DATA KIPI VAKSIN PERIODE 25 AGUSTUS 2018 - AKHIR

1. Rifky (4 tahun). Murid TK Pertiwi. Pulau Balang Lompo, Kelurahan Mattiro Sompe, Kecamatan Liukang Tupabiring, Kabupaten Pangkep, Sulsel.






Kronologis : Awalnya anak pernah sempat demam sebelum disuntik MR, setelah beberapa hari kemudian anak ini sudah sembuh dan kembali bersekolah lagi, lalu disuntik MR tanpa ada pemberitahuan dari pihak sekolah kepada orang tua tanggal 3 Agustus 2018. Beberapa hari kemudian, dia kembali demam lalu si anak dibawa ke puskesmas tanggal 17 Agustus 2018, dengan keluhan demam sejak 3 hari di rumahnya. Beberapa hari kemudian tumbuh cacar hitam di pahanya sampai bocor, dirujuk ke RSUD Pangkep tanggal 20 Agustus 2018 karena demamnya tidak turun-turun dan sudah tampak bintik hitam di sekujur tubuhnya dan luka melebar pada daerah hidung, dirujuk dengan diagnosa suspek DBD. Demam tidak mau turun-turun sampai-sampai si anak tidak bisa makan selama di rumah sakit. Status imunisasi anak lengkap. Rifki meninggal Jumat (24/8/2018), usai mendapat perawatan selama empat hari di RSUD Pangkep.


Rifky (baju putih) saat sehat bersama keluarga 

--------------------------------------------------------------------------- 

Dikarenakan kasusnya sempat viral, instansi terkait pun angkat bicara perihal kasus tersebut. Terlebih lagi, ramainya pemberitaan di media sosial. Wakil Bupati beserta isteri juga sempat melayat ke rumah Rifky. Berita itu menuding penyebab kondisi Rifky memburuk hingga meninggal dunia karena dampak vaksin rubella. Kepala Dinas Kesehatan Pangkep, Dr Indriaty Latif, saat ditemui di ruang kerjanya, Sabtu, 25 Agustus menyampaikan, penyebab sakit yang diderita Rifky hingga meninggal dunia, bukan karena vaksin rubella. 

"Penyebab kematian Rifky ini bukan karena dia sudah divaksin. Tetapi karena penyakit pemfigus vulgaris. Karena rentang waktu antara anak ini divaksin cukup lama. Dia divaksin pada 3 Agustus bersama dengan 65 anak lainnya. Sementara nanti pada 15 Agustus ke puskesmas berobat karena demam. Begitu juga tanda-tandanya berbeda apabila dia terkena campak," bebernya. 

Menurut Indriani, reaksi imunisasi vaksin biasanya dapat dilihat 24 jam pasca diberi vaksin dan paling lama 7 hari setelahnya. Sedangkan Rifki, yang sebelumnya diisukan meninggal karena Vaksin MR, didiagnosa mengidap penyakit kulit langka, Vemfigus Vulgaris. 

"Kita akan luruskan, sekaitan dengan adanya pasien yg meninggal, kita sudah lacak. Kalau dikatakan meninggal karena vaksin MR itu salah. Biasanya kalau ada reaksi vaksin itu pada waktu itu, ini setelah 13 hari baru muncul ruam," ujar Indriani, Sabtu (25/8/2018). 

Dikatakan Indri, Rifki mengidap penyakit auto imun, yang belum diketahui penyebabnya. Ia mengimbau masyarakat untuk tidak ragu mendorong dan meminta anaknya untuk melakukan vaksinasi MR, apalagi statusnya juga sudah di halalkan MUI. 

Di tempat lain Direktur RSUD Pangkep angkat bicara "Yang dialami anak ini tidak sama dengan MR. Hanya saja munculnya setelah imunisasi vaksin MR. Jadi diagnosis venfigus vulgaris, penyebabnya tidak diketahui, dan siapa saja bisa kena. Ini tidak ada hubungannya dengan vaksin MR," ujar Direktur RSUD Pangkep dr Annas Ahmad. "Kita minta dukungan media untuk meluruskan ini, bahwa anak ini meninggal bukan karena vaksin. Apalagi MUI sudah membolehkan, dan mengeluarkan status halal. Dan ini merupakan program pemerintah yang harus kita sukseskan," ungkap Annas lagi. 

Sementara itu, dokter spesialis anak RSUD Pangkep, Erlin Djamaluddin, mengatakan bahwa gejala yang ada di tubuh Rifki berbeda dengan kasus rubela maupun campak. 

"Jadi waktu dia datang, dengan gejala yang tidak sama dengan campak ataupun rubela. Waktu pertama datang hanya ruam besar di hidungnya, lalu terus bertambah. Lalu kita konsul ke dokter kulit. Bahwa ruam yang timbul di tubuh Rifki tidak sama dengan rubela," ungkap Erlin. 

Kapolres sudah turun tangan memeriksa kasus ini, kemungkinan ada unsur kelalaian dari bidan dan sekolah karena anak masih belum fit disuntik.


Sumber berita : Fajaronline, Newsrakyatku



2. Nurfauziah Larasati (9), kelas III Sekolah Dasar Negeri 37, Kampung Opas, Kota Pangkalpinang, Pulau Bangka.




Kronologis : Laras hanya bisa terbaring lemas di atas tempat tidurnya sembari menahan sakit. Laras tidak bisa berjalan sejak dua hari lalu setelah disuntik vaksin MR di sekolahnya.

Abdul Halim, ayah Laras, menjelaskan awalnya Laras dalam kondisi sehat dan tidak sedang sakit. Kondisi Laras yang tak bisa berjalan itu berawal saat putrinya itu disuntik imunisasi MR di sekolah pada Sabtu (25/8/2018).

"Mulai tidak bisa jalan sejak kemarin. Parahnya hari ini. (Ini terjadi) setelah disuntik imunisasi MR di sekolahnya," jelas Abdul saat ditemui detikcom, Rabu (29/8/2018) malam di rumahnya di Kampung Opas, Pangkalpinang.

Pantauan detikcom di rumah korban, Laras hanya terbaring lemas sembari merintih sakit (ngilu) di sekujur tubuh. Laras pun tidak bisa berjalan karena kakinya bengkak dengan bentol-bentol merah.

Abdul menceritakan kronologi putrinya hingga terbaring lemas dan tidak bisa berjalan. Berawal dari Laras meminta izin terhadap dirinya untuk suntik MR di sekolahnya.

"Saat anak saya minta izin suntik MR di sekolah, saya tanya, 'Kalau disuntik sehat nggak laras? Demam tidak?' Kalau tidak ada gejala, tidak apa-apa, karena suntik imunisasi kan program pemerintah, pasti bagus, dan saya beri izin," jelasnya sambil mendampingi putrinya terbaring di tempat tidur.Pada Sabtu (25/8) pagi, anaknya bercerita bahwa ternyata yang mengikuti suntik MR hanya orang tujuh. Siswa yang lain tidak diberi izin orang tuanya. "Dari 32 siswa-siswi, yang suntik hanya tujuh orang, termasuk Laras," ceritanya"Itu kan program pemerintah, pasti bagus, apalagi sebelumnya Wakil Gubernur Babel Abdul Fatah sudah memberi izin. Jadi izin suntik saya berikan," ujarnya."Setelah disuntik, anak saya terus saya pantau, dan saya tanyakan keadaan anak saya setiap hari. Sebab, saya lihat di Facebook, setelah disuntik MR, ada yang lumpuh," cerita Abdul.

"Bintik merah (kayak keringat malam) mulai timbul sejak Senin kemarin. Di leher dan perut sudah mulai tumbuh, hingga hari ini anak saya tidak bisa berjalan dan hanya bisa berbaring di tempat tidur," katanya.Meskipun sudah mulai timbul bintik-bintik, Laras masih bersekolah. Tapi ia tidak berani melaporkan kepada guru perihal bintik merah itu.

"Karena Laras mengeluh sakit, saya suruh istri bawa laras ke puskesmas. Cuma dikasih resep oleh dokter. Pas sampai rumah, tidak bisa jalan hingga saat ini. Bintik merah ini keluar di sekujur badan," tegasnya.Ia berharap ada penjelasan dari pihak sekolah kenapa anaknya bisa seperti itu setelah disuntik imunisasi MR.

"Dari tujuh anak, cuma anak saya yang mengalami hal seperti ini. Saya minta doanya agar anak saya cepat sembuh dan bisa kembali beraktivitas seperti biasa," tambahnya. Belum jelas betul apakah Laras tidak bisa berjalan karena suntik imunisasi MR atau bukan.

BANGKAPOS.COM, BANGKA - Nur Fauziah Larasati (9) siswa kelas 3 SDN 37 Pangkalpinang terbaring lemas di kamar kontrakan Gang Mawar V Jalan Depati Bahrin kelurahan Opas kecamatan Taman Sari, Pangkalpinang, Rabu (29/8/2018).

Sesekali bocah itu menangis menahan rasa ngilu pada betis kiri dan kanannya paska di Vaksin Measles Rubella(MR) di sekolah Sabtu (25/8/2018) di tangannya.

Dengan perlahan ia menunjukkan ruam merah tak beraturan yang bermunculan pada sekujur kaki yang menjalar hingga ke badan. Bahkan ruam merah itu juga mulai bermunculan di bagian tangannya.

"Pusing, ngilu kakinya kaku," kata Laras lirih sambil sesekali menangis menahan sakitnya, saat ditemui Bangka Pos, Rabu (29/8/2018) malam.

Laras mulai merasakan pusing dan munculnya ruam pada hari senin, namun ia masih bersekolah. Ketika pulang sekolah tubuhnya memang tidak panas, namun kemunculan ruamnya semakin banyak dan besar.

"Di kelas 7 orang yang suntik, banyak yang enggak masuk. Terus yang masuk enggak suntik karena bawa surat orang tua enggak boleh suntik. Habis suntik enggak sakit, cuma ngilu. Dak nangis juga," ceritanya.

Tubuhnya makin melemas dan kakinya terasa semakin berat pada saat hari selasa, namun masih dipaksakan untuk sekolah. Setelah pulang sekolah ia mulai tidak bisa berdiri bahkan untuk bangun pun mulai susah.

"Sehat sebelum disuntik, makan juga nafsu. Cuma hanya lemas, sakit kaki ini, dak panas badannya," ujarnya.

Abdul Halim (43) ayah dari Laras, menceritakan dirinya mulai khawatir paska melihat ruam yang timbul pada putri pertamanya semakin membesar. Ia tidak langsung membawa ke dokter lantaran berpikir itu merupakan reaksi dari suntikan itu.

"Anaknya sehat sebelum disuntik, dia kan nanya yah jadi dak suntik, ku bilang suntik lah, karena liat iklannya kan ada TV, ini progam pemerintah jadi ku kasih. Tapi ku tanya dia sehat dak, kata dia sehat suntik lah kata ku," katanya.

"Ku pikir itu reaksi suntik, kalau kata orang Bangka itu kayak campak keluar. Tetangga banyak juga lihat katanya bagus campak keluar, belum saya bawa ke dokter," ujarnya.

Ia mulai menyadari anaknya semakin parah pada Selasa pagi. Dirinya mulai panik dan meminta istrinya untuk membawa buah hatinya ke Puskemas pada Rabu (29/8/2018).

"Senin tu baru bintik dikit, tapi pas selasa bercaknya mulai banyak besar dan kakinya mulai susah jalan ngilu dan kaku, mulai dipapah bangunnya, dia bilang pusing juga. tapi masih sekolah juga selasa itu, sekarang kalau mau bangun harus digendong," ujarnya.

Menurutnya, puncak penurunan kondisi kesehatan anak pertama dari tiga saudaranya itu terjadi pada Rabu (29/8/2018).

"Hari inilah mulai puncaknya, lemes sekali. Muncul bercak ini sedikit-sedikit, telapak kaki susah napakanya, kepalanya terasa seperti luka, tapi enggak ada luka. Saya enggak tau kalau suntik itu belum halal, saya cuma lihat iklan di TV itu bagus semua," katanya.

Sandra (29) ibu Laras mengatakan ia membawa putrinya ke Puskesmas Taman Sari Rabu (29/8) pagi sekitar pukul 08.00 WIB dengan menggunakan motor dan dipapahnya.

Setibanya di Puskesmas, ia menyebutkan anaknya hanya mendapatkan penanganan dokter tanpa disentuh.

"Cuma dilihat aja sama dokter, enggak dipegang, terus dikasih resep. Resepnya obat minum sirup sama salep. Saya bilang ke dokter anak saya jadi gini setelah suntik Rubella di sekolah, dokternya cuma bilang iya. Ke Puskesmas saya bawa sampai dipapah dipegangin karena kakinya sulit berdiri," katanya.

Abdul Halim meminta pertanggungjawaban Pemerintah atas kondisi yang menimpa anaknya itu. Ia berencana akan mendatangi sekolah untuk menanyakan langsung kejadian ini.

"Tolong kalau berbahaya jangan diberikan kepada anak. Saya minta pemerintah bertanggungjawab dari sekolah juga, karena ini program pemerintah. Dibantu ini cara pengobatannya jangan sampai lumpuh atau apa," katanya.

Terpisah Kepala Dinas Kesehatan Babel, Mulyono Susanto mengatakan pihaknya akan menindaklanjuti hal ini dan berkoordinasi dengan dinas kesehatan kota.

"Saya akan segera menghubungi puskesmas terkait dan dinkes kota. Ini kan masuk wilayah Pangkalpinang, besok sudah harus ada jawabnya. Besok kami akan berikan jawaban karena harus kroscek dulu," ujarnya.

Disinggung soal reaksi akibat dari Vaksin MR, Mulyono mengatakan ini hal ini merupakan kewenangan dari Komite Ikutan Paska Imunisasi (KIPI).

"Apakah ini dampak dari vaksin MR, ini punya kewenangan untuk menjawab itu KIPI, nanti saya juga akan kontak KIPI," ujarnya.(*)

Nurfauziah Larasati (9), bocah di pangkalpinang, Bangka Belitung (Babel) tak bisa berjalan usai imunisasi Measles and Rubella (MR) di sekolahnya kini mulai membaik. Dokter mengklaim penyakit yang diderita bukan akibat vaksin Measles and Rubella (MR)

dr Helfiani Ketua Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) wilayah Babel, menjelaskan, bahwa penyakit atau gejala yang diderita pasien bukan karena imunisasi MR melainkan karena adanya infeksi virus atau bakteri sebelum terjadinya penyuntikan imunisasi. 

"Setelah kami investigasi sejak kemarin, dari hasil pemeriksaan, sudah kami simpulkan bahwa anak ini menderita penyakit Henoch-Schonlein Purpura, kasus ini juga sudah disampaikan di komnas dan sudah dibahas," jelas Helfiani di RSUD Depati Hamzah Pangkalpinang, Bangka, Jumat (31/8/2018). 

HSP Ini penyakit seperti penyakit penyakit autoimun, yang bisa di cetuskan oleh infeksi virus atau bakteri sebelum terjadinya penyuntikan vaksin MR (satu minggu sebelum). 

"Jadi sebelum imunisasi, mungkin kuman ini sudah masuk. Kemudian setelah tiga empat hari imunisasi baru keluar," tegasnya. 

Ia menceritakan, kalau misalnya sakit tersebut timbul melalui suntik imunisasi MR, bisanya 7 hari setelah disuntik baru kelihatan gejala. Sedangkan ini kan anak ini sudah dari awal tiga empat hari ada gejalanya udah mulai timbul setelah imunisasi. 

"Jadi ini karena inveksi sebelum dia disuntik sudah masuk kumannya. Jadi tidak ada kaitannya," kata Dia. 

Saat disinggung kemungkinan penyakit itu timbul atau memicu keluar setelah di vaksin MR, Helfi mengatakan, hal tersebut bisa saja terjadi. 

"Bisa, cuma kalau berdasarkan kasus ini bukan dari imunisasinya, kalau dari hasil imunisasi seharusnya gejalanya timbul seminggu kemudian. Tapi ini tiga hingga empat hari setelah imunisasi. 

Pantauan detikcom di ruang Asoka RSUD Pangkalpinang, saat ini kondisi pasien sudah beransur membaik, nyeri sudah tak ada lagi, bintikan di kaki sudah berkurang dan sudah tidak demam lagi dan pasien sudah bisa menggerakkan kakinya. 

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bangka Belitung (Babel), Mulyono Susanto juga mengatakan tak ada pengaruh vaksin MR yang bikin Larasati tak bisa jalan. "Awalnya kita sempat khawatir mendengar kabar seperti itu, oleh karena itu kita putuskan harus di rawat di rumah sakit, untuk itu kita serahkan kepada komda KIPI dengan hal inidr Helfiani yang menangani," jelas Mul. 

Ia menambahkan, Vaksin ini sudah digunakan oleh 35 juta anak di Pulau Jawa. Jadi vaksin ini aman digunakan, tidak perlu dipertanyakan kembali dan sudah dilaksanakan di Indonesia. 

"Jika di jawa ada 135 juta anak sudah mendapatkan imunisasi itu, masa saya sendiri masih meragukan tentang vaksin ini. Sedangkan di Jawa sendiri tidak jadi masalah," tambahnya. 
Provinsi Babel sendiri memiliki target 95 persen anak menerima vaksin tersebut. Pihak Dinas Kesehatan sendiri tetap optimis dengan target tersebut. Meskipun waktunya tinggal satu bulan lagi, 60 persen pun belum tercapai. 

