Saya ingin memberitahukan informasi mengenai tentang Ayam-ayaman.
Bagi para Botoh pemula yang ingin belajar cara ternak ayam, merawat ayam, menjadi ayam lebih kuat.

Anda Bisa Mengunjungi Artikel Sabung Ayam Dipersembahkan Oleh tajenonline.net

Memberikan Pakan Ayam Bangkok Berdasarkan Umur
https://tajenonline.net/memberikan-pakan-ayam-bangkok-berdasarkan-umur/

Anda Juga Bisa Melakukan Chatting Langsung Di Whatsapp Kami +62-8122-222-995

Terima Kasih Sudah Membaca Komentar Saya
Dokter Vaksin said…
DokterVaksin.com Melayani Vaksin Meningitis, Yellow Fever, Haji dan Umrah di Indonesia

Popular Posts