Sumber berita : Detikcom, Detikcom2

3. Delapan Siswa SMP Negeri 3 Palopo, Sulawesi Selatan dilarikan ke Rumah Sakit St Madyang dan RS At-Medika Palopo diduga akibat Vaksin Measleas Rubella (MR), Rabu (29/08/2018) Pagi.
Kedelapan siswa tersebut mengalami demam tinggi, lemas serta sesak nafas sehingga harus mendapatkan bantuan alat pernafasan oksigen dan infus.
Menurut dokter Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit St Madyang, Amrullah, mengatakan bahwa 5 orang siswa yang dia tangani mengalami gejala awal sesak nafas, lemas dan demam.
“Memang efek samping dari vaksin MR adalah demam, itu muncul setelah divaksin,” kata Amrullah kepada sejumlah awak media.
“Kami sudah melakukan penanganan awal lebih dahulu yakni sesaknya dan demamnya, nanti ditindaklanjuti perkembangannya,” lanjut Amrullah.
Hingga saat ini, kondisi siswi tersebut sudah mulai membaik meskipun masih ada sebagian dari mereka masih lemas dan masih diberikan bantuan pernafasan oksigen.
Sementara itu, Kepala Sekolah SMP negeri 3 kota Palopo, Kartini Alwi, yang dikonfirmasi mengatakan bahwa 8 orang siswanya sedang menjalani perawatan.
“Korban dirawat di 2 rumah sakit yakni di rumah sakit ST Madyang sebanyak 5 orang dan di rumah sakit At-Medika sebanyak 3 orang. Mereka dilarikan ke rumah sakit setelah satu jam divaksin dan mengalami demam tinggi, lemas dan sesak,” jelas Kartini, saat menjenguk siswinya di Rs St Madyang Palopo.
Kepsek SMPN 3 Palopo ini mengaku jika dirinya tidak menolak dan tidak mendukung kegiatan vaksin MR ini, sehingga pihaknya mengembalikan ke orang tua siswa.
“Sebenarnya saya tidak bilang mendukung atau menolak vaksin MR ini, makanya saya serahkan kepada orang tua siswa dan memberikan surat pernyataan menolak atau menerima imunisasi tersebut,” katanya.
Selain itu, dia juga mengatakan jika pada saat petugas mendatangi sekolahnya, dirinya menghimbau agar tidak melakukan vaksi bagi siswa yang tidak sarapan dan memiliki riwayat penyakit lainnya, namun para siswa ini tidak jujur sehingga petugas memberikannya vaksin MR.


Sumber berita : Spotsatu
4. 
M Iqbal. Siswa di Sekolah Menengah Pertama (SMP) 20 Padang, Sumatera Barat.

Kronologis : Pada berita 1 September 2018 :
Pasca mendapatkan Imunisasi Measles Rubella (MR). Seorang orang anak Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar) terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) M Djamil Padang, untuk mendapatkan perwatan intensif dari pihak rumah sakit. Sebab, usai di vaksin anak tersebut diduga mengalami kelumpuhan pada tangan sebelah kiri.
M Iqbal, Siswa di Sekolah Menengah Pertama (SMP) 20 Padang, Sumatera Barat. M Iqbal saat ini mendapatkan perawatan di HCU anak, RSUP M Djamil Padang.
Hafendi 45 tahun ayah dari M Iqbal menceritakan, sebelum di rawat ke RSUP M Djamil Padang, anaknya di suntuk vaksin, Senin 27 Agustus 2018 yang lalu di sekolahnya. Usai di suntik vaksin, Hafendi menyampaikan anaknya mengeluh kesakitan,
Usai di suntik vaksin di sekolah, anak saya mengeluh ada merasakan sakit di bagian kepala. Kemudian tangannya melemah dan jadi mati rasa. Lalu saya bawa anak saya ke tukang urut di dekat rumah, kemudian tidak jadi di urut,” papar Hafendi kepada awak media di ruangan HCU anak M Djamil Padang.
Lanjut Hafendi, tukang urut dekat rumahnya tersebut menyampaikan kepadanya bahwa anaknya tersebut sakit bukan karena terkilir. Kemudian, Hafendi lansung membawa anaknya tersebut ke Pukesmas, disana pihak Pukesmas menyarankan kepadanya untuk merujuk anaknya ke M Djamil Padang.
“Usai dari tukang urut, saya bawa anak saya ke Pukesmas, lalu disana mereka menyarankan agar anak saya dirujuk ke RSUP M Djamil Padang. Anak saya mulai di rawat di sini (RSUP) sejak tanggal 31 Agustus 2018 kemarin,” terang Hafendi.
Hafendi mengatakan, sejak di rawat di RSUP M Djamil Padang. Kondisi kesehatan anaknya sudah mulai perkembangan. Akan tetapi, anaknya saat ini masih merasakan sakit dibagian kepala belakang. “Tadi pagi sudah ada perkembangan. Tapi anak saya masih merasakan sakit di bagian kepala belakang,” katanya.

Kepala Dinas Kesehatan Sumbar, Merry Yuliesday menuturkan belum tentu penyebab kelumpuhan yang dialami Iqbal disebabkan vaksin MR. "Belum tentu, karena vaksin MR yang dijalaninya. Mungkin karena imunisasi MR ini sedang ramai diperbincangkan, orang menghubungkan semuanya ke situ. Perlu dilihat dulu hasil medisnya," ucap Merry.
Merry meminta masyarakat agar jangan terpengaruh dan terpancing isu tak bertanggung jawab terkait efek samping dari pemberian vaksin MR. Merry menyebutkan, rentang waktu pemberian vaksin dan penyakit yang dialami Iqbal cukup lama. "Kejadiannya berawal dari Iqbal menjalani suntik MR pada Senin (27/8). Habis vaksin tak ada persoalan. Selasa –Kamis kondisinya seperti biasa. Pada Jumat pagi, setelah diguyur air mandi, barulah kondisinya memburuk, hingga harus dilarikan ke rumah sakit," ungkap Kadinkes.
Sedangkan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sumbar dr Pom Harry menerangkan, secara medis, efek vaksin tidak separah itu. "Efek sampingnya ada, namun hanya demam ringan. Demam yang lebih berat bisa terjadi ketika terjadi infeksi lain yang ada pada tubuh anak tersebut," ucapnya.
Dalam posisi sebagai dokter, Pom Harry mengatakan di dunia medis, vaksin bertujuan sangat baik memberi kekebalan pada tubuh sebagai bentuk dari pencegahan ketika virus tersebut muncul nantinya. Ketika muncul virus yang beresiko seperti virus Rubella, tubuh 
sudah kebal dan punya daya tahan.(h/mg-yes).
Dokter spesialis anak Iskandar Syarif yang menangani M.Iqbal (12) siswa SMPN 20 Padang di RSUP M Djamil Padang yang diduga mengalami kelumpuhan pasca mendapat suntik vaksin Measles dan Rubella (MR) pada Jumat, 31 Agustus 2018 memberikan keterangan penyebab kelumpuhan Iqbal.
Di ruang kerja Kepala Dinas Kesehatan Sumbar Merry Yuliesday, Iskandar menerangkan kelumpuhan Iqbal akibat dari radang di Medulla Spinalis.
"Kondisi kesehatan Iqbal kini sudah sangat membaik. Tangannya sudah bisa digerakkan dan sudah bisa diajak bicara," katanya saat memperlihatkan video kondisi Iqbal di ruang rawat, Selasa, 4 September 2018.
Kemudian dijelaskannya, kemungkinan sebelumnya telah ada infeksi virus-virus lain yang menyerang Iqbal.
"Apakah berhubungan dengan vaksin? Jika gejala dan waktunya sama, baru cocok disebabkan oleh vaksin," ungkapnya.
Iskandar menerangkan manfaat vaksin adalah untuk memberi kekebalan khusus. Vaksin MR satu-satunya cara spesifik untuk memberi ketahanan tubuh. Dengan standar anak yang akan diimunisasi, harus disuntik dalam keadaan sehat sebelumnya dan sesudahnya ia tetap sehat.
"Kemungkinan besar kasus Iqbal adalah co-insiden, atau kejadiaannya bersamaan atau kebetulan saat Iqbal sedang imunisasi," ulasnya.
Kepala Dinas Kesehatan Sumbar Merry Yuliesday menghimbau masyarakat agar tidak terpengaruh isu miring soal dampak dari Imunisasi Measles dan Rubella (MR) di Sumbar. Belakang memang ada beberapa kasus anak mengalami gejala tertentu setelah mendapatkan suntik MR di daerah tersebut.
Ada dua kasus di Sumbar yakni seorang siswi Kelas VI SD Negeri 01 Situjuah Ladang Loweh, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Limapuluh Kota, Vega (13) terserang virus Herpes usai mendapatkan Imunisasi Measles Rubella (MR) pada Kamis (2/8/2018). Kemudian baru ini Iqbal (12) siswa SMP 20 Padang yang diduga terdampak akibat imunisasi

Sumber berita : Kabarnagari, harianhaluan, klikpositif


5. Palkis Kire Sakira. 4 bulan anak pasangan Zulkifli (25) dan Lusiana (26) warga RT 5 RW 2 Desa Bonosari, Kecamatan Sempor, Kebumen, Jawa Tengah.



Kronologis : Sakira mengalami demam tinggi usai mendapatkan Imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, dan Tetanus). Meski sempat dirawat di rumah sakit, Sakira akhirnya meninggal dunia, Selasa (28/8/2018). 

Duka mendalam pun masih dirasakan pasangan suami istri Zulkifli -Lusiana saat ditemui di rumah mereka, Minggu (3/9/2018). Keduanya lantas menceritakan kronologi kejadian tersebut. 

Sakira, kata Lusiana, tidak tinggal bersama mereka. Melainkan dirawat keluarga Sario (61) yang merupakan kakek Sakira. Ini dilakukan karena Zulkifli dan Lusiana masih punya anak lain yang berusia 2 tahun. 

Namun sebelumnya, kondisi Sakira baik-baik saja. Hingga kemudian pada Minggu malam (26/8/2018), Sakira mengalami demam. 

Sampai saat itu, mereka masih menganggap wajar demam ini mengingat beberapa jam sebelumnya, Sakira habis mendapat imunisasi DPT yang diberikan Bidan Sri Murtini yang membuka praktek di Desa Bejiruyung, Kecamatan Sempor. 

Kegelisahan mulai dirasakan saat demam Sakira tak kunjung turun bahkan meningkat pada Senin siang. "Pada malam Senin, anak saya mengalami demam sampai Senin (27/8) siang. Tapi masih wajar. Hanya kemudian menjelang (Senin) sore, demam terus meningkat," tutur Lusiana diamini Zulkifli. 

Khawatir dengan kondisi itu, Sario (61) mendatangi tempat praktek bidan dan pulang membawa obat bagi cucunya. “Saat itu bidan hanya menyampaikan, demam setelah imunisasi DPT adalah hal yang umum. Demam dapat terjadi hingga 3 hari,” tutur Lusiana. Kendati sudah diberi obat, kondisi Sakira tak membaik. Malah demamnya semakin tinggi. Puncak demam dialami Sakira pada Senin malam sekitar pukul 22.30 WIB. Seiring dengan itu, kekhawatiran orang tua Sakira memuncak. Akhirnya, mereka memutuskan membawa Sakira ke RS PKU Muhammadiyah Gombong malam itu juga. 

Sempat mendapat perawatan, nyawa Sakira tak tertolong. Dia menghembuskan nafas terakhir Selasa (28/8) dini hari, sekitar pukul 01.15 WIB. Jenazah sampai di rumah duka sekitar pukul 02.30 WIB dan dimakamkan keesokan harinya, sekitar pukul 10.00 WIB. 

Meski mengaku ikhlas dengan kepergian buah hatinya, Zulkifli dan Lusiana mengaku menyesalkan sikap bidan yang tidak mengunjungi pasien saat Sario datang ke rumah sang Bidan. Namun demikian, mereka tidak menyalahkan siapapun atas musibah yang mereka alami. 

“Kami sangat merasa kehilangan. Tapi kami ikhlas dan tidak akan menuntut apapun, biarlah Sakira tenang di alam sana. Yang diimunisasi bukan hanya Sakira saja, dan bayi lain juga sehat. Mungkin kondisi tubuh Sakira tidak sekebal bayi lainnya,” jelas Lusi dengan mata berkaca-kaca. 

Terpisah saat ditemui di rumahnya, Bidan Sri Murtini menyampaikan, proses imunisasi telah dilaksanakan dengan benar. Setelah kejadian tersebut, pihaknya juga mencari informasi dari RS PKU Muhammadiyah Gombong. 

Dari data yang diterima, saat dibawa ke PKU Gombong, kondisi pasien mengalami dehidrasi tinggi. Selain itu paru-paru Sakira juga dipenuhi cairan. 

Hal itu bisa disebabkan karena pasien tersedak saat minum. Sehingga cairan dapat masuk ke paru-paru. “Data yang saya terima dari PKU, paru-paru Sakira dipenuhi cairan. Itu bisa terjadi karena tersedak," ucapnya, sembari menambahkan, saat itu Sario juga tidak membawa Sakira dan tidak pula meminta pihaknya untuk memeriksanya. (mam/cah) 

Kronologi Meninggalnya Sakira: 

1. Minggu (27/8) Palkis Kire Sakira mendapatkan Imunisasi DPT 3 dan Polio 4. 

2. Malamnya hingga Senin siang (28/8) Sakira alami demam yang terus terus meningkat. 

3. Senin sekitar pukul 18.00 WIB simbah Sakira yakni Sario mendatang bidan dan diberi obat. 

4. Pukul 22.30 WIB, Sakira dibawa ke RS PKU Muhammadiyah Gombong di ruang IGD. 

5. Selasa Pukul 01.15 WIB nyawa Sakira tidak tertolong. 

6. Pukul 02.30 WIB jenazah dibawa ke rumah duka. 

7. Pukul 10.00 WIB jenazah Sakira dikebumikan.

8. Keterangan Bidan dari PKU menyatakan, paru-paru Sakira dipenuhi air yang mungkin disebabkan karena tersedak.



Sumber berita : kebumenexpres



6. Hafidz Khoirul Azam. 6 tahun. Desa Palas Jaya, Lampung Selatan.


Kronologis : Imunisasi vaksin Measless Rubella (MR) dituding menjadi penyebab meninggalnya seorang pelajar kelas 1 SD di wilayah Palas, Lampung Selatan.

Adalah Hafidz Khoirul Azam bin Jumadi (6). Ia mendapatkan imunisasi MR oleh petugas Puskesmas Palas di Balai Desa Palas Jaya, Selasa (4/9).

Informasinya seperti dikutip Kantor Berita RMOLLampung, setelah diimunisasi MR, bocah tersebut demam disertai dengan muntah darah selama tiga hari. Sabtu (8/9), keluarganya membawa Hafidz ke RS Bob Bazar Kalianda.

Ternyata, sampai di RS, pukul 19.30 WIB, Hafidz diketahui dokter sudah meninggal dunia. Orang tuanya kemudian membawa kembali anaknya pulang.

Minggu (9/9), jenazah Hafidz Khoirul Azam dimakamkan desanya. Keluarga korban menerima dengan lapang dada musibah yang dialami keluarganya.

Redaksi melakukan konfirmasi kepada para pihak yang disebutkan dalam berita ini dan akan menampilkannya pada berita yang berbeda selanjutnya. [sri] 

Setelah diimunisasi MR, sang bocah demam yang disertai muntah darah selama tiga hari. Sabtu (8/9), keluarganya membawa Hafidz ke RS Bob Bazar Kalianda.

Ternyata, sampai di RS, pukul 19.30 WIB, sang anak sudah meninggal dunia. Orangtuanya kemudian membawa kembali anaknya pulang. 
Minggu (9/9), jenazah Hafidz Khoirul Azam dimakamkan desanya. Keluarga korban menerima dengan lapang dada musibah yang dialami keluarganya.
Hadir dalam pemakaman almarhum Camat Palas Rikawati, Kepala Desa Palas Jaya Sutaji, Babinkamtibmas Brigadir Zaki, dan Babinsa Koramil 421-08 Palas Serda Aprizal.

KALIANDA (Lampost.co) -- HKA (6) seorang balita di Desa Palasjaya, Kecamatan Palas Lampung Selatan, diduga tewas setelah divaksin imunisasi Measless rubella (MR), Sabtu (8/9/2018). Saat ini kasus itu masih dalam penyelidikan kepolisian. 
Menurut keterangan Kepala Desa Palasjaya, Sutaji mengatakan berdasarkan keterangan orang HKA itu mendapatkan imunisasi MR oleh petugas Puskesmas Palas di Balai Desa Palas Jaya, Selasa (4/9) lalu. Namun setelah diimunisasi MR, sang bocah alami demam disertai muntah darah selama tiga hari.
"Mengetahui tidak sembuh, pada Sabtu (8/9) lalu keluarganya membawa HKA ke Rumah Sakit Bob Bazar Kalianda. Namun, sampai di RS sekitar pukul 19.30 WIB, sang anak sudah meninggal dunia. Orangtuanya kemudian membawa kembali anaknya pulang," ujarnya saat dihubungi Lampost.co, Selasa (11/9/2018).
Menurutnya, hingga kini kasus tersebut masih dalam penyelidikan pihak Kepolisian Polsek Palas dan Polres Lamsel. Kemudian, pihak Dinas Kesehatan pun sudah turun kerumah korban.
"HKA sudah dimakamkan, Minggu (9/9/2018) lalu. Sejauh ini keluarga korban telah menerima dengan lapang dada musibah yang dialami," katanya. 
Sementara itu, Kapolsek Palas Iptu Budi Purnomo mengatakan kasus itu sudah ditangani pihak Polsek Palas bersama Reskrim Polres Lamsel. Bahkan, Senin (10/9/2018) telah turun untuk menyelidiki dugaan tersebut. 
"Pihak Petugas kesehatan dan kedua orang tunya sudah dimintai keterangan. Saat ini masih dalam penyelidikan pihak kepolisian," ujarnya. 
Dia mengatakan untuk memastikan kebenaran apakah korban meninggal akibat suntikan vaksin imunisasi MR, harus dibuktikan dengan autopsi. Namun, sejauh ini pihak keluarga belum menyetujui untuk dilakukan autopsi. 


"Yang jelas, hingga saat ini belum tau apa penyebabnya. Untuk membuktikan itu hanya dilakukan autopsi. Namun, pihak keluarga belum menyetujuinya," ujarnya.

Sumber berita : rmollampung, rmolsumsel|7. La Ode Riski Barakati (6). Siswa Sekolah Dasar (SD) Negeri 30 Kota Ternate, Kelurahan Kayu Merah Kecamatan Ternate Selatan



Kronologis : KBRN, Ternate: Satu siswa Sekolah Dasar (SD) Negeri 30 Kota Ternate, Kelurahan Kayu Merah Kecamatan Ternate Selatan atas nama La Ode Riski Barakati (6) akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Hasan Busorry Ternate, Minggu (16/9/2018).

Ode yang masih duduk dibangku kelas 1 SDN Ternate ini diduga meninggal karena disuntik vaksinasi Measles-Rubella (MR) yang dilakukan dinas kesehatan (Dinkes) Kota Ternate pada 4 September 2018 lalu saat melakukan program imunisasi di sekolah tersebut.

Ayah almarhum, La Ode Imam Bahri mengaku sangat sedih atas meninggalnya putra sulungnya itu karena diduga vaksin yang disuntikan itu merupakan salah satu penyebab. 

Ia mengaku, program imunisasi yang dicanangkan pihak Dinkes Ternate melalui Puskemas Kalumata yang melibatkan siswa sekolah SDN 30 Ternate tersebut tanpa sosialisakan kepada orang tua wali. 

Menurut dia, anaknya setelah disuntik vaksinasi MR pada tanggal 4 itu terhitung tanggal 5 sampai 7 September mengelami perubahan prilaku ketika diamati saat berada dirumah. 

Sebab kesehatan anaknya itu menurun drastis karena panas badan, sering murung-murung, tidak sadarkan diri, gangguan penglihatan, kurang mendengar, kurang makan, muntah-muntah, hingga kejang-kejang. 

Dia menambahkan setelah anaknya disuntik itu masih berkesempatan pergi ke sekolah, tetapi perilaku tidak lagi seperti biasanya sehingga membuat kaget sejumlah guru sekolahnya.

"Setelah anak saya suntik vaksin rubella dan pulang ke rumah, mulai tanggal 5 keatas itu kadang anak saya berdiam diri dan badannya panas, tapi dia sempat pergi ke sekolah bebarapa hari dengan kondisi matanya sudah terganggu, karena waktu itu dia mengeluh kepada saya dan sempat dibelikan kacamata dari mamanya, namun makin hari kesehatanya makin parah" ungkap La Ode Imam kepada sejumlah wartawan, Selasa (18/9/2018).

La Ode Imam yang berpofesi sebagai petani sayur ini juga mengatakan, anaknya sempat dibawah ke puskemas Kalumata untuk diperiksa, namun kesehatanya semakin kritis sehingga meminta rujukan ke RSUD Hasan Boesori. Setelah dirawat dirumah sakit selama 4 hari diruang ICU, namun nyawanya tidak lagi tertolong dan meninggal dengan kondisi seluruh tubuhnya terasa kaku dan keras seperti batu.

"Saya kaget tubuh anak bungsu saya itu keras sekali waktu meninggal" katanya.

Dengan adanya peristiwa tersebut, dirinya meminta kepada Dinas Kesehatan harus bertanggungjawab untuk memberi penjelasan secara detail penyebab kematian anaknya tersebut, karena jika tidak, masalah ini bakal dilaporkan ke pihak kepolisian untuk mengusut kejanggalan vaksin campak dari program imunasasi di SD Negeri 30 Ternate itu.

"Peristiwa yang menimpah anak saya ini jangan sampai memakan korban lain. maka itu Dinkes tidak boleh lepas tanggungjawab untuk menjelaskan kepada kami" tegasnya.

Penesehat Hukum orang tua korban dari YLBH Malut Sarman Saroden, menegaskan kejadian dugaan suntik vaksinisasi campak rubella tanggal 4 September yang menyebabkan kematian anak dari Kliennya tersebut tetap diusut. 

Dia juga mengatakan atas kejadian itu pihaknya meminta sekolah SDN 29 Ternate yang bersebelahan dengan SDN 30 Ternate agar menunda sementara program imunasasi campak rubella sampai ada Kepstian penjelesan dari Dinkes kota Ternate

"Kematian salah satu siswa SDN 30 Kayu Merah itu, kami akan lakukan Advokasi agar mendapatkan kepastian terhadap penyebab meninggalnya korban" tegas Sarman.

Sementara itu, Kadinkes Kota Ternate dr. Fatiyah Suma menuturkan, terkait dengan kasus yang terjadi di Kota Ternate POKJA Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang di SK-kan oleh Walikota, tugasnya pengawasan terhadap Kejadian KIPI dan ini ranahnya POKJA KIPI dengan Komda KIPI Maluku Utara untuk mengaudit kasus tersebut.

"Setelah di audit kasus dengan Komnas KIPI pusat maka Rabu besok baru ada pernyataan pers sekaligus untuk kasus yang ada karena Dinkes Ternate dan Dinkes Provinsin Malut selaku (Komda KIPI daerah) diundang audit kasus langsung didepan Komnas KIPI pusat,” ucapnya.

Ia menyebutkan sesuai surat yang diterima Nomor: 70/Adm/KIPI/IX/2018 14 September 2018 dalam perihal Undangan Audit Kasus KIPI. 

Dijelaskan Fatiyah, sehubungan pelaksanaan program Kampanye Imunisasi Measles Rubella (MR) di 28 Provinsi pada bulan Agustus–September 2018, maka menghadiri Pertemuan Audit Kasus KIPI yang akan diselenggarakan hari ini pukul 09.00 – 13.00 WIB di Ruang Rapat D1, Gedung D, Lantau 4 Ditjen P2P jalan Percetakan Negara No.29, Jakarta Pusat. Kata dia, KIPI serius MR di tiga daerah Bengkulu, Lampung dan Maluku Utara.

Untuk itu didepan Komnas PP-KIPI akan disampaikan hasil audit kasus tersebut, maka itu dirinya menghimbau agar pada saat kegiatan imunisasi para bayi/balita dan anak usia sekolah (sasaran usia 9 bulan hingga 15 tahun) agar dapat didampingi oleh orang tua serta pastikan saat skrening sebelum imunisasi keadaan anak dalam kondisi sehat dan tidak ada gejala yang menjadi kontra indikasi pemberian imunisasi.

Selain Itu dirinya juga meminta untuk masyarakat khususnya orang tua agar jangan ragu meminta informasi dari tenaga kesehatan yang ada dilapangan terkait informasi tentang imunisasi dan penyakit lainnya.

“Kunci sukses program imunisasi adalah terbangunnya komunikasi yang baik dan harmonis antara komponen masyarakat, tenaga kesehatan selaku pelaksana kegiatan di lapangan, pemerintah daerah dalam hal ini lintas sektor terkait,” pungkasnya.


RN, Ternate: Teka-teki kematian siswa SD Negeri 30 Ternate, Kelurahan Kayu Marah M, Kecamatan Kota Ternate Selatan, La Ode Riski Barakati, yang diduga meninggal pasca vaksinasi Measles-Rubella (MR) disekolah dihantah oleh tim Komite Daerah Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komda PP-KIPI) Provinsi Malut.
Bantahan tersebut, disampaikan tim Komda KIPI, di aula Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Ternate, Kamis (20/9/2018) yang dihadiri langsung oleh tim dokter dari Rumas Sakit Umum Daerah (RSUD) Chasan Busoery, kepala puskesmas Kelurahan Kalumata dan perwakilan UNICEF Malut serta kedua orang tua korban.
Dimana menurut ketua tim dokter KIPI Malut, Nani Hermaini SPa yang juga dokter spesialis anak menyebutkan, dari hasil investigasi tim dokter KIPI dapat disimpulkan bahwa, korban La Ode Riski Barakati meninggal bukan karena vaksi rubella, pasalnya dari hasil pemeriksaan, korban mengidap penyakit Radang Otak yang disebabkan inveksi virus.
“Yang pasti bukan karena vaksin MR tapi korban sudah terdeteksi virus,” tegasnya.
Karena lanjut dia, pada saat dilakukan suntik MR dilingkungan sekolah, Riski dikelompokan dalam satu file anak yang berjumlah 8 orang, dan pasca imunisasi ke 7 teman Riski tidak mengalami gangguan kesehatan dan mereka sehat-sehat saja.
Bahkan dia juga menambahkan, program nasional yang difokuskan diluar Jawa mulai Agustus hingga September 2018 ini, untuk wilayah Provinsi Malut, tercatat dua orang yang mengalami nasib yang sama salah satunya arisku yang ada di Kota Ternate.
“Selain Riski, memang kami juga terima laporan ada di Halteng dan setelah kami lakukan pendalaman memang bukan karena vaksin melainkan penyakit yang diderita dua koran itu, itu sebelum pemberian vaksim MR,” ucap Nani. Ketua Tim dokter Komda KIPI Provinsi Malut. 
Sementara itu, Husen Assagaf selaku dokter RSUD Chasan Bosoire Ternate yang menangani pasien La Ode Riski Barakati, mengaku. Dari hasil pemeriksaan LAB Apusan Darah Tepi, atau pemeriksaan sel-sel darah menggunakan mikroskop, ternyata korban Riski dari kedaan rawat hingga meninggal dunia, korban juga mengalami regulasi Toksin, atau sebuah zat beracun yang diproduksi di dalam sel atau organisme.
“Dari kejadian itulah korban gampang terkena virus yang menyebabkan kematian" katanya. 
Ditambahkan, korban Riski sesuai dari hasil pemeriksaan Glasgow Coma Scale (GCS) atau menilai skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien, apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak. Ternyata GCS nya korban berada pada tingkat 10 karbon.
“Saya sudah banyak berbicara dengan ibu korban mulai dari masih dirawat hingga hari terakhir, yang pasti insiden ini tidak ada kaitan dengan MR,” tuturnya.
Orang tua korban Imam Bahri dalam kesempatan tersebut mengungkapkan, dirinya merasa tidak etis dalam kasus ini. Sebab berbagai penjelasan dari Kopda KIPI tentu, sebagai orang tua dirinya sangat menyesali pihak Sekolah SD 30 dan Dinas Kesehatan. Pasalnya pada saat anaknya Riski Barakati di suntik vaksin Rubella, dirinya tidak diberitahu pihak sekolah dan dinas kesehatan dalam hal ini petugas dari puskesmas Kalumata.
“Secara pribadi saya sangat kecewa. Karena sebagai orang tua saya tidak diberitahu bahwa anak saya di vaksin MR. Tentu kematian itu takdirnya Allah, namun penyebab dari vaksin ini anak saya jadi korban,” tuturnya dengan eajah sedih.
Untuk itu dirinya berharap kasus ini cukup sampai disini dan jangan lagi dialami oleh anak-anak lain.
“Cukup saya saja yang alami jangan pada korban lain,” sesal Imam sembari mengatakan, jika sudah begini siapa yang bertanggungjawab atas kematian anak saya


KBRN, Ternate : Komite Daerah Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komda PP-KIPI) Provinsi Maluku Utara (Malut) Nani Hermani mengaku, selama melakukan program imunisasi campak Measles-Rubella (MR) di wilayah Malut sejak Agustus-September 2018 ini, Komda KIPI dan Komnas KIPI telah menangani dua laporan yang terjadi di masyarakat pasca imunisasi.
Kejadian yang terjadi di wilayah Malut pasca imunisasi itu, yang pertama terjadi di Kecamatan Weda, Kabupten Halmahera Tengah (Halteng) dengan korban atas nama Eka Safitri (10), sementara korban kedua terjadi di Kota Ternate atas nama La Ode Riski Barakati (6).
Dengan adanya kejadian tersebut, Dr. Nani Armaini yang juga spesalis anak menegaskan, imunisasi campak MR yang dilakukan diluar pulau Jawa ini tidak ada kaitan dengan insiden kematian dua korban baik Eka Safitri maupun La Ode Riski Barakati.
Pasalnya, setelah mendapat laporan pasca imunisasi tersebut, pihaknya bersama dengan 3 provinsi lainya dipanggil ke Jakarta untuk mengkaji laporan tersebut, bahkan dari hasil pemeriksaan LAB dua korban itu bukan karena suntik MR melainkan penyakit yang diderita masing-masing korban.
Dimana lanjut dia, untuk korban Eka yang mengikuti program MR di sekolah tersebut, mengikuti imunisasi pada tanggal 20 Agustus, dan pada saat yang sama dan botol yang sama pada korban itu, juga dilakukan suntik pada beberapa anak lainya dan ternyata anak lain itu yang berjumlah 7 orang tidak mengalami masalah.
“Mereka tidak apa-ap dan yang mengalami masalah ini hanya eka saja, kalaupun vaksin yang diberikan itu bermasalah maka 7 anak lainya juga akan mengalami masalah yang sama,” ucapnya, Kamis (20/9/2018).
Lebih lanjut, Dr. Nani mengemukakan, Eka Safitri ini tepatnya pada Selasa 11 September, korban dikonsultasi ke RS Tentara selama satu hari, karena di RS tersebut tidak memiliki dokter anak maka korban langsung dirujuk ke RSUD Ternate namun selama di RS Tentara Ternate korban terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan yang rutin-rutin terutama pemeriksaan urine atau air seni.
“Dari hasil pemeriksaan urine itu sebenarnya kami sudah bisa simpulkan karena dari hasil pemeriksaannya didapatkan sel dara merah lebih dari 20 dan sel dara putih banyak, dan bahkan di RSU yang bersangkutan di diagnosa kejadian troposit turun yang belum diketahui penyebabnya,” ucapnya lagi.
Maka itu dirinya juga menambahkan, korban langsung ditangani oleh dokter jaga pada saat itu dan dilakukan pemeriksaan lengkap termasuk pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan urine kembali dan bahkan ada pemeriksaan yang tidak bisa dilakukan di RSU tersebut kita lakukan pemeriksaan di LAB swasta.
“Sebelum dilakukan pengkajian oleh Komnas, kami dari Komda bersama dengan beberapa dokter kita sudah bisa menyimpulkan bahwa anak ini ternyata penyebab sakitnya itu terjadi infeksi pada ginjal yang penyebabnya terjadi setelah infeksi streptococcus, dan streptococcusini merupakan kuman yang biasanya terjadi pada saluran pernapasan,” tuturnya lagi sembari menyampaikan bahwa bisa menarik kesimpulan bahwa penyebab kematian anak ini karena radang ginjal karena adanya streptococcus.
Sementara untuk korban La Ode Riski Barakati menurut Dr. Nani, penyebab kematiannya karena korban mengidap penyakit Radang Otak yang disebabkan inveksi virus.
“Jadi korban Riski ini tidak meninggal karena suntik MR, dan ini juga sama dengan korban pertama,” cetusnya.
Menanggapi pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat terkait dengan program vaksin Rubella yang di prioritaskan di sejumlah SD di Kota Ternate, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) perwakilan Kota Ternate, Ibrahim Muhammad pada kesempatan itu menegaskan. Sesuai keputusan MUI nomor 33 tahun 2018 tentang penggunaan vaksi Rubella untuk imunisasi, pada dasarnya vaksin yang di impor dari Serum Institute of India itu haram.
Namun dengan keadan terpaksa MUI kemudia memutuskan penggunaan vaksi Rubella diperbolehkan dengan tiga alasan diantaranya, adanya kondisi keterpaksaan (darurat syar'iyyah). Kedua, belum ditemukan vaksim MR yang halal dan suci. Ketiga, ada keterangan dari ahli yang kompeten dan dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi vaksi MR.
“Selain itu jika berdasarkan syariat islam. Sesuatu yang masih diragukan jika dalam kedan terpaksa, bisa saja di vaksin dan bisa saja tidak di vaksin. Terkecuali keadan terpaksa, dan itu harus ada persetujuan orang tua," tuturnya.
Sementara itu, untuk menyukseskan program vaksin MR secara nasional di tingkat sekolah, khususnya di Kota Ternate, Kepala Dinas pendidikan dan kebudayaan (Kadikbud) Kota Ternate, Ibrahim Muhammad, pada kesempatan tersebut menerangkan, Intinya program ini pihaknya hanya menjalankan sebagaimana perintah Walikota untuk mengsukseskan program vaksim MR di tingkat sekolah SD di Kota Ternate, namun harus sesuai mekanisme, dimana segala sesuatu harus dikembalikan kepada orang tua siswa.
“Jika orang tua siswa tidak mau anaknya tidak di suntik vaksin MR maka pihak sekolah maupun dinas kesehatan harus mematuhi keinginan mereka. Hanya saja Dinas pendidikan pada prinsipnya tetap mendukung program ini,” pungkasnya.


Sumber berita : rrirri2


8. Afifah nur Sholehah (7thn). Siswi kelas 1 sekolah dasar (SD) 163 desa Bukit Suban Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi.
Kronologis : SAROLANGUN – Seorang siswi kelas 1 sekolah dasar (SD) 163 desa Bukit Suban Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi, berjenis kelamin perempuan bernama Afifah nur Sholehah (7thn) terkena penyakit aneh semacam cacar air disekujur tubuhnya.
Berdasarkan pengakuan pihak keluarga hal itu terjadi, setelah anak tersebut mengikuti vaksin rubella di sekolahnya.
“Betul itu keponakan saya, tapi soal alergi itu belum ada keterangan dari Dokter karena kami juga awam,” kata paman korban Mujito, yang juga kepala desa Bukit Suban, dihubungi minggu malam.
Ia mengatakan soal dugaan adanya kejadian itu pasca diberikannya vaksin rubella ia tidak berani memastikan, namun anak tersebut mengalami penyakit seperti itu setelah dua hari usai mengikuti kegiatan vaksin tersebut.
“Itu dua hari setelah ada penyuntikan itu (Vaksin Rubella) ada gatal di mata, dan dikira kakak saya itu cuman penyakit cacar biasa tapi kok tambah terus seperti itu, tapi kami sudah konsultasi ke dokter dan sekarang sudah di rumah sakit raden mataher jambi,” katanya.
“Tapi tinggal nunggu hasil labor dulu bang sudah di tangani dokter spesialis bang,” katanya menambahkan.
Sebelumnya keponakanya itu sempat dilarikan ke RS Chatib Quzwain, karena tak ada dokter lantas dibawak ke rumah sakit di Bangko dan semalam dirawat inap. Namun karena keterbatasan teknis, bocah kelas 1 SD itu dirujuklah ke rumah sakit Jambi.
Menaggapi hal itu, pihak puskesmas pematang kabau Kecamatan Air Hitam yang menjadi tempat pelaksana kegiatan pemberian vaksin rubella tersebut mengatakan bahwa pihaknya sudah melakukan investigasi ke lapangan terkait kejadian yang menimpa siswi sekolah dasar itu.

“Kami sudah melaksanakan investigasi di lapangan kemaren, bahwa anak tersebut kami berikan imunisasi pada tgl 7 Agustus 2018,” kata kepala Puskesmas Pematang Kabau, Usman, Minggu Malam.
Ia mengatakan menurut pengakuan ibu nya korban sakit tersebut baru terjadi sekitar 2 minggu.
“Dan dulu beberapa tahun yang lalu anak tersebut pernah mengalami penyakit yang sama, tapi tidak separah saat ini.
Berdasarkan juknis pemberian dan dampak imunisasi MR dari Kemenkes RI, tidak ada seperti penyakit yang tersebut diatas,” kata Usman.
Informasi ini beredar dibeberapa group Whatshaap (WA) dalam lingkungan masyarakat kecamatan air hitam, malam ini.
Dengan berbagai cuitan disertai foto saat menyampaikan postingan. Salah satunya dengan kata-kata “siswi SD 163 bukit suban, hati-hati dengan suntik vaksin Rubela.
Di group K3S Air Hitam langsung tanya ke kepsek SD tersebut, apa benar beritanya apa Hoax.
Cuma saya tidak termasuk d dalam group tersebut, cuma tadi ada temen yang dari diknas kabupaten yang bertanya dan kirim photo itu. Demikian beberapa cuitan yang didapat dalam group tersebut.
Hingga berita ini diterbitkan belum ada tanggapan dari pihak dinas kesehatan Kabupaten Sarolangun terkait persoalan tersebut.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Sarolangun, Adnan mengatakan, pihaknya belum bisa memastikan apakah penyakit yang diderita Afifah akibat vaksin MR atau penyakit lain. Saat ini pihak Dinkes Sarolangun masih menunggu hasil laboratorium.

"Petugas kami sekarang mendampingi petugas laboratorium," katanya.

Jika nanti terbukti benar penyakit Afifah disebabkan dari vaksin MR, ia menduga akan ada 7 anak lainnya yang akan mengalami hal yang sama seperti Afifah. Sabab dalam satu botol vaksin MR untuk 8 anak.

"Yang pasti kita nunggu hasil laboratorium lah," katanya.Berdasarkan instruksi pak Bupati ka Dinkes & Ka Diknas utk sementara pemberian vaksim Rubella pada anak sekolah di stop dulu dan laporkan ke Dinkes propinsi jambi atas kejadian yg menimpa anak SD Bukit suban an. Afipah Nur



Sumber berita : penajambi, kajanglako, tribunews.

9. Naira Cantia Fitrianingrum. Lahir tanggal 7 juli 2017. Saat kena KIPI umur 14 bulan. Posyandu Taman ciruas permai blok i2 Desa Pelawad, Kec. Ciruas, Kab. Serang
Kronologis : Tanggal 13 September 2018 (Kamis) imunisasi difteri di posyandu pada pagi hari. Siangnya, anak demam, lalu dikasih obat tetapi muntah, lalu dikasih obat kembali, namun anak muntah lagi. Jam 9 malam demamnya masih tinggi, lalu ibu memutuskan untuk memberikan obat penurun panas lewat anus. Sekitar 2 menit setelahnya, anak langsung kejang, berlangsung lumayan lama karena perjalanan dari rumah ke rumah sakit anak masih kejang. Sesampainya rumah sakit, anak langsung sadar. Dokter memeriksa dan mengatakan anak tidak apa-apa, lalu disuruh pulang. Sesampainya di rumah, badan anak memang sudah adem, namun jam 4 pagi (Jumat) demam kembali lalu ibu kembali memberi obat penurun panas lagi lewat anus. Lalu, badan anak kembali adem. Namun siangnya, jam 1 anak kembali mengalami kejang langsung dibawa ke RS, diopname, demamnya naik turun. Diagnosa dokternya, memang karena efek imunisasi. Dokter bertanya kepada sang ibu, apakah pernah ada riwayat kejang sebelumnya, lalu Ibu menceritakan bahwa sebulan sebelumnya anak memang pernah kejang tetapi tidak sampai dirawat. Ibu menceritakan sekarang anaknya kejang setelah sebelumnya divaksin. Dokternya berpesan, bahwa anak jangan lagi diimunisasi untuk ke depannya. Ibu pernah bertanya lagi untuk memastikan, apakah anak punya kemungkinan penyakit lain, namun dokter memastikan bukan karena panyakit lain namun efek imunisasi, biasanya memang sekitar 48 jam. Saat kejadian, Ibu tidak sempat melapor. Pengobatan dengan BPJS. Tanggal 17 September 2018 sudah pulang dari RS.

Sumber berita : Darmini (Ibu dari anak) melalui Elly, tim pengumpul data KIPI Komunitas Thinker Parents.


10. Wildan (12 tahun). Santri dari Pondok Lirboyo Kota Kediri.

Add caption
Kronologis :
Mengharukan, bapak ini memperjuangkan nasib anaknya yang saat ini tengah dalam keadaan lumpuh total terbaring lemas di RSUD dr Saiful Anwar Malang. Diketahui bapak ini adalah Suyanto (58) asal Desa Sumberjo Kulon Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung.
Dengan berjalan kaki sembari tubuhnya dikalungi selebaran kertas yang bertuliskan "Anakku Korban Suntik Rubella, Menuntut Keadilan Untuk Anakku Wildan". Kurang lebihnya tulisan tersebut berbunyi seperti itu dan ia berjalan kaki dari Gedung GNI Kota Kediri hingga menuju Dinas Kesehatan Kota Kediri tepatnya di Jalan RA. Kartini No 7.
Lantas yang menjadi pertanyaan besar, apa yang menjadi latar belakang serta masalah yang dialami oleh bapak ini.
Suyanto (ayah korban) mengaku bahwa anaknya yang bernama Wildan (12) Santri dari Pondok Lirboyo Kota Kediri, mengalami kelumpuhan pada organ tubuh bagian kedua kaki dan kedua belah tangannya setelah dilakukannya suntik imunisasi pada saat itu.
"Kejadiannya adalah pada hari Jum'at (24/10/2018). Dimana anak laki-laki saya ini bernama Wildan pada saat itu tengah dilakukan suntik imunisasi yang berlokasi di Pondok Lirboyo Kota Kediri (Wildan adalah santri dari Pondok Lirboyo Kota Kediri, Red). Nah, setelah dilakukannya suntik imunisasi, anak saya malam harinya mengeluhkan kedua kaki dan tangannya sulit untuk digerakkan. Dan selang waktu 2 hari setelah mendapat kabar tersebut saya berkunjung ke Pondok dan langsung membawa anak saya ke Puskesmas Campurejo. "Saat itu anak saya telah dalam keadaan lumpuh tak dapat bergerak sama sekali," kata Suyanto saat ditemui di Kantor Dinas Kesehatan Kota Kediri.
Masih kata Suyanto menjelaskan kembali kronologi cerita kepada tim liputan Tabloid Demonstran, Setelah dibawa ke Puskesmas Campurejo, ternyata pihak Puskesmas tidak mampu untuk menangani dan merujuk ke rumah sakit.
"Pihak puskesmas tidak mampu untuk menangani anak saya, dan saat itu juga langsung saya bawa ke RSUD Tulungagung. Singkat cerita pihak rumah sakit Tulungagung juga menyuruh kami untuk merujuk ke rumah sakit lain karena terkait dengan fasilitas yang kurang memadai. Sehingga pada Senin (29/10/2018) anak saya kembali dirujuk di RSUD dr Saiful Anwar Malang hingga saat ini. Sementara kondisi anak saya juga masih lumpuh total," ungkap Suyanto dengan menangis.
Sementara itu tujuan Suyanto mendatangi Dinas Kesehatan Kota Kediri menuntut terkait pertanggung jawaban Dinas Kesehatan dan meminta bantuan terhadap biaya-biaya pengobatan hingga anaknya sembuh.
"Kedatangan saya kemari menuntut serta meminta bantuan kepada Dinas Kesehatan untuk membiayai biaya pengobatan anak kami yang saat ini tengah di rawat di RSUD dr Saiful Anwar. Karena diketahui biaya pengobatan sejauh ini sudah mencapai 127 juta rupiah. Sementara pihak BPJS hanya mampu membiayai sebesar 17 juta rupiah saja. Jika kami disuruh membayar biaya sebesar itu, kami merasa bingung. Uang dari mana untuk mencari sabanyak itu," beber Suyanto.
Sementara itu Suyanto berhasil ditemui oleh Dr. H. Rizal Amin perwakilan dari Dinas Kesehatan Kota Kediri.
Dalam pertemuan tersebut Rizal Amin mengaku menerima dengan baik terkait aspirasi dan juga keluhan yang disampaikan oleh Suyanto.
"Kami menerima aspirasi serta menjadi keluhan dari saudara bapak Suyanto. Namun saya sendiri tidak bisa serta merta untuk memutuskan terkait kebijakan dalam perihal ini. Akan tetapi berdasarkan arahan dari Kepala Dinas Kota Kediri melalui telfon (Kepala Dinas tidak ada ditempat, Red), bahwa beliau ingin bertemu secara langsung dengan Suyanto. Dijadwalkan besok Selasa (6/11/2018), akan dilakukan koordinasi serta pembahasan lebih mendalam terhadap korban," terangnya.
Diketahui berdasarkan pengakuan dari ayah korban. Anaknya tersebut tak pernah mempunyai penyakit kronis. Namun satu hari sebelum korban ini disuntik, anak ini memang baru saja sembuh dari sakit panas dan juga masalah pencernaan (diare).
Anak saya tak pernah memiliki riwayat penyakit kronis. Namun satu hari sebelum dilakukan suntik imunisasi, anak saya memang dalam keadaan baru sembuh penyakit panas dan gangguan pencernaan," jelas Suyanto.

REPUBLIKA.CO.ID, KEDIRI -- Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Kediri, Fauzan Adima memberikan klarifikasi terhadap kasus lumpuhnya salah santri MTs Lirboyo. Dia memastikan kelumpuhan santri bukan akibat dari vaksin Measless Rubella (MR).
"Jadi yang pertama yang perlu diklarifikasi dulu bahwa yang bersangkutan ini bukan akibat imunisasi MR tapi difteri. Vaksin MR sudah dilakukan setahun lalu," ujar Fauzan saat dihubungi Republika, Kamis (8/11).
Lebih detail, Fauzan menerangkan, santri asal Tulungagung ini sebenarnya telah mendapatkan imunisasi difteri sebanyak tiga kali. Putaran pertama berlangsung sekitar Februari lalu sesi kedua dilaksanakan pada Agustus 2018. Dari kedua tahapan ini, Fauzan memastikan, santri tidak mengalami masalah apa pun pada kesehatannya.
Sementara, vaksinasi difteri putaran ketiga dilaksanakan sekitar 24 Oktober lalu di MTs Lirboyo, Kota Kediri. Dua hari setelah kegiatan ini, santri bernama Wildan (12) dilaporkan mengeluh kakinya sulit digerakkan. Kemudian santri langsung dibawa ke puskesmas terdekat oleh keluarga.
Karena perlu pengananan lebih lanjut, puskesmas merujuk pasien ke Rumah Sakit (RS). "Dan RS yang diminta keluarganya itu di Tulungagung karena rumahnya di sana. Jadinya dirawat di RSUD Tulungagung," jelas Fauzan.
Berdasarkan informasi yang didapat Dinkes Kota Kediri, santri Wildan ternyata dirawat di RSUD Tulungagung selama tiga hari. Karena tidak ada perubahan, santri langsung dirujuk ke Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Kota Malang. Dari diagnosis RS, santri dinyatakan mengidap penyakit Guillan Barre Syndrome (GBS).
"Nah, kalau lihat dari penyakit ini, GBS itu enggak ada hubungannya dengan imunisasi difetri. Logikanya kan yang disuntik itu lengan kiri tapi lumpuhnya kaki, harusnya di tangan dulu. Itu logika awamnya tapi dari medis memang tidak ada hubungannya," ujar dia.
Karena kondisi tersebut, hal yang dialami Wildan pun dimasukkan ke dalam kejadian khusus. Dalam hal ini masuk pada kategori Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Kelumpuhan individu terkait terjadi dua hari setelah pelaksanaan vaksinasi difteri.
Sebelumnya, warga Desa Sumberejo Kulon, Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, Wildan (12) dilaporkan lumpuh setelah divaksin Measless Rubella (MR). Setelah mengikuti imunisasi massal di MTs Lirboyo, Kota Kediri, sepasang kaki Wildan tiba-tiba tidak bisa digerakkan. Menurut sang ayah, Suyanto (58), anaknya menderita Guillan Barre Syndrome.
Kondisi terakhir : setelah debat yang panjang, akhirnya Wildan dapat penanggungan biaya 100%.

Sumber berita : RepublikaNews harian jogjaPekanbaru TribunnewsRadartulungagung.



11. Malika Arrayya Azkadin Putri Andini, umur 7 bulan (lahir Juni 2018), Desa Kedungjambe Kec. Singgahan Kab. Tuban :

Kronologi :
Jum'at tgl. 18 Januari 2019 adek DALAM KEADAAN SEHAT suntik DPT 2 di posyandu Desa Kedungjambe Kec. Singgahan Kab. Tuban kira-kira jam 10 pagi sampai rumah langsung diminumin obat parasetamol yang diberi oleh bidan. Saya kompres pakai air hangat bekas suntikan. Badan anak tidak ada reaksi panas sedikitpun sampai maghrib. Anaknya pun masih aktif seperti biasa. Setelah maghrib, saya minumin lagi, habis itu badannya menggigil dan sebentar langsung panas tinggi. Sekitar jam setengah 11 malam kejang tapi cuma sebentar. Jam 11 kejang lagi, langsung saya bawa ke puskesmas. Di sana cuma disuruh ngompres, sampai subuh tidak ada tindakan lalu kejang lagi. Lalu dikasih obat yang dimasukkan lewat dubur. Kurang lebih jam 10 pagi kejang lagi lumayan lama akhirnya di oksigen dan di putuskan dokter puskesmas untuk dibawa ke IRD RSUD Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro.
Dokter sempat bilang darah anak saya terkontaminasi bakteri. Akhirnya tes lab ke 2 untuk memastikan virus atau bakteri yang mengkontaminasi darah anak saya.
Tidak lama kemudian anak boleh dibawa pulang, lalu pihak puskesmas, dinkes, dan pakar imunisasi Jawa Timur mengunjungi kediaman mbak Ninik. Mereka terus terang bilang bahwa Malika sakit karena efek samping vaksin alias KIPI. Maksud kedatangan mereka adalah untuk melihat keadaan anak, disertai penyuluhan tentang pentingnya imunisasi dan menyuport mba Ninik agar jangan trauma untuk imunisasi Malika selanjutnya... tidak satu pun dari mereka yang berupaya memberi keringanan biaya pengobatan kepada Malika.
Anak akhirnya sehat kembali.

Sumber berita : 
 Ibu (Ninik Bundanya Zahwa) lewat grup Media Informasi Orang Tuban (MIOT).
12. Keysha Medina Amala, lahir 22 September 2016. Umur 2,5 tahun. Anak pertama (masih anak satu-satunya). Malang.

Kronologis : Keysha vaksin di salah satu posyandu di malang tanggal 10 November 2018. Ketika hendak disuntik, sang bidan hanya menanyakan apakah anak dalam kondisi sehat kepada sang ibu, ibu memastikan anaknya sehat, lalu bidan menyuntiknya. Setelah disuntik, Keysha masih aktif sekali berlari-lari lincah. Begitu malam tiba, tiba-tiba Keysha mulai lemas dan demam selama 3 hari, di rumah hanya diberikan parasetamol. Lalu akhirnya ibu memutuskan untuk membawa Keysha ke bidan yang menyuntik, lalu diberi obat yang dimasukin ke anus. Malamnya demam langsung turun, tetapi tengah malam Keysha demam kembali, demam ini berlangsung selama 10 hari meskipun sudah diberikan obat. Akhirnya ibu membawa Keysha ke RS, dokter meminta opname. Dokter bilang Keysha kurang darah ahirnya ditransfusi. Dokternya bilang trombosit kurang, padahal sudah ditransfusi darah. Lima hari lamanya Keysha di RS tetapi anak tetap lemas dan demam terus menerus. Lalu ibu membawa Keysha pulang mengingat biaya RS yang tinggi, dalam 5 hari biaya sudah mencapai 8,5 juta. Kebetulan ibu tidak memiliki BPJS, sehingga biaya perawatan ditanggung sendiri. Dokter mengetahui perihal Keysha sakit begitu pasca divaksin, namun dokter berkata bahwa sakitnya Keysha tidak ada hubungannya dengan vaksin. Dokter bilang justru malah bagus divaksin jadi penyakitnya ketahuan. Keysha sempat sembuh sebentar, namun tak lama, lutut bengkak padahal tidak pernah jatuh. Lambat laun, Keysha menjadi tidak bisa jalan seperti biasanya. Ada bintik-bintik di kakinya. Kalau diberdiriin, ia selalu menunduk seperti sakit di bagian pinggang. Sepulangnya Keysha dari RS, Ibu membawa Keysha ke Lombok untuk pengobatan alternatif. Begitu terkejutnya ibu, sesampainya di tempat praktek alternatif di Lombok, terapi langsung bilang bahwa Keysha tidak bisa jalan karena efek vaksin, padahal ibu belum menjelaskan sama sekali bahwa Keysha pernah divaksin sebelum sakit. Setelah itu gantian perut Keysha mulai membengkak. Gak lama perut mulai mengecil, berat badan Keysha mulai menyusut, ia terlihat sangat kurus, seperti hanya tulang yang tersisa pada tubuh mungilnya. Trombosit drop kembali. Keysha menghembuskan nafas terakhirnya 12 Februari 2019.

Sumber berita : Orang tua Keysha (identitas ada pada penulis).

13. Yudhatul Hikmah demikian nama lengkapnya. Sehari-hari biasa di panggil Yudha. Kelahiran 2011 di Sumpur Kudus Sijunjung Sumatra Barat. Anak pertama dari dua bersaudara. Putra dari pasangan pak Eki dan bu Dona.




Kronologis :
Seharusnya Yudha sedang menikmati masa-masa indahnya sekolah dan bermain bersama-sama teman sebayanya. Namun sejak 4 bulan terakhir ini Yudha hanya bisa terbaring lemah dan merintih kesakitan di tempat tidur.

Tadi malam pak Afrinaldi Sumpur menghubungi saya via WA . Dari percakapan via WA inilah akhirnya berlanjut dengan video call bersama kedua orang tua Yudha melalui hp saudara mereka.

Menurut pak Eki, ayah dari ananda Yudha, kondisi Yudha ini berawal dari pasca vaksin yang di lakukan beberapa waktu yang lalu di sekolah

"Ada kesalah data pada pihak2 terkait bu, sehingga vaksin terhadap Yudha 2 kali dalam rentang waktu yang hanya 1 bulan. Sejak saat itu kondisi Yudha ibarat bunga yang langsung layu karna panas yang begitu terik. Berat badannya turun drastis. Setiap kali makan Yudha selalu muntah, sehingga Yudha trauma untuk makan. Berat badannya yang awalnya berkisar 25 kg saat ini hanya tersisa 15 kg saja" kisah ayah Yudha dengan nada sendu.

"Apakah saat itu Yudha tidak di bawa ke rumah sakit pak" saya bertanya kepada ayah Yudha.

"Keterbatasan dana membuat kami tidak bisa berbuat apa-apa bu. Kami sudah mencoba meminta bantuan dinkes dan dinsos hanya saja sampai saat ini belum ada kepastian dan bpjs juga belum selesai karna semua ada prosedur. Demikian bu jawaban yang kami terima" lanjut ayah Yudha.

Sahabat,

Saat ini posisi Yudha sudah berada di kota Padang. Sebab ketika di bawa ke puskemas beberapa waktu yang lalu, Yudha di rujuk ke RSUD Sijunjung. Ternyata dari RSUD Sijunjung di rujuk lagi ke RS M.Djamil Padang.

Meski pun sudah sampai di Padang,Yudha belum bisa di bawa ke RS karna bpjsnya masih dalam proses pengurusan dan belum selesai. Sehingga kepastian diagnosa belum ada. Namun saat saya video call tadi saya menyaksikan dan mendengar rintihan kesakitan dari Yudha. Yudha mengeluh tulang-tulangnya terasa sakit semua.

Di Padang Yudha dan kedua orang tuanya untuk sementara menumpang di rumah saudara mereka di daerah Lubuk Begalung Padang.

Sahabat, 

Yudha, bukanlah berasal dari keluarga berada. Ayahnya hanyalah seorang tenaga honor sebagai petugas kebersihan di sekolah dasar tempat Yudha sekolah. Dengan gaji yang jauh dari kata cukup. Bahkan amat sangat jauh dari cukup.

Rp.300.000 (tiga ratus ribu rupiah) saja / bulan.

Saat ini Yudha dan keluarga butuh support dari kita.


Perjuangan Yudha baru di mulai. Walau pun nanti bpjs Yudha selesai, tetap saja ada banyak hal yang harus mengeluarkan dana pribadi. Yudha juga butuh susu untuk support gizinya karna berat badan Yudha sangat jauh di bawah yang seharusnya.

Sumber berita : Adelaila Fajri (penggalang donasi untuk keluarga Yudha melalui status Facebook).

14. Andara Humairah Zidni. Usia 5 bulan. Mandalajati, Bandung.



Kronologis : Bayi berusia lima bulan bernama Andara Humairah Zidni, didiagnosa mengalami penyakit TBC meningitis. 
Menurut sang ibu, Ananda (17 tahun) putrinya tersebut mengalami demam setelah di imunisasi pada tanggal 8 Maret 2019. Imunisasi yang diterima adalah vaksin DPT/HB 3 dan Polio 4, ketika divaksin Andara dalam keadaan sehat dan yang membawa bayi divaksin adalah neneknya, karena ibu saat itu sedang bekerja. Menurut penuturan sang Ibu, setelah di imunisasi, bayi mengalami demam selama 2 hari, lalu demam reda tapi nafasnya sesak dibawa kembali ke bidan, bidan meminta segera dibawa ke RS. Lalu bayi dibawa ke rumah sakit RSUD Ujungberung. Tanggal 13 Maret 2019, masuk IGD, trombosit 65.000 dan terus turun dalam sehari itu sampai 20.000. Jadi diagnosa masuk RS DSS- dengue syok syndrom (demam berdarah grade 3). Akhirnya masuk PICU. Dioperasi paha kanan karena infus tidak bisa masuk, namun setelah operasi, Andara sering mengalami kejang berulang, dan kepala sempat membesar selama di PICU. Terderteksi dari hasil rongent bronchopneumoni.  Setelah 7 hari koma di PICU keluarlah diagnosa TB meningitis karena sudah ada cairan diselaput otaknya.

Menurut Ananda, putrinya telah dirawat dirumah sakit selama 21 hari, selain itu pihak keluarga terus melanjutkan perawatan. Setelah diperbolehkan pulang, bayi tersebut diberi cairan mata, dikarenakan ada kerusakan pada matanya. Hasil lab ada pada ibu.
Saat ini sudah diperbolehkan pulang, karena katanya sudah membaik. Sebelum pulang diberi cairan, kemungkinan ada kerusakan dimatanya dan kemungkinan tidak bisa melihat.
Ananda mengatakan, saat ini pihak keluarga terus melakukan berobat jalan. Saat ini bayi menangis terus setiap harinya, setiap dua minggu sekali bayi harus dibawa ke rumah sakit untuk melakukan berobat jalan.
Walau pengobatan masih ditanggung BPJS, namun pihak keluarga masih sangat membutuhkan bantuan moril dan materi untuk merawat bayi Andara, karena kondisi saat ini sang ibu tidak bekerja dikarenakan harus merawat sang bayi, suami pergi meninggalkannya, dan saat ini bayi hanya dijaga oleh sang ibu dan neneknya.
Pihak bidan dikabarkan bertanggung jawab dengan berkunjung ke rumah dan mengantarkan bayi ke RS sampai biaya pertama di igd pun ditanggung oleh bidan seperti obat-obatan dan yang lainnya. Bidan sudah kenal dekat dengan keluarga Ananda. 
Saat ini bayi Andara sudah periksa ke RS Cicendo memang belum ada respon sama sekali tapi dokter dari RS Cicendo bilang belum bisa memberikan diagnosa karena Andara masih bayi, namun jika sudah berumur 1 tahun baru bisa dipasang gelombang di kepala untuk melihat ada atau tidaknya cahaya yang masuk ke mata Andara. 
Rencana ke depan, donasi akan digunakan untuk keperluan cek up ke RSUD untuk dibuka jaitan bekas operasi tapi Ibu merasa dipersulit oleh pihak rsud yang katanya harus ada rujukan dari rumah sakit lain dan jika ingin sekarang juga ditangani, maka harus lewat umum (tidak lewat BPJS) sedangkan kondisi keuangan sedang kritis. Saat ini, ibu memberikan susu formula kepada bayi Andara karena asi sedikit.
Pihak keluarga mengharapkan ada bantuan dari relawan serta pihak dermawan. Ananda pun telah memposting donasi bagi anaknya untuk membantu agar penyakit anaknya bisa sembuh, di kitabisa
Sumber berita : prfmnews.



15. Celine Safeea Ashabiya. Lahir 1 Agustus 2016. Umur 1 tahun 2 bulan. Balikpapan, Kalimantan Timur.

Kronologis :

Tanggal 3 Oktober 2018 ibu membawa Celine ke puskesmas Balikpapan Utara untuk imunisasi campak lanjutan untuk anak setahun, memang sudah mundur 2 bulan dari jadwal seharusnya karena ibu dilanda dilema dengan vaksin ini terkait resiko efek sampingnya yang sering diberitakan di sosial media. Sampai di puskesmas, sang ibu menunjukkan ke bidan kalau mau campak lanjutan, namun bidan malah memberi vaksin MR yang katanya sama saja, cuma beda nama. Ibu sempat mengurungkan niat untuk vaksin tetapi bidan meyakinkan suaminya dan tepat saat itu ada seorang bapak bawa 2 orang anaknya untuk vaksin MR, akhirnya suami mengiyakan.
Tanggal 30 Oktober 2018 anak mengeluh kaki kanannya sakit, selalu kesakitan saat mau berdiri, rewel luar biasa. Ibu melihat ada lebam biru di lututnya. Semalaman Celine rewel tidak bisa tidur. Lalu siangnya ibu membawa Celine ke RS dironsen hasilnya bagus tidak ada masalah dengan tulangnya. Dua hari lamanya Celine tidak mau jalan. Namun setelah itu, dia berusaha jalan walau agak kurang lincah dari biasanya, hingga ibu berpikir mungkin ia kecapean saja kan dia lagi aktif-aktifnya. Bulan November, ibu merasa ada yang berbeda dengan perut Celine, Akhirnya ibu memutuskan untuk membawanya kembali RS untuk dironsen lagi, karena selama bulan Oktober BABnya seperti kotoran kambing. Dan setiap BAB dia menangis, namun kadang ditahan karena takut sakit. Hasil ronsennya bagus, kata dokter. Selang waktu 2/3 hari Celine mulai demam, gusinya berdarah. Telapak kaki, tangan, bibirnya putih pucat. Lalu, ibu membawanya lagi ke RS untuk cek darah, hasilnya trombosit 1000 hb 5. Ibu berpikir mungkin Celine kena demam berdarah. Tapi dokter bilang bukan, namun kalau memang DB Celine diminta untuk dirawat, dokter bilang mau observasi lebih lanjut. Tanggal 2 Desember 2018 hasil suspec mengarah ke leukemia. Ibu sampai meluapkan emosinya ke dokter karena ibu tidak terima dengan hasil diagnosanya. Mulai dari lahir Celine jarang sakit, asi eksklusif selama 6 bulan, mpasinya juga tepat di usia 6 bulan, dan ibu selalu memberikan home made mpasi untuknya. Ibu mengeluhkan hal ini kepada perawat namun mereka hanya bisa diam. Tiba-tiba suami dipanggil ke ruangan diberi penjelasan oleh dokter bahwa celine harus transfusi untuk persiapan rujuk ke RS yang bisa memastikan sakitnya. Akhirnya Celine dirujuk ke RS di Surabaya untuk dicek sum-sum tulang belakang. Ibu sempat bicara ke suaminya mengenai kecurigaannya bahwa vaksin turut andil dalam sakitnya Celine, namun sang ayah tidak begitu percaya sampai akhirnya tiba di RS Soetomo dan menemukan beberapa anak-anak yang dirawat pasca vaksin MR barulah suami menyadari kemungkinan ini.
Hasil tes sum-sum tulang belakang mengatakan bahwa Celine kena leukimia akut. Lalu, Celine menjalani pengobatan kemoterapi. Namun, 14 Februari 2019, Celine menghembuskan nafasnya yang terakhir di pelukan sang ibu.

Sumber berita : Indah (Ibu dari anak) melalui WA dan FB ke penulis.

16. Akash Pratama. Umur 4 bulan 23 hari (per tanggal 5 Mei 2019). Desa Tanjung Anom Tanjung Putus, Kota kab. Langkat, Sumatera Utara.

Kronologis : 


Jum'at, 3 Mei 2019 imunisasi DPT-HB-HIB 2 polio 3.
Sebelum di imunisasi anak dalam keadaan sehat bahkan sering ketawa dan loncat-loncat, Akash yang paling semangat.
Sebelum di imunisasi memang dia menangis tidak mau disuntik, setelah diimunisasi sampai rumah dia tidur, bangun tidur badannya panas namun orangtua menganggap hal ini wajar karena reaksi imun dan ayah memberikan obat dari posyandu lalu dikompres.
Sabtu, 4 Mei 2019 jam 8 Akash makan, jam 9 makin demam, namun panasnya cuma di kepala sedangkan badannya dingin jadi ayah kembali memberi obat paracetamol.
Akash rewel dan terus menangis, ia hanya mau digendong saja lalu dia menyusu sambil tertidur, bangun tidur dikasih obat lagi. Lalu kakak sang ayah bilang bahwa pipi Akash ada bengkak, ayah tidak menyadarinya.
Sorenya dia makan lahap, setengah jam kemudian dikasih obat dia muntah.
Lalu ayah menyeka seluruh tubuhnya karena hari itu Akash tidak dimandikan karena demam, betapa terkejutnya sang ayah begitu membuka popoknya air seninya seperti ada bercak darah.
Semakin malam keadaannya kian mengkhawatirkan karena semakin sering muntah, mencret, dan menyusu pun jadi tidak mau, tetapi lidahnya melet-melet seperti meminta susu, dan akhirnya sampai dia lemas. Jam 11 malam, ayah memberi Akash makan, abis makan langsung pucat, bibirnya biru.
Dikarenakan panik orangtua membawa Akash ke RS Putri Bidadari.
Di RS tersebut, Akash di cek darah, di infus, dan dipasang oksigen, kata dokter ada infeksi di dalam tubuhnya. 
Sekitar jam 1 atau setengah 2 dia kejang, sehingga harus diganti infus 3x, infus yang terakhir yang botol kaca. Setelahnya, dia tidur, namun tidak lama kemudian kembali kejang, jadi diberi obat anti kejang yang dimasukkan ke anusnya.
Sekitar jam 3, Akash diberi antibiotik sampai setengah jam, tidak lama badannya membiru, nafasnya cepat. Orangtua menanyakan hal ini kepada perawat namun katanya tidak apa-apa, memang reaksi obatnya. Sekitar jam setengah 5 pagi dia kejang lagi, mulut nya ngeluarkan buih, lalu engap 3x sampai akhirnya nafasnya tidak ada.
Yang orangtua heran mengapa lidah dan bibirnya biru kehitaman, padahal baru meninggal, seperti orang keracunan. Minggunya abis di mandikan seharus nya badan mayat itu pucat biasa, ini tidak. Badannya kuning.

Sumber berita : Bang keroks (ayah Akash di FB).

17. Muhammad Raehan Bramanto. Umur 3,5 bulan. Lahir tanggal 2 Januari 2019.

Kronologis :
Ketika lahir 
ada cairan tertinggal di saluran nafas anak namun kata dokter nanti hilang sendiri. Waktu berlalu, hingga akhirnya cairan itu hilang dengan sendirinya. Lalu usia 3.5 bulan diminta dokter vaksin pneumonia tanggal 19 April 2019. Sebelum imunisasi pneumonia keadaan anak sehat, dokter pun yang meyakinkan bahwa anak dalam kondisi sehat ketika divaksin. 1 hari abis vaksin, matanya belekan. Lalu 2 hari setelah vaksin kiri kanan belekan disertai demam 39 derajat. Lalu nafas sesak. Setelah itu, dibawa ke dokter hanya dikasih penurun panas. Lalu dilarikan ke ugd. Sampai di ugd RS Hermina Serpong, dibawa ke icu. Lalu diinfus dikasih bantuan pernafasan. Akhirnya anak menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tanggal 26 April 2019. Dokter tidak mengatakan ada kaitan antara vaksin dan kematian anak.

Sumber berita : Wii Setiyadi (tante anak)

18. 
Hafidz Al Mubarok Avicenna. Umur 12 hari. Lahir tanggal 4 Oktober 2019.
Kronologi: Trauma atas kematian Talitha, putri pertama Oetep dan Susi pasca imun kombo (DPT 3, IPV, dan polio tetes) pada bulan November 2017 yang lalu, membuat keluarga Oetep Sutiana bersepakat kehamilan kedua ini akan dilakukan dengan proses kelahiran normal tanpa bantuan bidan.

Sesuai harapan, bayi akhirnya lahir di rumah dibantu paraji. Kebahagiaan begitu menyelimuti pasangan ini dengan kelahiran bayi laki-laki yang sehat dan kondisi ibu yang sehat pula.

Namun tak lama semua berubah dikarenakan kehadiran bidan keesokan harinya. Paraji yang membantu kelahiran istri Oetep sedikit ketakutan terjadi apa-apa pada bayi karena dirinya yang membantu persalinan bukan bidan.

Atas rasa takut itu, paraji meminta nenek dari sang bayi untuk melapor ke bidan setempat. Mertua Oetep yang sama takutnya segera mendatangi bidan untuk melapor.
Kebetulan Oetep, sebagai ayah dari sang anak tidak berada di rumah (baru Jum’at sore Oetep pulang setelah mendapat kabar kelahiran istrinya).

Jauh-jauh hari Oetep dan istri sudah sepakat agar bayi tidak disuntik apapun pasca lahir. Dan semua keluarga menyepakati.

Bidan tersebut datang atas laporan ibu mertua Oetep hari Jumat pagi tanggal 4 Oktober 2019. Ibu mertua menekankan kepada bidan bahwa sang bayi jangan disuntik, biar ibunya saja. Ibu mertua Oetep menegaskan bahwa ayahnya tidak mengizinkan, dan ibu mertuanya pun trauma atas kematian cucunya yang pertama yaitu Talitha pasca imun.
Istri Oetep diberikan suntikan, sementara untuk sang bayi, istri Oetep menolak. Pada waktu itu sang bidan mengiyakan, tetapi, ketika istri Oetep memasuki kamar karena diminta sang bidan mengambil tissue, bidan tersebut mengambil kesempatan menyuntik sang bayi dengan tergesa-gesa dan tanpa meminta ijin kepada ibunya.
Kenapa dikatakan tergesa-gesa, karena setelah Oetep tiba di rumah, bekas botol suntikan itu (vit. k) tercecer di rumah, bahkan Oetep sendiri menginjaknya lalu mengambil dan membacanya dengan penasaran.
Seperti memiliki perasaan sesuatu akan terjadi, botol itu Oetep simpan. Ketika Oetep melihat anaknya Hafidz, dia merasa sedikit cemas karena terlihat ada yang salah dengan bibir anaknya, biru, seperti lebam. Jumat malam, Sabtu, tidak terjadi apa-apa, tetapi pada hari Minggu malam Hafidz mulai menangis terus menerus, tidak biasanya.
Bibirnya mulai terlihat biru, lidah dan mulut kaku. Tidak mau menyusu. Dan di sini Oetep mulai panik karena Hafidz panas, kejang. Belajar dari kesalahan yang lalu, Oetep segera bergegas ke rumah bidan yang menyuntik dengan tidak lupa membawa bekas botol vit K nya.
Di rumah bidan, ketika Oetep menanyakan perihal botol tersebut, sang bidan tampak panik. Ia segera bergegas ke rumah Oetep. Malam itu bidan menunjukkan pertanggungjawabannya ia segera menghubungi rekannya yang memiliki mobil untuk mengantar Hafidz ke puskesmas. Di puskesmas, mereka pindah mobil digantikan ambulans.
Hafidz dibawa ke rumah sakit daerah untuk diselamatkan sesegera mungkin. Hafidz masuk ruang UGD sementara waktu. Sayangnya, tidak ada ruang perawatan. Alhamdulillah bidan masih mau membantu mencarikan kamar sampai pontang-panting.

Senin, 7 Oktober 2019 Hafidz dipindah ke rumah sakit G masuk UGD terlebih dahulu setelahnya dirawat di NICU.

Lagi-lagi di sini meng-up kronologi kejadian. Hafidz mulai dirawat dan diperiksa dokter. Dokter yang memeriksa mengatakan bahwa sakitnya Hafidz tidak ada hubungannya dengan vit. k.

Mereka menekankan bahwa Hafidz sakit karena dehidrasi dan infeksi tali pusar. Bahkan dokter mengatakan bahwa kinerja paru-paru Hafidz jauh lebih cepat dibanding kinerja jantung yang katanya mengindikasikan ada kelainan di otak. Jika itu terjadi, dokter menekankan untuk merujuk hafidz ke rumah sakit yang jauh lebih besar.
Hafidz diinfus dan dipasang oksigen karena napasnya yang memburu. Cek lab sebanyak tiga kali selama delapan hari di Rumah Sakit. Hasil lab pertama menunjukkan kekurangan elektrolit. Namun untuk hasil lab kedua dan ketiga , keluarga belum mendapatkan hasilnya. Hanya infus dan obat kimia yang masuk.
Berhari-hari Hafidz tergeletak lemas dengan susu formula lewat selang NGT. Kenapa susu formula? Karena ASIP ditolak untuk diberikan oleh perawat jaga. Melihat kenyataan bayinya tak diperbolehkan mendapatkan ASIP.
Keluarga Oetep akhirnya memutuskan untuk membawa Hafidz pulang. Dengan kondisi tubuh agak kuning dan menangis lemah. Setelah melobi dokter, akhirnya Hafidz diijinkan untuk dibawa pulang dan semua alat dilepas. Ketika sang ibu menyentuh Hafidz dan sedikit merespon, sang ibu merasa yakin bahwa Hafidz akan pulih di rumah dengan asupan ASI dan belaian ibunya.
Alhamdulillah Hafidz dapat pulang pada hari Selasa, 15 Oktober 2019 siang. Ketika sampai rumah, diberikan sari kurma di langit-langit mulutnya. Karena Hafidz terlihat sangat lemas. Awalnya setelah diberi sari kurma hanya dijilat saja dan belum mau menyusu. Namun setelah ditunggu beberapa saat, akhirnya sang bayi mau menyusu kepada ibunya.
Ini hanyalah salah satu pengalaman bagi kita semua bahwa:

1. Tindakan apapun yang dilakukan pada seorang anak, haruslah dengan seizing orang tuanya.




2. Edukasi efek samping obat apapun harus dilakukan kepada tenaga kesehatan dan juga orang tua.19. Ayudiya Zahrani. Umur 2 tahun.
Nama ortu: Sugiatmi/Suwandi
Pekerjaan: Wiraswasta

Kronologi:
Tanggal 12 Oktober 2019 Ayudiya mendapatkan suntikan MR di Puskesmas Haurpagung. Setelah diimunisasi Ayudiya terlihat lemas dan banyak tidur.
Tanggal 13 Oktober anak hangat dan mencret. Orang tua korban membelikan obat. Setelah itu anak selalu minta minum seperti kehausan dan kelaparan. Padahal sudah diberi makan dan minum. Tak berapa lama perut ayudiya kembung dan tiba-tiba muntah. Pkl 02.00 pagi kejang dan orang tuanya langsung membawa ayudiya ke klinik Baiturrohman. Disana Ayudiya langsung ditangani oleh pihak dokter. Setelah diberi pengobatan Ayudiya dipindah ke ruang perawatan. Di ruang perawatan Ayudiya bisa tertidur tapi tidak nyenyak. Entah mengapa selama di ruang perawatan napas Ayudiya tersengal-sengal seperti habis berlari. Pukul 07.00 tiba-tiba Ayudiya muntah dan kejang sampai akhirnya meninggal pukul 08.00.
Pihak Dinkes setempat mendatangi keluarga korban pasca media memberitakan meninggalnya Ayudiya ini terjadi pasca imunisasi. Pihak Dinkes berjanji kepada keluarga korban akan segera melakukan sidang terkait kasus ini.
Sumber: Orang tua korban kepada relawan kipi YPAF.

20. Nur Aqifah, usia 11 hari. 
Dusun Klobur, Desa Sawah Tengah, Kecamatan Robatal, Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur
Kronologi :
Putri pertama pasangan Zainal Arifin (31) dan Novita Sari (21) itu menghembuskan nafas terakhir empat jam setelah disuntik vaksin. Pasca menjalani imunisasi, Nur Aqifah mengalami demam tinggi dan sempat kejang.
Menurut keterangan keluarga, kondisi korban terus mengalami penurunan usai imunisasi pada Selasa pagi pukul 10.00 WIB.
Zainal Arifin, orangtua korban mengatakan, putri pertamanya tersebut dalam kondisi sehat sebelum melakukan imunisasi BCG di Polindes Desa Sawah Tengah.
Namun, sore hari tepat pukul 16.00 WIB, takdir berbicara lain. Nur Aqifah dinyatakan meninggal dunia saat dibawa berobat untuk mendapatkan pertolongan medis ke Polindes, tempat ia diimunisasi.
“Awalnya tidak sakit dan kondisinya sehat bugar sebelum divaksin, selang disuntik kondisi tubuh anak saya mulai berubah, tubuhnya panas diare dan menangis terus sempat kayak molet-molet semacam kejang, dibawalah ke Ibu Bidan Maya tadi, pas sampai disana bilang sudah meninggal,” ujarnya ditemui di rumah duka di Dusun Klobur, Desa Sawah Tengah, Rabu (12/2/2020) siang.
Hosiyeh (37), nenek korban mengaku kehilangan atas meninggalnya cucu pertamanya itu. Sebab, tak disangka, korban dalam kondisi sehat sebelum vaksin BCG dilakukan.
Tak hanya itu, dirinya sempat disalahkan oleh bidan desa yang mengimunisasi karena dibilang terlambat membawa korban ke Polindes.
“Iya bilangnya bidan kenapa kok terlambat, padahal selang waktu 3,5 jam atau sekitar 4 jam pasca imunisasi, saya ngomong kalau tadi masih tidur siang cuman sebentar, tapi waktu tidur itu agaknya terganggu karena selalu kaget-kaget,” kata Hosiyeh.
Keluarga korban juga menceritakan kondisi bayi saat meninggal dunia. Bayi yang lahir cesar pada 31 Januari 2020 itu ada kelainan fisik pasca imunisasi. Terdapat wajah membiru dibagian pipi dan hidung bayi diduga akibat vaksin.
“Memang ada bekas biru kayak lebam itu, tahu kalau ada kelainan saat hendak dimakamkan,” ucap Zainal Arifin.
Sementara saat dikonfirmasi Mariyatul Kiptiyah yang disebut bidan Maya di Polindes Desa Sawah Tengah, enggan memberikan keterangan kepada wartawan terkait kematian bayi diduga akibat imunisasi. Ia mempersilahkan media mengkonfirmasi ke Dinas Kesehatan Sampang.
“Mohon maaf bukannya saya…. memang seharusnya seperti itu jadi sampean silahkan langsung ke Dinkes Sampang,” singkat Bidan Maya ditemui di Polindes.
Menyikapi hal itu, Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sampang Agus Mulyadi, menegaskan bahwa tidak ada hubungannya antara kematian bayi tersebut dengan vaksin yang dilakukan petugas medis.
“Sampai saat ini berdasarkan teori dan penelitian tidak pernah ada imunisasi menyebabkan kematian, kemungkinannya kematian bayi karena tersendak dan sebagainya karena bayi itu berusia 15 hari kan,” ungkap Agus.
Sayangnya keterangan yang disampaikan Agus bertolak belakang dengan keterangan pihak keluarga. Terutama mengenai durasi waktu pasca menjalani imunisasi bayi.
“Hanya kebetulan saja kematiannya pasca imunisasi, tapi agak jauh juga sih (waktunya-Red) imunisasinya pagi dan sore meninggal, informasi dari petugas bayi meninggal jam 3 sore setelah jam 9 datang ke Posyandu disuntik vaksin,” tuturnya.
Agus tak ingin dikaitkan kondisi bayi mengalami penurunan usai imunisasi. Dirinya juga mengaku sudah melakukan pemeriksaan dan klarifikasi atas kejadian tersebut.
“Tidak ada itu bukan panas tapi memang nangis terus, kurang tau sama keluarga dikasih apa, lebih jelasnya silahkan konfirmasi ke Kepala Puskesmas Robatal,” terangnya.
“Hasil pengamatan Dinkes tidak ditemukan ini kesalahan bidan desa, dan semua sudah damai kok, rencananya mau diotopsi tapi pihak keluarga damai,” pungkasnya.

Sumber berita : mediamadura



21. Muhammad Atharrazka Ashauqi. Usia 2 bulan. Sukabumi.
Kronologi :

Muhammad Atharrazka Ashauqi bayi berusia 2 bulan ini sehat pintar dan tidak pernah rewel dan selalu ceria.

Saat dia berusia 2 bulan lebih 1 hari tanggal 15 Januari 2020, pagi itu jam 07.30 ayah, ibu dan kakak Atthar (nama panggilan anak) membawa Atthar ke bidan untuk melakukan imunisasi polio dan DPT 1. Sampai di sana, Atthar ditimbang dengan berat badan 6,8 kg dan ditidurkanlah dia dikasur untuk diberi vaksin.

Seharusnya sebelum dilakukan imunisasi, biasanya anak dicek dulu suhu tubuh dan detak jantungnya namun ini tidak, vaksin langsung disuntikan ke kaki kanan anak.

Sepulangnya ke rumah, Athar tidak demam dan hanya menangis karena kakinya bengkak.

Keesokan harinya (Kamis, 16 Januari 2020) saat Ibu memandikannya, muncul bintik merah di perut anak. Ibu pikir itu hanya biang keringat dan ibu pun tak menghiraukannya.

Siang harinya saat nenek dan kakaknya ibu dari anak datang, mereka bertanya "kok bintik merahnya makin banyak" dan akhirnya keluarga berniat membawa anak ke bidan sore nanti jam 03.15. Namun, saat Ibu mau melepas popoknya di kaki muncul lebam merah dan biru-biru. Ibu mulai panik langsung menelpon ayahnya yang sedang bekerja dan ayah langsung pulang.

Lalu mereka membawa Athar ke bidan. Bidan menelpon bidan lain dan menyatakan anak kena alergi.

Bidan bilang "mungkin anak ini alergi dari susu formula atau bisa jadi dari makanan yang ibu makan".
Selama ini, anak diberi asi diselingi pemberian susu formula hanya saat ketika ibu sedang pergi keluar saja, selebihnya hanya asi.

Bidan menyarankan untuk membawa anak konsul ke dr spesialis anak saat itu juga jika orang tua penasaran dengan diagnosanya, namun jika kemalaman (karena saat itu sudah kesorean) disarankan besok saja. Jika besok mau ke puskesmas janjian dulu sama bidan, namun kalau mau ke spesialis anak ada Dr. D di klinik daerah cibadak.
Ayah bertanya ke bidan apakah kondisi anaknya masih oke, bidan menjawab anak tidak apa-apa.
Akhirnya keluarga membawa pulang anak ke rumah.

Pada hari Jumat, 17 Januari 2020,
Pagi itu bintik-bintik semakin menjalar sampai ke muka dan keluarga memutuskan membawa Athar ke RS Sekarwangi untuk ke spesialis anak. Di situ keluarga mendaftar dan menunggu sampai jam 11.30.

Setibanya antrian anak, masuklah Ibu ke ruangan periksa menemui Dr.D dan ibu menjelaskan kronologinya seperti apa ke Dr. D. Dokter mengecek hasil labnya.
Ibu bilang ke dokter "Tapi ini bukan alergi dari sufor atau makanan yang saya makan kan dok?"
Dr. D berkata "bukan. Itu bukan alergi. Kalau alergi gak bakal sampe kayak itu. Kalau alergi susu dari pertama diberikan langsung dia memberi reaksi" dan disitulah lah ibu mulai cemas dan berangkat untuk cek laboratorium.

Sesampainya disana, Athar yang selalu tersenyum disuntik untuk diambil darahnya, kali itu ia menangis. Dan setelah diambil darah keluarlah hasil lab dan orangtua membawanya ke dr. D kembali. Dokter membaca hasil lab dengan raut wajah yang kurang menyenangkan. Dokter meminta rawat inap karena Athar terkena ITP (Immun Trombositophenic purpura) yang menyebabkan trombositnya rendah, seharusnya normalnya 400.000 sedangkan ini 13000. Dokter bilang, ini harus didonor dan dokter meminta ibu untuk kembali ke lab untuk tau golongan darahnya apa, dan ini pun tramsfusi diusulkan 2 kantong dulu dengan harapan trombositnya naik.
Ibu menegaskan ke dokter bahwa Athar sakit karena imunisasi. Dokter bilang, sakitnya anak bisa karena efek imunisasi, kejadiannya jarang namun memang ada.

Sekali lagi, dokter menegaskan bahwa itu dari imunisasi.
Ibu mendaftar ke rawat inap dan kembali mengambil kartu sampel darah dan anak bergolongan darah A+. Bergegaslah ibu memdaftar rawat inap dan menuju keruangan di lantai 2 kamar 7.

Ibu memberi kabar pada bidan mengenai kabar anak dirawat dan butuh donor. Bidan mengelak, ia bilang bukan karena imunisasi, namun dari kualitas asinya yang rendah sehingga membuat trombositnya turun. Bidan terus menyalahkan orangtua. Sang ayah lalu tegas meminta bidan untuk membantu mereka mencarikan donor darah buat Athar.

Sampailah di RS dan perawat menanyakan apakah donornya sudah ada, karena anak harus segera di donor.

Keluarga pun bergegas mencari informasi relawan yang bersedia mendonorkan darah buat Athar, karena stok di PMI kab. dan kota Sukabumi kosong jadi harus mencari pendonor. Athar pun dapat donor darah.
Lalu ayah yang membawa trombosit tersebut dari PMI kota baru sampai jam 19.30 di rumah sakit.

Sementara memunggu darah datang, Athar dicoba untuk di infus bberapa kali, namun selalu gagal karena ia terlalu kecil dan gemuk sehingga susah untuk dicari urat nadinya, menangislah dia dengan sangat kesakitan.

Setelah lebih dari 9 tusukan jarum dan pecah lagi pecah lagi.
sehingga perawat mengambil alat laser untuk mencari uratnya dan saat dilaser perawat bilang uratnya sudah gak karuan. Akhirnya berhasilah Athar diinfus di kaki kanan dan saat itu keadaannya semakin memburuk, tubuh semakin melebam dan Athar terlihat lemas .

Jam 8 akhirnya Athar mendapatkan donor. Keluarga senang melihat dia dapat donor berharap dia sembuh sehat dan kembali dengan ceria ke rumah

Kantong pertama dia terlihat baik dan sempat tertidur pulas. Begitu habis kantong pertama dan dipasangkan kantong ke 2 setelah setengahnya masuk ke tubuh tiba-tiba Athar merintih sangat kesakitan menangis sejadi-jadinya, ibu pun belum pernah melihat tangisan seperti itu seperti yang tersendak dan ibu pun terus menggendong Athar yang terus menangis dan menangis.

Ibu merintih "naak sembuh naak maafin mbu dek. Dedek kuat, dedek sehat " itu yang terus ibu bisikan ke telinganya dan membaca shalawat sambil menggendongnya. Tiba-tiba Athar menjerit seperti kejang dan keluar darah dari hidung dan mulutnya. Keluarga sangat cemas hingga menangis bersama. Athar dibaringkan untuk mendapatkan oksigen.

Melihat Athar diberi oksigen sambil menangis dari jam 10 sampai jam 1 malam, total 3 jam anak bayi merasakan sesak sambil menagis sangat membuat hancur hati siapapun yang melihatnya. Saat jam 1 nafas anak tidak terlalu sesak dan terlihat baik sehingga membuat keluarga berfikir nafasnya sudah stabil dan kami melihat jarak nafasnya semakin pendek dan saat 2 nafas terakhir dia menghela nafas dan saat nafas terakhir Athar mengeluarkan darah dari hidung dan mulut dan jantungnya berhenti berdetak. Ibu bergegas memanggil semua perawat, dokter pun datang dan memberi dia oksigen khusus dan saat di oksigen yang keluar darah darah dan darah.

Dokter menyerah dan berkata Athar telah tiada.
Dengan hati yang hancur, keluarga membawa Athar pulang
dan saat ayah mengurus semua administrasi, perawat dan dokter bilang bahwa dari awal anak kemungkinan kecil untuk bertahan dan mereka sudah berusaha semaksimal mungkin melakukan yang terbaik buat anak.

Seandainya anak selamat pun mungkin kedepannya dia harus terus menerus mendapatkan donor darah dan seandainya dia tumbuh besar tidak boleh capek, tidak boleh terbentur terutama kepala, sekali terbentur pecahlah pendarahan di otaknya.

Kejadian ini pun membuat Ibu trauma untuk memberi anak imunisasi.

Sumber berita : Imam khoerul umam & Rani sopariah (Orangtua korban)

22. Risin Suryani Sipa (5 bulan). Dusun 4 Desa Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang.

Kronologi :

Marteda Sipa Anone (38) hanya terpaku sambil menangis melihat bayinya Risin Suryani Sipa terbujur kaku, Rabu (4/3/2020).
Warga RT 17 RW 007 Dusun 4 Desa Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang ini hanya terdiam saat para pelayat berkunjung dan menyatakan turut berbelasungkawa atas kematian bayinya yang baru berumur 5 bulan.
Risin Suryani Sipa meninggal usai mengikuti posyandu di RT 19 RW 007 Dusun 4 Desa Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang pada Selasa (3/3/2020).
Ditemani sang suami, Marten Sipa (48) di rumah duka Marteda mengungkapkan, kejadian berawal saat ia beserta sang suami menuju Posyandu untuk melakukan imunisasi terhadap dua anaknya yang masih balita.
"Kami pergi posyandu pukul 10.00 Wita anak saya sehat-sehat, suami saya bawa anak saya yang baru 2 tahun dan anak saya yang meninggal ini," katanya.
Risin Suryani Sipa (5 bulan) merupakan anak keenam
Saat tiba di Posyandu yang terletak tidak jauh dari rumahnya, kata Marteda, pihak bidan yang datang dari Puskesmas Tarus melakukan vaksin Polio 4.
"Bidan itu suntik (vaksin) di kaki kanan. Anak saya juga sempat menangis," katanya.
Berdasarkan pengakuan kader kesehatan Desa Oebelo, Sefriana Messakh-Anin (44) yang juga berada di Posyandu menyebutkan bidan bidang vaksin yang menyuntikan vaksin ke tubuh Risin Suryani Sipa berinisial WD dan didampingi ahli gizi yang datang dari Puskesmas Tarus.
Posyandu tersebut dibuka pukul 08.00 Wita hingga selesai dan selalu dilakukan pada tanggal 3 setiap bulannya serta diikuti puluhan balita beserta orangtuanya.
Lebih lanjut, karena menangis, Marteda memilih segera pulang ke rumah beserta suami.
"Anak saya yang bungsu ini menangis, jadi anak saya yang satu tidak jadi imunisasi dan kami pulang ke rumah," paparnya.
Saat berada di rumah sekitar pukul 11.00 Wita, Marteda membaringkan anaknya di dalam kamar dan suaminya yang bertugas menjaga korban.
Saat korban telah tertidur, ayah korban memilih untuk membersikan rumput liar di halaman belakang rumah.
"Saya tidurkan anak di dalam kamar dan siapkan makan siang, karena kami belum masak," jelasnya.
Marteda sempat menengok anaknya di dalam kamar dan melihat putri kecilnya yang semula menangis ternyata tertidur lelap.
Marteda pun segera memasak dan juga memanaskan air untuk mengompres luka bekas vaksin.
Hingga pukul 14.00 Wita, Marteda merasa aneh karena sang bayi tidak bangun dari tidurnya.
Marteda pun berusaha membangunkan bayinya untuk menyusui anaknya.
Namun ia sangat terkejut karena mendapati tubuh anaknya telah kaku.
Bak disambar petir di siang bolong, Marteda mengaku sangat terkejut atas kejadian tersebut.
Ia pun langsung menghubungi warga sekitar dan RT setempat terkait kejadian tersebut.
Sementara itu, lanjut Marteda, tidak berselang lama setelah ditemukan meninggal, terdapat busa berwarna putih yang keluar dari mulut korban.
"Saya juga kaget, ada busa warna putih yang keluar dari mulut anak saya," katanya menahan tangis.
Sementaara itu, Ketua RT 17 RW 007 Dusun 4 Desa Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Stefanus Faot (54) mengaku kaget mendapati kejadian tersebut.
Saat diberitahu, ia langsung memegang jenazah korban untuk memastikan apakah korban masih hidup atau tidak.
"Saya lihat bayi ini sudah kaku, saya pegang tangannya tapi sudah kaku, saya bilang ini sudah meninggal," ungkapnya.
Tidak hanya busa berwarna putih yang keluar dari mulut korban setelah beberapa jam ditemukan meninggal, Stefanus juga menemukan jari tangan dan kaki korban juga menghitam.
Stefanus juga langsung menghubungi Sekertaris Desa Oebelo, Izak Z. Tode untuk memberitahukan kejadian tersebut.
Tidak lama berselang, hadir Kapospol Desa Oebelo, Bhabinkamtibmas, Plt Kepala Desa Oebelo dan bidan yang saat itu melayani di posyandu.
Bidan yang hadir yakni bidan bernam Ruth Pasaribu dan bidan Sasia Oliveira dari Desa Oebelo yang saat itu berada di Posyandu.
Saat ditanya kepada, lanjut Stefanus, bidan desa Ruth Pasaribu mengatakan saat kejadian tengah memeriksa ibu hamil sehingga tidak mengetahui secara jelas.

Lebih lanjut, pihak keluarga yakni ayah kandung korban, Marten Sipa dan paman korban langsung menuju Polres Kupang untuk melaporkan kejadian tersebut.
Namun, saat berada di Polres Kupang, pihak keluarga diinformasikan bahwa untuk melakukan penyelidikan harus dilakukan visum dan jika belum menemukan penyebab kematian korban maka akan dilakukan autopsi terhadap jenazah bayi.
Hal tersebut, lanjut Stefanus, perlu dibicarakan dan didiskusikan oleh pihak keluarga.
Sehingga, pada Senin malam pihak keluarga setelah kedatangan paman kandung korban menyepakati untuk tidak melanjutkan persoalan ke ranah hukum.
"Pihak keluarga menerima kejadian ini sebagai musibah," katanya.
Selanjutnya, pihak keluarga menandatangani surat pernyataan tidak melanjutkan kasus tersebut dan menolak melakukan autopsi dengan pertimbangan bersama dan adat istiadat.
Namun demikian, pihak keluarga berharap kejadian tersebut dapat diusut dan diselidiki oleh pihak terkait sehingga para orangtua tidak takut untuk ke posyandu dan melakukan imunisasi.
Di lain sisi, kejadian tersebut, kata Stefanus, menjadi pembelajaran bagi para petugas medis untuk lebih profesional dalam menjalankan tugasnya melayani masyarakat.
"Khususnya untuk petugas medis benar-benar menjalankan tugas lebih baik," katanya.(Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Gecio Viana)

Sumber berita : kupang tribunews

23. Lenora Calestyn Kinanthi Wjiaya. Lahir 18 November 2017. Usia 2 tahun 4 bulan ketika kejadian. Mojokerto.

Kronologis :
Anak mendapatkan vaksin campak lanjutan di posyandu pada tanggal 5 Februari 2020. Menurut penuturan sang ibu, Lenora termasuk
 tipe anak yang sehat dan kuat mulai dari kelahirannya. Ia jarang sakit. Paling sakit cuma panas batuk pilek, ke bidan, 2 hari sembuh. Setiap imunisasi dia tidak pernah menangis, sampai akhirnya disuntik pada tanggal 5 februari yang menjadi vaksin terakhir dalam hidupnya pun dia tidak menangis sama sekali waktu disuntik. Ibu tidak menyangka mengapa anak bisa kemudian didiagnosa leukimia yang kemudian meninggal secepat itu. Ibu bercerita bahwa setelah vaksin yang terakhir itu nafsu makan menjadi sangat turun. Susah sekali makannya dan rewel terus menerus. Ketika sampai di Posyandu, bidan tidak cek fisik anaknya, hanya menanyakan ke ibu apakah adek ada demam atau tidak. Kebetulan memang saat itu anak lagi sehat, karena itu langsung divaksin.
Tanggal 
14 februari 2020 anak tiba-tiba demam tanpa disertai gejala batuk pilek. Ibu membawanya ke bidan dan diberi obat penurun demam dan sembuh. Setelah itu, makannya menjadi susah sekali, minum susu pun tidak sebanyak yang biasanya. Anak hanya mau minum air putih. Anak terlihat seperti dehidrasi. Tanggal 17 Maret 2020, anak kembali mengalami demam, dan lagi-lagi tanpa disertai gejala batuk pilek.Akhirnya, pada tanggal 18 Maret 2020, ibu membawa anak ke bidan langganan, dikatakan bahwa anak mengalami alergi/gabakan. Ibu percaya bahwa anak hanya mengalami gabakan dan meminta ke bidan kalau kasih obat yang jenis sirup saja dikarenakan anak suka muntah kalau minum obat tablet. Anak suka jenis yang sirup namun waktu diminumkan obat sirup ternyata sangat susah. Demam pun tak kunjung turun, meski turun sebentar namun tak lama kembali naik. Demam tidak sampai 40 derajat celcius, paling hanya 37, 38, tidak lebih dari itu.
Ibu semakin khawatir ketika melihat b
intik merahnya yang semakin banyak di sekujur tubuh anak, awalnya di dada yang dipikirnya hanya ruam keringat, namun karena semakin banyak ibu langsung membawanya ke dokter kulit mantri tanggal 24 Maret 2020. Masih sama dengan diagnosa sebelumnya, dibilang kena gabakan dan diberi obat antibiotik dan obat alergi, serta serbuk buat mandi. Begitu mendapatkan obat, ibu langsung memaksa anak untuk minum obat entah bagaimana caranya, karena anak sudah susah sekali untuk dikasi obat. Ibu juga memandikan anak dengan serbuk dari dokter kulit.
Bukannya sembuh, bintik-bintik terlihat semakin parah dan merambah ke lokasi badan lainnya.Tanggal 27 Maret 2020, ibu membawa anak ke bidan awal tadi, lagi-lagi diagnosanya gabakan, semacam flu singapur. Sepulang dari bidan, malemnya anak sangat rewel dan tidak bisa tidur. Menangis dan menangis di pelukan ibu. Anak minta minum air dingin terus-menerus. Setiap mau tidur, ia bangun kembali untuk minta minum. Tidurnya hanya sebentar-sebentar saja.Tanggal 28 Maret 2020, anak terlihat sudah sangat lemas. Demamnya mencapai suhu 39 derajat celcius kali ini. Dengan hati yang pilu, ibu segera membawanya ke IGD di salah satu RS di Mojokerto. Hari pertama di RS, anak di diagnosa sakit campak/morbili/purpura.

Hari kedua diagnosanya berbeda lagi, yaitu tipes dan demam berdarah. Setiap hari, anak diambil darahnya.Sampai akhirnya tanggal 31 Maret 2020 didiagnosa leukimia oleh dokter di Mojokerto, trombositnya 5 dan leukositnya 900.000. Malem itu juga anak dirujuk ke Surabaya memakai ambulan RS Gatoel. Sampai sana masuk IGD dari jam 11 malam sampai jam 9 pagi baru bisa masuk kamar dikarenakan harus menunggu hasil darah yang lama sekali keluarnya. Di kamar, anak dipasang infus lagi di kaki. Yang sebelumnya infus di tangan sudah 3 hari dan seperti bengkak. Anak dikasih cairan elektrolit untuk membuat leukosit turun. Namun, selama 2 hari leukosit tidak kunjung turun. Hbnya naik 8, namun leukositnya masih tinggi. Akhirnya anak harus transfusi darah sebanyak 2 kantong. Setiap hari diambil darahnya. Ditusuk infus ganti ganti dari tangan ke kaki. Ada banyak tusukan, dan setiap ditusuk pembuluh darah pecah dan lebam. Setelah tranfusi darah anak masih sehat, malahan sempat minta makan ayam, mi, dan sosis. Ternyata tranfusi darah hanya menurunkan sedikit leukosit saja, masih jauh dari normal. Leukosit normal untuk anak-anak adalah 5000-10.000 leukosit/mcl darah. Dan leukosit anak masih 700.000, hanya turun 200.000 saja dari 900.000 ke 700.000. Namun ibu optimis kalau anak besok sudah boleh pulang, karena hbnya sudah naik. Sepanjang malam ibu berdoa terus menerus mengharap keajaiban kepada Sang Pencipta. Namun, dunia seakan runtuh, ketika dokter memutuskan untuk dilakukan exchange.Tanggal 3 April 2020 dilakukan exchange 1050 ml darah masuk, harusnya 1050 juga darah yang keluar, tapi darah anak yang keluar masih separuhnya. Padahal semua darah sudah masuk ke tubuhnya. Tapi darah yang keluar kenapa tidak lancar. Selama 2 hari itu anak terlihat sangat lemas. Setelah exchange, ibu merasa itu bukan anaknya yang ia kenal selama ini.Tanggal 4 April 2020 pagi belum juga selesai exchange, pagi itu anak minta dibelikan es krim, ibu membelikannya, dan habis hanya 2 sendok saja.Anak tetap tidak mau makan. Hanya minta air putih terus menerus. Akhirnya dia muntah 2x waktu pagi.Sehabis munta, anak tidur, tidak bangun sama sekali.Ternyata anak kritis.Sorenya dia seperti kejang. Dia tidak bangun sama sekali. Disuntik, namun kesadaran tidak ada, tapi masih bernafas. Anak masih setengah sadar pegang tangan ibu tetapi matanya tertutup. Habis isya anak sempat sadar dan sempat panggil "ayahh.." itupun sudah sangat pelan. Makin malam, anak  semakin parah, anak dalam keadaan ktitis. Nafasnya mulai turun. Akhirnya diberi oksigen. Proses exchange selesai pada malam harinya. Dia tetap tidak bangun, sudah lebam semua badannya. Anak kejang setiap beberapa menit sekali. Kejangnya semakin parah, sampai melotot. Tangan mungilnya menggenggam tangan ibu. Ibu panggil-panggil "ayo nak bangun nak, ayo sembuh, yang kuat". Dia tidak merespon sama sekali. Jam 3 pagi dokter bilang di kamar itu juga bahwa anak bisa sewaktu-waktu meninggal. Tidak ada 5 menit, ibu melihat 3 hela nafas terakhirnya. Dokter ambil tindakan senam jantung 1 jam, 5x suntikan dosis tertingi namun itu semua tidak bisa mengembalikan nyawanya.5 April 2020, dini hari, anak dinyatakan meninggal.
Dari penuturan sang ibu,
"Ketika anak kami meninggal, waktu itu aku dan suami saja yang menjaga anak kami, tidak ada seorangpun yang bisa menguatkan kami saat itu. Kita masih muda, masih usia 25 tahun, kami sedih, kami kacau. Jenazah anakku langsung ku bawa pulang ke Mojokerto dengan ambulan RS Soetomo. Yang sampai sekarang membuat saya penasaran adalah anakku yang dulunya sehat mengapa bisa kena leukimia. Kalau memang vaksin itu bahaya kenapa harus diberikan kepada puteri kecil kami..."

Sumber berita : Maya (ibu dari anak) lewat WA kepada penulis

24. 
Muhammad Uwais Alqarni, balita umur 3 bulan,

Kronologis :
Uwais meninggal dunia diduga setelah diimunisasi di Posyandu Mekar, Jalan Kandea, kelurahan Pinrang, Kecamatan Wattang Sawitto, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Bayi itu meninggal kemarin sekitar pukul 16.00 Wita, setelah beberapa jam diimunisasi.


Hasniar, ibunda dari Uwais menuturkan, putranya itu sempat mendapatkan penanganan medis di Puskesmas Salo dan dirujuk ke Rumah Sakit Aisyah (RBA) Pinrang.

"Sebelum dibawa ke Posyandu untuk dilakukan imunisasi, anak saya Muh Uwais Alqarni masih dalam kondisi sehat dan ceria, setibanya kami di Posyandu Mekar di jalan Kandea, anak saya juga masih tetap sehat, bahkan dirinya sempat bermain bersama tantenya yang juga bertugas sebagai tenaga medis pada kegiatan Posyandu," terang Hasniar, Rabu (10 Juni 2020).
Hasniar bercerita, anaknya mulai mengalami gejala aneh empat jam setelah diimunisasi. Dari penuturannya, bayinya terlihat kebiruan dan keluar cairan dari hidung.

"Dari hidungnya keluar cairan berbusa, muntah, BAB, serta mengeluarkan suara tangis yang tak seperti biasanya," jelas Hasniar.

Karena panik, Hasniar lalu membawa bayinya ke puskesmas di Kelurahan Salo. Namun tenaga medis di sana tidak bisa berbuat banyak.

"Pasalnya kata tenaga medis tersebut bahwa anak saya nanti diberikan bantuan pernapasan ketika anak ibu mengalami kejang-kejang dan hanya melakukan pemeriksaan suhu tubuh kepada anak saya", tuturnya.

Hasniar lalu meminta pihak Puskesmas Salo merujuk bayinya ke Rumah Sakit Aisyah (RBA) Pinrang dengan menggunakan ambulance milik Puskesmas Salo. Setiba di RS, bayinya justru sudah meninggal.

"Setibanya di rumah sakit anak kami sudah tidak bernapas lagi dan pihak rumah sakit mengatakan bahwa 'anak ibu sudah meninggal dunia'. Setelah itu saya bersama keluarga langsung kembali ke rumah dengan membawa jenazah anak kami," jelasnya.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pinrang Dyah Puspita Dewi mengaku telah mendengar kabar terkait kematian bayi yang diduga meninggal setelah diimunisasi. Dyah mengatakan, kejadian tersebut sudah ditangani pihak Kelurahan Pinrang bersama Polsek Watang Sawitto dan pihak Puskesmas Salo.

"Untuk kejadian ini kita tidak bisa mengatakan secara langsung kalau kematian balita ini akibat dari imunisasi karena jika seorang balita yang mengalami kelainan pada waktu usai melakukan imunisasi itu masa tenggang waktunya dua jam setelah dilakukan imunisasi," ujar Dyah.

"Dan jika itu terjadi setelah dua jam dilakukan imunisasi berarti ini murni karena imunisasinya, akan tetapi ini terjadi setelah beberapa jam dan mungkin saja ini ada penyakit lain yang mengakibatkan balita tersebut meninggal dunia," tutupnya.

Sumber : Detik

25. POLEWALI MANDAR, KOMPAS.com –
  

Usai diimunisasi, seorang bayi berusia 3 bulan mengalami kejang-kejang dan pendarahan di bekas suntikan lengannya hingga akhirnya meninggal. Keluarga mengaku bayi tersebut sehat sebelum dibawa ke puskesmas. Selain pendarahan, di beberapa bagian tubuh bayi malang ini juga muncul lebam di sekujur tubuhnya. Keluarga menyesalkan peristiwa ini meski kasus ini belum dilaporkan ke pihak berwajib. AS, bayi berusia 3 bulan warga Desa Patampanua, Kecamatan Matakali, Polewali Mandar, Sulawesi Barat mengembuskan napas terakhir pada Senin (29/6/2020) malam. Bayi dengan kondisi tubuh sehat ini meninggal dunia usai menjalani imunisasi tahap pertama, Kamis pekan lalu di Puskesmas Matakali bersama ibu dan tantenya. Indah Rahman, tante bayi itu menyebutkan, awalnya kondisi bayi ini sehat dan riang. Usai menjalani imunisasi pada Kamis sore, lengan bekas suntikan imunisasi bocah ini terus mengucurkan darah. Awalnya orangtua dan keluarga lainnya mengira bahwa cucuran darah tersebut merupakan gejala biasa usai anak menjalani imunisasi. Namun sayangnya, hingga keesokan harinya atau memasuki hari kedua, darah terus mengalir di lengan sang bocah hingga membuat orangtuanya panik. Selain mengalami pendarahan, bayi ini juga mengalami lebam di sekujur tubuhnya. Selain itu, ia juga mengalami demam tinggi selama 2 hari dan rewel hingga sesak napas. Karena kondisinya kian memperihatinkan, pada Minggu ((28/6/2020) bayi malang ini pun langsung dilarikan ke rumah sakit. Baca juga: Vaksin Polio Suntik di Salatiga Menipis, Imunisasi Diarahkan ke Tetes Ironisnya, saat di rumah sakit, pihak keluarga terkejut saat melihat di sekujur tubuhnya tertdapat bercak biru lebam, pihak dokter yang menangani juga sempat kaget. Sayangnya meski telah ditangani pihak rumah sakit, nyawa sang bayi tak dapat diselamatkan. Sang bocah yang mengalami sesak napas akhirnya meninggal dunia. Bayi pertama yang juga anak pertama pasangan Sultan dan Rusmiati ini dikebumikan pada Senin malam di samping rumahnya. Saat ditemui Kamis (2/7/2020) pagi, keluarga tampak masih berduka berduka atas kejadian tersebut. Pihak keluarga menduga ada kesalahan prosedur dalam imunisasi anaknya. Pihak keluarga tengah berembuk sebelum mengambil langkah ke kepolisian untuk mengadukan adanya dugaan malpraktek dalam proses imunisasi anaknya. Dokter Puskesmas Matakali Dr Sintia yang ditanya soal dugaan keluarga korban bahwa terjadi malpraktek mengatakan, penyebab kematian bocah itu kemungkinan karena beberapa penyakit lain termasuk demam berdarah. Namun, untuk membuktikan itu perlu uji laboratorium termasuk mengambil sampel darah korban. “Untuk membuktikan penyebab kematiannya perlu pembuktian uji laboratorium,”jelas Dr Sintia. Sementara itu, Kepala Puskesmas Matakali Dr Haji Ahmad meminta maaf kepada semua pihak termasuk keluarga korban atas kejadian tersebut. “Kami mohon maaf, tetapi selama ini dalam menjalankan tugas selalu mengikuti SOP, termasuk saat mennagani bocah AS,”jelas Dr Haji Ahmad Dinas Kesehatan Polewali Mandar sebelumnya juga telah mendatangi pihak keluarga dan mengambil keterangan terkait kematian bayi tersebut. Pihak dinas akan menyelidiki penyebab kasus ini.
Dinas Kesehatan Polewali Mandar bersama Puskesmas Matakali, Polewali Mandar, Sulawesi Barat menemui keluarga AS, bayi yang meninggal usai imunisasi, Kamis (2/7/2020). Dalam pertemuan ini, terjadi perdebatan pihak keluarga dan dokter hingga tak menemui kesepakatan. Pihak keluarga menilai penjelasan otoritas kesehatan Polewali Mandar yang tiba-tiba memvonis anaknya meninggal karena menderita broncopneumonia mengada-ada. Baca juga: Bayi 3 Bulan Meninggal Usai Diimunisasi, Sebelumnya Alami Pendarahan, Kejang, Lebam Alasannya, dokter sebelumnya tidak pernah melakukan pemeriksaan menyeluruh untuk mendiagnosis yang tepat untuk anaknya, tiba-tiba lahir kesimpulan penyebab kematian sang anak. Pihak keluarga menuding ada kesalahan dalam prosedur penanganan medis saat sang anak diimunisasi di Puskesmas Matakali, Polewali Mandar. Keluarga juga mempermasalahkan prosedur penanganan pasien yang dinilai tidak biasanya. Anaknya langsung diimunisasi tanpa ditimbang petugas kesehatan. Pihak orangtua bayi juga kesulitan lantaran pihak puskesmas tidak menyediakan timbangan saat imunisasi. Dokter hanya bertanya berat anak tanpa menimbangnya. Keluarga bayi menyesalkan protap kerja petugas kesehatan yang dinilai tidak sesuai prosedur. Menaggapi kematian AS usai diimunisasi, dokter Sintia dari Puskesmas Matakali mengatakan, bayi tersebut saat dibawa ke rumah sakit sudah dalam kondisi kritis dan sesak akibat broncopneumonia. “Kondisinya sudah kritis saat dibawa ke rumah sakit. Disebabkan karena sesak akibat broncopneumonia,” jelas dr Sintia. Kepala Puskesmas Matakali Haji Ahmad yang ikut hadir dalam pertemuan ini juga meminta maaf pada keluarga atas peristiwa ini. “Petugas kami menjalankan prosedur atau SOP saat menjalankan tugas termasuk saat melakukan imunisasi,”jelas Haji Ahmad. Namun, pernyataan itu dibantah langsung oleh pihak keluarga. Menurut orangtua korban, sebelum anaknya dibawa ke puskesmas kondisinya sehat dan tidak memiliki riwayat penyakit. Vonis bronkopneumonia yang dijatuhkan dokter pada anaknya dinilai keluarga perlu dibuktikan dokter. Alasannya, anaknya tidak pernah diperiksa secara menyeluruh untuk mendiagnosis pasti penyebab kematiannya. “Sebelum imunisasi bocah itu sehat, lincah dan tidak punya penyakit bawaan. Cuma setelah diimunisasi lengannya terus mengalami pendarahan hingga demam tinggi dan kejang-kejang. Anehnya ditemukan luka memar kebiru-biruan di sekujur tubuhnya,” jelas Rusman, keluarga korban. Baca juga: Lahir pada 1 Juli, Bayi di Tegal Diberi Nama Bhayangkara dan Bhayangkari Banyak hal yang mencurigakan pihak keluarga terkait kematian bayi itu. Usai diimunisasi Kamis (26/6/2020) lalu, bekas suntikan jarum imunisasi terus mengeluarkan pendarahan selama dua hari hingga korban mengalami demam tinggi dan kejang-kejang. Meski sempat dibawa ke rumah sakit namun ia meninggal. Tak hanya itu saja, dari hasil rekaman video keluarga, tubuh bayi menujukkan tanda-tanda yang tak biasanya. Saat meninggal di tubuh bayi dipenuhi dengan bercak lebam dan kebiru-biruan di sekujur tubuhnya. Pihak keluarga sendiri sampai saat ini tak terima keterangan Dinas Kesehatan akan penyebab kematian anaknya. Pihak keluarga korban kini masih berembuk untuk mematangkan kasus ini sebelum diadukan ke polisi atau ranah hukum. Selama sepekan terakhir, dua bayi yang ditangani otoritas kesehatan di Polewali Mandar mendapat protes keluarga korban karena bayinya dinilai meninggal tidak wajar atau karena kinerja tim medis yang dinilai buruk dan tidak prosedur dalam menangani anaknya.

Sumber : Kompas

26. Nama ortu (bpk/ibu): Ayah :Endang Ru
standi ,Ibu: Anisah 
Nama anak: Arkha Muhammad Athlla
Umur anak: 1tahun 9bulan

Alamat: jl kompas GG kembang no35C RT/RW 02/08 Kel:Cempaka putih kec:Ciputat timur kota: Tangerang Selatan

Kronologi KIPI : Bismillahirrahmanirrahim Arkha lahir Sukabumi 07 Oktober 2018 lahir normal sehat dengan berat 3,3kg panjang 48,5Cm sebelum nya Alhamdullah kondisi Arkha sehat sehat malah berat badan nya naik terus diusia 2 bulan sudah 5,6 Kg.. tepat nya tgl 12Desember 2018 saya bawa Arkha ke posyandu lalu Arkha diimunisasi Dpt 1 setelah imunisasi itu Arkha jadi sering panas demam rewel dan muncul bintik bintik merah Awal nya muncul dikening dan leher waktu itu saya bawa berobat ke puskesmas terdekat dan katanya hanya biang keringat biasa lalu Arkha dikasih obat minum dan bedak tabur, tapi sayang nya setelah itu bukan nya sembuh malah bintik bintik merah nya semakin banyak ke kaki tangan dan seluruh badan Arkha, waktu itu saya bawa Arkha berobat ke dokter spesialis kulit kata dokter kulit itu cacar dan dikasih obat tapi sakit Arkha tak kunjung sembuh, Akhir nya Awal Januari 2019 saya bawa Arkha ke RSUD Sukabumi waktu itu langsung ke IGD karena Arkha demam tinggi setelah cek darah ternyata HB, trombosit Arkha rendah dan kata dokter harus rawat inap dan disitu Arkha mendapatkan transfusi darah merah, darah putih(trombosite) Arkha sampe dirawat 2minggu karena darah nya tak kunjung stabil dan luka luka dibadan nya malah makin parah dan perut Arkha buncit Akhirnya dokter menyaran kan untuk BMP sumsum tulang dan USG Abdomen, saya ngikuti semua saran dokter dan hasil BMP Arkha didiagnosa ITP( Imune trombositopenik purpura) dan hasil USG Ada pembengkakan di limpa nya.. setelah rawat inap 2 Minggu Arkha pulang dengan kondisi luka dikulit nya masih belum sembuh dan di sarankan kontrol ke poli, saya rawat Arkha dirumah dan dan rutin kontrol poli 1 Minggu sekali tapi sayang nya Arkha tak kunjung sembuh malah luka dikulit nya semakin parah lecet dan melepuh, karena saya dan keluarga tidak tega melihat kondisi Arkha Akhirnya Awal February 2019 saya beranikan diri bawa Arkha berobat ke Jakarta, di RSCM tepat nya Arkha masuk lewat IGD disitu Arkha dirawat sampai 1 Minggu dan melalu serangkaian transfusi darah, tes darah dan biopsi dan Arkha didiagnosa kanker langka LCH (Langerhans Cell Histiositosis) semacam kanker darah yang nyerang kulit dan dari situ Arkha dirujuk ke RS khusus Anak yaitu RSAB Harapan kita untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan selanjutnya.. dan sampai sekarang Arkha menjalani pengobatan kemoterapy di RSAB harapan kita jakarta sudah hampir 1 setengah tahun, Arkha sudah menjalani 3protokol kemo sebanyak 26x kemoterapy dan Arkha rutin minum obat kanker 6MP setiap hari.. kata dokter pengobatan Arkha masih butuh waktu 1tahunan lagi 😭😭

Comments

Marsya said…
mari gabung bersama kami di Aj0QQ*c0M
BONUS CASHBACK 0.3% setiap senin
BONUS REFERAL 20% seumur hidup.

Popular Posts